Share

Bab 5

Author: Phoenixclaa
last update Last Updated: 2025-04-13 20:00:02

Tangan Elina bergetar saat menggenggam pisau kecil yang diberikan Sekar dengan ragu-ragu.

Di luar pintu, suasana mencekam. Para tabib berbisik-bisik, beberapa menghentakkan kaki tak sabar, dan Liora duduk anggun namun menyimpan senyum puas, yakin bahwa selir akan gagal mempermalukan dirinya sendiri.

Sekar berdiri disisi Elina, wajahnya pucat. Kedua tangannya mencengkeram erat kusen kayu. Keringat dingin mengalir di pelipisnya.

“Tuan Putri… aku mohon, jangan lakukan ini. Kalau Dasman tidak tertolong, Anda bisa dihukum mati,” bisik Sekar panik, nyaris menangis.

Elina menoleh sekilas, matanya tajam. “Aku tahu risikonya, Sekar. Tenanglah semuanya akan baik-baik saja.”

Ia kembali menunduk. Nafasnya berat. Luka tusuk di dada Dasman sangat dalam tepat di bawah tulang rusuk keempat. Terlalu dekat dengan jantung dan paru-paru.

Elina menekan sepotong kain bersih yang direndam cuka ke luka terbuka. Dasman menggeliat, meski tidak sadarkan diri. Tubuhnya kejang-kejang pelan. Nafasnya terputus-putus.

“Tolong… bertahan sedikit lagi…” bisik Elina.

Ia mengambil jarum besi yang sudah disterilkan, tangan kanannya memegang pisau mungil dan tangan kirinya bersiap membuka luka.

Darah masih mengalir deras, tapi dari warna dan posisinya, Elina tahu ini bukan sekadar luka luar. Pembuluh darah besar telah robek.

“Aku harus membuka rongga dada…” desisnya, lebih pada dirinya sendiri.

Ia menyayat perlahan, mengikuti garis otot, menghindari saraf utama teknik yang ia pelajari bertahun-tahun sebagai dokter bedah.

Sekar menggigit bibir. Satu tabib yang mendengar dari balik pintu menggeleng.

“Itu bukan penyelamatan. Itu penyiksaan.”

“Dia akan membunuhnya,” ujar tabib lainnya dengan getir.

Liora melirik jam pasir kecil di dekat dinding. Sudah hampir setengah jam berlalu.

Tiba-tiba—

“AAAARRRGHH!”

Teriakan dari dalam ruangan membuat semua orang berdiri kaget. 

Sekar berteriak begitu melihat banyaknya darah yang sudah seperti air mancur kecil. Semua orang penasaran dan ingin masuk tapi melihat Pangeran Raeshan tidak berkutik membuat mereka melangkah mundur.

Dalam ruangan, Elina menekan rongga terbuka dengan kedua tangannya, darah memenuhi pergelangan sampai siku. Ia menggertakkan gigi.

“Aku harus jepit perdarahan ini… atau dia mati.”

Tangannya bergerak cepat. Dengan daun biranti yang ditumbuk dan dicampur madu, ia menambal robekan kecil di salah satu saluran paru.

 Lalu menjahit dengan gerakan yang presisi dan terlatih hal yang tak seorang pun di Azmeria bisa bayangkan seorang wanita lakukan.

Tetesan air mata mengalir di pipi Elina. Bukan karena takut tapi karena ingatan samar dari dunia lamanya membuat ia terharu. 

Ia biasa bekerja di rumah sakit yang dipenuhi alat canggih untuk menyelamatkan pasiennya.  Sekarang meski di negeri asing dengan alat seadanya dia tetap bisa menyelamatkan nyawa orang dengan ilmu medisnya. 

Setelah menjahit luka terakhir, Elina menutup dada Dasman dengan kain steril, menekan dengan hati-hati.

Ia terduduk lemas. Seluruh tubuhnya gemetar. Suaranya lirih.

“Tinggal sedikit lagi, jaga pintu itu diluar Sekar…” Pinta Elina lemah. Sekar pun keluar dengan cepat.

Di luar ruangan, waktu seakan melambat.

Panas matahari mulai tiba ke bumi tapi tetap tidak mampu mengusir hawa dingin yang menyelimuti para penghuni istana. 

Para tabib masih saling melirik cemas, bisik-bisik makin menjadi.

“Dia pasti sudah gagal…”

“Apa yang dilakukan wanita gila itu? Mengiris-iris pengawal Pangeran?”

“Tak ada suara selain jeritan. Dasman pasti sudah sekarat.”

Dan suara yang paling menusuk datang dari bibir Liora.

“Apa Pangeran akan membiarkan seorang wanita dari negeri musuh seperti itu terus membuat kekacauan? Bisa saja Elina sengaja melakukan ini untuk membunuh Dasman.”

Raeshan yang semula diam, wajahnya semakin mengeras. Genggaman tangannya mengepal, buku-buku jarinya memutih.

“Yang Mulia…” suara salah satu tabib bergetar, “Mungkin… mungkin sudah terlambat.”

Dan saat itulah Raeshan bergerak. Ia yang awalnya masih menyimpan sedikit kepercayaan kini menjadi ragu.

Langkahnya mantap, penuh amarah. Ia menepis Sekar yang kaget dan mundur dengan gemetar.

 “Yang Mulia, tunggu! Putri Elina melarang jangan ada yang masuk!” seru Sekar, tapi tak digubris.

BRAAAK!

Pintu dibanting terbuka dengan kekuatan penuh. Engselnya berderit nyaring. Debu beterbangan.

Ruangan sunyi.

Raeshan mendapati tubuh Elina berlutut di lantai, tangannya berlumur darah, wajahnya pucat, keringat membasahi pelipisnya. 

Di belakangnya, Dasman terbaring masih bernafas, meski lemah tapi masih hidup.

Elina menoleh perlahan. Tatapannya kabur, tapi ia tersenyum kecil.

“Aku menepati janjiku, Dasman sudah melewati masa kritis” bisiknya, suara lirih, nyaris tenggelam.

Raeshan berdiri membeku. Matanya menatap luka yang terjahit rapi, tekanan yang dihentikan tepat waktu, dan raut wajah Elina yang kelelahan tapi tak menunjukkan niat menyakiti.

“Elina…”

Untuk pertama kalinya, nada itu tidak penuh kebencian.

Elina hampir tumbang, tubuhnya limbung.

Raeshan segera maju, namun ragu sesaat lalu akhirnya menangkap tubuhnya sebelum jatuh.

Ia memeluk Elina erat, membopongnya perlahan dari lantai.

Begitu Pangeran Raeshan melangkah keluar dari ruangan membawa Elina yang lemas dalam pelukannya, semua mata tertuju pada mereka.

Elina masih berlumur darah, tapi itu bukan darahnya itu milik Dasman, pengawal setia sang Pangeran yang kini berhasil di selamatkan. 

Tabib-tabib yang sebelumnya sinis dan mencemooh, berhamburan masuk ke ruangan setelah Raeshan melewati ambang pintu. Mereka segera memeriksa tubuh Dasman yang terbaring diam.

Tak butuh waktu lama untuk mereka tersentak.

“Dewa langit…” salah satu tabib tua berbisik terkejut.

“Ini… ini luar biasa. Luka sedalam ini dijahit dengan sangat rapi. Tidak satupun titik perdarahan yang tersisa!”

Seorang tabib senior lainnya bahkan menjatuhkan diri ke lantai, sujud di hadapan Elina yang masih berada dalam gendongan Raeshan.

“Nyonya… bukan, Guru! Tolong… izinkan aku menjadi muridmu! Apa yang kau lakukan barusan… jauh melebihi pengetahuan tabib manapun!”

Yang lain pun ikut bersujud, membungkuk dalam-dalam penuh rasa hormat.

Sementara itu, Liora yang sedari tadi diam berdiri kaku di sisi balairung, wajahnya memucat. Rahangnya mengeras saat melihat para tabib memuji Elina tanpa henti.

Ia mengerutkan kening dan mengepalkan tangan.

“Cih… sandiwara murahan,” bisiknya geram, lalu berbalik meninggalkan ruangan dengan langkah penuh kemarahan, gaunnya berkibar, diikuti pelayan-pelayannya yang tak berani bicara.

Raeshan hanya melirik singkat kepergian Liora, lalu menunduk menatap Elina yang lemah di pelukannya.

Wajah Elina pucat, tapi tenang. Matanya sedikit terbuka dan menatap Raeshan, ada sedikit senyum kelelahan di bibirnya.

 “Kamu ingat janjimu kan Yang Mulia?”

Raeshan tak menjawab. Ia hanya menarik napas dalam, matanya penuh emosi yang tertahan.

Lalu dengan langkah mantap, ia membawa Elina kembali ke kediamannya, masih dalam pelukannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dari Dokter Ahli Berubah Menjadi Selir Tawanan Dewa Perang   Bab 146

    Musik merdu dari orkestra mulai mengalun lembut ketika MC mempersilakan pasangan yang berbahagia maju ke panggung utama.Zahira lalu menerima kotak kecil yang disodorkan Raka. Senyum hangat pria itu berusaha menenangkan degup jantungnya yang kacau. Perlahan, cincin indah itu melingkar di jemari Zahira. Lalu giliran Raka yang menerima cincin darinya. Tepuk tangan meriah pun menggema, menandai resminya pertunangan mereka.Zahira sempat melirik ke arah Raeshan yang berdiri bersama Kania. Tatapan pria itu begitu sulit dibaca, yang pasti Zahira sangat kecewa padanya.Di sisi lain, Febri yang baru saja dari toilet tiba-tiba merasa ada tarikan kuat di lengannya. Belum sempat ia berteriak, seseorang membekap mulutnya dan menyeretnya keluar lewat lorong servis hotel. Dalam kepanikan, ia melihat yang membekapnya adalah Zidan.Sementara itu, Raeshan beranjak mendekati Zahira dan Raka untuk memberi selamat. Ketika ia berjalan pergi dan melewati Zahira, ujung koreknya dengan lembut menyapu punggun

  • Dari Dokter Ahli Berubah Menjadi Selir Tawanan Dewa Perang   Bab 145

    Melihat Zahira tak ingin menjawab, Raeshan kembali melajukan mobil kali ini lebih kencang.Tapi Raka malah terus mengomel, suaranya serak mabuk tapi menusuk telinga. Raeshan yang sejak tadi menahan diri akhirnya kembali menghentikan mobilnya.Zahira spontan ingin menolong saat Raeshan membuka pintu mobil dan mendorong tubuh Raka keluar begitu saja. Namun, ketika tangannya hendak menyentuh pintu, Raeshan segera menahan pergelangan Zahira.“Biarkan dia,” suaranya datar tapi penuh kuasa. Klik! Pintu segera terkunci.Zahira terpaku, jantungnya berdegup liar. Mobil kembali melaju. Ia melirik cemas ketika mobil berhenti di sebuah hotel tak jauh dari rumah Raka. Raeshan keluar tanpa berkata apa-apa, lalu membuka pintu. Ia membungkuk, mengangkat Zahira ke punggungnya meski wanita itu meronta lemah.Begitu sudah dikamar, tubuh Zahira dilempar ringan ke atas kasur kamar hotel. Nafas Zahira tercekat, sementara Raeshan menindih tubuhnya dan langsung merebut bibirnya dalam ciuman panas penuh gaira

  • Dari Dokter Ahli Berubah Menjadi Selir Tawanan Dewa Perang   Bab 144

    Sore itu, di restoran barat privat yang terletak di lantai atas sebuah gedung megah.Raka duduk di ruangan VIP, ditemani asistennya, Sinta, yang setia menyiapkan dokumen.Ia sudah menunggu lebih dari lima belas menit. Tatapannya sesekali melirik jam tangan mewah di pergelangan tangan. “Klien macam apa ini, beraninya membuatku menunggu?” gumamnya kesal.Tapi begitu pintu terbuka, langkah kaki dua orang pria terdengar memasuki ruangan. Raka sontak berdiri. Wajahnya langsung memucat lalu berubah menjadi merah padam begitu sosok yang muncul jelas terlihat.“Kenapa kau di sini?!” suara Raka membentak, telunjuknya lurus menunjuk ke arah Raeshan.Raeshan hanya tersenyum miring. Lalu dengan santai ia menarik kursi tepat di hadapan Raka. Zidan berdiri di sampingnya, menunduk hormat sambil menyalakan tablet.“Duduklah, Raka. Jangan terlalu kaku,” ujar Raeshan, nada suaranya ringan namun penuh tekanan. Ia lalu meraih tablet di tangan Zidan, dan tanpa basa-basi melemparkan perangkat itu ke atas m

  • Dari Dokter Ahli Berubah Menjadi Selir Tawanan Dewa Perang   Bab 143

    Meski suasana hatinya sangat buruk, tapi Raeshan harus tetap bekerja. Dedikasinya di Azmeria juga di masa modern sama saja yaitu ulet dan sangat totalitas.Malam itu, di sebuah restoran mewah, Raeshan duduk di meja sudut bersama Zidan dan seorang klien dari luar negeri. Meski ia berusaha fokus pada pembicaraan bisnis, matanya tanpa sengaja menangkap sosok yang membuat jantungnya berhenti berdetak sejenak.Zahira.Ia duduk anggun di meja lain, tepat di seberang ruangan, ditemani Raka yang tampak begitu percaya diri.Sesaat dunia Raeshan terasa berputar. Tatapan matanya tak bisa lepas dari sosok wanita itu. Zahira tersenyum tipis, sesekali menunduk, sementara Raka terlihat terus berusaha memonopoli perhatiannya. Raeshan mengepalkan tangan di bawah meja, menahan gejolak emosi.Ketika Zahira berdiri menuju toilet, Raeshan segera meminta izin pada kliennya, berdiri, lalu diam-diam mengikutinya.Begitu Zahira keluar, Raeshan tanpa pikir panjang menarik pergelangan tangannya, menyeretnya ke

  • Dari Dokter Ahli Berubah Menjadi Selir Tawanan Dewa Perang   Bab 142

    Keesokan harinya, Raeshan kembali memperhatikan rumah Zahira, tapi masih kosong. Nomor telepon Febri pun masih tak bisa dihubungi.Ia mengingat kejadian tadi malam dan sangat cemas dengan kondisi Zahira.Ia lalu berbalik, langsung membanting stir menuju rumah sakit pusat. Ada sesuatu yang harus ia pastikan.Begitu sampai, Raka langsung menghadangnya di lobi. Lelaki itu bersandar di dinding dengan senyum congkak, lengan terlipat di dada.“Sedang mencari siapa, Tuan Raeshan yang terhormat?” suaranya dingin penuh sindiran. “Zahira? Sudahlah, jangan repot-repot. Dia tidak ada disini. Kau sebaiknya berhenti mencampuri urusan orang lain.”Raeshan menatapnya sekilas, lalu hendak berjalan melewati. Tapi Raka dengan cepat menahan langkahnya.“Jangan pura-pura tidak peduli,” suara Raka terdengar menyindir.“Semua orang tahu kau hanya sumber masalah bagi Zahira. Kau pikir dia akan menerima cinta dari seseorang yang tidak pernah bisa menentukan arah hidupnya? Semua orang juga tahu, hari ini kau c

  • Dari Dokter Ahli Berubah Menjadi Selir Tawanan Dewa Perang   Bab 141

    Raka tiba-tiba meraih tubuh Zahira lalu menariknya dalam pelukannya. Kepalanya ditekan hingga menempel di dada bidang Raka.Senyum licik tergambar jelas di wajah pria itu.“Kau akan terbiasa seiring waktu…” bisiknya dengan nada yang membuat darah Zahira terasa dingin.Ia menahan napas, berusaha menahan getaran tubuhnya. Tapi seketika pelukan itu terlepas begitu pintu kamar diketuk.Febri masuk dengan raut cemas. Raka berbalik tenang, menepuk bahu Zahira sebelum melangkah pergi.“Kalian bisa berbicara. Aku tidak akan mengganggu,” katanya sambil melempar tatapan penuh arti.Begitu pintu tertutup, Febri langsung menatap lekat wajah kakaknya.“Kak… kenapa? Kenapa kau menerima Raka, padahal aku tahu jelas-jelas kau tidak mencintainya?” suaranya bergetar.Zahira terdiam, mencoba menahan air mata yang sudah menggenang. Ia tersenyum paksa, mengelus bahu adiknya.“Ini pilihan terbaik yang kakak pernah ambil dalam hidup kakak,” ucapnya pelan.“Jangan bohong padaku, Kak…” Febri menunduk, menggen

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status