Home / Romansa / Damian&Kimberly / Bab 7. S2. Troublesome Woman III

Share

Bab 7. S2. Troublesome Woman III

last update Last Updated: 2025-02-26 20:04:34

Carol mondar mandir tidak jelas di dalam kamar mandi. Wajah cantik wanita itu sudah seperti kepiting rebus akibat menahan malu. Sudah lima belas menit lalu dia selesai membersihkan diri, tapi tetap Carol tak kunjung keluar dari kamar mandi. Benaknya sejak tadi memikirkan tentang kebodohannya yang kelepasan bicara. Bagaimana bisa dirinya malah memberi tahu Fargo tentang ukuran dadanya? Astaga! Benar-benar sangat bodoh! Memalukan! 

Carol mendengkus seraya mengumpati dirinya sendiri. Jika sudah seperti ini, sama saja dengan mempermalukan diri. Perlahan, dia memejamkan mata sebentar, mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan. Hal yang paling menbuatnya kesal pada dirinya adalah kerap kelepasan bicara. Alhasil, sekarang dirinya sendiri yang malu. 

Akan tetapi, Carol tak bisa memungkiri bahwa dia berterima kasih pada Fargo yang sudah menyelamatkannya. Entah, bagaimana nasibnya kalau sampai Fargo meninggalkannya seorang diri di kelab malam. Memang, dia akui tadi malam dirinya mabuk berat. Beruntung, dia tak berakhir di ranjang dengan pria asing. Jika itu sampai terjadi, mungkin dia ingin bunuh diri saja. 

Sejenak, sesuatu hal muncul dalam benak Carol. Dia tak suka memiliki utang budi pada seseorang. Namun, Carol sadar jika dirinya memberikan uang pasti adalah hal yang sia-sia. Fargo pasti akan menolak uang darinya. Dulu saja, Fargo mengirimkan kembali uang ganti rugi yang pernah Carol berikan pada pria itu. 

Sesuatu hal menyelinap masuk dalam benak Carol, sesuatu di mana dirinya memiliki ide sebagai bentuk dari ucapan terima kasih. Termasuk konyol, tapi paling tidak Carol tahu diri untuk berterima kasih. Detik selanjutnya, tanpa pikir panjang, dia segera melangkah keluar dari kamar mandi. Raut wajahnya dibuat tenang, ketus, dingin, seolah acuh dan tak peduli pada apa pun. 

“Akhirnya kau selesai juga. Aku pikir kau tidur di kamar mandi,” ucap Fargo kala melihat Carol baru saja keluar dari kamar mandi. Nadanya dingin, dan tetap tersirat wibawanya.  

Carol menatap dingin Fargo. “Kita ke dapur sekarang. Aku ingin membuatkan makanan. Jangan menolak, anggap saja aku membalas kebaikanmu itu. Aku tidak suka memiliki utang budi.” 

Sebelah alis Fargo terangkat. Raut wajah pria itu menunjukkan jelas kebingungan serta keterkejutan. “Kau mau membuatkan makanan?” 

Carol menganggukkan kepalanya dengan penuh keyakinan. Sementara Fargo benar-benar tak mengerti akan sifat Carol. Dia bermaksud ingin menolak niat Carol, tapi sesuatu hal masuk ke dalam hatinya seakan memberikan komando untuk dirinya menerima. 

“Ikutlah denganku,” ucap Fargo dingin. 

Carol kembali mengangguk di balik wajahnya yang ketus itu. Detik selanjutnya, dia bersama dengan Fargo meninggalkan kamar, menuju ruang dapur sesuai dengan permintaan aneh Carol. Tampak Carol dan Fargo masih saling diam. Mereka tak lagi membahas tentang kejadian sebelumnya. 

Di dapur, Carol segera memakaikan apron ke tubuhnya. Lantas, wanita itu mulai mengolah bahan mentah menjadi makanan matang—yang mungkin saja rasanya juga enak. Selama ini, Carol jarang sekali memasak. Kesibukan yang membuatnya melupakan banyak hal. Memang, Carol tak hebat dalam memasak, tapi dia juga tak terlalu bodoh dalam memasak. 

Saat Carol tengah memasak, tatapan Fargo tak lepas menatap setiap gerak Carol. Selama ini belum pernah, dia melihat dapurnya kedatangan wanita untuk memasak. Dulu, di kala Fargo menikah, Kimberly tak pernah memasak untuknya. Bukan karena Kimberly tidak mau, tapi karena dulu dirinya jarang sekali pulang. Hal itu yang membuat Kimberly tak membutkan makanan untuknya. 

Ya, tindakan Carol membuat kepingan memori di benak Fargo mulai tergali. Pria itu sudah pernah menikah, tapi hangatnya rumah tangga tidak pernah dia rasakan. Semua karena dirinya yang telah membuat kekacauan. Sementara Gilda, dulu tak suka memasak. Gilda tak menyukai segala tindakan yang bisa merusak kecantikannya. 

Tak lama kemudian, Carol sudah selesai membuatkan hidangan makanan. Dia segera melangkah mendekat ke arah Fargo, meletakan piring yang berisikan pasta carbonara dan salmon panggang ke hadapan Fargo sambil berkata, “Anggap ini balas budiku. Sekarang cobalah masakan ini. Rasanya mungkin tidak akan seenak yang kau pikir. Aku memang tidak terlalu hebat dalam memasak, tapi setidaknya aku sudah berusaha.” 

Fargo menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar perkataan Carol. Sebenarnya dia bahkan tidak pernah menghitung-hitung bantuan yang sudah dia berikan. Wanita yang ada di hadapannya ini sangat aneh. Detik selanjutnya, tanpa mengatakan apa pun, dia memilih untuk menikmati makanan buatan Carol. Lepas dari sifat aneh dan menyebalkan dari sosok Carol, tetap pria itu menghargai apa yang telah dilakukan Carol.  

Saat makanan sudah menyentuh lidah Fargo, pria itu mengakui makanan buatan Carol cukup enak, meski sedikit keasinan. Akan tetapi, alih-alih berkomentar, Fargo malah melukiskan senyuman samar di wajahnya. 

“Kenapa kau tersenyum seperti itu? Kau menertawakan masakanku?” Carol duduk di samping Fargo, menatap jengkel pria itu. Jika sampai Fargo menertawakan masakannya, lihat saja Carol sudah bersiap melemparkan penggorengan ke wajah Fargo. Memiliki ide memasak untuk pria itu saja sudah merupakan ide gila. 

“Aku tidak menertawakan masakanmu. Kau coba saja makanan buatanmu sendiri,” jawab Fargo santai tanpa dosa. 

Mendengar ucapan Fargo, buru-buru Carol mencoba masakannya. Seketika, Carol sedikit mengerutkan keningnya. Rasa asin sangat terasa di lidah. Rasanya memang gurih dan lezat, tapi tak bisa menampik rasa asin tetap mendominasi. 

“Sepertinya aku terlalu banyak memberikan garam. Sorry. Anggap saja aku ini chef amatiran,” kata Carol membela diri. 

Fargo menganggukkan kepalanya. Pria tampan itu mengambil orange juice yang ada di depannya sambil menjawab santai, “Kau tenang saja. Tanpa harus kau menjelaskan, aku sudah tahu kalau kau adalah chef amatiran.” 

“Ck! Menyebalkan sekali,” decak Carol jengkel. 

Suara dering ponsel milik Carol berbunyi. Refleks, Carol mengambil ponselnya yang terletak di atas meja, dan menatap ke layar, dan seketika raut wajahnya langsung berubah melihat nomor ibunya terpampang di sana. Dia hendak menolak, tapi jika dia sampai menolak maka masalah baru akan timbul. Terpaksa, dia menjawab panggilan itu. 

“Ada apa, Mom?” jawab Carol saat panggilan sudah terhubung. 

“Sayang, kau di mana? Kenapa kau belum ada di kantor?” tanya Cadey dari seberang sana. 

“Aku sedang sibuk, Mom. Nanti aku akan ke kantor.” 

“Baiklah, tapi, Sayang … kapan kau akan menghadiri kencan buta yang waktu itu Mommy bilang?” 

“Oh, No, Mom! Aku ini bisa mencari sendiri pasanganku. Aku tidak mau menghadiri kencan buta yang kau bilang itu.” 

“Tapi—” 

“Mom, aku harus tutup dulu. Bye. Love you, Mom.” 

Tanpa menunggu jawaban, Carol menutup panggilan itu secara sepihak, dan meletakan ponselnya sedikit kasar di atas meja. Tampak raut wajahnya berubah menjadi jengkel ketika ibunya menghubunginya. Apalagi yang dibahas adalah kencan buta.  

“Well, Carol Hanson, sepertinya tengah putus asa dalam mencari kekasih?” Fargo menahan senyuman geli di wajahnya. 

Carol menatap dingin Fargo. “Diam kau!” 

Fargo meletakan gelas di tangannya ke atas meja. Lantas, pria tampan itu membalas tatapan Carol sambil berkata santai, “Mudah saja, kalau kau ingin mendapatkan kekasih. Cukup kau hilangkan sifat berisikmu dan kecerobohanmu. Aku yakin pasti akan ada pria yang menyukaimu.” 

“Hey! Dengarkan aku! Yang menyukaiku itu banyak! Aku bukan tidak laku, tapi aku ini terlalu pemilih! Kau tahu itu?!” sembur Carol dengan nada kesal kala Fargo meledek dirinya. 

Fargo tersenyum tipis, tak menanggapi ucapan konyol Carol. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Damian&Kimberly   Bab 78. S2. Ending Scene (TAMAT) 

    Paris, Prancis. Lampu Menara Eiffel bersinar indah di malam hari. Suasana menyejukan, serta angin berembus memberikan ketenangan, dan kedamaian. Tampak jelas tatapan mata Fargo dan Carol menatap penuh hangat keindahan malam di kota Paris. Mereka menikmati keindahan kota itu bersama dengan Arabella—putri kecil mereka. “Sayang, Paris benar-benar kota yang indah. Terima kasih telah mengajakku dan Arabella berlibur.” Carol menyandarkan kepalanya di lengan kekar sang suami. Arabella kini ada digendongan Fargo tepat di tangan kanan pria itu. Sebelumnya Carol meminta Fargo untuk berlibur bersama dengan putri kecil mereka. Selama ini, mereka belum pernah liburan ke luar negeri bersama dengan Arabella. Beruntung, akhirnya Fargo mewujudkan keinginan Carol. Walau sebenarnya, pria itu sempat khawatir, karena usia kandungan Carol masih enam minggu, tapi akhirnya Fargo luluh karena dokter mengantakan kandungan Carol sehat dan kuat. “Maaf belakangan ini, aku selalu sibuk sampai tidak bisa mengaj

  • Damian&Kimberly   Bab 77. S2. Extra Part II 

    Carol tersenyum di kala sudah selesai menata foto-foto keluarga kecilnya. Bayi cantik dengan rambut cokelat dan mata abu-abu begitu menyejukan hati. Sebuah foto keluarga yang tersirat menunjukkan kebahagiaan yang tak terkira. Ya, di hadapan Carol adalah fotonya bersama dengan suami dan putri kecilnya. Sungguh, setiap kali Carol menata foto keluarga kecilnya, hatinya bergetar penuh dilingkupi kebahagiaan. Tanpa terasa hampir tiga tahun Carol menikah dengan Fargo—pria yang teramat, sangat dia cintai. Selama dua tahun ini, hidupnya memiliki warna yang baru. Sebuah warna yang mana memang tak pernah dia dapatkan sebelumnya. Menikah dan memiliki anak adalah hal yang indah. Arabella Fargo Jerald, adalah anak pertama perempuan Carol dan Fargo. Anak perempuan yang sangat cantik dan baru berusia 1,5 tahun. Arabella adalah anak yang penurut. Carol tak pernah kesulitan menjaga Arabella, karena putrinya itu begitu patuh padanya. Selama ini, Carol dibantu dua pengasuh dalam penjaga Arabella. Se

  • Damian&Kimberly   Bab 76. S2. Extra Part 

    Dua tahun berlalu … “Brisa, aku tidak bisa hadir meeting launcing product. Tolong kau minta Carol untuk gantikan aku. Atau kau bisa minta direktur perwakilan. Sekarang aku harus ke sekolah Diego. Aku baru saja mendapatkan kabar Diego berkelahi di sekolah.” Kimberly berkata dengan nada cepat seraya memasukan barang-barangnya ke dalam tas. Tampak jelas, dia sedang terburu-buru. Namun, sayangnya dia tak menemukan kunci mobilnya. Dia langsung mengumpat saat tak menemukan kunci mobilnya. Terpaksa, dia menggunakan mobil lain, kala kunci mobil yang biasa dia pakai tak bisa ditemukan. “Nyonya, Nyonya Carol juga sibuk. Beliau ada meeting dengan—” “Brisa, putraku lebih penting. Kau urus saja. Kalau kau tidak mengerti, kau bisa meminta Freddy untuk membantumu. Aku yakin Freddy tahu apa yang harus dilakukannya. Aku harus tutup telepon.” “Nyonya, tapi—” Kimberly menutup panggilan secara sepihak. Dia tak bisa berlama-lama. Dia langsung berlari masuk ke dalam mobil, dan melajukan mobil dengan

  • Damian&Kimberly   Bab 75. S2. Perfect Ending 

    Beberapa bulan berlalu … Gilda mengusap perutnya yang buncit dengan penuh kelembutan. Dia tampak begitu bahagia setiap kali melihat perut buncitnya. Hatinya menyejuk. Gelenyar akan secercah pengharapan indah, selalu menyelimutinya. Dia merasa seperti mimpi. Namun tidak! Ada bayi di perutnya, dan itu nyata! Dia akan segera menjadi seorang ibu. Gilda duduk di taman belakang rumahnya. Saat ini, dia masih berada di Los Angeles, dia belum pindah ke Melbourne, karena dia memilih melahirkan di Los Angeles. Usia kandungannya telah memasuki minggu ke dua puluh. Dokter mengatakan dia mengandung anak laki-laki. Sungguh, Gilda tak pernah mengira dirinya akan menjadi seorang ibu. Dari segala kejahatan yang dilakukannya di masa lalu, harusnya Gilda tak diberikan kesempatan untuk memiliki sebuah keluarga indah. Tapi rupanya, takdir masih berbaik hati padanya. Dulu, Gilda hampir menjadi seorang ibu, tapi bayi yang ada di kandungannya tak selamat. Pun kala itu sifatnya masih buruk. Dia bersyukur b

  • Damian&Kimberly   Bab 74. S2. Happily Ever After

    Beberapa minggu berlalu … Kimberly tersenyum melihat lukisan yang baru saja dirinya pesan dalam pemasangan di dinding. Kehamilan kali ini, membuatnya menyukai menata rumah. Jika biasanya, dia selalu menyerahkan pada pelayan, kali ini benar-benar berbeda. Entah kenapa, selalu saja ada ide dalam benaknya untuk menata rumah. Mulai dari menata taman, ruang tengah, ruang tamu, bahkan kamar. Dia selalu mengganti suasana agar tak bosan. Usia kandungan Kimberly saat ini sudah tiga belas minggu—yang mana kehamilannya sudah memasuki trimester kedua. Perutnya mulai membuncit. Well, bisa dikatakan perutnya jauh lebih membuncit ketimbang, kehamilan pertamanya. Padahal usia kandungan Kimberly masih baru tiga belas minggu. Mungkin efek terlalu banyak makan. Itu yang ada di dalam pikirannya. Kehamilan kedua ini memang membuat nafsu makan Kimberly meningkat tajam. Tentu, dia pasrah di kala tubuhnya mengalami kenaikan cukup drastis. Baginya yang paling terpenting adalah bayi yang ada di dalam kandu

  • Damian&Kimberly   Bab 73. 2. Fargo and Carol II 

    “Aw—” Carol meringis saat tangan Fargo terlepas di pergelangan tangannya. Tampak jelas pergelangan tangan wanita itu memerah, akibat Fargo mencengkeram tangannya dengan sangat kencang. Ya, sejak tadi suaminya itu menarik tangannya dengan keras. Carol berusaha menjelaskan tentang Bruno, tapi Fargo menolak membahas Bruno. Alhasil, sekarang amarah Fargo semakin menjadi. Carol mengerti pasti Fargo salah paham tentang Bruno. Apalagi tadi Bruno sampai memeluknya. Ya Tuhan! Carol menjadi serba salah. Ingin menjelaskan, karena takut semakin salah paham, tapi di sisi lain, dia juga malu untuk menjelaskan. Dia benar-benar dalam keadaan dilema. “Siapa pria yang bernama Bruno, Carol? Berani sekali kau berpelukan dengannya!” bentak Fargo keras dan menggelegar. Dia dan sang istri kini sudah tiba di kamar hotel. Dia tampak jelas dilingkupi kemarahan dan cemburu yang besar. “Sayang, ini tidak seperti yang kau pikirkan. Kau salah paham. Bruno adalah—” “Adalah apa?! Kau ingin beralasan Bruno adala

  • Damian&Kimberly   Bab 72. S2. Fargo and Carol 

    Amsterdam, Netherlands. Setelah perjalanan cukup panjang, akhirnya Fargo dan Carol tiba di Amsterdam, sebuah ibu kota Belanda yang sangat indah dan menawan. Selain itu, Belanda terkenal dengan sepeda. Ya, budaya bersepeda memang sudah mendarah daging di Belanda. Pemerintah bahkan telah membangun infrastruktur berupa jalan khusus pesepeda yang membentang di seluruh wilayah di negara ini. Amsterdam bukan hanya sekadar kota yang indah, tapi kota yang menyimpan jutaan kenangan antara Carol dan Fargo. Lihat saja, ketika dua insan itu mendarat di Amsterdam, mereka tersenyum semeringah bahagia. Mereka tak mengira kembali lagi ke kota ini, dalam keadaan mereka berdua telah resmi menjadi sepasang suami istri. Dulu, Carol ke Amsterdam karena ingin melakukan pertemuan bisnis. Sementara Fargo tinggal di Amsterdam, karena mengurus perusahaannya. Pun di kala Fargo bercerai dari Kimberly, pria itu memang memutuskan tinggal di Amsterdam. Sekarang, dua orang asing yang tak pernah berpikir akan ber

  • Damian&Kimberly    Bab 71. S2. You’re the Only One I Love

    Fargo dan Carol tak menunda bulan madu mereka ke Amsterdam. Setelah Gavin dan Gilda menikah, mereka langsung bersiap untuk melakukan penerbangan ke Amsterdam. Hal itu membuat Carol tadi sempat sibuk dengan barang-barang yang akan dia bawa. Namun, sekarang barang yang akan dibawa Carol telah dimasukan ke dalam mobil oleh pelayan. Perasaan yang dirasakan Carol adalah bahagia. Tentu dia bahagia karena akan segera ke Amsterdam—tempat yang dulunya menyebalkan, tapi ternyata memberikan kebahagiaan mendalam. Namun, sekarang bukan hanya kebahagiaan yang dia rasakan, melainkan rasa khawatir tentang ucapan nenek tua tempo hari. “Astaga Carol, kenapa kau masih memikirkan ucapan peramal tidak jelas itu?” gumam Carol seraya menepuk jidatnya, mengumpati kebodohannya di mana masih mendengar ucapan peramal tidak jelas. Tiba-tiba ponsel Carol berbunyi, membuyarkan lamunannya. Dia mengambil ponselnya yang ada di atas meja, dan menatap ke layar tertera nomor ‘Gilda’ yang terpampang di sana. Detik i

  • Damian&Kimberly   Bab 70. S2.Gavin and Gilda's Wedding

    The Ritz-Carlton tempat di mana yang dipilih Gavin dan Gilda melangsungkan pernikahan mereka. Gilda melangkah dengan pelan dan anggun—mamasuki ballroom hotel dengan tangan yang terus memeluk lengan Ernest. Ya, yang menemani Gilda adalah Ernest—tentu ini semua karena permintaan Ernest sendiri. Hal itu yang membuat Gilda merasakan syukur tanpa henti. Meski dia pernah jahat, tapi ternyata kesalahannya mampu dimaafkan oleh keluarga. Gilda tersenyum hagat, dan kini kilat kamera yang terus tersorot padanya. Tampak jelas dia sedikit gugup, tapi wanita itu berusaha mengatasi rasa gugupnya. Ribuan tamu undangan yang datang, menatap hangat dan kagum pada penampilannya. Di ujung sana, tepat di kursi paling depan ada Maisie yang tak henti menangis. Pun Kimberly yang duduk di belakang Maisie ikut menangis kala Gilda mulai mendekat. Bukan tangis kesedihan, melainkan tangis haru bahagia. Dari altar, Gavin begitu tampan dengan tuxedo berwarna putih menatap kagum penampilan Gilda yang sangat cantik

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status