Langkah boot besi menghantam marmer putih, menggema di ruang tahta yang sunyi dan penuh tatapan.
Zergan melangkah masuk tanpa ragu. Tubuhnya menjulang tinggi, masih mengenakan armor perang dan pedang berlumur darah kering—jejak pertempuran yang belum sempat dibersihkan. Para bangsawan berdiri diam. Jubah mereka harum, tangan mereka bersih. Mereka menatap Zergan seperti noda di tempat suci—namun tak satu pun berani bersuara. Ia adalah pahlawan hari ini. Komandan tertinggi pasukan kekaisaran Geneuine. Zergan berhenti tiga langkah dari singgasana. "Yang Mulia," ucapnya serak. Lalu, ia menunduk. Dalam. Menekuk lutut, membungkuk dalam diam. Punggungnya yang penuh luka perang kini membungkuk di hadapan pria yang tak pernah ia temui, tapi tak bisa ia tolak. Kaisar hanya menatap. Diam. Seolah sedang menilai. Kaisar hanya menatap. Diam. Matanya tidak memperlihatkan kebanggaan, tidak pula ketidaksukaan. Hanya datar, seperti sedang menimbang apakah Zergan manusia... atau sekadar alat. "Bangun." Suara itu dalam, berat, dan tanpa emosi. Zergan berdiri perlahan. Ia mengangkat kepalanya, namun tidak langsung menatap mata Kaisar. Ia tahu batasnya. Ia tahu tempatnya. “Kau telah memenangkan perang,” ujar sang Kaisar, nadanya seperti membacakan laporan cuaca. “Empat provinsi telah kembali ke tangan kami. Tiga benteng ditaklukkan. Kepala Jenderal Niraks telah kau seret ke kakiku. Dan semua itu... dilakukan oleh seorang rakyat kumuh tanpa nama.” Di sisi ruangan, para bangsawan bergeming. Beberapa memalingkan wajah seolah bau darah Zergan bisa merusak wibawa ruangan marmer itu. “Mulai hari ini, kutinggikan derajatmu.” “Sebagai tanda penghormatan atas jasamu, kau akan menerima tiga hal.” Zergan tetap diam. Seperti biasa, ia menunggu, bukan berharap. “Pertama, kau akan menikahi Putri Zoey Zachary Of Geneuine.” Ada keheningan. Berat. Pekat. Nama itu seperti duri yang tersembunyi di bawah karpet megah istana. Putri Zoey. Anak kaisar yang tak pernah disebut, tak pernah disapa. Gadis yang dibuang dari pesta, dijauhkan dari istana utama. Kabarnya, ia tak pernah berbicara. Tak pernah keluar dari tembok merah tempatnya dikurung. Zergan menunduk sedikit, hanya mengangguk kecil. Tak ada tanya. Tak ada penolakan. Baginya, hidup memang bukan soal memilih. “Kedua, kau akan menerima gelar bangsawan. Duke Ezaquile” “Dan ketiga...” “...kastil di perbatasan San Jequine akan menjadi milikmu.” Bisikan pelan mulai terdengar. Suara kain bergesekan, sepatu menggesek lantai. Itu hadiah besar. Terlalu besar untuk rakyat biasa. Terlalu mencolok. Terlalu berbahaya. Kaisar menyandarkan punggung ke singgasananya. “Jaga dia. Lindungi dia. Dan jauhkan dia dari istana ini. Itu satu-satunya syarat.” Zergan mengangkat pandangan—bukan menantang, hanya ingin mengerti. “Apakah ini perintah, Yang Mulia?” Kaisar tersenyum, kecil dan dingin. “Tidak, ini... hadiah.” Hatiku berkata lirih—apakah ini pantas atas pengorbananku? Kepala yang nyaris putus. Tubuh-tubuh beku di parit. Nafas kawan yang terputus dalam pelukanku. Semua itu... lalu yang kupetik adalah pernikahan? Menikah? Aku tahu usiaku tak lagi muda. Usia pernikahan sudah lama kulewati. Tapi tetap saja, ini terlalu ganjil. Terlalu mendadak. Terlalu... diam. Kenapa suara para bangsawan tadi tiba-tiba melenyap ketika nama Princess Zoey disebut? Aku tak bertanya. Aku hanya menunduk, menegakkan tubuhku kembali. “Saya berterima kasih atas hadiah ini, Yang Mulia.” Itu jawabanku. Datar. Biasa saja. Lalu aku melangkah mundur. Tanpa menoleh. Langkahku bergema sendirian ketika keluar dari ruang tahta. 🥁 Di luar pintu besar yang dijaga dua penjaga bersenjata lengkap, seorang pria tua berbaju abu-abu telah menunggu. Wajahnya letih, kulitnya mengendur, tapi matanya jernih. Ia membungkuk hormat kepadaku. “Hamba pengasuh pribadi Putri Zoey. Izinkan hamba mengantar Tuan Duke kepada beliau.” Aku hanya mengangguk. Dan berjalan. Di sisi kiriku, Ruth, menyamakan langkah. Kami berjalan di koridor panjang. Tak banyak bicara. Hanya suara langkah sepatu dan bisikan pelan dari pelayan istana yang cepat-cepat menunduk saat kami lewat. “Ruth.” Suaraku pelan. Tak banyak hal yang perlu dikatakan, kecuali satu. “Kau dengar berita desas-desus sang putri ?” “Dengar.” Suaranya rendah. Hati-hati. “Zoey. Putri yang dikurung di Istana Merah.” “Kau tahu rumor tentang dia?” Ia ragu sejenak. Lalu mengangguk. “Orang bilang dia... tak waras.” Aku menoleh sekilas padanya. “Maksudmu?” “Tak pernah bicara. Tak pernah keluar. Beberapa pelayan mengaku melihatnya berbicara sendiri. Ada yang bilang dia bisa melihat hal-hal aneh. Kaisar sendiri menyuruh semua orang menjauh darinya.” Aku tidak menjawab. Kaki kami terus melangkah, menuruni lorong gelap yang menuju wilayah sayap timur—tempat yang katanya hanya dipakai untuk membuang orang-orang yang tak diinginkan istana. Langkah kami berhenti di depan pintu kayu tua. Catnya mengelupas, besinya berkarat. Dua pengawal berdiri di depan pintu, tapi bahkan mereka tidak terlihat tegak. Mereka hanya menatap lurus ke depan, seolah berharap tidak ada yang memanggil mereka masuk. “Silakan,” ucap pengasuh sang putri. Ia membungkuk, lalu mendorong daun pintu yang berat itu. Berderit pelan, dan aroma lembap langsung menyambutku. Lorong kecil menyempit ke dalam. Tak ada karpet merah. Tak ada jendela besar. Hanya cahaya temaram dari lentera di dinding, dan udara yang dingin. Langkahku masuk. Ruth tetap di luar. Aku sendirian sekarang. Langkahku berhenti di ambang ruangan terjauh— dan di sanalah aku melihatnya untuk pertama kali. Ia duduk di atas kursi kecil, menghadap ke jendela yang tertutup tirai tebal. Tubuhnya kurus, dibalut gaun ungu lilac. Rambut keemasan. disanggul dengan rapi, Wajahnya tak menoleh. Ia hanya diam. Punggungnya tegak. Tapi ada sesuatu dalam diam itu yang terasa... rapuh. Seperti benang tipis yang kalau disentuh bisa putus kapan saja. Aku tak tahu harus berkata apa. Aku bukan pria yang tahu cara menyapa wanita—apalagi wanita seperti ini. “Putri Zoey,” kataku akhirnya, suaraku dalam, kaku. “Aku Zergan. Calon suami anda .” 🥁 "Yang mulia Zoey." Panggilku Tak ada jawaban. Ia bahkan tidak bergerak. Aku menunggu. Satu napas. Dua. Lima. Dan akhirnya, perlahan, ia menoleh. Mata itu... bukan mata orang gila.Langkah sepatu hak tinggi bergema di lantai marmer yang dingin. Wanita itu berjalan perlahan, nyaris angkuh, dengan gaun mewah berwarna merah marun menyapu lantai seperti darah mengalir. Setiap perhiasan di tubuhnya.Ada sesuatu yang ia cari didalam kamar ini… dan ia menemukannya.Sehelai rambut. Lalu dua. Lalu tiga.Ia meraihnya perlahan, hati-hati, seakan menyentuh pusaka rapuh. Diselipkannya rambut-rambut itu ke dalam sapu tangan sutra putihnya, lalu dilipatnya rapi.Namun sebelum ia sempat berbalik, suara langkah lain menggema dari lorong. Tegas. Berwibawa.Kenop pintu berputar keras. Pintu terbuka. BRAK!Sosok kaisar muncul, berdiri tegak di ambang pintu dengan wajah murka. Heran dengan sikap wanita didepannya.“Apa yang kamu lakukan di sini?” lanjut kaisar. “Aku tidak pernah mengizinkan siapa pun masuk ke kamar putriku sejak ia menikah.”Diam.“Di mana Pangeran Ketiga?” desaknya. “Atau... apa sekarang kau akan mengulangi kejadian mengerikan yang menimpa Axa?”Sorot mata Elira se
Siang turun cepat. Para prajurit duduk terengah-engah di bawah naungan kecil. Air disediakan dalam kendi besar, dan luka ringan diobati oleh dua orang maid.Zergan masih berdiri, tidak minum. Tapi tatapannya berputar, menghitung, mengukur siapa yang cepat lelah, siapa yang bertahan meski kehabisan tenaga.Kemudian, bayangan lembut bergerak di pinggir lapangan.Zoey.Ia berjalan perlahan, diiringi Lily yang membawa tas berisi kuas dan kain lap. Di tangan Zoey, ia membawa lukisan setengah jadi—yang kini warnanya mulai hidup.“Apakah aku mengganggu?” tanyanya pelan dari sisi lapangan.Zergan berjalan menghampirinya, ekspresinya tidak berubah, tapi nada suaranya sedikit melunak.“Kau tidak pernah mengganggu.”Zoey tersenyum kecil. “Aku pikir… tempat ini terlalu banyak warna abu-abu. Jadi aku datang membawa sedikit warna.”Ia menunjukkan lukisannya. Di dalamnya, langit sedikit lebih jingga dari aslinya. Kabut lebih tipis, dan prajurit-prajurit digambar seperti siluet yang tumbuh dari tanah
Ruangan itu masih berbau debu tua dan arang terbakar. Namun begitu Zoey duduk, keheningan berubah jadi sesuatu yang lembut—seperti lembaran kain tipis yang melayang dan menyelimuti mereka berdua.Zergan menatap istrinya sebentar, lalu bertanya dengan nada rendah dan hati-hati, “Bolehkah aku mendekat, Zoey?”Zoey menoleh perlahan, matanya menyapu wajah Zergan yang selama ini ia rindukan dari balik mimpi-mimpi kabur. Ia mengangguk kecil.Zergan menggeser duduknya, kini berada tepat di samping perempuan itu.Ia tidak langsung menyentuhnya. Tapi melihat rambut pirang yang kusut oleh tidur panjang itu, Zergan mengangkat satu tangannya dan merapikannya perlahan. Beberapa helai tersangkut di bahunya, seperti bekas dari bantal yang tak pernah nyaman.“Rambutmu... seperti belum disentuh tangan siapa pun sejak semalam,” gumamnya.“Kau masih sedikit demam,” ujar Zergan sambil menyentuh pelan keningnya dengan punggung jari.“Hanya sedikit Zergan,” balas Zoey, suaranya pelan namun jelas.Zergan me
Hari berikutnya, embun masih menempel di rerumputan ketika Ruth berdiri di pelataran, mengenakan jubah coklat tebal dan ikat pinggang berisi tiga gulungan simbolik. Kuda perak miliknya meringkik pelan, tak sabar. Di hadapannya, Zergan menatap tanpa ekspresi.Zergan tidak langsung menjawab. Ia menatap jendela lantai atas, kamar Zoey.Ruth menaiki kudanya,dia harus pergi keperbatasan San Jequine dengan Geneuine, siluetnya memudar.Dan Zergan pun berbalik.------------------------Satu jam kemudian, tanah lapang dalam halaman kastil mulai terisi.Zergan berdiri di tengah, mengenakan mantel kulit hitam dengan lambang Frendell disulam di sisi kanan dadanya. Di sekelilingnya, dua puluh pemuda dari desa-desa sekitar, sebagian besar belum pernah memegang pedang kecuali untuk menebas semak.Tak satu pun dari mereka bicara.Karena Zergan tidak membuka sesi ini dengan sambutan, pujian, atau janji.Yang ia lakukan adalah melempar tombak ke tanah.Keras.“Satu dari kalian akan mati jika ini adalah
Ruangan itu masih berbau debu tua dan arang terbakar. Namun begitu Zoey duduk, keheningan berubah jadi sesuatu yang lembut—seperti lembaran kain tipis yang melayang dan menyelimuti mereka berdua.Zergan menatap istrinya sebentar, lalu bertanya dengan nada rendah dan hati-hati, “Bolehkah aku mendekat, Zoey?”Zoey menoleh perlahan, matanya menyapu wajah Zergan yang selama ini ia rindukan dari balik mimpi-mimpi kabur. Ia mengangguk kecil.Zergan menggeser duduknya, kini berada tepat di samping perempuan itu.Ia tidak langsung menyentuhnya. Tapi melihat rambut pirang yang kusut oleh tidur panjang itu, Zergan mengangkat satu tangannya dan merapikannya perlahan. Beberapa helai tersangkut di bahunya, seperti bekas dari bantal yang tak pernah nyaman.“Rambutmu... seperti belum disentuh tangan siapa pun sejak semalam,” gumamnya.“Kau masih sedikit demam,” ujar Zergan sambil menyentuh pelan keningnya dengan punggung jari.“Hanya sedikit, Suamiku,” balas Zoey, suaranya pelan namun jelas.Zergan
Hari berikutnya, embun masih menempel di rerumputan ketika Ruth berdiri di pelataran, mengenakan jubah coklat tebal dan ikat pinggang berisi tiga gulungan simbolik. Kuda perak miliknya meringkik pelan, tak sabar. Di hadapannya, Zergan menatap tanpa ekspresi.Zergan tidak langsung menjawab. Ia menatap jendela lantai atas, tempat Zoey masih belum bangun.Ruth menaiki kudanya, menarik tali kekang, dan dalam satu hentakan, kuda itu berlari melintasi jembatan batu Frendell. Di balik kabut pagi, siluetnya memudar.Dan Zergan pun berbalik.------------------------Satu jam kemudian, tanah lapang dalam halaman kastil mulai terisi.Zergan berdiri di tengah, mengenakan mantel kulit hitam dengan lambang Frendell disulam di sisi kanan dadanya. Di sekelilingnya, dua puluh pemuda dari desa-desa sekitar, sebagian besar belum pernah memegang pedang kecuali untuk menebas semak.Tak satu pun dari mereka bicara.Karena Zergan tidak membuka sesi ini dengan sambutan, pujian, atau janji.Yang ia lakukan ad