Istana Utama, Siang HariLangit Azmeria biru dan tenang saat Elina dipanggil ke Istana Utama oleh Ratu Azmeria. Sepanjang jalan, Elina menenangkan diri. Undangan dari sang Ratu tak pernah datang tanpa maksud.Di halaman belakang istana, sebuah danau buatan membentang tenang. Di tepiannya, Ratu Azmeria duduk di bangku batu berhias ukiran angsa, senyumnya lembut namun tajam menilai.Di sisinya, tampak seorang bocah lelaki kecil, kira-kira lima tahun, tertawa riang sambil berlari-lari. Ia adalah Eshan, putra dari Pangeran Arven dan Riselda. Anak itu ceria, matanya bulat seperti Arven, dan senyumnya mengingatkan Elina pada seseorang… mungkin Raeshan.Ratu Azmeria menatap tipis kearah Elina dan tersenyum. Ia mengulurkan tangan kepada cucunya.“Ayo, Eshan sayang, ikut nenek berjalan. Selir Elina akan menemani kita.”Mereka berjalan perlahan di sepanjang tepi danau. Ratu tampak menikmati suasana, sesekali tertawa kecil melihat Eshan memungut bunga air dan melemparkannya ke permukaan danau. E
Ruangan itu sunyi. Napas mereka saling memburu. Raeshan menatap Elina lekat, matanya bergetar menahan semua kata yang tak sempat ia ucapkan.“Aku hanya ingin bicara… hanya itu,” desis Raeshan, nyaris putus asa.“Tapi caramu ini menyebalkan,” balas Elina lirih. Matanya memerah, namun tetap tegak menatapnya.Raeshan ingin menggenggam wajah Elina, ingin mencium dahinya, namun sebelum jemarinya menyentuh kulit halus gadis itu, Elina sudah mundur satu langkah.Ia pun berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Raeshan terdiam di tengah ruangan kecil itu.Raeshan kembali ke kediamannya. Liora menyambutnya dengan senyum lebar dan tangan yang langsung menyentuh pipinya.“Biar aku bantu membersihkanmu, suamiku,” ucapnya lembut, lalu memandunya ke ruang mandi istana yang dipenuhi uap bunga dan aroma rempah.Di dalam, Liora membantu membuka jubah Raeshan. Ia mengusap pundak lelaki itu dengan tangan halus, matanya menatap penuh harap.Namun saat ia mendekat, Raeshan memegang tangannya dan menurunk
Tiga hari kemudian, di sebuah desa kecil Azmeria…Raeshan duduk bersila di pelataran rumah seorang petani tua. Kini ia hanya tampak seperti lelaki petualang biasa, dengan wajah sedikit berdebu dan rambut diikat seadanya.Ia bertemu seorang petani tua dan menanyakan apa yang terjadi. “Kalau boleh jujur... mereka datang lagi tiga hari lalu.” Bisik petani itu ragu.“Mereka?” Raeshan mencondongkan tubuhnya.“Prajurit-prajurit itu. Bawa dekrit kerajaan. Katanya, semua pemuda sehat wajib mengabdi. Tapi mereka tak pernah kembali.” Suara si petani gemetar. “Anak saya, Daro, salah satunya. Katanya mau dilatih jadi penjaga istana, tapi sejak pergi enam bulan lalu, tak ada kabar.”Raeshan mengerutkan dahi. “Anda masih menyimpan salinan dekrit itu?”Si petani mengangguk dan merogoh peti kayu kecil di belakang rumah. Di dalamnya, gulungan perkamen dengan stempel kerajaan tergulung rapi.Raeshan membukanya perlahan. Matanya langsung menangkap segel resmi milik kerajaan cap berlambang burung emas b
Tiga minggu berlalu begitu cepat.Raeshan menempuh perjalanan panjang, dari desa ke desa, hutan ke hutan. Bersama pasukan bayangan, ia menyusuri jejak sisa Pasukan Langit dan memeriksa kondisi rakyat secara diam-diam.Namun di sela-sela kesibukan, ingatan tentang adegan terakhir ia bersama Elina selalu muncul. Singkat, namun tertinggal dalam-dalam.Kadang, saat malam turun dan api unggun menyala redup, Raeshan mendapati dirinya memandangi langit dan mengingat senyum Elina.Ia rindu.Tapi tanggungjawabnya belum usai.Apalagi ia menghadapi masalah baru.Di alun-alun desa yang ia singgahi, suara warga menggema dengan kemarahan.“Anak-anak remaja kita dipaksa jadi prajurit, tapi tak pernah kembali. Ini sudah 1 tahun!” teriak seorang wanita tua yang menangis tersedu. “Siapa lagi kalau bukan ulah Pangeran Raeshan yang kejam?”Raeshan mendengar dengan hati berat, amarah dan rasa penasaran membakar dirinya. Ia semakin teguh ingin menyelidiki kebenaran di balik keluhan itu, demi menemukan jala
Begitu fajar menyapu langit Azmeria, Raeshan membuka matanya. Demamnya sudah surut, tubuhnya terasa lebih ringan.Perlahan, Raeshan mengulurkan tangan, menyentuh pipi Elina dengan ujung jemari. Lembut, seperti menyentuh mimpi yang rapuh. Ia menatapnya sejenak, lalu mengangkat tubuh Elina dengan hati-hati, menggendongnya ke atas kasur.Ia membaringkannya pelan, membenarkan selimut, lalu berdiri sebentar hanya untuk menatapnya sekali lagi.“Aku akan pastikan kau tak pernah terluka lagi,” bisiknya nyaris tanpa suara.Lalu ia mengenakan jubahnya, menutupi luka yang sudah mulai mengering, dan keluar dari kamarnya.Di halaman belakang istana, tersembunyi di balik hutan pinus kecil, sekelompok pria berpakaian gelap sudah menunggu dalam diam. Tubuh mereka tegap, mata mereka tajam, dan tangan mereka senantiasa siaga di atas senjata.Raeshan tiba, disambut oleh Dasman.“Pangeran.” Dasman memberi hormat singkat.Raeshan membalas dengan anggukan. “Waktunya bergerak.”Dengan isyarat tangan, puluha
Raeshan melangkah dengan langkah berat, jubahnya berlumur darah dan debu. Di belakangnya, barisan tahanan Pasukan Langit diborgol, wajah mereka penuh luka dan pasrah. Sebagian masih remaja. Rakyat biasa, petani, penenun, nelayan. Namun di mata istana, mereka kini tercatat sebagai pengkhianat negara.Raja Varyen duduk tegak di singgasananya, matanya menajam menatap barisan yang dibawa masuk.Di sisi kiri, Menteri Perang berdiri dengan tangan mengepal. Di sebelah kanan, Menteri Dalam Negeri tampak pucat. Ia mengenali beberapa wajah yang ia janjikan perlindungan. Sekarang, mereka akan dijatuhi hukuman mati.“Raeshan, jelaskan. Siapa mereka?” tanya Raja Varyen.“Mereka Pasukan Langit, Ayahanda,” jawab Raeshan datar. “Atau lebih tepatnya, sebagian dari mereka. Mereka menyerang, membunuh, menjarah harta para bangsawan. Termasuk milik Tuan Girell.”Menteri Ekonomi maju, suaranya menahan gugup. “Yang Mulia, sebagian dari mereka bukan prajurit. Mereka rakyat sipil hanya orang-orang desa.”Bebe