Tangan Elina bergetar saat menggenggam pisau kecil yang diberikan Sekar dengan ragu-ragu.
Di luar pintu, suasana mencekam. Para tabib berbisik-bisik, beberapa menghentakkan kaki tak sabar, dan Liora duduk anggun namun menyimpan senyum puas, yakin bahwa selir akan gagal mempermalukan dirinya sendiri.
Sekar berdiri disisi Elina, wajahnya pucat. Kedua tangannya mencengkeram erat kusen kayu. Keringat dingin mengalir di pelipisnya.
“Tuan Putri… aku mohon, jangan lakukan ini. Kalau Dasman tidak tertolong, Anda bisa dihukum mati,” bisik Sekar panik, nyaris menangis.
Elina menoleh sekilas, matanya tajam. “Aku tahu risikonya, Sekar. Tenanglah semuanya akan baik-baik saja.”
Ia kembali menunduk. Nafasnya berat. Luka tusuk di dada Dasman sangat dalam tepat di bawah tulang rusuk keempat. Terlalu dekat dengan jantung dan paru-paru.
Elina menekan sepotong kain bersih yang direndam cuka ke luka terbuka. Dasman menggeliat, meski tidak sadarkan diri. Tubuhnya kejang-kejang pelan. Nafasnya terputus-putus.
“Tolong… bertahan sedikit lagi…” bisik Elina.
Ia mengambil jarum besi yang sudah disterilkan, tangan kanannya memegang pisau mungil dan tangan kirinya bersiap membuka luka.
Darah masih mengalir deras, tapi dari warna dan posisinya, Elina tahu ini bukan sekadar luka luar. Pembuluh darah besar telah robek.
“Aku harus membuka rongga dada…” desisnya, lebih pada dirinya sendiri.
Ia menyayat perlahan, mengikuti garis otot, menghindari saraf utama teknik yang ia pelajari bertahun-tahun sebagai dokter bedah.
Sekar menggigit bibir. Satu tabib yang mendengar dari balik pintu menggeleng.
“Itu bukan penyelamatan. Itu penyiksaan.”“Dia akan membunuhnya,” ujar tabib lainnya dengan getir.
Liora melirik jam pasir kecil di dekat dinding. Sudah hampir setengah jam berlalu.
Tiba-tiba—
“AAAARRRGHH!”Teriakan dari dalam ruangan membuat semua orang berdiri kaget.
Sekar berteriak begitu melihat banyaknya darah yang sudah seperti air mancur kecil. Semua orang penasaran dan ingin masuk tapi melihat Pangeran Raeshan tidak berkutik membuat mereka melangkah mundur.
Dalam ruangan, Elina menekan rongga terbuka dengan kedua tangannya, darah memenuhi pergelangan sampai siku. Ia menggertakkan gigi.
“Aku harus jepit perdarahan ini… atau dia mati.”
Tangannya bergerak cepat. Dengan daun biranti yang ditumbuk dan dicampur madu, ia menambal robekan kecil di salah satu saluran paru.
Lalu menjahit dengan gerakan yang presisi dan terlatih hal yang tak seorang pun di Azmeria bisa bayangkan seorang wanita lakukan.
Tetesan air mata mengalir di pipi Elina. Bukan karena takut tapi karena ingatan samar dari dunia lamanya membuat ia terharu.
Ia biasa bekerja di rumah sakit yang dipenuhi alat canggih untuk menyelamatkan pasiennya. Sekarang meski di negeri asing dengan alat seadanya dia tetap bisa menyelamatkan nyawa orang dengan ilmu medisnya.
Setelah menjahit luka terakhir, Elina menutup dada Dasman dengan kain steril, menekan dengan hati-hati.
Ia terduduk lemas. Seluruh tubuhnya gemetar. Suaranya lirih.
“Tinggal sedikit lagi, jaga pintu itu diluar Sekar…” Pinta Elina lemah. Sekar pun keluar dengan cepat.Di luar ruangan, waktu seakan melambat.
Panas matahari mulai tiba ke bumi tapi tetap tidak mampu mengusir hawa dingin yang menyelimuti para penghuni istana.
Para tabib masih saling melirik cemas, bisik-bisik makin menjadi.
“Dia pasti sudah gagal…”
“Apa yang dilakukan wanita gila itu? Mengiris-iris pengawal Pangeran?”
“Tak ada suara selain jeritan. Dasman pasti sudah sekarat.”
Dan suara yang paling menusuk datang dari bibir Liora.
“Apa Pangeran akan membiarkan seorang wanita dari negeri musuh seperti itu terus membuat kekacauan? Bisa saja Elina sengaja melakukan ini untuk membunuh Dasman.”
Raeshan yang semula diam, wajahnya semakin mengeras. Genggaman tangannya mengepal, buku-buku jarinya memutih.
“Yang Mulia…” suara salah satu tabib bergetar, “Mungkin… mungkin sudah terlambat.”
Dan saat itulah Raeshan bergerak. Ia yang awalnya masih menyimpan sedikit kepercayaan kini menjadi ragu.
Langkahnya mantap, penuh amarah. Ia menepis Sekar yang kaget dan mundur dengan gemetar.
“Yang Mulia, tunggu! Putri Elina melarang jangan ada yang masuk!” seru Sekar, tapi tak digubris.
BRAAAK!
Pintu dibanting terbuka dengan kekuatan penuh. Engselnya berderit nyaring. Debu beterbangan.
Ruangan sunyi.
Raeshan mendapati tubuh Elina berlutut di lantai, tangannya berlumur darah, wajahnya pucat, keringat membasahi pelipisnya.
Di belakangnya, Dasman terbaring masih bernafas, meski lemah tapi masih hidup.
Elina menoleh perlahan. Tatapannya kabur, tapi ia tersenyum kecil.
“Aku menepati janjiku, Dasman sudah melewati masa kritis” bisiknya, suara lirih, nyaris tenggelam.
Raeshan berdiri membeku. Matanya menatap luka yang terjahit rapi, tekanan yang dihentikan tepat waktu, dan raut wajah Elina yang kelelahan tapi tak menunjukkan niat menyakiti.
“Elina…”
Untuk pertama kalinya, nada itu tidak penuh kebencian.
Elina hampir tumbang, tubuhnya limbung.
Raeshan segera maju, namun ragu sesaat lalu akhirnya menangkap tubuhnya sebelum jatuh.
Ia memeluk Elina erat, membopongnya perlahan dari lantai.
Begitu Pangeran Raeshan melangkah keluar dari ruangan membawa Elina yang lemas dalam pelukannya, semua mata tertuju pada mereka.
Elina masih berlumur darah, tapi itu bukan darahnya itu milik Dasman, pengawal setia sang Pangeran yang kini berhasil di selamatkan.
Tabib-tabib yang sebelumnya sinis dan mencemooh, berhamburan masuk ke ruangan setelah Raeshan melewati ambang pintu. Mereka segera memeriksa tubuh Dasman yang terbaring diam.
Tak butuh waktu lama untuk mereka tersentak.
“Dewa langit…” salah satu tabib tua berbisik terkejut.
“Ini… ini luar biasa. Luka sedalam ini dijahit dengan sangat rapi. Tidak satupun titik perdarahan yang tersisa!”
Seorang tabib senior lainnya bahkan menjatuhkan diri ke lantai, sujud di hadapan Elina yang masih berada dalam gendongan Raeshan.
“Nyonya… bukan, Guru! Tolong… izinkan aku menjadi muridmu! Apa yang kau lakukan barusan… jauh melebihi pengetahuan tabib manapun!”
Yang lain pun ikut bersujud, membungkuk dalam-dalam penuh rasa hormat.
Sementara itu, Liora yang sedari tadi diam berdiri kaku di sisi balairung, wajahnya memucat. Rahangnya mengeras saat melihat para tabib memuji Elina tanpa henti.
Ia mengerutkan kening dan mengepalkan tangan.
“Cih… sandiwara murahan,” bisiknya geram, lalu berbalik meninggalkan ruangan dengan langkah penuh kemarahan, gaunnya berkibar, diikuti pelayan-pelayannya yang tak berani bicara.
Raeshan hanya melirik singkat kepergian Liora, lalu menunduk menatap Elina yang lemah di pelukannya.
Wajah Elina pucat, tapi tenang. Matanya sedikit terbuka dan menatap Raeshan, ada sedikit senyum kelelahan di bibirnya.
“Kamu ingat janjimu kan Yang Mulia?”
Raeshan tak menjawab. Ia hanya menarik napas dalam, matanya penuh emosi yang tertahan.
Lalu dengan langkah mantap, ia membawa Elina kembali ke kediamannya, masih dalam pelukannya.
Cahaya lentera menyinari wajah Elina yang tampak pucat namun mulai membaik. Luka-lukanya dibalut rapi, napasnya perlahan stabil.Pangeran Raeshan kini duduk di tepi ranjang.Di tangannya, semangkuk kecil ramuan pahit yang bahkan membuat para tabib meringis mencium baunya.Elina masih setengah duduk, bersandar lemah pada bantal.“Minum.” Suara Raeshan terdengar datar, meski ada nada yang sulit dijelaskan antara kesal, cemas, dan bingung.Elina menatap mangkuk itu malas. “Aku tak kuat aromanya.”Raeshan mendesah tajam. Tanpa bicara, ia menyendokkan ramuan itu dan menyuapkannya langsung ke mulut Elina.Elina terkejut. Ia tak sempat mengelak.“Kalau kau bisa membedah tubuh seseorang dengan tangan berlumur darah, minum ini bukan hal sulit, kan?” ucap Raeshan tajam.Ramuan pahit itu mengalir melewati tenggorokannya. Elina hampir batuk, tapi ia menahan.Setelah dua suapan, ia menatap Raeshan dengan lirih. “Terima kasih.”Namun Raeshan langsung menatapnya dingin. “Jangan salah paham. Ini buka
Tangan Elina bergetar saat menggenggam pisau kecil yang diberikan Sekar dengan ragu-ragu.Di luar pintu, suasana mencekam. Para tabib berbisik-bisik, beberapa menghentakkan kaki tak sabar, dan Liora duduk anggun namun menyimpan senyum puas, yakin bahwa selir akan gagal mempermalukan dirinya sendiri.Sekar berdiri disisi Elina, wajahnya pucat. Kedua tangannya mencengkeram erat kusen kayu. Keringat dingin mengalir di pelipisnya.“Tuan Putri… aku mohon, jangan lakukan ini. Kalau Dasman tidak tertolong, Anda bisa dihukum mati,” bisik Sekar panik, nyaris menangis.Elina menoleh sekilas, matanya tajam. “Aku tahu risikonya, Sekar. Tenanglah semuanya akan baik-baik saja.”Ia kembali menunduk. Nafasnya berat. Luka tusuk di dada Dasman sangat dalam tepat di bawah tulang rusuk keempat. Terlalu dekat dengan jantung dan paru-paru.Elina menekan sepotong kain bersih yang direndam cuka ke luka terbuka. Dasman menggeliat, meski tidak sadarkan diri. Tubuhnya kejang-kejang pelan. Nafasnya terputus-putu
Langkah-langkah tergesa menggema di lorong batu. Raeshan berjalan cepat, jubah gelapnya mengepak diterpa angin. Di belakangnya, Letnan Dasman membawa lentera, menyorot jalan sempit menuju kamar Elina.Begitu mereka sampai di ambang pintu jeritan terdengar dari dalam.“Awas!!”Pintu kamar terlempar terbuka. Seorang pria berpakaian hitam menerjang ke arah ranjang Elina, sebilah pisau panjang terangkat tinggi.“TUAN PUTRI ELINA!” teriak Sekar dari sudut ruangan.Dalam sepersekian detik, Dasman melompat lebih dulu, menahan lengan si penyusup. Mereka bergulat hebat di lantai batu. Raeshan mencabut pedangnya dan maju, namun terlalu lambat.Pisau di tangan penyusup berhasil lolos dari genggaman Dasman dan dalam satu ayunan tajam, menghujam tepat ke bawah tulang rusuk kiri Dasman.Suara crack terdengar pelan, diikuti semburan darah segar yang menyembur dari mulut Dasman. Penyusup itu telah mengenai organ vital limpa atau mungkin paru-paru.Dasman terhuyung, tubuhnya jatuh bersimpuh, matanya m
Senja menggantung merah di langit Azmeria saat derap kuda memenuhi halaman utama istana.Pangeran Raeshan tiba dengan wajah dingin, tubuhnya berbalut debu perjalanan, namun matanya menyala puas.Ekspedisi selama seminggu berakhir dengan kemenangan. Semua bandit dan pembelot yang merongrong stabilitas kerajaan telah ditangkap dan dieksekusi.Belum sempat ia beristirahat, dayang dari permaisuri Liora datang berlari-lari dengan wajah panik.“Yang Mulia!” ia berlutut tergesa. “Permaisuri… beliau terbaring lemah. Tuan Selir Elina menularkan penyakit pada Permaisuri.”Raeshan langsung melangkah cepat ke kediaman istrinya. Di sana, Liora tampak pucat dan berkeringat, terbaring tak berdaya di ranjang megahnya. Aroma obat dan rempah tajam memenuhi ruangan.“Siapa yang berani melakukannya pada permaisuriku?” suaranya dalam dan menahan amarah.Salah satu dayang bersujud. “Setelah beliau mengunjungi kediaman Selir Elina, beliau langsung jatuh sakit. Hanya itu, Paduka… hanya itu.”Raeshan mengepal
Saat Sekar sudah kembali dengan baskom berisi air hangat di tangannya.“Sekar,” ucapnya mantap. “Aku butuh bantuanmu lagi.”“Apa pun, Tuan Putri. Katakan saja.”“Saya butuh tanaman dan bahan-bahan. Kita akan buat masker dan salep untuk memudarkan luka dan lebam.”Sekar sempat terdiam. “Tapi… bahan apa yang Anda maksud?”Elina menatapnya dalam. “Bisa kau dapatkan daun lidah buaya, kunyit, madu, dan minyak kelapa.?”Sekar mengangguk cepat. “Saya akan cari sekarang.”Begitu bahan-bahan yang dibutuhkan terkumpul. Ia mulai meracik sendiri di atas meja.Pertama, ia memotong lidah buaya dan mengeruk gel beningnya ke dalam mangkuk. Ia menumbuk kunyit hingga halus dengan batu penumbuk. Lalu menambahkan madu dan minyak kelapa. Tangannya cekatan, seperti telah melakukannya seribu kali.Sekar hanya bisa menatap takjub.“Campuran ini akan membantu memudarkan luka dan memar. Kunyit untuk anti radang, madu untuk regenerasi kulit, dan lidah buaya untuk melembabkan dan mempercepat penyembuhan,” jelas
“Di mana saya…”Kesadaran menerjang Zahira seperti badai. Ia membuka mata dalam gelap, tubuh menggigil di lantai tanah yang basah dan busuk. Seharusnya, saat ini ia sedang menolong pasien anak kecil di UGD. Namun, mengapa sekarang justru ia berada di dalam ruang kumuh dengan obor tergantung di tembok batu lembab, lantai tanah, dan jeruji karat?Ia meringis pelan, belum percaya dengan apa yang ia lihat. Namun, tiba-tiba kepalanya terasa sakit dengan hebat.Kilasan ingatan seseorang menghantamnya.Selir Elina?Kerajaan Azmeria?“Aku kembali ke zaman kuno?!” batin Zahira terkejut, sambil memegang kepalanya.“Bukankah kerajaan itu sudah lama menghilang dari sejarah?” gumam Zahira lagi.Selir Elina adalah istri kedua Pangeran Raeshan yang menjadi tawanan dari negeri Varindra. Ia juga dikenal angkuh dan pembangkang terhadap sang pangeran.Pangeran Raeshan sendiri dikenal kejam terhadap Elina karena ia bukan istri yang pangeran cintai. Raeshan jarang menemuinya, dan ketika datang hanya memb