Share

Bab 6

Penulis: Phoenixclaa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-13 20:08:08

Cahaya lentera menyinari wajah Elina yang tampak pucat namun mulai membaik. Luka-lukanya dibalut rapi, napasnya perlahan stabil.

Pangeran Raeshan kini duduk di tepi ranjang.

Di tangannya, semangkuk kecil ramuan pahit yang bahkan membuat para tabib meringis mencium baunya.

Elina masih setengah duduk, bersandar lemah pada bantal.

“Minum.” Suara Raeshan terdengar datar, meski ada nada yang sulit dijelaskan antara kesal, cemas, dan bingung.

Elina menatap mangkuk itu malas. “Aku tak kuat aromanya.”

Raeshan mendesah tajam. Tanpa bicara, ia menyendokkan ramuan itu dan menyuapkannya langsung ke mulut Elina.

Elina terkejut. Ia tak sempat mengelak.

“Kalau kau bisa membedah tubuh seseorang dengan tangan berlumur darah, minum ini bukan hal sulit, kan?” ucap Raeshan tajam.

Ramuan pahit itu mengalir melewati tenggorokannya. Elina hampir batuk, tapi ia menahan.

Setelah dua suapan, ia menatap Raeshan dengan lirih. “Terima kasih.”

Namun Raeshan langsung menatapnya dingin. “Jangan salah paham. Ini bukan karena aku peduli padamu.”

Elina mengangguk pelan. “Tentu saja tidak. Kau hanya melakukan ini karena aku menyelamatkan Dasman.”

Raeshan memalingkan wajah, seolah menyembunyikan ekspresi yang tak bisa dijelaskan.

Elina lalu berkata pelan, “Kalau begitu… aku hanya minta satu hal.”

Raeshan kembali menoleh. “Apa?”

Elina menarik napas. “Pindahkan aku dari kediaman barat ini. Tempat ini terlalu sempit, gelap… dan jujur saja, terlalu banyak kenangan buruk.”

Raeshan menatapnya beberapa detik. Ada jeda panjang. “Kau mau kamar yang lebih layak?”

Elina mengangguk. “Aku tidak minta diperlakukan sebagai putri. Tapi aku ingin diperlakukan sebagai manusia.”

Raeshan terdiam, lalu perlahan berdiri.

“Besok kau akan dipindahkan ke kamar timur. Lebih luas dan terang. Tapi ingat, Elina itu hanya karena aku menepati janji, kamu tidak diterima disisiku.”

Elina tersenyum tipis. “Aku tak butuh diterima. Cukup diberi ruang untuk bertahan hidup.”

Raeshan menatapnya dalam beberapa detik, lalu melangkah pergi, tak menyadari bahwa langkahnya melambat di ambang pintu sebelum akhirnya benar-benar menghilang ke balik bayang-bayang malam.

Keesokan paginya, cahaya mentari menyusup perlahan melalui kisi-kisi jendela. Elina membuka mata.

Tubuhnya masih lemah, tapi tak lagi sesak. Saat para pelayan datang membawa perintah pindah dari Pangeran, ia hanya mengangguk. Tanpa kata.

Kediaman di istana timur benar-benar berbeda. Luas, terang, harum bunga kering dan kayu manis.

Tirai putih melambai lembut, cahaya pagi menari di dinding, dan di meja tersedia bubur manis, roti hangat, buah delima, dan daging asap.

Elina baru menyuapkan satu sendok bubur ketika pintu terbuka kasar.

Liora.

Langkahnya angkuh, senyum sinisnya menghujam seperti duri. “Jadi, ini tempatmu sekarang?” Suaranya tajam. “Cocok. Seperti tikus yang diberi sangkar emas.”

Elina tidak bereaksi. “Ada apa pagi-pagi datang menemuiku Permaisuri Liora? Atau hanya ingin memastikan aku belum mati?”

Tamparan mendarat cepat di pipi Elina. Liora melangkah maju, mencengkram rambutnya dan membisikkan racun, “Kau pikir kau bisa merebut Pangeran Raeshan dariku dengan keahlianmu yang tak seberapa itu? Dia tetap milikku.”

Elina tetap diam, meski tubuhnya mulai gemetar. Liora lalu menendang mangkuk bubur hingga tumpah, isinya berhamburan seperti penghinaan yang disengaja. Ia mendorong  Elina hingga membentur dinding.

Lalu suara langkah berat bergema dari lorong.

Liora langsung berubah. Dalam sekejap, ia menampar dirinya sendiri, jatuh ke lantai, dan menangis nyaring. “Elina! Jangan!”

Raeshan muncul di ambang pintu. Nafasnya terhenti sejenak melihat Liora tergeletak di lantai dengan pipi merah, menangis pilu. Elina berdiri di sana, rambut kusut, napas terengah, bubur tercecer di lantai seolah semua bukti bersalah diarahkan padanya.

“Liora…?” suara Raeshan mengeras.

“Aku hanya ingin menjenguk dan menunjukkan niat baikku… tapi dia…” Liora menangis. “Dia menyerangku Yang Mulia.”

Raeshan menatap Elina. Dalam. Tapi bukan untuk mendengar penjelasan. Sorot matanya dingin.

“Elina,” ucapnya lirih, namun tegas. “Kau memang tidak pernah berubah.”

Elina tak menjawab.

Ia hanya menatap Raeshan. Tajam. Langsung ke matanya. Air matanya jatuh satu-satu. Ia sendiri tidak tahu mengapa ia menangis.

Dan untuk pertama kalinya sejak lama Raeshan goyah.

Ada sesuatu yang meremuk di dadanya. Tatapan Elina seperti melunakkan dendam di hatinya.

Tapi gengsi dan amarahnya lebih cepat berbicara

Raeshan segera meminta Elina bersujud dan memohon ampun pada Liora, tetapi jelas Elina menolak. Raeshan yang marah langsung berterik.  “Seret dia ke halaman. Cambuk dia tiga puluh kali, biarkan semua orang melihatnya” katanya datar. “Mungkin rasa sakit akan mengajarkannya untuk bertobat.”

“Tidak! Jangan Yang Mulia” Sekar langsung berlutut, menggigil. “Yang Mulia, maafkan tuan putri kami! Ia tidak bersalah! Saya dapat bersaksi bahwa—”

“Diam!” bentak Raeshan. “Siapa pun yang ikut campur, akan dihukum yang sama.”

Sekar menangis, bersujud di lantai, mencium ujung jubah Elina. Tapi Elina tidak berkata apa pun lagi . Ia tidak mengelak, tidak menatap Liora, tidak memohon pada siapa pun.

Ia hanya berjalan sendiri ke luar, menepis tangan-tangan pengawal yang akan membawanya paksa.

Raeshan berdiri di ambang pintu. Membeku. Sorot matanya tak bisa lepas dari punggung Elina yang perlahan menjauh.

Di halaman barat para prajurit sudah bersiap. Elina dipaksa berlutut, tangan diikat di tiang kayu. Angin dingin meniup ujung rambutnya yang berantakan.

Ia tidak menunjukkan ekspresi takut sama sekali, ia juga tidak meminta belas kasihan.

Namun dibalik ketenangannya, ada bara kecil yang mulai menyala.

Jika ini yang harus kulalui maka biarlah. Tapi mereka akan melihat. Satu per satu. Siapa sebenarnya yang patut ditakuti di istana ini.

Cambuk pertama menghantam punggungnya.

Elina menggigit bibir hingga berdarah, tapi matanya tetap terbuka. Menatap langit.

Cambuk kedua menyusul.

Lalu ketiga.

Dan di balik jendela lantai atas, tersembunyi di balik tirai tipis, Raeshan berdiri sendiri menatap hukuman yang ia perintahkan dengan tangan sendiri. Tapi kenapa dadanya seperti dihantam sesuatu yang berat?

Kenapa ia tak bisa memalingkan wajah? dadanya terasa sakit.

Lalu, pada cambukan kesepuluh, Elina jatuh terduduk. Darah mulai membasahi punggungnya.

Pelayan-pelayan wanita menunduk, beberapa meringis ngeri. Sekar berteriak lirih, tapi tak ada yang berani mendekat.

Tepat saat cambukan kesebelas hendak dijatuhkan…

Terdengar suara langkah berat mendekat dari sisi lain halaman. Langkah yang tak asing. Langkah yang membuat semua kepala berpaling.

“Hentikan!”

Raeshan menyipitkan mata.

Seseorang datang. Tak diundang.

Dan begitu ia muncul dari balik bayangan tembok istana, wajah Elina pun berubah penuh harap.

“Kau?” bisiknya lirih.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dari Dokter Ahli Berubah Menjadi Selir Tawanan Dewa Perang   Bab 48

    Beberapa Hari KemudianElina melangkah pelan di antara bunga-bunga krisan dan anggrek merah yang baru mekar. Perutnya kini mulai menonjol.Sekar berjalan di belakangnya, membawa selimut tipis dan kendi air jeruk hangat. Langkah mereka terhenti saat mendengar suara lembut dari arah beranda.“Ah, Elina… rupanya kau suka berjalan pagi juga,” ucap Liora, berdiri anggun dengan gaun putih gading yang menjuntai panjang.Elina membungkuk sopan. “Pagi Permaisuri.”“Oh tidak, tak perlu terlalu formal,” Liora melambaikan tangan, lalu turun dari beranda. Ia berjalan pelan menghampiri Elina, lalu menatap perut Elina seperti sedang memeriksa barang dagangan.“Sudah mulai terlihat ya… Tapi kandunganmu masih terlalu kecil dibanding milikku,” ujarnya sambil tersenyum-senyum yang tak sampai ke mata.Elina hanya diam, tak menanggapi umpan itu.Tiba-tiba, Liora meraih tangan Elina. “Kau tahu, ada posisi di mana janin bisa mendengar suara kita lebih jelas,” katanya manis. “Begini, aku tunjukkan.”Ia tiba-

  • Dari Dokter Ahli Berubah Menjadi Selir Tawanan Dewa Perang   Bab 47

    Dari kegelapan sudut ruangan, sesosok pria melangkah masuk dengan tenang, sorot matanya tajam seperti pedang yang baru diasah.Kael.Rambut peraknya memantulkan cahaya obor, dan mantel hitamnya bergoyang pelan seiring langkah yang tanpa suara. Tapi aura yang ia bawa membuat udara di ruang kerja Arven terasa sesak dan dingin seketika.Liora menegang. Arven menoleh cepat, tubuhnya refleks menegang. Tapi sebelum salah satu dari mereka sempat berkata apa-apa, Kael sudah angkat suara.“Kau pikir aku peduli pada perselingkuhan kalian?” lanjut Kael, langkahnya mendekat tanpa gentar. “Silakan saling menikam dengan ciuman dan pengkhianatan. Tapi jika kalian menyentuh sehelai rambut Elina saja, aku pastikan tidak ada yang ingat nama kalian lagi di Azmeria.”Liora menatap Kael dengan mata membara. “Kau tak berhak ikut campur…”Kael berhenti tepat di depan mereka. Pandangannya menusuk, tatapan dingin yang tak pernah bisa ditebak.Ia menoleh sejenak ke arah Arven.“Aku yang paling berhak memastika

  • Dari Dokter Ahli Berubah Menjadi Selir Tawanan Dewa Perang   Bab 46

    Hari tepat 1 Tahun Zahira bertahan hidup di Azmeria sebagai Elina.Pagi itu, udara Istana Timur terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis masih melayang di sela-sela pilar batu saat Elina bangun dengan rasa mual yang sulit ia jelaskan.Sekar datang membawa teh herbal seperti biasa, tapi Elina hanya menatap kosong ke dinding, membiarkan uap teh menguap tanpa disentuh.Ketika Sekar keluar, Elina mengambil sebuah kotak kecil dari bawah lantai kamarnya tersembunyi rapi di balik kayu yang dilonggarkan. Di dalamnya tersimpan alat sederhana hasil rakitannya sendiri, berdasarkan ilmu kedokteran dari masa depan yang masih ia ingat detailnya.Ia meneteskan air seninya lalu mencelupkannya menunggu sejenak, lalu melihat dua garis samar terbentuk.Tangannya gemetar.Dua garis.Ia hamil.Elina menutup mulutnya. Tangisnya pecah pelan, bukan karena takut… bukan sepenuhnya karena bahagia. Tapi karena ia tahu, hidupnya akan berubah untuk selamanya.Bayi ini… bukan hanya tanda cinta.Tapi juga bel

  • Dari Dokter Ahli Berubah Menjadi Selir Tawanan Dewa Perang   Bab 45

    Sejak Elina kembali ke istana, Pangeran Raeshan tak pernah jauh dari sisinya.Raeshan yang dulu dikenal sebagai dewa perang tak berperasaan, dan brutal di medan perang kini memeluk seorang wanita dengan lembut, bahkan tak segan membawakan mangkuk air atau merapikan rambut selirnya sendiri.Raeshan juga lebih berempati dan sering tersenyum. Namun tidak semua orang terpesona oleh perubahan itu.Di sisi lain istana, Ratu Amaris semakin meradang. Sejak perdebatan terakhir dengan Raeshan tentang Elina, hatinya terus diselimuti amarah.“Raeshan berubah jadi budak cinta hanya karena seorang wanita rendahan,” gerutunya di depan anak bungsunya, Arven.“Seharusnya Ibu tak heran,” kata Arven sengit. “Kakak ku mulai kehilangan wibawa. Disaat pangeran Kael sibuk bermain politik dan pangeran Aldrick malah larut dalam diskusi dengan para menteri. Raeshan malah sibuk bermain-main.”Kata-kata itu menyulut bara dalam dada Ratu Amaris. Ia tidak akan terima jika anak-anak dari selir Laira menjadi penerus

  • Dari Dokter Ahli Berubah Menjadi Selir Tawanan Dewa Perang   Bab 44

    Setelah menempuh perjalanan panjang, kereta berhenti di pelataran istana. Raeshan turun cepat dari kudanya, membuka pintu, lalu tanpa ragu mengangkat Elina ke dalam pelukannya.Ia membawanya langsung ke istana timur dan menurunkannya hati-hati ke atas ranjang.Begitu Elina duduk, Raeshan berdiri cepat dan berseru ke arah luar, suaranya tegas tapi panik:“Panggil tabib! Dua orang! Yang paling cermat dan paling hebat!”Tak lama kemudian dua tabib istana masuk membawa perlengkapan. Raeshan langsung berdiri menghadang mereka.“Pelan-pelan,” ucapnya, tangannya terangkat seperti menghentikan badai. “Kalau kalian buat selirku meringis sekali saja. Aku akan pastikan kalian tidak akan melihat matahari terbit lagi.”Kedua tabib itu menelan ludah gugup, lalu mengangguk cepat.Elina terkekeh pelan. “Yang Mulia…”Namun Raeshan tidak memedulikan tatapan geli itu. Ia malah mencondongkan badan ke sisi ranjang dan membetulkan selimut Elina dengan ekspresi serius yang lucu.“Kalau sakit, langsung bilan

  • Dari Dokter Ahli Berubah Menjadi Selir Tawanan Dewa Perang   Bab 43

    Kael mengusap kening Elina dengan lembut. Matanya sembab, tapi sorotnya tetap tenang seperti danau dalam yang menyembunyikan badai di dasarnya. Di tengah suara hujan dan napas berat Elina, ia menunduk, menyentuhkan dahinya ke tangan perempuan itu, memastikan suhu tubuhnya.Ketika jemari Elina akhirnya bergerak lemah, Kael langsung menegakkan tubuhnya. Mata Elina perlahan membuka, pandangannya masih kabur. Namun senyum tipis muncul di bibirnya saat melihat Kael di sisinya.Kael menggenggam tangannya erat, mencium punggungnya. Lega. Rapuh. Ia hampir kehilangan segalanya.“Elina…” bisiknya pelan.“Di mana… kita?” suara Elina nyaris tak terdengar.“Kau aman,” jawab Kael lembut.Elina menutup mata sesaat. Ingatan-ingatan kembali menelusup. Ia tahu, Kael telah menyelamatkannya.Namun ketenangan itu segera pudar ketika ia bertanya, “Raeshan… bagaimana dengan Raeshan?”Kael terdiam sejenak. “Dia selamat. Kembali ke istana.”Air mata Elina jatuh. Dan di hadapan cinta tulus yang tak pernah Kael

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status