Share

2

Penulis: Pipipiii
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-09 16:08:00

"Anda bisa istirahat sekarang," kata Marta singkat, berhenti di depan pintu kamar Anya. "Pekerjaan akan dimulai besok pagi. Jam lima."

Anya sedikit mengerutkan dahi. Jam lima? Itu sangat pagi. "Baik, Bu Marta," jawabnya, mencoba terdengar siap.

"Tuan Rio selalu bangun pagi," jelas Marta, nadanya datar seperti biasa. "Pastikan kau sudah siap sebelum diminta. Tuan Rio tidak suka menunggu. Kesiapanmu adalah bagian dari pekerjaanmu."

Marta pergi, meninggalkan Anya di depan pintu. Anya masuk, lelah dan cemas setelah perjalanan serta pertemuan dengan Rio. Ia membuka koper tua, mengeluarkan pakaian dan perlengkapan mandi.

Lima ratus juta. Hutang itu terus menghantui, membawa Anya ke sini. Mengapa Darman melakukan ini? Bagaimana Ibu sekarang? Pikiran-pikiran itu terus berputar tanpa jawaban. Rio Pratama. Mata dingin, kata-kata tajam. Apa yang diinginkannya? Hanya pelayan? Atau ada maksud lain?

Anya berganti piyama dan mencoba tidur, tapi pikirannya terus melayang. Suasana asing apartemen mewah terasa mencekam, dengan keheningan yang hanya dipecah oleh suara pendingin dan kota yang terdengar jauh. Ia tak bisa tidur.

Waktu bergerak perlahan. Jam di dinding menunjukkan pukul 01:17 dini hari. Anya hampir memejamkan mata ketika interkom di dinding kamarnya berdering.

Anya terkejut. Siapa yang menelepon selarut ini? Jantungnya berdebar kencang. Dia mendekati interkom dengan ragu.

"Ya?" ucap Anya pelan.

"Ke ruang kerja," suara Rio Pratama terdengar dari interkom. Pendek, tanpa sapaan, tanpa penjelasan. Hanya perintah. Dan itu bukan suara Marta. Itu suara Rio sendiri.

Anya membeku. Ruang kerja? Tengah malam? Ada apa? Rasa takut merayapinya. Kenapa dia dipanggil selarut ini? Apa yang Rio inginkan? Apakah ini akan menjadi permulaan dari sesuatu yang lebih buruk?

Anya merapikan piyamanya dengan tangan gemetar, memastikan penampilannya cukup rapi. Lalu, ia membuka pintu kamarnya dan melangkah ke lorong yang sunyi.

Akhirnya, ia tiba di depan pintu kayu besar ruang kerja Rio. Pintu itu sedikit terbuka. Cahaya lembut memancar dari celah. Anya menelan ludah, mengumpulkan semua keberaniannya. Ia mengetuk pelan.

"Masuk," suara Rio terdengar dari dalam.

Anya membuka pintu dan melangkah masuk. Ruangan remang, diterangi lampu meja kecil di belakang meja kerja. Rio duduk di kursi kulit, mengenakan kemeja dengan lengan digulung. Wajahnya lelah, namun mata itu tetap tajam dan dingin.

Tatapan Rio jatuh pada piyama Anya. Sekilas, ada kilatan kagum tersembunyi di balik kekesalan, terpaut pada kecantikannya dan pengorbanan bodohnya. Tapi itu cepat hilang, tergantikan oleh dinginnya sorot mata dan alis yang terangkat tajam.

"Apa-apaan ini?" suara Rio dingin, lebih tajam dari sebelumnya. Kejutan dan kekesalan di suaranya bercampur dengan nuansa kemarahan yang lebih dalam, seolah penampilan Anya memicu alarm dalam dirinya, mengingatkan pada luka lama. "Kau pikir kau akan menemuiku dengan pakaian seperti itu?"

Anya terkesiap. Wajahnya memanas karena malu dan kaget. "Maaf, Tuan. Saya... saya baru saja akan tidur. Saya tidak... tidak tahu akan dipanggil selarut ini."

"Kau tidak tahu?" potong Rio, suaranya meninggi sedikit, penuh kekuasaan dan sarkasme. Nada sinisnya begitu dalam, seperti perisai yang ia gunakan untuk menutupi reaksi lain yang tak diinginkan. "Kau pikir kau sedang menginap di rumah teman? Kau lupa posisimu, Anya?"

Wajah Rio menegang, amarahnya tak meledak tapi terasa menghimpit. Matanya memancarkan sinisme dan luka lama, seolah Anya membangkitkan bayangan masa lalu yang belum sembuh.

"Atau jangan-jangan," desis Rio dengan nada sinis, "kau memang sengaja mengenakan itu untuk menggoda?" Ia mendekat, menatap tajam. "Seperti perempuan murahan yang menjual diri demi keuntungan." Ucapannya menghantam, tak hanya menghina Anya, tapi juga bayangan luka lama yang tak pernah sembuh.

Tuduhan itu bagai tamparan bagi Anya. Menggoda? Dalam situasi seperti ini? Marah memenuhi dadanya, mengalahkan rasa takutnya.

"Tidak, Tuan!" balas Anya, suaranya terdengar tegas meski ia berusaha keras mengendalikan emosinya yang bergejolak. "Saya tidak berniat seperti itu! Saya... saya hanya... ini piyama saya! Saya tidak tahu akan dipanggil! Saya tidak seperti wanita-wanita yang Anda sebutkan itu!"

Rio mendengus. Penolakan Anya menyentuh sisi yang enggan diakui Rio. Tapi alih-alih percaya, ia menolak. Tatapannya memaku Anya, seolah harus melihatnya sebagai 'wanita murahan' demi mempertahankan kendali atas dirinya sendiri.

"Dengar baik-baik, Anya," suara Rio kembali datar, penuh perintah. "Kau milikku selama di sini, dua puluh empat jam. Berpakaianlah sesuai dengan statusmu." Matanya tajam. "Mulai sekarang, seragammu harus selalu dikenakan saat aku memanggil. Tidak ada pengecualian."

Anya mengatupkan rahangnya, berusaha menahan air mata yang mungkin akan keluar karena marah dan terhina. "Ya, Tuan," jawabnya, suaranya rendah dan penuh tekad yang tersembunyi.

Rio menatap sebentar, memastikan Anya benar-benar paham. Ada kilasan penyesalan yang sulit dibaca di matanya, meski kekesalan perlahan menghilang, digantikan oleh ketegasan yang biasa.

"Bagus," katanya, lalu menunjuk cangkir kosong di mejanya. "Sekarang, ambilkan aku segelas air putih dingin dari dapur. Dan pastikan kau tidak kembali dengan pakaian itu lagi."

Permintaan itu terlihat sederhana, hanya air. Tapi cara penyampaiannya, kemarahan yang mengiringinya, adalah bentuk penekanan kekuasaan. Rio tidak benar-benar butuh air, dia hanya ingin memastikan Anya tahu batasannya.

Anya mengangguk lagi. Dia berbalik dan berjalan keluar dari ruang kerja Rio. Pintu tertutup di belakangnya. Di luar, di lorong yang gelap, ia menarik napas dalam-dalam. Piyamanya terasa panas karena malu dan marah. Tapi ia tidak punya pilihan.

Ia kembali ke kamarnya, dengan cepat melepaskan piyama, dan mengenakan kembali seragam abu-abu yang seharusnya baru dikenakan besok pagi. Seragam itu terasa berat, seperti beban statusnya yang ditegaskan kembali dengan kejam oleh Rio.

Dengan seragam lengkap, Anya kembali ke dapur, mengambil gelas, dan mengisinya dengan air dingin. Tangannya masih sedikit gemetar karena emosi. Kemudian, ia membawa gelas itu kembali ke ruang kerja Rio.

Dia mengetuk lagi. "Masuk."

Anya melangkah masuk dan meletakkan gelas air dingin di meja Rio tanpa bicara. Rio tidak mendongak. Dia sudah kembali menatap layar laptopnya, seolah Anya tidak ada di sana.

"Sudah, Tuan?" tanya Anya pelan.

Rio hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. "Ya. Kau boleh kembali ke kamarmu."

Ini baru malam pertama. Dan Rio Pratama sudah menunjukkan sisi kejamnya. Menunjukkan betapa ia akan menguras Anya, bukan hanya tenaganya, tapi juga mentalnya, harga dirinya. Ini adalah awal dari penjara yang jauh lebih dalam dari yang Anya bayangkan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dari Hutang Jadi Cinta   36

    Di lorong rumah sakit, Rio berjalan cepat. Clara mengejarnya, tumit tingginya berdetak di lantai marmer.“Rio, jangan seperti ini.”Rio menoleh tajam. “Aku sudah cukup sabar. Kau pikir kau bisa menang karena Mama membelamu? Itu bukan kemenangan, Clara. Itu kebohongan.”“Aku tidak membohongi siapa pun,” jawab Clara santai. “Aku hanya membuka mata Mamamu tentang siapa perempuan itu.”“Kau tidak tahu apa-apa tentang Anya.”Clara mendekat. “Tapi aku tahu segalanya tentang kamu, Rio. Itu lebih penting.”“Dan itulah masalahnya. Kau tahu terlalu banyak tentang aku. Tapi nol tentang bagaimana caranya mencintai tanpa menguasai.”Clara menatap tajam. “Kalau aku tak mencintaimu, aku tidak akan peduli.”Rio diam. Matanya sayu. “Kau hanya peduli pada rasa memiliki, Clara. Bukan cinta.”Tanpa berkata lagi, ia meninggalkan Clara

  • Dari Hutang Jadi Cinta   35

    “Rio?” suara Mama Amelia terdengar lemah dari ranjangnya, tapi nada bicara tetap tajam, penuh kendali seperti biasa.Rio masuk, ragu-ragu. “Ma… Aku datang.”Di sisi ranjang, mata Mama Amelia langsung beralih ke sosok di samping Rio. Senyum tipis muncul di wajahnya. “Clara. Kau kelihatan cantik seperti biasa.”Clara melangkah lebih dulu, menggenggam tangan Mama Amelia. “Tante, saya senang bisa lihat Tante lagi. Maaf saya datang tiba-tiba.”“Tidak apa-apa, Sayang. Justru Tante berterima kasih. Kalau bukan karena kamu, mungkin Rio nggak akan pernah muncul di sini.”Rio menghela napas. “Ma, aku memang ingin datang. Jangan salah paham.”Mama Amelia melirik Rio dengan dingin. “Setelah sekian lama? Setelah kau menikah diam-diam dengan perempuan yang bahkan tak pernah Mama kenal?”“Ma…” Rio memejamkan mata. “Itu keputusan pribadi. Aku nggak berniat menyakiti Mama.”Clara masih berdiri di sisi ranjang, wajahnya seolah bersahabat, tapi jelas penuh kemenangan. “Tante, saya juga kaget saat tahu R

  • Dari Hutang Jadi Cinta   34

    Keesokan harinya, Rio menelepon Clara. Suaranya datar, tanpa getar perasaan. Ia sadar, mempertontonkan emosi hanya akan membuatnya terlihat lemah di mata Clara."Clara, bisakah kau datang ke kantorku sekarang? Aku tunggu."Clara, tentu saja, menyambut permintaannya dengan nada manis yang menusuk. "Tentu saja, Rio. Ada apa? Apa kau merindukanku?""Jangan bodoh, Clara. Ini serius," balas Rio tanpa basa-basi.Satu jam kemudian, Clara memasuki ruang kerja Rio, mengenakan gaun merah menyala yang seolah berteriak, "Lihat aku, aku sangat memukau." Namun Rio mengabaikannya."Ada apa, Rio? Tumben sekali kau memintaku datang ke sini," Clara membuka percakapan dengan nada menggoda.Rio langsung to the point. "Cukup, Clara. Aku tahu apa yang kau lakukan. Menghubungi Mamaku, mengisi kepalanya dengan omong kosong tentang aku dan Anya. Hentikan."Clara mengangkat alis. "Menghubungi Mama Amelia? Aku hanya menjenguknya, Rio. Menemaninya. Apa itu salah? Kau sendiri bahkan tidak sempat menemuinya.""Itu

  • Dari Hutang Jadi Cinta   33

    Suasana hening menekan dari balik pintu kamar yang terkunci. Rio membatu di tengah ruang tamu, ponsel menempel erat di telapak tangannya. Setiap kata yang diucapkan Clara menggema dalam pikirannya, mengguncang perasaannya antara marah dan takut."Br*ngs*k!" Rio mengumpat, suaranya tercekat. Ia menekan nomor Clara dengan brutal."Halo, Rio? Ada masalah? Kuharap aku tidak mengganggu," suara Clara terdengar terlampau manis, menusuk telinga Rio dengan ironi."Hentikan sandiwara ini, Clara! Apa tujuanmu sebenarnya? Mengapa kau melakukan ini?" sergah Rio tanpa tedeng aling-aling.Tawa lirih meluncur dari bibir Clara. "Melakukan apa? Aku hanya ingin kau bahagia, Rio. Apakah itu dosa?""Berhenti sok jadi penyelamat! Aku nggak butuh kebahagiaan versi kamu! Fokus aja sama hidupmu sendiri dan jangan ganggu rumah tanggaku sama Anya!""Sayangnya, Rio, kau tahu aku benar. Anya tidak memahamimu. Kalian terperangkap di dua dunia yang berbeda. Aku… akulah yang mengerti dirimu, Rio. Dulu, dan selamanya

  • Dari Hutang Jadi Cinta   32

    Malam semakin larut. Suasana tegang yang sempat mencair di ruang apartemen kembali menyelimuti. Anya, setelah lama terdiam, akhirnya kembali membuka percakapan.“Rio,” panggil Anya pelan, suaranya mengandung kekhawatiran.Rio, yang sedari tadi melamun menatap layar televisi yang mati, menoleh. “Ya?”“Katamu Clara bilang ada orang yang nggak ingin kamu bahagia. Apa… apa itu aku?” tanya Anya, keraguan terpancar jelas dari matanya.Rio terkejut. “Tentu saja bukan kamu, Anya! Kenapa kamu berpikir begitu?”“Karena kamu menyembunyikan semuanya! Kamu bilang ini masa lalu yang rumit, tapi kamu nggak mau cerita apa-apa. Gimana aku nggak curiga?” Anya meninggikan suaranya, frustrasi.Rio berdiri dan mendekat, meraih tangan Anya. “Anya, dengar. Aku nggak bermaksud bikin kamu curiga. Justru karena aku sayang sama kamu, aku nggak mau kamu ikut campur urusan ini. Ini… ini bisa

  • Dari Hutang Jadi Cinta   31

    Suara detik jam di ruang tamu seakan berirama dengan kegelisahan yang mengisi ruang itu. Rio duduk terpaku, menatap kosong ke luar jendela apartemen yang menghadap kota. Anya masih di sana, di sisi sofa, dengan ekspresi campur aduk antara ingin tahu dan sabar menunggu.“Aku… harus bilang sesuatu, Anya,” suara Rio akhirnya pecah dalam keheningan.Anya menoleh, matanya penuh perhatian. “Apa itu, Rio? Kamu bisa bilang apa saja, kamu tahu itu.”Rio menghela napas panjang, tangannya sedikit gemetar saat meraih gelas air di meja. “Hari ini aku bertemu seseorang. Seseorang dari masa lalu yang penting bagiku.”Anya mengernyit, menunggu kata berikutnya.“Dia datang tanpa aku duga. Aku nggak bilang siapa dia, bukan karena aku nggak percaya kamu, tapi aku takut kamu salah paham,” Rio menunduk.“Kalau aku nggak tahu, aku pasti malah lebih penasaran, kan?” Anya berkata pelan tapi tegas. &

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status