“Sayang, hari ini kau pulang jam berapa?” Kimberly membantu memakaikan dasi di leher sang suami, menepuk-nepuk pelan dada bidang suaminya itu kala dasi sudah terpasang sempurna. Seperti biasa setiap pagi, Kimberly selalu membantu sang suami untuk bersiap-siap ke kantor.
“Mungkin sedikit terlambat. Aku memiliki meeting penting hari ini, Kim. Kau sendiri bagaimana? Jam berapa kau pulang?” Damian menarik dagu Kimberly, mencium dan melumat lembut bibir istrinya itu. “Aku pulang sore, Sayang. Jam tiga sore nanti pasti aku sudah pulang.” Kimberly melingkarkan tangannya ke leher Damian. Merapatkan tubuhnya ke tubuh sang suami. “Diego nanti pulang jam berapa?” tanya Damian sambil memeluk pinggang istrinya itu. Tadi jam tujuh pagi, Diego sudah lebih dulu berangkat sekolah. Diego berangkat lebih awal, karena bocah laki-laki itu memiliki jadwal kelas lebih pagi. “Sepertinya Diego akan menginap di rumah orang tuaku. Diego ingin bermain dengan Ben. Orang tuaku juga merindukan Diego. Tidak apa-apa, kan?” ujar Kimberly hangat. Diego sangat dekat dengan Ben layaknya kakak beradik. Usia mereka sama, membuat Diego dan Ben begitu dekat. Bahkan Kimberly sengaja menyekolahkan Diego di sekolah yang sama dengan Ben—adik tiri Kimberly. “Tidak apa-apa. Diego juga pasti senang menginap di sana.” Damian mengecup bibir Kimberly singkat. “Ya sudah, aku harus berangkat sekarang. Kau jam berapa berangkat?” “Sekitar satu jam lagi aku berangkat. Kau berangkat saja duluan. Hari ini aku akan menemui Carol dulu. Ada beberapa pekerjaan yang harus aku urus. Kau hati-hati di jalan. Jangan mengebut. Jangan lupa makan siang. Jangan lupa minum vitaminmu. Pekerjaan memang penting, tapi aku tidak mau kau sampai sakit, Sayang,” ujar Kimberly mengingatkan sang suami. Senyuman samar di wajah Damian terlukis mendengar ucapan Kimberly. Yang paling Damian sukai adalah kecerewetan istrinya itu. “Oke, Mrs. Darrel. Aku tidak akan lupa semua pesanmu. Nanti aku akan menghubungimu kalau sudah di kantor.” Pria tampan itu menyapukan hidungnya ke hidung Kimberly. Kimberly menganggukan kepalanya. Detik selanjutnya, Damian melangkah pergi meninggalkan Kimberly. Tampak tatapan Kimberly menatap hangat punggung suaminya itu. Setiap pagi selalu saja Kimberly memiliki momen manis yang tak akan terlupakan dengan suaminya itu. Momen di mana Kimberly menyadari betapa bahagia hidupnya sekarang ini. *** “Paman, kau jangan bercanda. Aku sudah katakan padamu, kalau aku tidak mau lagi bertemu dengan Fargo Jerald. Aku sibuk, Paman. Aku bisa meminta sekretarisku untuk menggantikanku bertemu dengan Fargo Jerald,” seru Carol jengkel mengomel di telepon. “Carol, tidak bisa. Harus kau yang mengantarkan revisi dokumen ini. Paman tidak enak pada Tuan Fargo kalau kau digantikan dengan sekretarismu, Carol,” kata Donald membujuk Carol dari seberang sana. “Come on, Paman. Apa bedanya aku dan sekretarisku? Itu hanya meeting sebentar yang membutuhkan tanda tangan Fargo. Simple, Paman. Jangan dibuat susah.” “Carol, kau tidak mengerti … project ini sangat penting. Butuh waktu hampir enam bulan, Paman berdiskusi dengan Fargo Jerald sampai dia akhirnya setuju. Paman mohon kali ini saja bantu Paman, Carol.” “Ck! Masih banyak sekali perusahaan yang jauh lebih besar daripada perusahaan milik Fargo Jerald. Kalau project ini gagal, aku akan carikan partner bisnis untukmu yang lain.” “Carol, Paman paling cocok dengan perusahaan Fargo. Paman mohon, mengertilah. Sekarang Paman masih di Florida, belum bisa kembali ke Los Angeles. Kemungkinan Paman akan kembali ke Los Angeles masih sekitar dua minggu lagi. Tolong gantikan Paman untuk kali ini saja, Carol. Hanya kau yang bisa Paman andalkan dan percayai.” Carol mengembuskan napas panjang mendengar ucapan Donald. Sungguh, Carol ingin sekali menolak, tapi jika sudah seperti ini mana mungkin bisa? Kenapa harus Fargo yang menjadi rekan bisnis pamannya? Benar-benar sangat menyebalkan! “Baiklah, Paman. Kirimkan saja dokumenmu yang baru ke kantorku. Nanti aku akan mengatur waktu untuk bertemu dengan Fargo.” “Terima kasih, Carol. Kau memang keponakan Paman yang selalu bisa diandalkan.” Carol tak mengatakan apa pun lagi. Wanita itu memilih menutup panggilan sepihak, dan meletakan ponselnya ke atas meja. Carol mengambil wine yang ada di hadapannya, lalu menenggak hingga tandas. Kepalanya sudah pusing, menjawab telepon dari pamannya. “Kenapa hidupku sial sekali?” gerutu Carol kesal. “Sial kenapa?” Kimberly tiba-tiba masuk ke dalam ruang kerja Carol. “Kim? Kau sudah datang?” Carol sedikit terkejut melihat kedatangan Kimberly. Memang hari ini, Carol memiliki janji bertemu dengan Kimberly, tapi Carol tak mengira kalau Kimberly akan datang secepat ini. Kimberly menarik kursi, duduk di hadapan Carol. “Ya, aku baru saja datang. Kau kenapa, Carol? Sepertinya kau sedang memiliki masalah.” “Hanya sedikit masalah saja. Tidak usah dipikirkan. Aku baik-baik saja, Kim.” Carol meletakan gelas berkaki tinggi yang masih berisikan wine ke atas meja. Dia sengaja tak menceritakan pada Kimberly tentang dirinya yang bertemu dengan Fargo. Pasalnya, Carol yakin pasti Kimberly akan membela Fargo. Kimberly terlalu baik mudah memaafkan Fargo. Apa pun alasannya, di mata Carol, Fargo tetap pria berengsek yang tidak akan pernah bisa termaafkan sampai kapan pun. Kimberly menganggukkan kepalanya. “Ya sudah, lupakan. Anyway, bagaimana dengan produk skin care kita yang terbaru? Apa kau sudah memikirkan semuanya?” “Sudah, Kim. Minggu depan kita akan meeting dengan direktur marketing untuk membahas iklan. Aku ingin tetap kita menggunakan Jennisa Mared sebagai model. Harus aku akui, Jennisa mampu membawa dampak bagus di perusahaan kita,” ujar Carol memberikan saran. Kimberly kembali menganggukkan kepalanya tanpa ragu. Pun Kimberly sependapat dengan Carol tentang Jennisa. “Oke, tidak masalah. Kau atur saja, Carol. Aku setuju denganmu.” Carol tersenyum samar merespon ucapan Kimberly. *** Suara dentuman musik memekak telinga. Malam semakin larut, salah satu kelab malam di Los Angeles sangatlah ramai. Terlihat banyak pasangan yang saling mengumbar kemesraan di lantai dansa. Pasangan yang tak semuanya memiliki hubungan pasti. Banyak di antaranya hanyalah hubungan satu malam saja. Well, tak akan asing lagi di telinga tentang hubungan satu malam. Hubungan singkat antar wanita dan pria yang sebagai penghangat ranjang, lalu besoknya pergi bagaikan virus. Seperti itu kehidupan malam. Tak lagi asing. Namun sayang, Carol tak tertarik pada kehidupan seperti itu. Jika semua orang menari bahagia di lantai dansa, lain halnya dengan Carol yang duduk di depan kursi bartender dengan raut wajah begitu kacau. Wanita itu menenggak vodka di tangannya hingga tandas. Sudah tak lagi terhitung berapa kali Carol menegak minumannya. “Aku ingin bertanya padamu,” ucap Carol setengah mabuk pada sang bartender. “Silakan, Nona,” jawab sang bartender sopan seraya meracik minuman untuk para pengunjung. “Dalam hidup, kenapa aku sangat sial? Apa kurangnya aku? Aku ini cantik, dan memiliki segalanya. Tapi kenapa aku belum juga memiliki kekasih? Yang ada malah aku dipertemukan dengan pria sialan yang sangat menyebalkan. Apa aku ini sudah mendapatkan kutukan?” Carol bertanya dengan mata yang sayu. Wanita itu tetap menenggak vodka di tangannya, meski dirinya sudah dalam keadaan mabuk. Sang bartender tersenyum. “Nona, mungkin saja pria yang menyebalkan yang Anda maksud adalah pria yang memang diperuntukan untuk Anda. Takdir tidak ada yang tahu, Nona.” “Ck! Kau ini sudah gila. Mana mungkin aku ditakdirkan dengan pria berengsek. Kau tahu? Dia itu pria yang pernah berselingkuh dari istrinya. Padahal istrinya saja sangat cantik. Aku tidak sudi berjodoh dengan pria bajingan.” “Nona, semua orang berhak berubah, bukan? Pria yang dulunya bajingan, bisa berubah menjadi pria baik.” “Ck! Selingkuh itu penyakit! Tidak akan pernah bisa diobati sampai kapan pun. Pria yang sudah pernah berselingkuh, akan tetap berselingkuh. Semua hanya manis di awal saja. Pada akhirnya mereka akan tetap menjadi pria bajingan.” “Nona, berubahnya seseorang atas dasar keinginan hati. Jika hatinya ingin berubah, maka orang itu pasti akan bisa berubah. Percayalah, Nona … tidak semua yang buruk akan tetap menjadi buruk. Orang di dunia ini pantas diberikan kesempatan untuk berubah.” “Aku tidak sependapat denganmu! Sudahlah, aku pulang saja! Kau sangat menyebalkan! Kau malah membela pria sialan itu!” Carol mengeluarkan beberapa lembar dollar yang ada di dompetnya ke atas meja. Tak lupa, wanita itu memberikan tip pada bartender yang sudah menemaninya mengobrol. Walau obrolan itu membuat Carol malah semakin kesal. Saat Carol hendak melangkah keluar dari klub malam, mata Carol menyipit melihat sosok pria yang seperti dia kenal hendak memasuki kelab malam itu. Entah kenapa kaki Carol malah melangkah mendekat pada sosok pria itu. Tubuhnya tinggi, bidang terbalut oleh jas berwarna abu-abu gelap yang membuat pria itu semakin tampan. “Kau seperti pria menyebalkan yang pernah aku kenal,” racau Carol setengah mabuk kala tiba di depan pria itu. Fargo menaikan sebelah alisnya, menatap dingin Carol. Tak dia sangka kalau akan bertemu dengan Carol di kelab malam. “Pergilah, jangan ganggu aku!” usirnya tegas. “Ah, suaramu tak asing. Kau pria—” Perkataan Carol terpotong kala merasakan perutnya seakan diaduk-aduk. Seketika itu juga, Carol memuntahkan semua isi perutnya ke jas Fargo. Hueekkkk … “Fuck!” Fargo mengumpat kasar melihat Carol muntah di jasnya. Jijik bercampur emosi menguasainya. Dia hendak berbalik masuk ke dalam mobil, meninggalkan Carol. Namun, di kala tubuh Carol tumbang, Fargo malah menangkap tubuh Carol, menggendong wanita itu. “Shit! Kau selalu menyusahkan hidupku, Carot!” Fargo mengumpati Carol yang kini ada di gendongannya. Dengan raut wajah penuh paksaan dan tersirat marah, Fargo menuju mobilnya, membawa Carol masuk ke dalam mobilnya. Jika saja Carol bukan teman Kimberly, sudah pasti Fargo akan meninggalkan Carol sendirian di sini. Tujuannya menenangkan pikiran, malah terjebak masalah baru.Paris, Prancis. Lampu Menara Eiffel bersinar indah di malam hari. Suasana menyejukan, serta angin berembus memberikan ketenangan, dan kedamaian. Tampak jelas tatapan mata Fargo dan Carol menatap penuh hangat keindahan malam di kota Paris. Mereka menikmati keindahan kota itu bersama dengan Arabella—putri kecil mereka. “Sayang, Paris benar-benar kota yang indah. Terima kasih telah mengajakku dan Arabella berlibur.” Carol menyandarkan kepalanya di lengan kekar sang suami. Arabella kini ada digendongan Fargo tepat di tangan kanan pria itu. Sebelumnya Carol meminta Fargo untuk berlibur bersama dengan putri kecil mereka. Selama ini, mereka belum pernah liburan ke luar negeri bersama dengan Arabella. Beruntung, akhirnya Fargo mewujudkan keinginan Carol. Walau sebenarnya, pria itu sempat khawatir, karena usia kandungan Carol masih enam minggu, tapi akhirnya Fargo luluh karena dokter mengantakan kandungan Carol sehat dan kuat. “Maaf belakangan ini, aku selalu sibuk sampai tidak bisa mengaj
Carol tersenyum di kala sudah selesai menata foto-foto keluarga kecilnya. Bayi cantik dengan rambut cokelat dan mata abu-abu begitu menyejukan hati. Sebuah foto keluarga yang tersirat menunjukkan kebahagiaan yang tak terkira. Ya, di hadapan Carol adalah fotonya bersama dengan suami dan putri kecilnya. Sungguh, setiap kali Carol menata foto keluarga kecilnya, hatinya bergetar penuh dilingkupi kebahagiaan. Tanpa terasa hampir tiga tahun Carol menikah dengan Fargo—pria yang teramat, sangat dia cintai. Selama dua tahun ini, hidupnya memiliki warna yang baru. Sebuah warna yang mana memang tak pernah dia dapatkan sebelumnya. Menikah dan memiliki anak adalah hal yang indah. Arabella Fargo Jerald, adalah anak pertama perempuan Carol dan Fargo. Anak perempuan yang sangat cantik dan baru berusia 1,5 tahun. Arabella adalah anak yang penurut. Carol tak pernah kesulitan menjaga Arabella, karena putrinya itu begitu patuh padanya. Selama ini, Carol dibantu dua pengasuh dalam penjaga Arabella. Se
Dua tahun berlalu … “Brisa, aku tidak bisa hadir meeting launcing product. Tolong kau minta Carol untuk gantikan aku. Atau kau bisa minta direktur perwakilan. Sekarang aku harus ke sekolah Diego. Aku baru saja mendapatkan kabar Diego berkelahi di sekolah.” Kimberly berkata dengan nada cepat seraya memasukan barang-barangnya ke dalam tas. Tampak jelas, dia sedang terburu-buru. Namun, sayangnya dia tak menemukan kunci mobilnya. Dia langsung mengumpat saat tak menemukan kunci mobilnya. Terpaksa, dia menggunakan mobil lain, kala kunci mobil yang biasa dia pakai tak bisa ditemukan. “Nyonya, Nyonya Carol juga sibuk. Beliau ada meeting dengan—” “Brisa, putraku lebih penting. Kau urus saja. Kalau kau tidak mengerti, kau bisa meminta Freddy untuk membantumu. Aku yakin Freddy tahu apa yang harus dilakukannya. Aku harus tutup telepon.” “Nyonya, tapi—” Kimberly menutup panggilan secara sepihak. Dia tak bisa berlama-lama. Dia langsung berlari masuk ke dalam mobil, dan melajukan mobil dengan
Beberapa bulan berlalu … Gilda mengusap perutnya yang buncit dengan penuh kelembutan. Dia tampak begitu bahagia setiap kali melihat perut buncitnya. Hatinya menyejuk. Gelenyar akan secercah pengharapan indah, selalu menyelimutinya. Dia merasa seperti mimpi. Namun tidak! Ada bayi di perutnya, dan itu nyata! Dia akan segera menjadi seorang ibu. Gilda duduk di taman belakang rumahnya. Saat ini, dia masih berada di Los Angeles, dia belum pindah ke Melbourne, karena dia memilih melahirkan di Los Angeles. Usia kandungannya telah memasuki minggu ke dua puluh. Dokter mengatakan dia mengandung anak laki-laki. Sungguh, Gilda tak pernah mengira dirinya akan menjadi seorang ibu. Dari segala kejahatan yang dilakukannya di masa lalu, harusnya Gilda tak diberikan kesempatan untuk memiliki sebuah keluarga indah. Tapi rupanya, takdir masih berbaik hati padanya. Dulu, Gilda hampir menjadi seorang ibu, tapi bayi yang ada di kandungannya tak selamat. Pun kala itu sifatnya masih buruk. Dia bersyukur b
Beberapa minggu berlalu … Kimberly tersenyum melihat lukisan yang baru saja dirinya pesan dalam pemasangan di dinding. Kehamilan kali ini, membuatnya menyukai menata rumah. Jika biasanya, dia selalu menyerahkan pada pelayan, kali ini benar-benar berbeda. Entah kenapa, selalu saja ada ide dalam benaknya untuk menata rumah. Mulai dari menata taman, ruang tengah, ruang tamu, bahkan kamar. Dia selalu mengganti suasana agar tak bosan. Usia kandungan Kimberly saat ini sudah tiga belas minggu—yang mana kehamilannya sudah memasuki trimester kedua. Perutnya mulai membuncit. Well, bisa dikatakan perutnya jauh lebih membuncit ketimbang, kehamilan pertamanya. Padahal usia kandungan Kimberly masih baru tiga belas minggu. Mungkin efek terlalu banyak makan. Itu yang ada di dalam pikirannya. Kehamilan kedua ini memang membuat nafsu makan Kimberly meningkat tajam. Tentu, dia pasrah di kala tubuhnya mengalami kenaikan cukup drastis. Baginya yang paling terpenting adalah bayi yang ada di dalam kandu
“Aw—” Carol meringis saat tangan Fargo terlepas di pergelangan tangannya. Tampak jelas pergelangan tangan wanita itu memerah, akibat Fargo mencengkeram tangannya dengan sangat kencang. Ya, sejak tadi suaminya itu menarik tangannya dengan keras. Carol berusaha menjelaskan tentang Bruno, tapi Fargo menolak membahas Bruno. Alhasil, sekarang amarah Fargo semakin menjadi. Carol mengerti pasti Fargo salah paham tentang Bruno. Apalagi tadi Bruno sampai memeluknya. Ya Tuhan! Carol menjadi serba salah. Ingin menjelaskan, karena takut semakin salah paham, tapi di sisi lain, dia juga malu untuk menjelaskan. Dia benar-benar dalam keadaan dilema. “Siapa pria yang bernama Bruno, Carol? Berani sekali kau berpelukan dengannya!” bentak Fargo keras dan menggelegar. Dia dan sang istri kini sudah tiba di kamar hotel. Dia tampak jelas dilingkupi kemarahan dan cemburu yang besar. “Sayang, ini tidak seperti yang kau pikirkan. Kau salah paham. Bruno adalah—” “Adalah apa?! Kau ingin beralasan Bruno adala
Amsterdam, Netherlands. Setelah perjalanan cukup panjang, akhirnya Fargo dan Carol tiba di Amsterdam, sebuah ibu kota Belanda yang sangat indah dan menawan. Selain itu, Belanda terkenal dengan sepeda. Ya, budaya bersepeda memang sudah mendarah daging di Belanda. Pemerintah bahkan telah membangun infrastruktur berupa jalan khusus pesepeda yang membentang di seluruh wilayah di negara ini. Amsterdam bukan hanya sekadar kota yang indah, tapi kota yang menyimpan jutaan kenangan antara Carol dan Fargo. Lihat saja, ketika dua insan itu mendarat di Amsterdam, mereka tersenyum semeringah bahagia. Mereka tak mengira kembali lagi ke kota ini, dalam keadaan mereka berdua telah resmi menjadi sepasang suami istri. Dulu, Carol ke Amsterdam karena ingin melakukan pertemuan bisnis. Sementara Fargo tinggal di Amsterdam, karena mengurus perusahaannya. Pun di kala Fargo bercerai dari Kimberly, pria itu memang memutuskan tinggal di Amsterdam. Sekarang, dua orang asing yang tak pernah berpikir akan ber
Fargo dan Carol tak menunda bulan madu mereka ke Amsterdam. Setelah Gavin dan Gilda menikah, mereka langsung bersiap untuk melakukan penerbangan ke Amsterdam. Hal itu membuat Carol tadi sempat sibuk dengan barang-barang yang akan dia bawa. Namun, sekarang barang yang akan dibawa Carol telah dimasukan ke dalam mobil oleh pelayan. Perasaan yang dirasakan Carol adalah bahagia. Tentu dia bahagia karena akan segera ke Amsterdam—tempat yang dulunya menyebalkan, tapi ternyata memberikan kebahagiaan mendalam. Namun, sekarang bukan hanya kebahagiaan yang dia rasakan, melainkan rasa khawatir tentang ucapan nenek tua tempo hari. “Astaga Carol, kenapa kau masih memikirkan ucapan peramal tidak jelas itu?” gumam Carol seraya menepuk jidatnya, mengumpati kebodohannya di mana masih mendengar ucapan peramal tidak jelas. Tiba-tiba ponsel Carol berbunyi, membuyarkan lamunannya. Dia mengambil ponselnya yang ada di atas meja, dan menatap ke layar tertera nomor ‘Gilda’ yang terpampang di sana. Detik i
The Ritz-Carlton tempat di mana yang dipilih Gavin dan Gilda melangsungkan pernikahan mereka. Gilda melangkah dengan pelan dan anggun—mamasuki ballroom hotel dengan tangan yang terus memeluk lengan Ernest. Ya, yang menemani Gilda adalah Ernest—tentu ini semua karena permintaan Ernest sendiri. Hal itu yang membuat Gilda merasakan syukur tanpa henti. Meski dia pernah jahat, tapi ternyata kesalahannya mampu dimaafkan oleh keluarga. Gilda tersenyum hagat, dan kini kilat kamera yang terus tersorot padanya. Tampak jelas dia sedikit gugup, tapi wanita itu berusaha mengatasi rasa gugupnya. Ribuan tamu undangan yang datang, menatap hangat dan kagum pada penampilannya. Di ujung sana, tepat di kursi paling depan ada Maisie yang tak henti menangis. Pun Kimberly yang duduk di belakang Maisie ikut menangis kala Gilda mulai mendekat. Bukan tangis kesedihan, melainkan tangis haru bahagia. Dari altar, Gavin begitu tampan dengan tuxedo berwarna putih menatap kagum penampilan Gilda yang sangat cantik