Bayangan samar di balik pepohonan semakin jelas begitu ia berbalik pergi.Kisti.Semenjak Elina menghilang, Raeshan selalu menghabiskan waktunya sendirian.Kembali ke beberapa hari lalu, saat Nathan akan di eksekusi. Seisi Azmeria gempar karena tidak bisa menemukan Nathan dimanapun.“Anda melihat Nathan, Yang Mulia?” Kisti mendekat, suaranya dibuat bergetar seperti orang yang baru menangis. “Aku… aku tidak tahu harus ke mana lagi mencarinya. Dia adikku… aku takut dia…”Namun hari itu Raeshan sama sekali tidak peduli dengan hidup dan mati Nathan.“Aku tidak peduli drama apa yang kau mainkan, Kisti,” ucapnya datar. “Aku hanya ingin menemukan Elina aku tidak peduli dengan adikmu yang busuk itu.”Kisti terdiam. Penghinaan Raeshan di depan semua orang membuatnya tak bisa berbuat banyak.Meski begitu, ia tersenyum tipis, karena mulai sekarang Elina tidak akan pernah kembali ke masa ini lagi.Ia yakin Nathan juga diselamatkan oleh Mr. X. Ia tak peduli entah Nathan ke masa depan juga atau tid
“Zahira…?” suara itu lirih, tercekat oleh tangis. Saat matanya terbuka, wajah Febri terlihat jelas di depannya.Disampingnya, seorang wanita berambut sebahu memegang tangannya erat, Kania, sahabat baiknya.“Kau akhirnya sadar lagi… ya Tuhan, kau benar-benar kembali…” Kania memeluknya, dan Febri ikut merangkul mereka berdua.Zahira menatap sekeliling, bingung. Ruangan ini… putih, dingin, dan penuh alat-alat yang mendengung.Di ujung telinganya, seperti ada gema suara anak kecil… dan tawa yang samar. Tapi begitu ia mencoba mengingat, kepalanya nyeri, dan bayangan itu memudar.“Berapa lama aku tak sadarkan diri…?” suaranya serak.“Kamu tidak sadarkan diri sudah satu bulan kak,” jawab Febri cepat mencoba mengingat sejak kakaknya pernah bangun tapi hanya dalam waktu singkat dulu. Zahira terdiam. Ada sesuatu dihatinya yang terasa hampa dan tidak bisa ia ingat sama sekali.**Selama dua hari observasi, banyak rekan kerja yang datang menjenguk. Salah satunya seorang dokter magang baru berna
Malam itu…Elina duduk di lantai. Matanya sembab, air mata masih mengalir deras, membasahi pipinya.Raeshan berjongkok di hadapannya, lalu dengan hati-hati menarik tubuh istrinya ke dalam pelukannya.“Elina…” bisiknya, lembut namun penuh kekhawatiran. “Kau tidak sendirian.”Elina hanya bisa menangis. Tubuhnya gemetar dalam dekap Raeshan.Lelaki itu memeluknya semakin erat, seolah pelukannya bisa melindungi Elina dari seluruh penderitaan.“Maafkan aku… Sekar… dia meninggal karena aku… karena aku yang menyuruhnya ikut ke sini…” gumam Elina di antara isaknya.Raeshan menggeleng pelan. Ia menangkup wajah Elina dengan kedua tangannya, menatap lurus ke mata istrinya.“Jangan katakan itu. Kau bukan penyebabnya. Aku akan menghukum pelakunya sekejam mungkin.”Elina memejamkan mata. Air matanya kembali tumpah, dan Raeshan tak bisa melihat istrinya seperti itu lebih lama lagi. Ia mendesah… lalu tersenyum kecil.“Kalau begini terus, kau bisa membuatku tua lima tahun lebih cepat, tahu tidak?”Elin
Beberapa minggu yang lalu, Elina secara pribadi mengunjungi Tuan Akin."Elina…" suara Tuan Akin berat, "jejakmu semakin samar di dunia ini."Elina terdiam."Dimensi waktu yang mengikat jiwamu ke masa ini semakin menipis. Kau telah mengubah banyak hal, dan jelas sistem dunia tidak tinggal diam.""Aku tahu," bisik Elina. "Tapi aku tidak bisa meninggalkan suami dan anak-anakku.”Tuan Akin menggeleng pelan.“Lima hari lagi adalah Tragedi Bulan Merah. Jika kau masih berada di masa ini saat malam itu tiba… tubuhmu bisa lenyap, bukan hanya dari zaman ini, tapi juga dari zaman asalmu.”Elina menggenggam kalung giok di dadanya benda yang selama ini menjadi jangkar keberadaannya di masa ini. Tapi setiap hari, kilau giok itu semakin suram… dan kadang justru menyakitkan saat disentuh."Kalung itu akan menghancurkanmu jika kau terus memaksakan diri," ujar Akin tenang. "Pulanglah sebelum waktu menghancurkan jiwamu sendiri."Elina menunduk. Matanya berkaca-kaca, tapi tekadnya tetap."Aku tidak akan
“Aahh…”Tangan Elina menekan dadanya sendiri, seolah rasa sakit itu datang dari dalam jiwanya, bukan tubuhnya.Sementara itu, di ruang kerjanya, Raeshan menatap jendela dengan gelisah. Entah mengapa, sejak beberapa saat tadi hatinya tidak tenang.Firasat buruk membuatnya tak bisa fokus membaca laporan apapun.“Kenapa hatiku… terasa sesak begini?”Ia berdiri tiba-tiba, lalu melangkah cepat keluar dari ruangannya dan bergegas menuju kamar Elina.Begitu membuka pintu, suara gaduh dan teriakan kecil langsung menyambutnya.“Elina!”Raeshan berlari dan langsung merengkuh tubuh istrinya yang tergeletak di lantai, lemas tak berdaya.Ia memeluk Elina erat, menahan kepanikannya.“Elina, aku di sini. Bertahanlah… Aku akan panggil tabib sekarang juga!”Elina meraih lengan Raeshan dengan sisa tenaganya.“Tidak… jangan…” bisiknya lemah. “Ini… bukan hal yang bisa disembuhkan tabib…”Raeshan tertegun. Matanya menatap giok di leher Elina yang masih memancarkan cahaya. Ia tak memahami apa yang terjadi
Pagi harinya di balairung utama istana.Kisti melangkah pelan namun pasti. Raut wajahnya menunduk dengan kesedihan yang dalam. Di hadapannya, Kaisar yang duduk di singgasana, sementara Elina duduk di sisi kanan, dan Dasman siaga di kiri.“Yang Mulia,” suara Kisti serak tapi tenang. “Hamba datang bukan hanya sebagai selir Kaisar, tapi juga sebagai seorang kakak. Nathan, dia tidak bersalah.”Raeshan menatap Kisti dengan sorot mata tajam namun tetap berusaha adil. “Kau punya bukti?”Kisti mengangguk pelan. “Pada malam itu, saat dikatakan Sekar mengalami trauma, Nathan bersamaku. Kami berada di Alister, memperingati hari kematian kakak kami.”Semua yang hadir saling pandang.“Nathan sangat dekat dengan mendiang kakak kami. Ia bahkan tidur di aula leluhur, berdoa sepanjang malam. Seluruh rakyat Alister dan para pelayan di sana bisa bersaksi,” lanjut Kisti.Elina menanggapi dengan dingin. “Tapi pelayan yang melihat Nathan memasuki kamar Sekar di malam itu bersaksi jelas. Ia mengenali Nathan