Share

Kecerobohanku

"Halo ...." Aku kembali menyapa seseorang di seberang sana. Namun, dia tetap tak bersuara.

Aneh. Menghubungi, tapi ketika direspon hanya diam. Aku jadi curiga, apa jangan-jangan itu adalah Azka?

"Siapa, Nduk?" Ibu sepertinya penasaran sekali. Beliau sampai kembali duduk setelah sebelumnya berbaring.

"Nggak tau, Bu. Nggak ada suaranya. Udahlah, biarin aja. Ntar kalo memang ada perlu, pasti nelpon lagi," kataku sambil membantu Ibu merebahkan diri di ranjang.

"Nduk, kamu juga istirahat, ya. Jangan terlalu memikirkan kakakmu. Ibu yakin, dia pasti akan mengembalikan uang tabungan ibu secepatnya," tutur Ibu ketika aku menyelimutinya.

Aku hanya mengangguk pelan meskipun hati ini tidak keruan. Ibu sangat menyayangi Kak Dinda, sudah pasti beliau hanya berpikiran positif pada anak tertuanya itu. Namun, aku yakin jika di hati terdalam Ibu menyimpan kepedihan mendalam.

***

"Pulang belanja, Sha? Biasanya Dinda yang ke pasar, sekarang kamu, ya?" Bude Welas, tetanggaku bertanya demikian saat aku melintas di depan rumahnya.

"Iya, Bude. Kak Dinda lagi nggak ada, jadi aku yang belanja," jawabku apa adanya.

"Oh, biasa itu. Kalo udah nikah, ya pasti ikut suami. Ayo nyusul, Sha. Kamu, kan udah pantes berumah tangga. Jangan kebanyakan milih, nanti malah susah dapet jodoh, lho."

Aku bergeming menanggapi ucapan Bude Welas. Dia kenapa perhatian sekali, ya padaku? Peduli sekali dengan hidup seorang Ayesha Bestari. Padahal, aku dan Ibu tidak pernah ikut campur urusan dia.

"Heh, kok bengong? Saya itu ngajak kamu bicara, lho." Bude Welas kesal karena aku hanya diam.

"Maaf, Bude. Saya buru-buru, lupa kalo ibu sendirian. Assalamualaikum."

Aku bergegas pergi. Entah kenapa, aku merasa sial bertemu Bude Welas. Sejak dulu aku memang risih jika ada tetangga yang nyinyir. Aku tahu sudah layak menikah, tapi kenapa mesti terburu-buru dan semua orang mencemaskanku? Memangnya salah jika aku belum menikah? Bukankah jodoh akan datang jika sudah waktunya?

***

"Azka ... wajahmu kenapa? Kok, memar?" Ibu bertanya dengan nada cemas.

Azka dan Kak Dinda baru saja pulang. Mereka berdua Ibu sambut dengan hangat di depan pintu. Sementara aku, hanya duduk di ruang tamu. Tidak perlu juga aku ramah pada mereka. Toh, hanya akan membuat Azka besar kepala.

"Ini gara-gara ditampar Ayesha waktu itu, Bu. Sampe sekarang memarnya gak ilang." Kak Dinda menjawab dengan nada emosi.

Seketika aku menoleh ke arah Azka dan Kak Dinda. "Masa, sih cuma ditampar wajah Mas Azka masih memar sampai sekarang? Keknya dia aja yang berlebihan," kataku asal bicara.

Kak Dinda langsung menatapku tajam. "Kamu buta? Lihat wajah suamiku! Bukannya minta maaf malah songong!"

"Kalo aku lihat, emangnya drama kalian usai?" Aku sengaja membuat Kak Dinda semakin marah. Hahaha ... jiwa jahatku timbul.

"Maksudmu apa?!"

"Sudah-sudah. Gak baik ribut-ribut." Ibu sepertinya tak mau ada pertikaian di antara putrinya. Orang yang melahirkanku itu langsung menengahi perdebatan sengit yang terjadi.

Aku mencoba bersikap tenang dan memilih tak melanjutkan perdebatan. Semua demi Ibu. Jika menuruti hati, sudah aku gelontorkan kata-kata racun agar Kak Dinda sadar diri.

Tanpa sengaja, tatapanku bertemu dengan Azka. Sebenarnya bukan tanpa sengaja. Ya, jujur, hati kecil ini mencemaskan dia. Entahlah, mungkin aku memang payah. Bagaimanapun dia seperti itu karena aku. Meskipun sepenuhnya bukan salahku.

Azka menatapku tanpa kedip. Dapat aku baca, cinta untukku masih begitu besar tergambar di matanya. Namun, saat ini keadaannya berbeda dan sakit hati karenanya tidak mungkin bisa terlupa begitu saja.

Aku tidak boleh jatuh cinta lagi pada Azka. Dia hanya masa lalu yang pernah merayu, tapi lupa caranya menjaga. Kini, aku tak boleh tertipu seperti dulu. Terlebih kini, dia adalah suami kakakku.

"Sha! Kamu jangan lepas tangan, dong! Ini, kan karena perbuatan kamu." Kak Dinda kembali berkata.

"Dinda, tahan emosi kamu. Adikmu, kan ndak sengaja. Ndak mungkin dia mau nampar Azka." Ibu kembali mencoba menengahi. Namun, Kak Dinda yang keras kepala tak mau mendengarkan. Dia masih bermasam muka. "Ayesha, ayo minta maaf sama Azka dan kakakmu," perintah Ibu dan langsung membuatku merasa jika Ibu lebih menjaga hati Kak Dinda daripada aku.

"Aku minta maaf," kataku dengan ketus. Sungguh, aku terpaksa melakukannya. "Kalo Mas Azka mau, gimana kalo dibawa ke dokter?"

"Terlambat! Kami sudah ke dokter," jawab Kak Dinda.

"Lha terus aku mesti gimana? Kan, Mas Azka udah ke dokter. Nanti kalo udah minum obat, bentar lagi juga sembuh."

"Iya, anak kecil juga tau. Masalahnya biaya ke dokter itu nggak murah. Kamu pikir bisa minta obat kalo nggak bayar?"

Aku mencoba mencerna ucapan Kak Dinda barusan. Apa mungkin dia memintaku mengganti rugi uang yang dia pakai untuk biaya berobat Azka ke dokter? Keterlaluan!

"Sayang, udah, ya. Kenapa bicara begitu sama adikmu? Aku nggak apa-apa, kok." Azka sepertinya malu dengan ucapan Kak Dinda.

"Tapi dia nggak bisa lepas tangan gitu aja. Pokoknya dia harus ganti rugi!"

"Oh, jadi gitu. Berapa biayanya? Aku transfer sekarang, ya. Sekalian untuk tabungan Ibu ke Mekah. Oh, iya, besok Kakak harus nemenin aku dan Ibu daftar haji. Aku rasa, uang tabungan Ibu udah lebih dari cukup untuk daftar haji. Kasihan Ibu kalo harus nunggu lama lagi."

Wajah Kak Dinda seketika berubah. Hmm ... dia pasti tak menyangka aku akan membahas tabungan Ibu.

"Kenapa mesti dicampur aduk dengan tabungan Ibu? Itu uang Mas Azka. Kamu kalo nggak mau ganti gak usah bikin ribet!" Kak Dinda terlihat sekali tidak suka aku membahas masalah tabungan Ibu.

"Oh, ribet, ya? Kalo gitu, sini buku tabungan Ibu. Biar Kakak gak ribet lagi mengatur dan menghitung tabungan Ibu."

"Maksudmu apa?! Kamu itu maunya apa?! Mau ganti rugi nggak?!"

"Ayesha, Dinda, sudahlah. Kenapa kalian ribut sekali? Ibu pusing mendengarnya. Kalau kalian begini terus, lebih baik ibu tak perlu pergi haji. Percuma kalau anak-anak ibu tidak akur." Ibu berujar dengan sedih, membuatku jadi berpikir dua kali untuk melanjutkan perdebatan. Kasihan pada Ibu pastinya.

"Hah, bikin kesel aja!" Kak Dinda melenggang pergi. Sedangkan aku memilih mengusap-usap bahu Ibu yang saat ini sedang bersedih. Keterlaluan Kak Dinda!

***

Mas, aku ke warung bentar, ya. Aku lupa beli sabun mandi. Si Ayesha mana mau dia beli. Perhitungan banget dia." Kak Dinda sepertinya sengaja membuatku kesal kembali. Kini, aku sedang menyapu lantai, sedangkan Azka tengah bermain ponsel di teras depan.

"Kak, udah, dong. Jangan kek anak kecil bisa nggak? Perkara sabun doang mesti ribut." Aku mencoba membuka pikiran Kak Dinda yang menurutku kekanakan.

"Heh, aku ini kakakmu! Gak perlu kamu ngajarin aku! Semua ini karena kamu perhitungan. Makanya aku kek gini!"

"Perhitungan? Oke, aku hitung-hitung dulu berapa banyak uang yang kali—"

"Ayesha, udah, ya. Aku mohon udah. Kasihan ibu kalo dengar kalian ribut lagi." Azka menengahi perdebatan kali ini. "Sayang, udah, ya. Sana ke warung. Mas juga mau mandi, ni."

Kak Dinda langsung melenggang pergi setelah menatapku sinis. Huh, rasanya ingin sekali aku meneriakinya. Namun, aku harus bisa menahan diri. Semua demi Ibu.

Setelah Kak Dinda menghilang dari pandangan, Azka menghampiri aku dan meminta maaf atas sikap Kak Dinda. Dia juga memintaku agar tidak perlu mengganti uang biaya berobatnya.

"Gak perlu minta maaf dan aku akan tetap mengganti biaya berobat kamu," kataku tanpa melihat wajah Azka.

"Ayesha, sikap kamu ini yang membuat aku kagum dan susah lupa sama kamu. Asal kamu tau, aku menikahi Dinda karena dipaksa mamaku. Aku udah coba nyari kamu, Sha. Tapi ...." Ucapan Azka menggantung.

"Tapi kamu lupa kalo aku cuma adik iparmu sekarang. Please, jangan bahas ini lagi. Bahagiain Kak Dinda, dia prioritas kamu sekarang. Kita, sudah usai. Tolong, jangan ganggu aku lagi." Aku meninggalkan Azka dengan tergesa-gesa lantaran air mata tiba-tiba berdesak-desakan akan keluar.

Sangat lucu jika aku belum ikhlas Azka bersama Kak Dinda. Meskipun Kak Dinda menyebalkan, dia tetap saudaraku. Tidak pantas jika aku menjadi duri dalam pernikahannya.

Aku langsung menuju kamar dan mengunci pintunya. Padahal, aku punya janji mau memasakkan sayur asem untuk Ibu. Di mana tempat teraman menyembunyikan air mata ini selain di sini? Ibu pasti akan bertanya kenapa aku menangis jika tidak menenangkan diri terlebih dahulu.

Ketukan keras di pintu kamar membuatku kaget. Apa itu Azka? Nekad sekali dia. Apa dia tidak takut Kak Dinda atau Ibu memergokinya?

"Sha, buka pintu, ibu pingsan, Sha!" Azka berteriak dan seketika membuatku panik. Ya, Allah, Ibu kenapa?

Aku langsung membuka pintu. Persetan dengan air mata yang masih berlinangan. Bagaimanapun Ibu harus diutamakan. Namun, detik berikutnya aku dibuat tercengang oleh keadaan. Semua karena Azka berdiri tepat di depanku sambil tersenyum manis. Sial, aku tertipu!

"Apa maksud kamu? Kamu pikir ini semua lucu? Otak kamu benar-benar sudah gila! Bisa-bisanya kamu pakai nama ibu untuk menjebak aku!"

"Hanya dengan cara ini aku bisa membuktikan kalau kamu memang masih mencintai aku, Sha. Lihat, air mata kamu, dia bicara kalau kamu itu bohong. Sebenarnya kamu tidak mau aku menjauhi kamu, kan?"

"Kamu brengsek!" Aku kembali menampar wajah Azka. Namun, belum sempat tangan ini mendarat di pipinya, Kak Dinda sudah lebih dulu berteriak.

Aku kaget bukan main melihat Kak Dinda.  Menyesali kebodohan diri yang begitu ceroboh dalam bersikap. Namun, semua sudah terjadi dan aku hanya bisa memejamkan mata, memikirkan cara bagaimana menghadapi Kak Dinda setelah ini.

"Dasar kurang ajar!" Tamparan keras akhirnya mendarat tepat sasaran.

"Cukup!"

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status