Langkah itu milik Dasman sang Panglima utama kerajaan, sekaligus sahabat setia Pangeran Raeshan, kini masih dalam balutan perban dan tubuh yang belum pulih sepenuhnya. Tapi matanya menyala, menatap tajam ke arah tempat Elina ditahan.
"Hentikan!" suaranya berat, namun tetap tegas.
Prajurit ragu. Raeshan turun dari jendela dengan gaya angkuhnya, kini berjalan mendekat ke halaman. Suasana menegang, semua mata berpindah ke sang pangeran yang kini berdiri berhadapan dengan Dasman.
“Dasman. Ini bukan urusanmu.” Suara Raeshan dingin, nyaris tak berperasaan.
Dasman setengah berlutut, menggertakkan gigi menahan nyeri di dadanya. “Yang Mulia… aku memohon. Putri Elina menyelamatkanku dengan nyawanya. Tanpa dia, aku sudah mati.”
Raeshan memalingkan wajah, rahangnya mengeras. “Dia tetap tidak pantas mendapatkan permohonanmu Dasman! Kekacauan di istana ini semua karena dia.”
“Ini pasti hanya kesalah pahaman, Yang Mulia,” Dasman bersikeras. “Apa kau tak melihat beliau sudah tidak kuasa menahan rasa sakitnya.”
“Cukup!” potong Raeshan. Matanya membara, tapi bukan karena amarah semata. Ada gejolak yang belum bisa ia kendalikan sendiri.
Ia menatap Elina yang kini tersandar lemah di tiang kayu. Darah sudah menodai pakaiannya, sebagian menetes ke tanah. Tapi matanya tetap terbuka, tetap menantang Raeshan.
Raeshan mengangguk kecil pada algojo. “Lanjutkan.”
“Yang Mulia!” Dasman berseru lagi. Tapi dua pengawal segera menahan bahunya, membujuk agar ia tidak memaksakan diri.
Cambukan kembali mendarat.
Keempat belas.
Kelima belas.
Pada cambukan ketujuh belas, tubuh Elina mulai gemetar hebat.
Ketika cambukan kedua puluh menghantam, ia muntah darah. Tubuhnya mulai terhuyung, matanya nyaris tertutup.
Sekar berteriak histeris dari balik kerumunan. “Tuan Putri! Tidak! Berhenti! Dia akan mati!”
Tapi tak ada yang mendengar.
Cambukan ke dua puluh satu membuat tubuh Elina ambruk sepenuhnya. Ia pingsan, darah mengalir dari sudut bibir, dan punggungnya sudah tak bisa dibedakan antara kulit dan luka terbuka.
Raeshan menatap tanpa ekspresi. Tapi kakinya gemetar tanpa ia sadari. Ia sendiri bingung dengan dirinya.
“Bawa dia ke kediaman timur. Dan rawat luka-lukanya,” perintahnya datar. “Jangan sampai mati.” Ekor mata pangeran Raeshan menatap wajah Elina yang pucat.
Ia lalu menoleh pada Dasman dan berjalan mendekat. “Kau, kembali ke kamarmu. Kau butuh istirahat.” Raeshan tak lupa menepuk bahu Dasman pelan.
“Yang Mulia…” Dasman mencoba protes, tapi Raeshan sudah berbalik. Langkahnya cepat, tapi matanya tak sanggup menatap siapa pun.
…
Beberapa saat kemudian di Istana Timur
Sekar mengusap darah dari tubuh Elina dengan tangan gemetar. Kain yang ia gunakan basah dan lengket, menempel karena luka terbuka yang terlalu dalam. Isakannya pecah tak tertahan.
“Ini tak adil. Ini kejam. Aku akan lapor perlakuan kejam pangeran! Aku akan datangi Raja langsung!” Sekar bangkit, matanya merah penuh tekad.
Namun suara lirih menghentikannya.
“Jangan.”
Elina membuka matanya perlahan, meski hampir tak sanggup berbicara.
“Jangan lapor siapa-siapa Sekar, itu akan sia-sia! Tidak ada satupun di istana ini yang berani pada Pangeran Raeshan…”
“Tapi luka Tuan Putri, bahkan kainnya menempel.” Sekar menatap ngilu pada punggung tuannya.
Elina menggeleng pelan, menahan perih. “Ambilkan salep dari peti kecil yang hijau. Oleskan saja perlahan.”
Sekar terisak. “Tapi kenapa… kenapa Tuan Putri tetap melindungi mereka yang menyakitimu?”
Elina menutup mata, napasnya berat. “Aku tidak melindungi siapa pun Sekar. Kalau aku ingin bertahan di istana ini, aku tak boleh terlihat lemah.”
Tangannya lemah, tapi masih mampu menggenggam jemari Sekar.
“Jangan khawatir. Aku tak akan mati sekarang.”
Sekar dengan tangan gemetar membuka wadah kecil berisi salep. Aroma herbal yang menyengat langsung memenuhi kamar, namun Elina hanya menggertakkan gigi.
Punggungnya perih luar biasa, darah kering menyatu dengan luka, dan kain yang menempel menjadi mimpi buruk untuk dibersihkan.
Sekar mulai mengoleskan salep perlahan, menahan tangis saat Elina mengerang pelan. “Maafkan aku, Tuan Putri, aku akan lebih pelan, sangat pelan.”
Namun saat salep baru menyentuh luka yang terbuka, terdengar ketukan keras di pintu.
Sekar menoleh, panik. Elina tak sanggup bicara, hanya memejamkan mata.
Pintu terbuka. Seorang pria tua berjubah putih dengan lambang kerajaan di dada memasuki ruangan, membawa kotak besar berisi ramuan dan peralatan medis. Di belakangnya, berdiri dua pengawal khusus kerajaan.
“A-Anda..tabib Istana?” tanya Sekar cemas sekaligus menunduk sopan.
Tabib itu menunduk ringan. “Aku Tabib Feran, ditugaskan langsung untuk menangani Tuan Putri Elina. Sesuai permohonan Panglima Dasman.”
Sekar tercengang. “Panglima Dasman…? Tapi—”
Tabib sudah melangkah cepat, menyingkirkan salep di tangan Sekar dengan lembut namun tegas. “Biarkan aku. Luka ini lebih parah dari yang kalian duga. Kalau tidak ditangani segera, Putri Elina bisa kehilangan nyawanya sebelum pagi.”
Sekar tak sanggup protes. Ia hanya mundur pelan dan memegangi dada sambil berdoa lirih.
Sementara itu, di lorong luar, Kasim Zahar. Kasim kerajaan yang paling dekat dengan Pangeran Raeshan berdiri bersama dua penjaga.
Ia menatap ke arah kamar Elina yang kini diterangi lampu-lampu minyak, lalu menoleh ke arah belakang, di mana Pangeran Raeshan berdiri setengah tersembunyi di balik pilar.
“Yang Mulia,” bisik Kasim Zahar perlahan. “Kalau Anda peduli, mengapa tidak masuk saja sendiri?”
Raeshan tidak menjawab. Tatapannya terpaku ke arah jendela kamar. Rahangnya mengeras, tapi sorot matanya tak bisa berbohong begitu melihat wajah kesakitan selirnya. Ada rasa bersalah yang sulit dibantah.
“Yang penting dia tidak mati,” gumam Raeshan akhirnya. “Bawa aku kembali ke ruang baca. Sekarang.”
Kasim Zahar menatapnya lama. Tapi ia tak berkata apa-apa. Ia hanya memberi isyarat pada pengawal untuk membuka jalan, lalu mereka pun berlalu meninggalkan kediaman timur.
Sementara itu, Tabib Feran membuka balutan satu per satu. Ia menarik napas panjang, wajahnya tegang. “Ini… bukan hukuman. Ini penyiksaan. Bahkan serdadu perang pun tak diberi luka seperti ini.”
Ia mulai mengoleskan ramuan khusus, lalu menjahit luka-luka terbuka yang dalam. Elina menggertakkan gigi sampai hampir patah.
Namun ia tetap tak bersuara.
Ia menatap langit-langit kosong di atasnya, senyum getir terbit di bibir berdarahnya.Tabib Feran terdiam. Dadanya terasa sesak.
Ia tidak bisa melupakan kejadian tiga puluh menit lalu, saat seseorang mengetuk ruangannya dengan tergesa. Pangeran Raeshan sendiri berdiri di sana. Wajahnya gelap, Tapi sorot matanya jelas menunjukkan sisi lain dirinya selain kekejaman seperti biasanya.
“Aku tak peduli kau bilang atas nama siapa… Tapi kau harus menyelamatkannya. Sekarang.”
Feran menunduk dalam, menelan perasaan yang tidak seharusnya ia bawa sebagai tabib kerajaan.
“Aku tahu Tuan Putri pasti membencinya,” gumam Feran, nyaris seperti berbicara dengan dirinya sendiri.
Ia terdiam sejenak, mengoleskan ramuan dengan tangan yang mulai bergetar.
“Tapi sering kali.” lanjutnya pelan, “yang paling kejam justru adalah yang paling peduli. Mereka hanya tidak tahu caranya mencintai dengan benar.”
Namun ia tetap tidak berkata apa pun tentang kedatangan Raeshan.
Begitu selesai, Sekar mengantarkan tabib Feran keluar dan berterima kasih banyak telah merawat luka tuannya. Elina pun bisa tertidur meski dengan posisi tengkurap.
Musik merdu dari orkestra mulai mengalun lembut ketika MC mempersilakan pasangan yang berbahagia maju ke panggung utama.Zahira lalu menerima kotak kecil yang disodorkan Raka. Senyum hangat pria itu berusaha menenangkan degup jantungnya yang kacau. Perlahan, cincin indah itu melingkar di jemari Zahira. Lalu giliran Raka yang menerima cincin darinya. Tepuk tangan meriah pun menggema, menandai resminya pertunangan mereka.Zahira sempat melirik ke arah Raeshan yang berdiri bersama Kania. Tatapan pria itu begitu sulit dibaca, yang pasti Zahira sangat kecewa padanya.Di sisi lain, Febri yang baru saja dari toilet tiba-tiba merasa ada tarikan kuat di lengannya. Belum sempat ia berteriak, seseorang membekap mulutnya dan menyeretnya keluar lewat lorong servis hotel. Dalam kepanikan, ia melihat yang membekapnya adalah Zidan.Sementara itu, Raeshan beranjak mendekati Zahira dan Raka untuk memberi selamat. Ketika ia berjalan pergi dan melewati Zahira, ujung koreknya dengan lembut menyapu punggun
Melihat Zahira tak ingin menjawab, Raeshan kembali melajukan mobil kali ini lebih kencang.Tapi Raka malah terus mengomel, suaranya serak mabuk tapi menusuk telinga. Raeshan yang sejak tadi menahan diri akhirnya kembali menghentikan mobilnya.Zahira spontan ingin menolong saat Raeshan membuka pintu mobil dan mendorong tubuh Raka keluar begitu saja. Namun, ketika tangannya hendak menyentuh pintu, Raeshan segera menahan pergelangan Zahira.“Biarkan dia,” suaranya datar tapi penuh kuasa. Klik! Pintu segera terkunci.Zahira terpaku, jantungnya berdegup liar. Mobil kembali melaju. Ia melirik cemas ketika mobil berhenti di sebuah hotel tak jauh dari rumah Raka. Raeshan keluar tanpa berkata apa-apa, lalu membuka pintu. Ia membungkuk, mengangkat Zahira ke punggungnya meski wanita itu meronta lemah.Begitu sudah dikamar, tubuh Zahira dilempar ringan ke atas kasur kamar hotel. Nafas Zahira tercekat, sementara Raeshan menindih tubuhnya dan langsung merebut bibirnya dalam ciuman panas penuh gaira
Sore itu, di restoran barat privat yang terletak di lantai atas sebuah gedung megah.Raka duduk di ruangan VIP, ditemani asistennya, Sinta, yang setia menyiapkan dokumen.Ia sudah menunggu lebih dari lima belas menit. Tatapannya sesekali melirik jam tangan mewah di pergelangan tangan. “Klien macam apa ini, beraninya membuatku menunggu?” gumamnya kesal.Tapi begitu pintu terbuka, langkah kaki dua orang pria terdengar memasuki ruangan. Raka sontak berdiri. Wajahnya langsung memucat lalu berubah menjadi merah padam begitu sosok yang muncul jelas terlihat.“Kenapa kau di sini?!” suara Raka membentak, telunjuknya lurus menunjuk ke arah Raeshan.Raeshan hanya tersenyum miring. Lalu dengan santai ia menarik kursi tepat di hadapan Raka. Zidan berdiri di sampingnya, menunduk hormat sambil menyalakan tablet.“Duduklah, Raka. Jangan terlalu kaku,” ujar Raeshan, nada suaranya ringan namun penuh tekanan. Ia lalu meraih tablet di tangan Zidan, dan tanpa basa-basi melemparkan perangkat itu ke atas m
Meski suasana hatinya sangat buruk, tapi Raeshan harus tetap bekerja. Dedikasinya di Azmeria juga di masa modern sama saja yaitu ulet dan sangat totalitas.Malam itu, di sebuah restoran mewah, Raeshan duduk di meja sudut bersama Zidan dan seorang klien dari luar negeri. Meski ia berusaha fokus pada pembicaraan bisnis, matanya tanpa sengaja menangkap sosok yang membuat jantungnya berhenti berdetak sejenak.Zahira.Ia duduk anggun di meja lain, tepat di seberang ruangan, ditemani Raka yang tampak begitu percaya diri.Sesaat dunia Raeshan terasa berputar. Tatapan matanya tak bisa lepas dari sosok wanita itu. Zahira tersenyum tipis, sesekali menunduk, sementara Raka terlihat terus berusaha memonopoli perhatiannya. Raeshan mengepalkan tangan di bawah meja, menahan gejolak emosi.Ketika Zahira berdiri menuju toilet, Raeshan segera meminta izin pada kliennya, berdiri, lalu diam-diam mengikutinya.Begitu Zahira keluar, Raeshan tanpa pikir panjang menarik pergelangan tangannya, menyeretnya ke
Keesokan harinya, Raeshan kembali memperhatikan rumah Zahira, tapi masih kosong. Nomor telepon Febri pun masih tak bisa dihubungi.Ia mengingat kejadian tadi malam dan sangat cemas dengan kondisi Zahira.Ia lalu berbalik, langsung membanting stir menuju rumah sakit pusat. Ada sesuatu yang harus ia pastikan.Begitu sampai, Raka langsung menghadangnya di lobi. Lelaki itu bersandar di dinding dengan senyum congkak, lengan terlipat di dada.“Sedang mencari siapa, Tuan Raeshan yang terhormat?” suaranya dingin penuh sindiran. “Zahira? Sudahlah, jangan repot-repot. Dia tidak ada disini. Kau sebaiknya berhenti mencampuri urusan orang lain.”Raeshan menatapnya sekilas, lalu hendak berjalan melewati. Tapi Raka dengan cepat menahan langkahnya.“Jangan pura-pura tidak peduli,” suara Raka terdengar menyindir.“Semua orang tahu kau hanya sumber masalah bagi Zahira. Kau pikir dia akan menerima cinta dari seseorang yang tidak pernah bisa menentukan arah hidupnya? Semua orang juga tahu, hari ini kau c
Raka tiba-tiba meraih tubuh Zahira lalu menariknya dalam pelukannya. Kepalanya ditekan hingga menempel di dada bidang Raka.Senyum licik tergambar jelas di wajah pria itu.“Kau akan terbiasa seiring waktu…” bisiknya dengan nada yang membuat darah Zahira terasa dingin.Ia menahan napas, berusaha menahan getaran tubuhnya. Tapi seketika pelukan itu terlepas begitu pintu kamar diketuk.Febri masuk dengan raut cemas. Raka berbalik tenang, menepuk bahu Zahira sebelum melangkah pergi.“Kalian bisa berbicara. Aku tidak akan mengganggu,” katanya sambil melempar tatapan penuh arti.Begitu pintu tertutup, Febri langsung menatap lekat wajah kakaknya.“Kak… kenapa? Kenapa kau menerima Raka, padahal aku tahu jelas-jelas kau tidak mencintainya?” suaranya bergetar.Zahira terdiam, mencoba menahan air mata yang sudah menggenang. Ia tersenyum paksa, mengelus bahu adiknya.“Ini pilihan terbaik yang kakak pernah ambil dalam hidup kakak,” ucapnya pelan.“Jangan bohong padaku, Kak…” Febri menunduk, menggen