Share

3

Author: Pipipiii
last update Last Updated: 2025-04-09 16:08:31

Anya kembali ke kamarnya, piyama masih tergeletak di ranjang. Seragam abu-abu menegaskan identitas barunya, dan ia tak berpikir untuk berganti. Tubuhnya lelah, pikirannya lebih hancur. Panggilan Rio tengah malam hanya untuk air, disertai sindiran dan perintah. Ini bukan tentang kebutuhan, tapi kekuasaan. Rio ingin menghapus batas antara waktu kerja dan istirahat, memastikan Anya miliknya, dua puluh empat jam sehari.

Adegan itu terputar kembali di benaknya. Malam itu, di rumah sederhana mereka di desa, aroma tanah basah dan kayu bakar kontras dengan bau marmer dan disinfektan apartemen ini.

Darman duduk di ruang tamu, wajahnya pucat pasi. Ibu Sari, yang sedang sakit-sakitan, duduk di sampingnya dengan cemas.

"Anya," kata Darman, suaranya gemetar tapi matanya penuh kepanikan. "Bapak... Bapak ada masalah besar."

Anya, yang baru saja pulang menatapnya khawatir. "Masalah apa, Pak?"

"Uang. Bapak... Bapak memakai uang perusahaan. Lima ratus juta. Mereka tahu. Mereka akan melaporkan Bapak besok pagi kalau tidak ada jaminan."

Jantung Anya mencelos. "Lima ratus juta? Bagaimana bisa, Pak?"

"Jangan banyak tanya!" bentak Darman, nadanya langsung berubah galak. "Yang penting sekarang... Bapak sudah bicara dengan Rio Pratama. Dia... dia bersedia menerima jaminan agar tuntutan ini ditunda. Agar Bapak tidak dipenjara."

"Jaminan apa?" tanya Anya, firasat buruk menjalari tubuhnya. Darman menatapnya lurus, sorot matanya membuat Anya merinding. "Kau, Anya. Kau akan menjadi jaminannya. Kau akan bekerja untuknya sampai hutang ini lunas."

Anya terkesiap. "Bekerja? Bagaimana? Di mana?"

"Sebagai pelayan di apartemennya," kata Darman cepat. "Rio bilang dia butuh pelayan yang bisa dipercaya. Kau pintar, sopan... Kau bisa lakukan itu. Ini demi kita, Anya. Demi keluarga kita!"

"Pelayan?!" seru Anya tak percaya. "Tapi aku baru lulus kuliah! Aku bisa cari kerja lain! Kenapa harus seperti ini?"

"Tidak ada waktu!" teriak Darman, semakin panik. "Rio mau kau datang besok! Kalau tidak, dia akan membatalkan kesepakatan dan Bapak akan ditangkap!"

"Tapi aku tidak mau! Aku tidak bisa hidup di kota besar, jadi pelayan... Pak, cari cara lain!" Anya protes, air mata mulai menggenang.

Wajah Darman mengeras. Ia menatap Ibu Sari yang terbatuk-batuk. "Sari, bilang pada anakmu untuk menurut!"

Ibu Sari menatap Anya dengan mata berkaca-kaca, "Nduk... Nduk turuti saja Bapakmu... Demi Bapakmu... Jangan sampai terjadi apa-apa padanya..."

"Tapi, Bu..."

"Turuti!" teriak Darman, lalu meraih lengan Ibu Sari dengan kasar. "Atau mau Ibumu yang sakit-sakitan ini kutinggal sendirian kalau aku dipenjara?! Siapa yang akan merawatnya?! Siapa yang akan membayar biaya obatnya?!" Cengkeramannya di lengan Ibu Sari menguat, membuat Ibu Sari meringis kesakitan.

"Jangan, Pak! Jangan sakiti Ibu!" seru Anya, bangkit mendekat. "Baik! Baik! Aku setuju!”

Darman melepaskan Ibu Sari, terengah-engah. Wajahnya kembali memelas. "Terima kasih, Nak... Kau anak Bapak yang terbaik... Ini demi kita..."

Demi "kita"? Tidak, pikir Anya getir. Ini demi Darman. Selalu demi Darman.

Pikiran itu menyakitkan. Darman yang tak masuk penjara, tapi menjual kebebasan Anya. Rio tak perlu borgol untuk mengikatnya. Kini, ia bekerja tanpa upah, tanpa ponsel, tanpa hak keluar. Dinding sunyi kamar ini jadi saksi kehancurannya. Tapi ia tak menangis. Ia hanya duduk, diam, dan memutuskan bahwa meski dikurung, pikirannya tetap bebas. Untuk ibunya, ia akan bertahan.

Ketika semburat jingga mulai terlihat di langit kota, Anya mendengar suara dari dapur. Marta sudah bangun, itu tandanya untuk bersiap.

Anya merapikan seragamnya yang sedikit kusut, mencuci muka dengan air dingin untuk mengusir kantuk, dan keluar dari kamarnya. Apartemen masih sunyi, namun lampu di dapur sudah menyala terang. Marta sedang menyiapkan sesuatu di dapur.

"Pagi," sapa Marta datar saat Anya masuk.

"Pagi, Bu Marta," balas Anya, berusaha terdengar segar meskipun matanya terasa perih.

Tanpa menoleh, Marta menunjuk mesin kopi dengan gerakan kaku. "Tuan Rio ingin kopinya panas dan sempurna. Waktumu lima belas menit. Jangan terlambat."

Anya mengangguk. Kopi, tugas pertama hari itu. Tidak berat, tapi penanda dimulainya hari dan pengingat konstan tentang siapa yang berkuasa, harus diantar ke ruang kerja Rio.

Marta memberinya instruksi singkat cara menggunakan mesin kopi yang rumit itu. Anya mendengarkan dengan saksama, otaknya yang lelah berusaha memahami setiap tombol dan langkah. Dia tidak boleh membuat kesalahan. Apalagi ini pesanan pertama Rio di pagi hari.

Dengan hati-hati, Anya menyiapkan kopi sesuai instruksi. Aroma kopi yang kuat memenuhi udara. Tangannya sedikit gemetar saat memegang cangkir keramik yang elegan. Dia menuangkan kopi panas itu dengan perlahan, berusaha agar tidak tumpah.

Begitu kopi siap, Marta menatapnya. "Segera antar. Jangan sampai dingin."

Anya merasakan panas kopi di cangkirnya saat melangkah cepat namun hati-hati melewati lorong-lorong yang remang. Jantungnya berdebar saat mendekati ruang kerja Rio. Setiap pertemuan dengannya, meskipun singkat, selalu menegangkan.

Pintu ruang kerja Rio sudah sedikit terbuka, sama seperti tadi malam. Anya mengetuk pelan.

"Masuk," suara Rio terdengar dari dalam.

Anya mendorong pintu dan melangkah masuk. Ruangan terang oleh cahaya pagi, tapi hawa dingin semalam masih menggantung. Di balik meja, Rio duduk dengan tenang, berwibawa, dan terlihat segar meski baru saja mengganggu malam orang lain. Sementara Anya masih merasakan sisa kelelahan di tubuhnya. Rio hidup di dunia yang tak mengenal lelah.

Rio menoleh saat Anya masuk, matanya langsung tertuju pada cangkir kopi di tangannya. Tatapannya dingin, menilai. Bukan menilai kopinya, tapi Anya.

Anya berjalan mendekat, meletakkan cangkir kopi dengan hati-hati di meja di samping laptop Rio. Uap tipis mengepul dari kopi hitam pekat itu.

Rio tidak mengatakan apapun. Dia meraih cangkir itu, jemarinya yang panjang menggenggam keramik hangat. Dia menatap Anya sejenak, tatapannya kosong namun mengintimidasi. Tidak ada senyum, tidak ada sapaan pagi. Hanya pengakuan kehadiran.

Rio mengangkat cangkir dengan gerakan lambat dan menyesap kopinya, matanya tetap menatap Anya. Setelah menyesap kopi, Rio meletakkan cangkirnya tanpa melihat Anya.

"Bisa diminum," katanya datar, penilaiannya lebih pada kualitas kerja daripada pada Anya sendiri.

"Sekarang," kata Rio, pandangannya sudah fokus pada pekerjaan di layar, "Pergi bantu Marta. Kau punya banyak pekerjaan."

Anya mengangguk, menahan gelombang kemarahan dan kelelahan. "Baik, Tuan."

Setelah keluar dari ruang kerja Rio, Anya menarik napas dalam-dalam di lorong. Rio Pratama adalah kekejaman yang tenang dan misterius, tak perlu teriak atau mengancam. Keberadaannya, tatapannya, dan perintah-perintah sederhananya cukup untuk merampas harga diri Anya sedikit demi sedikit.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dari Hutang Jadi Cinta   23

    Anya berdiri di dapur apartemen dengan tangan gemetar, memandangi cangkir teh yang sudah dingin. Matanya sembab, rambutnya terurai tidak rapi, dan wajahnya masih menyimpan jejak tangis panjang malam sebelumnya. Suara langkah pelan terdengar dari arah ruang tengah.“Kamu nggak tidur sama sekali?” tanya Rio yang baru keluar dari kamar, mengenakan kaus abu-abu dan celana santai.Anya tidak menjawab. Ia hanya menggeleng pelan, masih terpaku pada meja dapur.Rio menarik kursi, duduk di seberangnya, lalu berkata, “Aku sudah telepon Kevin. Dia bantu urus semua kebutuhan pemakaman.”Anya menggigit bibir. “Makasih, Rio...”Suara Anya nyaris tak terdengar. Ia lalu mengusap matanya yang mulai berkaca lagi.“Kalau kamu mau ke rumah sakit lagi, aku bisa antar,” kata Rio, datar tapi tidak dingin.“Aku... aku cuma takut, Rio. Rasanya belum siap...” Anya menunduk. “Aku bahkan belum percaya kalau Ibu beneran pergi...”Rio diam beberapa saat, menatap Anya tanpa mengganggu. “Nggak ada orang yang benar-b

  • Dari Hutang Jadi Cinta   22

    BAB 22Suara detak mesin di ruang ICU terdengar pelan tapi menusuk. Anya duduk di kursi plastik, matanya sembab karena kurang tidur. Tangannya tak lepas menggenggam tangan Bu Sari yang masih belum sadarkan diri."Kamu sudah makan?" tanya Rio tanpa menoleh.Anya menggeleng pelan. "Nggak lapar.""Tubuh kamu juga butuh dijaga, Anya. Ibu kamu butuh kamu kuat." Nada Rio tetap datar, tapi ada ketegasan yang menenangkan.Anya memejamkan mata sejenak, lalu berkata lirih, "Aku takut, Rio. Takut kehilangan Ibu...""Dia masih bertahan. Itu artinya dia belum menyerah," kata Rio pelan. Anya masih menunduk, bahunya gemetar menahan tangis. Rio tetap berdiri di tempatnya, tubuhnya kaku, namun matanya menyipit sedikit menatap pantulan bayangan Anya di jendela kaca.“Jangan takut duluan sebelum waktunya,” katanya akhirnya.Anya mengangkat kepala. “Gimana caranya nggak takut, Rio? Ibu udah kayak gini... aku nggak tahu harus ngapain kalau...”“Kalau apa?” potong Rio tajam. “Kalau dia pergi?”Anya terdia

  • Dari Hutang Jadi Cinta   21

    Pagi itu, udara di rumah tua itu terasa lebih pengap dari biasanya. Anya duduk di ruang tamu dengan wajah lelah, memegang ponselnya. Ia menunggu Rio mengangkat telepon yang sudah ia hubungi beberapa kali.“Anya?” suara Rio akhirnya terdengar dari seberang, lembut tapi penuh perhatian.“Aku... aku ingin bicara tentang tempat tinggal. Aku nggak tahan di sini lagi, Rio. Aku dan Ibu harus pindah, jauh dari Darman.”Rio terdiam sesaat. “Kamu serius, Nya? Kenapa? Apa ada masalah?”Dengan nada lelah, Anya berkata di telepon, “Darman masih mau manfaatin keadaan Ibu supaya kamu terus yang urus. Aku nggak mau Ibu cuma jadi alat buat dia dapat keuntungan, Rio.”Rio mengerti kekhawatiran Anya. “Aku bisa siapkan apartemen dekat rumah sakit. Aku akan atur semuanya. Kamu dan Ibu bisa tinggal di sana dengan perawat.”“Aku takut kalau aku bilang gitu, Darman akan marah. Dia bisa paksa aku untu

  • Dari Hutang Jadi Cinta   20

    Langit sore tampak mendung saat mobil hitam berhenti di depan rumah tua bercat pudar itu. Anya membuka pintu mobil perlahan, menatap bangunan yang tak pernah benar-benar ia rindukan. Aroma tanah basah dan kenangan pahit menyambutnya.Tanpa menunggu lama, Kevin turun dan membuka pintu mobil untuknya. “Silahkan, Nona,” katanya sopan. “Saya menunggu di luar. Anda bisa menghubungi Tuan Rio kapan saja kalau butuh sesuatu.”Anya hanya mengangguk, lalu menarik napas dalam sebelum melangkah ke dalam rumah. Begitu masuk, sosok Darman sudah menunggunya di ruang tamu. Senyumnya lebar, seperti seseorang yang baru saja memenangkan sesuatu.“Selamat datang kembali,” katanya penuh semangat. “Akhirnya kamu pulang juga.”Anya hanya menatapnya datar. “Aku di sini untuk Ibu. Bukan untukmu.”Tapi Darman tertawa kecil. “Tentu, tentu. Tapi apa pun alasannya, kamu tetap pulang. Dan itu sudah cukup.”

  • Dari Hutang Jadi Cinta   19

    Mobil berhenti perlahan di halaman rumah sakit. Lampu-lampu neon memantul di kaca depan, menyorot wajah-wajah yang masih dibekap hening. Kevin segera turun dan membuka pintu belakang. Rio turun lebih dulu, lalu membantu Anya yang masih tampak linglung oleh isi kepalanya yang penuh.Darman turun terakhir. Ia menyesuaikan jaket lusuhnya, lalu menatap Anya dan Rio. “Ruangan Ibu kamu di lantai empat. Aku sudah koordinasi sama perawatnya. Mereka tahu kita akan datang.”Anya mengangguk pelan. Rio hanya melirik sekilas, lalu menggandeng tangan Anya ke arah pintu masuk. Mereka bertiga melangkah menuju lift, dan di sanalah Darman kembali membuka suara.“Dengar, Tuan Rio,” katanya, dengan nada yang lebih sopan namun tetap mengandung tekanan tersembunyi. “Saya tahu posisi saya tidak tepat untuk bernegosiasi dengan Anda. Tapi... saya cuma ingin Anya ada di sisi ibunya. Tidak lama, kok. Mungkin dalam beberapa minggu ke depan, sampai kondisinya s

  • Dari Hutang Jadi Cinta   18

    Langkah Anya terdengar cepat saat ia mulai berjalan lebih dulu, meninggalkan Rio yang masih terdiam di tengah jalan setapak. Udara sejuk sore hari tak lagi menenangkan, justru terasa semakin membuat suasana menjadi janggal. Anya menunduk, wajahnya masih memerah, pikiran kalut bercampur antara malu, bingung, dan... sesuatu yang tak ingin ia akui."Anya, tunggu," Rio mengejarnya, tapi tidak dengan tergesa. Nada suaranya lebih tenang, lebih hati-hati.Anya menoleh sebentar, lalu kembali melangkah. "Kita... kita pulang saja. Sudah cukup jalan-jalannya."Rio mengangguk pelan, menyesuaikan langkahnya di samping Anya. Mereka berjalan dalam diam, hanya suara daun-daun yang tertiup angin menemani langkah mereka. Beberapa kali Rio melirik ke arah Anya, namun ia tak menemukan celah untuk bicara. Ia tahu, kalau dipaksa, semuanya akan lebih buruk.Namun sesampainya di lobi apartemen, langkah Rio terhenti. Dari kejauhan, ia melihat dua sosok berdiri menunggu. Kevin, de

  • Dari Hutang Jadi Cinta   17

    Pagi itu, Anya duduk di meja makan, melirik Rio yang sedang sibuk dengan ponselnya. Tangannya masih memegang secangkir teh, tapi pikirannya jauh. Sejak pertemuan dengan Darman dan Sari, ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya, meskipun Rio seolah tak peduli dengan pembicaraan itu.“Rio,” panggil Anya pelan, suara serak.Rio menoleh sejenak, matanya sedikit terangkat. “Ada apa?”“…Bolehkah saya berjalan-jalan sebentar?” tanya Anya, menggigit bibir bawahnya. “Saya hanya ingin keluar, tidak ada maksud lain, hanya untuk mendapatkan udara segar.”Rio melirik jam tangannya sejenak, lalu menatap Anya. “Baik, tapi aku ikut. Aku perlu memastikan kamu nggak pergi kemana-mana tanpa sepengetahuanku.”Anya memberikan senyuman tipis. “Terima kasih, saya tidak akan lama.”Mereka keluar dari rumah, dan Anya mengikuti Rio yang berjalan lebih cepat. Ada rasa canggung di udara,

  • Dari Hutang Jadi Cinta   16

    Anya duduk di kursi dekat jendela, mengenakan sweater abu-abu kebesaran. Rambutnya terikat longgar, wajahnya tampak lebih segar meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Pintu terbuka pelan. Rio masuk, di belakangnya Kevin membawa koper hitam berukuran sedang.“Letakkan di kamar Anya,” ucap Rio cepat, tanpa melihat Kevin.Kevin mengangguk. “Baik, Pak.”Anya berdiri perlahan, menatap koper itu dengan heran. “Tuan… Rio. Itu apa?”“Pakaian. Kevin aku suruh beli beberapa, kamu jelas butuh lebih dari dua potong,” jawab Rio datar.Anya mengerutkan kening. “Saya bisa cuci pakaian sendiri seperti biasa.”Rio meliriknya sebentar. “Aku tahu. Tapi bukan itu maksudku. Kamu perlu istirahat, bukan kerja tambahan.”Kevin kembali setelah meletakkan koper di kamar. “Ada lagi yang perlu saya bantu, Pak?”Rio menggeleng. “Tidak. Kamu bisa pergi.”

  • Dari Hutang Jadi Cinta   15

    Anya memandangi kerlip lampu kota dari balik jendela besar kamarnya. Malam baru saja turun, dan jalanan di bawah sana tampak seperti aliran sungai cahaya yang tak henti mengalir. Ia masih berselimut tipis di sofa kecil, memeluk lututnya sambil mengingat kembali kejadian beberapa hari terakhir. Semuanya terasa asing, sekaligus hangat.ebuah ketukan halus terdengar, cukup untuk membuat Anya langsung bangkit.“Silahkan masuk,” ucap Anya, cepat-cepat membenahi rambutnya.Rio muncul, masih mengenakan kemeja hitam dan celana abu-abu. Lengan kemejanya digulung sampai siku. Wajahnya datar seperti biasa.“Kamu sudah makan malam?” tanyanya tanpa basa-basi.Anya menggeleng pelan. "Belum, Tuan. Saya memang berniat turun sebentar lagi."Rio hanya mengangguk, lalu menoleh sedikit ke luar jendela. "Tunggu sini. Biar Marta bawa kemari.""Tidak perlu repot, Tuan. Saya bisa ke dapur sendiri."Rio mendesah pelan, lalu menatap Anya sebentar. "Aku nggak tanya kamu bisa atau nggak. Aku cuma bilang tunggu d

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status