Mobil hitam berhenti di depan lobi gedung tinggi, memantulkan cahaya kota. Anya keluar, menggenggam koper tua yang asing di tengah gemerlap ini. Ia berasal dari desa terpencil, jauh dari kenyataan yang keras. Gelar ekonominya? Tak lebih dari sekadar kertas.
Dunia yang kini ia pijak adalah milik Rio Pratama, CEO Pratama Land. Nama yang bergema di balik skandal dan kesepakatan gelap. Ia ada di sini bukan karena pilihan, tapi karena kesepakatan busuk yang dibuat Darman, ayah tirinya, yang korupsi lima ratus juta rupiah.
Di lobi marmer yang berkilau, seorang wanita paruh baya telah berdiri tegak menunggu. Namanya Marta, pelayan setia Rio. Raut wajahnya tanpa ekspresi seolah setiap geraknya telah dilatih untuk tidak menyampaikan apa pun selain tugas.
Mata Marta menyapu Anya dari ujung kepala hingga koper tuanya. "Anda Anya?" tanyanya dengan suara datar.
"Ya, saya Anya," jawab Anya, suaranya sedikit tercekat. Ia merasa seperti sedang dinilai, dan ia tahu ia gagal dalam penilaian itu.
"Ikuti saya," kata Marta singkat, lalu berbalik dan berjalan menuju lift. "Tuan Rio menunggu."
Lift naik tanpa suara, namun tekanan di dadanya makin nyata. Lantai demi lantai berlalu. Ia tak sedang menuju tempat tinggal, tapi sebuah jeruji mewah yang dibungkus kesepakatan gelap dan nama besar Rio Pratama.
Pintu apartemen terbuka perlahan. Ruangan itu luas, tapi tak ada kehangatan disana. Perabotan minimalis bergaya modern tampak seperti dipilih oleh katalog, bukan oleh hati. Seperti hotel mewah yang tak pernah berniat jadi rumah.
Marta melangkah tanpa bicara, lalu menunjuk satu pintu. “Ini kamar Anda,” katanya. Sebuah ruang kecil dengan kamar mandi pribadi. Seperti sisa ruang yang disisihkan, bukan disediakan.
Anya melirik sekilas ke dalam kamar yang terasa sempit dan dingin itu. "Baik," ucapnya pelan.
"Seragam Anda ada di lemari," katanya singkat. "Ganti sekarang. Tuan Rio ingin Anda di ruang kerjanya. Segera."
Di kamar kecil yang sunyi, Anya menatap seragam abu-abu, mengingat impian yang dulu ia punya. Menjadi analis keuangan kini terasa jauh, tergantikan oleh pekerjaan sebagai pelayan. Penghinaan itu menyakitkan, namun tekadnya semakin menguat. Ia ada di sini karena Darman, tapi ia bertahan untuk ibunya.
Setelah berganti pakaian, Anya mengikuti Marta lagi. Mereka berhenti di depan pintu kayu besar. Ruang kerja Rio. Jantung Anya berdebar. Di balik pintu itu, ada pria yang mengendalikan hidupnya.
Marta mengetuk dan membuka pintu. "Tuan, Nona Anya sudah datang," lapor Marta.
"Biarkan dia masuk," suara Rio terdengar dari dalam.
Anya melangkah masuk. Ruangan itu dipenuhi buku dan meja kerja besar. Di belakang meja, duduklah Rio Pratama. Tinggi, berwajah tegas, dan matanya... mata gelap yang tajam dan dingin. Tanpa emosi. Hanya sorot yang menilai, sinis. Aura kekuasaan dan ketidakpedulian menyelimutinya.
Rio menatap Anya tanpa bicara, seperti memeriksa barang. "Jadi... Anya," suaranya dalam, tenang, tapi penuh otoritas. "Kau di sini. Sesuai kesepakatanku dan Darman."
Dia berdiri, berjalan mendekat. "Darman berhutang padaku. Lima ratus juta." Nadanya datar, seperti sedang membahas laporan bisnis. "Dia bilang kau akan 'bekerja' untuk melunasinya. Atau setidaknya, sebagai jaminan."
Rio mengampiri tanpa suara dan berhenti hanya sejengkal dari Anya. Tatapan matanya dingin, penuh penilaian. “Cum laude dari jurusan ekonomi, ya?" katanya dengan senyum sinis. "Sayang sekali, kepintaranmu tak cukup untuk menghindar dari seragam pelayan ini."
Ejekannya halus namun menusuk, membuat Anya merasa darahnya mendidih. Tanpa menunggu respons, dia melanjutkan, nada bicaranya seperti palu vonis. “Kerjamu di sini sederhana. Melayani. Tak usah bertanya soal jadwal. Anggap waktumu sekarang milikku.”
Rio bersandar di kursinya dengan angkuh, namun pandangannya tetap terkunci pada Anya, "Jangan pernah keluar tanpa izinku. Jangan bicara pada siapapun. Dan yang terpenting..." Suaranya merendah, penuh peringatan. "Jangan pernah mencoba menipuku. Jangan pernah mengkhianatiku. Aku punya caraku sendiri menangani pengkhianat." Kata terakhir diucapkannya dengan penekanan dingin, penuh beban pribadi.
Tatapan Anya tidak goyah. Ia menahan semua ketakutan di balik mata yang dingin. Ia tak akan memberi Rio kepuasan melihatnya lemah. Darman yang menyeretnya ke sini, tapi dia yang akan menentukan bagaimana semuanya berakhir.
"Saya mengerti, Tuan Rio," ucapnya, suaranya tegas, tanpa gentar.
Rio mengangguk. "Bagus. Marta akan memberi detail tugasmu. Kau boleh pergi."
Anya keluar dari ruangan itu. Marta sudah menunggu. Pintu tinggi apartemen mewah ini adalah penjara barunya. Tapi di dalamnya, Anya bertekad menemukan kekuatan untuk bertahan, dan mungkin, kelak, kunci kebebasan.
Di ruang kerjanya, Rio menatap kosong ke luar jendela. Pikirannya pada tatapan mata Anya yang tak gentar. Gadis yang kini dalam genggamannya. Dan tak akan ada pengkhianatan yang luput dari hukumannya.
Marta memimpin Anya keluar dari ruang kerja Rio, wajahnya tetap datar, namun ada sesuatu dalam langkahnya yang sedikit lebih santai, seolah memberi ruang bagi Anya untuk bernapas. Ia membawa Anya ke area dapur terbuka yang luas dan modern. Peralatan stainless steel berkilauan dengan sempurna, seakan memperingatkan tentang standar tinggi yang harus dipenuhi.
"Ini dapur," kata Marta tanpa ekspresi. "Pastikan tempat ini selalu bersih. Tuan Rio tidak mentolerir kekacauan, sekecil apa pun."
Marta menjelaskan dengan cepat dan efisien, menunjukkan letak peralatan pembersih, bahan dapur, dan cara kerja alat-alat canggih tanpa banyak basa-basi. "Pembersih ini untuk stainless steel, ini untuk lantai marmer," ujarnya sambil menunjuk. "Mesin cuci piring ini otomatis, tapi pastikan piring-piring tersusun rapi di dalamnya."
Anya mengangguk. "Saya mengerti, Bu Marta." Anya mendengarkan dengan saksama, setiap kata dari Marta diserap dalam pikiran yang tajam. Meskipun terperangkap dalam situasi yang merendahkan, Anya tahu betul bagaimana caranya bertahan.
Marta menatap Anya sejenak sebelum melanjutkan dengan nada yang tak memberi ruang untuk pertanyaan. "Jadwalmu akan berubah-ubah, tergantung pada Tuan Rio," katanya. "Namun secara umum, pagi hari untuk membersihkan apartemen, menyiapkan sarapan bila diminta, dan membantu saya dengan pekerjaan rumah. Sore hari, persiapkan makan malam. Malam hari, pastikan semuanya rapi sebelum Tuan Rio tidur."
Setelah memberikan instruksi dengan jelas, Marta berhenti sejenak dan menatap Anya dengan tajam. "Kerja keras. Jangan buat masalah. Ikuti perintah. Itu satu-satunya cara kau bisa bertahan di sini," katanya, nada suaranya mengandung peringatan yang tak bisa diabaikan. Ada saran tersembunyi di balik kata-katanya, sesuatu yang harus diperhatikan jika Anya ingin tetap aman di sini.
Nada suara Marta mengandung peringatan yang tegas. Di sini, waktu Anya bukan lagi miliknya. Sebagai 'jaminan', semua waktu dan tenaganya kini dibayar dengan hutang lima ratus juta itu.
Pagi menjelang, aroma kopi buatan Martha menyebar lembut di dapur apartemen Rio. Anya berdiri membisu di sisi jendela, memeluk cangkir di dadanya, menatap mentari yang menyembul di balik gedung-gedung, sementara benaknya masih diliputi kabut pertanyaan yang tak kunjung reda.Pintu kamar terbuka pelan, memperlihatkan Rio yang baru bangun dengan rambut sedikit berantakan. Ia menatap Anya sejenak sebelum berjalan ke meja dapur, mengambil cangkir kopi hangat yang baru saja disiapkan Martha."Semalam bisa istirahat?" tanyanya pelan, lalu meniup pelan permukaan kopi sebelum menyeruputnya sedikit.Anya mengangguk singkat. “Lumayan... cuma sempat kebangun beberapa kali.”Rio menarik kursi dan duduk, menatap Anya lekat-lekat. “Kelihatannya kamu lagi menahan sesuatu. Ada yang mau kamu omongin?”Anya menunduk sebentar, lalu mengangguk. “Aku sudah memikirkannya matang-matang.”Rio tetap diam, memberi ruang bagi Anya untuk melanjutkan.“Aku tahu kamu bilang ini bukan karena tekanan. Tapi sejak Ibu
Anya berdiri di dapur apartemen dengan tangan gemetar, memandangi cangkir teh yang sudah dingin. Matanya sembab, rambutnya terurai tidak rapi, dan wajahnya masih menyimpan jejak tangis panjang malam sebelumnya. Suara langkah pelan terdengar dari arah ruang tengah.“Kamu nggak tidur sama sekali?” tanya Rio yang baru keluar dari kamar, mengenakan kaus abu-abu dan celana santai.Anya tidak menjawab. Ia hanya menggeleng pelan, masih terpaku pada meja dapur.Rio menarik kursi, duduk di seberangnya, lalu berkata, “Aku sudah telepon Kevin. Dia bantu urus semua kebutuhan pemakaman.”Anya menggigit bibir. “Makasih, Rio...”Suara Anya nyaris tak terdengar. Ia lalu mengusap matanya yang mulai berkaca lagi.“Kalau kamu mau ke rumah sakit lagi, aku bisa antar,” kata Rio, datar tapi tidak dingin.“Aku... aku cuma takut, Rio. Rasanya belum siap...” Anya menunduk. “Aku bahkan belum percaya kalau Ibu beneran pergi...”Rio diam beberapa saat, menatap Anya tanpa mengganggu. “Nggak ada orang yang benar-b
BAB 22Suara detak mesin di ruang ICU terdengar pelan tapi menusuk. Anya duduk di kursi plastik, matanya sembab karena kurang tidur. Tangannya tak lepas menggenggam tangan Bu Sari yang masih belum sadarkan diri."Kamu sudah makan?" tanya Rio tanpa menoleh.Anya menggeleng pelan. "Nggak lapar.""Tubuh kamu juga butuh dijaga, Anya. Ibu kamu butuh kamu kuat." Nada Rio tetap datar, tapi ada ketegasan yang menenangkan.Anya memejamkan mata sejenak, lalu berkata lirih, "Aku takut, Rio. Takut kehilangan Ibu...""Dia masih bertahan. Itu artinya dia belum menyerah," kata Rio pelan. Anya masih menunduk, bahunya gemetar menahan tangis. Rio tetap berdiri di tempatnya, tubuhnya kaku, namun matanya menyipit sedikit menatap pantulan bayangan Anya di jendela kaca.“Jangan takut duluan sebelum waktunya,” katanya akhirnya.Anya mengangkat kepala. “Gimana caranya nggak takut, Rio? Ibu udah kayak gini... aku nggak tahu harus ngapain kalau...”“Kalau apa?” potong Rio tajam. “Kalau dia pergi?”Anya terdia
Pagi itu, udara di rumah tua itu terasa lebih pengap dari biasanya. Anya duduk di ruang tamu dengan wajah lelah, memegang ponselnya. Ia menunggu Rio mengangkat telepon yang sudah ia hubungi beberapa kali.“Anya?” suara Rio akhirnya terdengar dari seberang, lembut tapi penuh perhatian.“Aku... aku ingin bicara tentang tempat tinggal. Aku nggak tahan di sini lagi, Rio. Aku dan Ibu harus pindah, jauh dari Darman.”Rio terdiam sesaat. “Kamu serius, Nya? Kenapa? Apa ada masalah?”Dengan nada lelah, Anya berkata di telepon, “Darman masih mau manfaatin keadaan Ibu supaya kamu terus yang urus. Aku nggak mau Ibu cuma jadi alat buat dia dapat keuntungan, Rio.”Rio mengerti kekhawatiran Anya. “Aku bisa siapkan apartemen dekat rumah sakit. Aku akan atur semuanya. Kamu dan Ibu bisa tinggal di sana dengan perawat.”“Aku takut kalau aku bilang gitu, Darman akan marah. Dia bisa paksa aku untu
Langit sore tampak mendung saat mobil hitam berhenti di depan rumah tua bercat pudar itu. Anya membuka pintu mobil perlahan, menatap bangunan yang tak pernah benar-benar ia rindukan. Aroma tanah basah dan kenangan pahit menyambutnya.Tanpa menunggu lama, Kevin turun dan membuka pintu mobil untuknya. “Silahkan, Nona,” katanya sopan. “Saya menunggu di luar. Anda bisa menghubungi Tuan Rio kapan saja kalau butuh sesuatu.”Anya hanya mengangguk, lalu menarik napas dalam sebelum melangkah ke dalam rumah. Begitu masuk, sosok Darman sudah menunggunya di ruang tamu. Senyumnya lebar, seperti seseorang yang baru saja memenangkan sesuatu.“Selamat datang kembali,” katanya penuh semangat. “Akhirnya kamu pulang juga.”Anya hanya menatapnya datar. “Aku di sini untuk Ibu. Bukan untukmu.”Tapi Darman tertawa kecil. “Tentu, tentu. Tapi apa pun alasannya, kamu tetap pulang. Dan itu sudah cukup.”
Mobil berhenti perlahan di halaman rumah sakit. Lampu-lampu neon memantul di kaca depan, menyorot wajah-wajah yang masih dibekap hening. Kevin segera turun dan membuka pintu belakang. Rio turun lebih dulu, lalu membantu Anya yang masih tampak linglung oleh isi kepalanya yang penuh.Darman turun terakhir. Ia menyesuaikan jaket lusuhnya, lalu menatap Anya dan Rio. “Ruangan Ibu kamu di lantai empat. Aku sudah koordinasi sama perawatnya. Mereka tahu kita akan datang.”Anya mengangguk pelan. Rio hanya melirik sekilas, lalu menggandeng tangan Anya ke arah pintu masuk. Mereka bertiga melangkah menuju lift, dan di sanalah Darman kembali membuka suara.“Dengar, Tuan Rio,” katanya, dengan nada yang lebih sopan namun tetap mengandung tekanan tersembunyi. “Saya tahu posisi saya tidak tepat untuk bernegosiasi dengan Anda. Tapi... saya cuma ingin Anya ada di sisi ibunya. Tidak lama, kok. Mungkin dalam beberapa minggu ke depan, sampai kondisinya s
Langkah Anya terdengar cepat saat ia mulai berjalan lebih dulu, meninggalkan Rio yang masih terdiam di tengah jalan setapak. Udara sejuk sore hari tak lagi menenangkan, justru terasa semakin membuat suasana menjadi janggal. Anya menunduk, wajahnya masih memerah, pikiran kalut bercampur antara malu, bingung, dan... sesuatu yang tak ingin ia akui."Anya, tunggu," Rio mengejarnya, tapi tidak dengan tergesa. Nada suaranya lebih tenang, lebih hati-hati.Anya menoleh sebentar, lalu kembali melangkah. "Kita... kita pulang saja. Sudah cukup jalan-jalannya."Rio mengangguk pelan, menyesuaikan langkahnya di samping Anya. Mereka berjalan dalam diam, hanya suara daun-daun yang tertiup angin menemani langkah mereka. Beberapa kali Rio melirik ke arah Anya, namun ia tak menemukan celah untuk bicara. Ia tahu, kalau dipaksa, semuanya akan lebih buruk.Namun sesampainya di lobi apartemen, langkah Rio terhenti. Dari kejauhan, ia melihat dua sosok berdiri menunggu. Kevin, de
Pagi itu, Anya duduk di meja makan, melirik Rio yang sedang sibuk dengan ponselnya. Tangannya masih memegang secangkir teh, tapi pikirannya jauh. Sejak pertemuan dengan Darman dan Sari, ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya, meskipun Rio seolah tak peduli dengan pembicaraan itu.“Rio,” panggil Anya pelan, suara serak.Rio menoleh sejenak, matanya sedikit terangkat. “Ada apa?”“…Bolehkah saya berjalan-jalan sebentar?” tanya Anya, menggigit bibir bawahnya. “Saya hanya ingin keluar, tidak ada maksud lain, hanya untuk mendapatkan udara segar.”Rio melirik jam tangannya sejenak, lalu menatap Anya. “Baik, tapi aku ikut. Aku perlu memastikan kamu nggak pergi kemana-mana tanpa sepengetahuanku.”Anya memberikan senyuman tipis. “Terima kasih, saya tidak akan lama.”Mereka keluar dari rumah, dan Anya mengikuti Rio yang berjalan lebih cepat. Ada rasa canggung di udara,
Anya duduk di kursi dekat jendela, mengenakan sweater abu-abu kebesaran. Rambutnya terikat longgar, wajahnya tampak lebih segar meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Pintu terbuka pelan. Rio masuk, di belakangnya Kevin membawa koper hitam berukuran sedang.“Letakkan di kamar Anya,” ucap Rio cepat, tanpa melihat Kevin.Kevin mengangguk. “Baik, Pak.”Anya berdiri perlahan, menatap koper itu dengan heran. “Tuan… Rio. Itu apa?”“Pakaian. Kevin aku suruh beli beberapa, kamu jelas butuh lebih dari dua potong,” jawab Rio datar.Anya mengerutkan kening. “Saya bisa cuci pakaian sendiri seperti biasa.”Rio meliriknya sebentar. “Aku tahu. Tapi bukan itu maksudku. Kamu perlu istirahat, bukan kerja tambahan.”Kevin kembali setelah meletakkan koper di kamar. “Ada lagi yang perlu saya bantu, Pak?”Rio menggeleng. “Tidak. Kamu bisa pergi.”