Anya kembali ke kamarnya, piyama masih tergeletak di ranjang. Seragam abu-abu menegaskan identitas barunya, dan ia tak berpikir untuk berganti. Tubuhnya lelah, pikirannya lebih hancur. Panggilan Rio tengah malam hanya untuk air, disertai sindiran dan perintah. Ini bukan tentang kebutuhan, tapi kekuasaan. Rio ingin menghapus batas antara waktu kerja dan istirahat, memastikan Anya miliknya, dua puluh empat jam sehari.
Adegan itu terputar kembali di benaknya. Malam itu, di rumah sederhana mereka di desa, aroma tanah basah dan kayu bakar kontras dengan bau marmer dan disinfektan apartemen ini.
Darman duduk di ruang tamu, wajahnya pucat pasi. Ibu Sari, yang sedang sakit-sakitan, duduk di sampingnya dengan cemas.
"Anya," kata Darman, suaranya gemetar tapi matanya penuh kepanikan. "Bapak... Bapak ada masalah besar."
Anya, yang baru saja pulang menatapnya khawatir. "Masalah apa, Pak?"
"Uang. Bapak... Bapak memakai uang perusahaan. Lima ratus juta. Mereka tahu. Mereka akan melaporkan Bapak besok pagi kalau tidak ada jaminan."
Jantung Anya mencelos. "Lima ratus juta? Bagaimana bisa, Pak?"
"Jangan banyak tanya!" bentak Darman, nadanya langsung berubah galak. "Yang penting sekarang... Bapak sudah bicara dengan Rio Pratama. Dia... dia bersedia menerima jaminan agar tuntutan ini ditunda. Agar Bapak tidak dipenjara."
"Jaminan apa?" tanya Anya, firasat buruk menjalari tubuhnya. Darman menatapnya lurus, sorot matanya membuat Anya merinding. "Kau, Anya. Kau akan menjadi jaminannya. Kau akan bekerja untuknya sampai hutang ini lunas."
Anya terkesiap. "Bekerja? Bagaimana? Di mana?"
"Sebagai pelayan di apartemennya," kata Darman cepat. "Rio bilang dia butuh pelayan yang bisa dipercaya. Kau pintar, sopan... Kau bisa lakukan itu. Ini demi kita, Anya. Demi keluarga kita!"
"Pelayan?!" seru Anya tak percaya. "Tapi aku baru lulus kuliah! Aku bisa cari kerja lain! Kenapa harus seperti ini?"
"Tidak ada waktu!" teriak Darman, semakin panik. "Rio mau kau datang besok! Kalau tidak, dia akan membatalkan kesepakatan dan Bapak akan ditangkap!"
"Tapi aku tidak mau! Aku tidak bisa hidup di kota besar, jadi pelayan... Pak, cari cara lain!" Anya protes, air mata mulai menggenang.
Wajah Darman mengeras. Ia menatap Ibu Sari yang terbatuk-batuk. "Sari, bilang pada anakmu untuk menurut!"
Ibu Sari menatap Anya dengan mata berkaca-kaca, "Nduk... Nduk turuti saja Bapakmu... Demi Bapakmu... Jangan sampai terjadi apa-apa padanya..."
"Tapi, Bu..."
"Turuti!" teriak Darman, lalu meraih lengan Ibu Sari dengan kasar. "Atau mau Ibumu yang sakit-sakitan ini kutinggal sendirian kalau aku dipenjara?! Siapa yang akan merawatnya?! Siapa yang akan membayar biaya obatnya?!" Cengkeramannya di lengan Ibu Sari menguat, membuat Ibu Sari meringis kesakitan.
"Jangan, Pak! Jangan sakiti Ibu!" seru Anya, bangkit mendekat. "Baik! Baik! Aku setuju!”
Darman melepaskan Ibu Sari, terengah-engah. Wajahnya kembali memelas. "Terima kasih, Nak... Kau anak Bapak yang terbaik... Ini demi kita..."
Demi "kita"? Tidak, pikir Anya getir. Ini demi Darman. Selalu demi Darman.
Pikiran itu menyakitkan. Darman yang tak masuk penjara, tapi menjual kebebasan Anya. Rio tak perlu borgol untuk mengikatnya. Kini, ia bekerja tanpa upah, tanpa ponsel, tanpa hak keluar. Dinding sunyi kamar ini jadi saksi kehancurannya. Tapi ia tak menangis. Ia hanya duduk, diam, dan memutuskan bahwa meski dikurung, pikirannya tetap bebas. Untuk ibunya, ia akan bertahan.
Ketika semburat jingga mulai terlihat di langit kota, Anya mendengar suara dari dapur. Marta sudah bangun, itu tandanya untuk bersiap.
Anya merapikan seragamnya yang sedikit kusut, mencuci muka dengan air dingin untuk mengusir kantuk, dan keluar dari kamarnya. Apartemen masih sunyi, namun lampu di dapur sudah menyala terang. Marta sedang menyiapkan sesuatu di dapur.
"Pagi," sapa Marta datar saat Anya masuk.
"Pagi, Bu Marta," balas Anya, berusaha terdengar segar meskipun matanya terasa perih.
Tanpa menoleh, Marta menunjuk mesin kopi dengan gerakan kaku. "Tuan Rio ingin kopinya panas dan sempurna. Waktumu lima belas menit. Jangan terlambat."
Anya mengangguk. Kopi, tugas pertama hari itu. Tidak berat, tapi penanda dimulainya hari dan pengingat konstan tentang siapa yang berkuasa, harus diantar ke ruang kerja Rio.
Marta memberinya instruksi singkat cara menggunakan mesin kopi yang rumit itu. Anya mendengarkan dengan saksama, otaknya yang lelah berusaha memahami setiap tombol dan langkah. Dia tidak boleh membuat kesalahan. Apalagi ini pesanan pertama Rio di pagi hari.
Dengan hati-hati, Anya menyiapkan kopi sesuai instruksi. Aroma kopi yang kuat memenuhi udara. Tangannya sedikit gemetar saat memegang cangkir keramik yang elegan. Dia menuangkan kopi panas itu dengan perlahan, berusaha agar tidak tumpah.
Begitu kopi siap, Marta menatapnya. "Segera antar. Jangan sampai dingin."
Anya merasakan panas kopi di cangkirnya saat melangkah cepat namun hati-hati melewati lorong-lorong yang remang. Jantungnya berdebar saat mendekati ruang kerja Rio. Setiap pertemuan dengannya, meskipun singkat, selalu menegangkan.
Pintu ruang kerja Rio sudah sedikit terbuka, sama seperti tadi malam. Anya mengetuk pelan.
"Masuk," suara Rio terdengar dari dalam.
Anya mendorong pintu dan melangkah masuk. Ruangan terang oleh cahaya pagi, tapi hawa dingin semalam masih menggantung. Di balik meja, Rio duduk dengan tenang, berwibawa, dan terlihat segar meski baru saja mengganggu malam orang lain. Sementara Anya masih merasakan sisa kelelahan di tubuhnya. Rio hidup di dunia yang tak mengenal lelah.
Rio menoleh saat Anya masuk, matanya langsung tertuju pada cangkir kopi di tangannya. Tatapannya dingin, menilai. Bukan menilai kopinya, tapi Anya.
Anya berjalan mendekat, meletakkan cangkir kopi dengan hati-hati di meja di samping laptop Rio. Uap tipis mengepul dari kopi hitam pekat itu.
Rio tidak mengatakan apapun. Dia meraih cangkir itu, jemarinya yang panjang menggenggam keramik hangat. Dia menatap Anya sejenak, tatapannya kosong namun mengintimidasi. Tidak ada senyum, tidak ada sapaan pagi. Hanya pengakuan kehadiran.
Rio mengangkat cangkir dengan gerakan lambat dan menyesap kopinya, matanya tetap menatap Anya. Setelah menyesap kopi, Rio meletakkan cangkirnya tanpa melihat Anya.
"Bisa diminum," katanya datar, penilaiannya lebih pada kualitas kerja daripada pada Anya sendiri.
"Sekarang," kata Rio, pandangannya sudah fokus pada pekerjaan di layar, "Pergi bantu Marta. Kau punya banyak pekerjaan."
Anya mengangguk, menahan gelombang kemarahan dan kelelahan. "Baik, Tuan."
Setelah keluar dari ruang kerja Rio, Anya menarik napas dalam-dalam di lorong. Rio Pratama adalah kekejaman yang tenang dan misterius, tak perlu teriak atau mengancam. Keberadaannya, tatapannya, dan perintah-perintah sederhananya cukup untuk merampas harga diri Anya sedikit demi sedikit.
Di lorong rumah sakit, Rio berjalan cepat. Clara mengejarnya, tumit tingginya berdetak di lantai marmer.“Rio, jangan seperti ini.”Rio menoleh tajam. “Aku sudah cukup sabar. Kau pikir kau bisa menang karena Mama membelamu? Itu bukan kemenangan, Clara. Itu kebohongan.”“Aku tidak membohongi siapa pun,” jawab Clara santai. “Aku hanya membuka mata Mamamu tentang siapa perempuan itu.”“Kau tidak tahu apa-apa tentang Anya.”Clara mendekat. “Tapi aku tahu segalanya tentang kamu, Rio. Itu lebih penting.”“Dan itulah masalahnya. Kau tahu terlalu banyak tentang aku. Tapi nol tentang bagaimana caranya mencintai tanpa menguasai.”Clara menatap tajam. “Kalau aku tak mencintaimu, aku tidak akan peduli.”Rio diam. Matanya sayu. “Kau hanya peduli pada rasa memiliki, Clara. Bukan cinta.”Tanpa berkata lagi, ia meninggalkan Clara
“Rio?” suara Mama Amelia terdengar lemah dari ranjangnya, tapi nada bicara tetap tajam, penuh kendali seperti biasa.Rio masuk, ragu-ragu. “Ma… Aku datang.”Di sisi ranjang, mata Mama Amelia langsung beralih ke sosok di samping Rio. Senyum tipis muncul di wajahnya. “Clara. Kau kelihatan cantik seperti biasa.”Clara melangkah lebih dulu, menggenggam tangan Mama Amelia. “Tante, saya senang bisa lihat Tante lagi. Maaf saya datang tiba-tiba.”“Tidak apa-apa, Sayang. Justru Tante berterima kasih. Kalau bukan karena kamu, mungkin Rio nggak akan pernah muncul di sini.”Rio menghela napas. “Ma, aku memang ingin datang. Jangan salah paham.”Mama Amelia melirik Rio dengan dingin. “Setelah sekian lama? Setelah kau menikah diam-diam dengan perempuan yang bahkan tak pernah Mama kenal?”“Ma…” Rio memejamkan mata. “Itu keputusan pribadi. Aku nggak berniat menyakiti Mama.”Clara masih berdiri di sisi ranjang, wajahnya seolah bersahabat, tapi jelas penuh kemenangan. “Tante, saya juga kaget saat tahu R
Keesokan harinya, Rio menelepon Clara. Suaranya datar, tanpa getar perasaan. Ia sadar, mempertontonkan emosi hanya akan membuatnya terlihat lemah di mata Clara."Clara, bisakah kau datang ke kantorku sekarang? Aku tunggu."Clara, tentu saja, menyambut permintaannya dengan nada manis yang menusuk. "Tentu saja, Rio. Ada apa? Apa kau merindukanku?""Jangan bodoh, Clara. Ini serius," balas Rio tanpa basa-basi.Satu jam kemudian, Clara memasuki ruang kerja Rio, mengenakan gaun merah menyala yang seolah berteriak, "Lihat aku, aku sangat memukau." Namun Rio mengabaikannya."Ada apa, Rio? Tumben sekali kau memintaku datang ke sini," Clara membuka percakapan dengan nada menggoda.Rio langsung to the point. "Cukup, Clara. Aku tahu apa yang kau lakukan. Menghubungi Mamaku, mengisi kepalanya dengan omong kosong tentang aku dan Anya. Hentikan."Clara mengangkat alis. "Menghubungi Mama Amelia? Aku hanya menjenguknya, Rio. Menemaninya. Apa itu salah? Kau sendiri bahkan tidak sempat menemuinya.""Itu
Suasana hening menekan dari balik pintu kamar yang terkunci. Rio membatu di tengah ruang tamu, ponsel menempel erat di telapak tangannya. Setiap kata yang diucapkan Clara menggema dalam pikirannya, mengguncang perasaannya antara marah dan takut."Br*ngs*k!" Rio mengumpat, suaranya tercekat. Ia menekan nomor Clara dengan brutal."Halo, Rio? Ada masalah? Kuharap aku tidak mengganggu," suara Clara terdengar terlampau manis, menusuk telinga Rio dengan ironi."Hentikan sandiwara ini, Clara! Apa tujuanmu sebenarnya? Mengapa kau melakukan ini?" sergah Rio tanpa tedeng aling-aling.Tawa lirih meluncur dari bibir Clara. "Melakukan apa? Aku hanya ingin kau bahagia, Rio. Apakah itu dosa?""Berhenti sok jadi penyelamat! Aku nggak butuh kebahagiaan versi kamu! Fokus aja sama hidupmu sendiri dan jangan ganggu rumah tanggaku sama Anya!""Sayangnya, Rio, kau tahu aku benar. Anya tidak memahamimu. Kalian terperangkap di dua dunia yang berbeda. Aku… akulah yang mengerti dirimu, Rio. Dulu, dan selamanya
Malam semakin larut. Suasana tegang yang sempat mencair di ruang apartemen kembali menyelimuti. Anya, setelah lama terdiam, akhirnya kembali membuka percakapan.“Rio,” panggil Anya pelan, suaranya mengandung kekhawatiran.Rio, yang sedari tadi melamun menatap layar televisi yang mati, menoleh. “Ya?”“Katamu Clara bilang ada orang yang nggak ingin kamu bahagia. Apa… apa itu aku?” tanya Anya, keraguan terpancar jelas dari matanya.Rio terkejut. “Tentu saja bukan kamu, Anya! Kenapa kamu berpikir begitu?”“Karena kamu menyembunyikan semuanya! Kamu bilang ini masa lalu yang rumit, tapi kamu nggak mau cerita apa-apa. Gimana aku nggak curiga?” Anya meninggikan suaranya, frustrasi.Rio berdiri dan mendekat, meraih tangan Anya. “Anya, dengar. Aku nggak bermaksud bikin kamu curiga. Justru karena aku sayang sama kamu, aku nggak mau kamu ikut campur urusan ini. Ini… ini bisa
Suara detik jam di ruang tamu seakan berirama dengan kegelisahan yang mengisi ruang itu. Rio duduk terpaku, menatap kosong ke luar jendela apartemen yang menghadap kota. Anya masih di sana, di sisi sofa, dengan ekspresi campur aduk antara ingin tahu dan sabar menunggu.“Aku… harus bilang sesuatu, Anya,” suara Rio akhirnya pecah dalam keheningan.Anya menoleh, matanya penuh perhatian. “Apa itu, Rio? Kamu bisa bilang apa saja, kamu tahu itu.”Rio menghela napas panjang, tangannya sedikit gemetar saat meraih gelas air di meja. “Hari ini aku bertemu seseorang. Seseorang dari masa lalu yang penting bagiku.”Anya mengernyit, menunggu kata berikutnya.“Dia datang tanpa aku duga. Aku nggak bilang siapa dia, bukan karena aku nggak percaya kamu, tapi aku takut kamu salah paham,” Rio menunduk.“Kalau aku nggak tahu, aku pasti malah lebih penasaran, kan?” Anya berkata pelan tapi tegas. &