Jenna menatap lantai kamarnya dengan cemberut. Rasa kesal, benci, dan marah bercampur aduk menjadi satu. Seharusnya dia bisa bersantai di rumahnya sendiri dan menikmati masakan mamanya, setelah itu pergi bersama Rangga. Tapi semuanya gagal total gara-gara kehadiran satu orang.
"Kapan sih pulangnya tuh orang? Rumahnya deket juga. Harusnya nggak usah mampir lah. Buat apa sih? Ngerusak mood aja," gerutunya untuk yang kesekian kalinya. Dia menolak untuk makan bersama karena Kala juga ikut. Bahkan teguran dari Pak Bowo, ayahnya, tidak dia gubris. Dia benar-benar marah luar biasa karena keluarganya menerima Kala dengan tangan terbuka dan hangat, padahal pria itu selalu bersikap buruk padanya. Kruuuukkk! Jenna meringis saat perutnya semakin terasa melilit dan air liurnya mulai melimpah di dalam mulut. Matanya melirik dimsum yang tadi diantarkan oleh Arman, yang tentu saja sambil menasehatinya macam-macam. Aromanya benar-benar menggoda luar biasa. Masakan Nek Sekar memang terkenal sangat enak di kompleks perumahan ini. Banyak tetangga yang minta tolong pada wanita itu ketika mereka memiliki acara, padahal wanita itu kaya raya. "Ck, bodo amat lah. Laper banget," keluhnya sambil meraih sekotak besar berisi dimsum yang rasanya mengalahkan dimsum buatan restoran bintang 5 sekalipun. Jenna benar-benar seperti orang yang tidak pernah makan selama berhari-hari. Dia melahap dimsum itu seperti itu adalah makanan terakhir yang tersisa di bumi. Air matanya mengalir karena saking enaknya dimsum itu. Persetan kalau makanan itu Kala yang membawanya. Toh yang membuat adalah Nek Sekar. Pasti aslinya wanita itu memang sengaja membuatkan untuknya, bukan karena permintaan Kala. Iya kan? "Ah, kenyangnya," gumamnya sambil mengusap-usap perutnya, merasa puas. Tring! Ponselnya berbunyi. Dia melirik layar yang menampilkan pesan dari manajernya. [Pak Budi Manajer : Jenna, kamu nanti masuk. Santi ijin tidak masuk kerja karena sakit.] Mata Jenna langsung melotot. "Hah? Gila aja! Aku harus masuk shift malem? Kan jatahku libur!" Dia kelabakan dan bergegas turun dari ranjang, menghampiri seragam kerja yang untungnya sudah dia setrika tadi sebelum si kalajengking itu datang. Untung di dalam kamarnya sudah ada kamar mandi. Meskipun keluarga mereka tidak begitu kaya, tapi mereka masih mampu untuk membuat kamar yang luas dan dilengkapi dengan kamar mandi. Ponselnya kembali berbunyi. Jenna mengomel-ngomel tidak jelas dan mengabaikan pesan itu agar bisa bergegas untuk mandi. Sesekali memaki manajernya karena selalu mendadak jika memberitahukan sesuatu. Setelah sepuluh menit, Jenna keluar dari kamar mandi hanya dibalut dengan handuk, setelah itu memakai seragam kerja. Dia memolesi wajahnya dengan make-up tipis dan mengatur rambutnya sedemikian rupa agar terlihat rapi. Membuat Jenna terlihat lebih cantik. Ponselnya kembali berbunyi. "Hiih, siapa sih ini daritadi mengganggu!" gerutunya. [Rangga : Katanya kamu harus gantiin Santi? Aku anter.] [Rangga : Aku udah di depan.] "Ya Tuhan!" Jenna buru-buru meraih tasnya dan memasukkan ponsel serta dompet ke dalam sana, lalu keluar dari kamar. Ketika dia menuruni tangga, semua orang yang masih sibuk di meja makan langsung menoleh. Wajah Jenna terasa panas karena malu, karena teman-teman Arman masih di sana. "Lho, bukannya kamu libur, Jen? Kok malah masuk?" tanya Bu Via heran. "Gantiin temen yang sakit, Ma. Barusan manajer aku nyuruh aku masuk. Jenna pamit dulu, Ma." Jenna meraih tangan kanan sang ibu dan menciumnya. Setelah itu, dia beralih ke tangan sang ayah yang duduk di sebelah ibunya dan menciumnya dengan takzim. Meskipun mereka baru saja bertengkar, Jenna tidak akan lupa untuk menghormati orangtuanya. "Biar dianterin Kala," ucap Pak Bowo. Di saat itulah, Jenna tak sengaja bertatapan dengan Kala. Wajahnya langsung melengos dan berubah masam. Dia pasti salah lihat kan tadi? Kala menatapnya dengan wajah terpesona, lalu Bayu menyikut lengan pria itu sambil tersenyum menggoda. Ck, itu cuma akting saja. Jenna tahu betul bagaimana dirinya di mata Kala. Gadis triplek berdada rata. Alisnya berkerut dalam hanya dengan mengingat kalimat itu. Amarahnya mulai menyeruak. "Nggak usah! Jenna udah dijemput," tolak Jenna, tak sengaja bernada ketus. Dia langsung melewati kakaknya tanpa berniat untuk menyalami pria itu. Perasaannya terlanjur tidak baik-baik saja hanya dengan melihat Kala. "Lho, dek? Biar dianterin Kala. Ini udah malem lho. Memangnya siapa yang menjemput kamu? Atau mas aja yang nganter?" Arman tergopoh-gopoh mengikuti Jenna yang berjalan dengan cepat menuju ke pintu depan. Kakinya sedikit menghentak dan dia berdecak tak suka. Kala lagi Kala lagi. Kenapa sih keluarganya bisa tertipu dengan sikap palsu Kala? Pria itu mirip bunglon. Di depan keluarganya terlihat sopan dan baik, tapi akan berubah menjengkelkan begitu di depannya. Dia benci sekali dengan pria itu. "Aku udah dijemput. Tuh orangnya," tunjuk Jenna pada sebuah mobil berwarna silver yang berhenti di depan pagar rumah. "Lebih baik dianterin Kala, dek. Itu yang jemput kamu siapa? Cowok yang tadi? Si Rangga itu? Kalau memang dia pria baik-baik, seharusnya dia turun dan masuk ke dalam buat pamitan sama ayah dan mama. Model begitu laki-laki yang kamu suka?" cecar Arman. Jenna menghela nafas panjang. Mendadak dia merasa orangtua dan kakaknya begitu jahat karena terlalu ikut campur dalam hidupnya. Sudah dia duga, semenjak Kala kembali, siapapun laki-laki yang menjadi pilihannya akan terlihat salah di mata mereka. "Udah deh, nggak usah bahas yang aneh-aneh. Aku berangkat dulu." Jenna mengucapkan salam sebelum berlalu begitu saja dari hadapan Arman yang masih memanggil-manggil namanya. Begitu masuk ke dalam mobil Rangga, Jenna langsung membanting pintu dengan bibir cemberut. "Eh? Kenapa nih?" tanya Rangga kaget. "Kesel banget aku hari ini. Semuanya gara-gara si kalajengking itu. Apapun yang aku lakukan selalu salah di mata orangtuaku. Kenapa sih mereka welcome banget sama Kala?" Jenna mengerjapkan mata dengan cepat berkali-kali untuk mencegah air matanya keluar. Sebagai remaja akhir yang beranjak dewasa, emosi Jenna masih labil. Dia masih berpikir bahwa orangtuanya begitu egois dan tidak bisa mengerti dirinya. "Udah, dibikin santai aja. Namanya juga orangtua. Pasti maunya yang terbaik untuk anaknya," ucap Rangga. Tangan pria itu menggenggam tangan Jenna untuk menenangkannya. Inilah yang disukai oleh Jenna dari Rangga. Pria itu begitu pengertian. Selalu mendengarkan keluh kesahnya dan tidak pernah menghakiminya. Berbeda dengan orangtuanya. Apakah salah jika dia mencari perhatian dari orang lain? "Makasih udah mau pengertian ya, Mas. Kamu selalu mengerti aku," ucap Jenna dengan tulus. Rangga tersenyum. Senyum yang selalu membuat Jenna berbunga-bunga. Apalagi ketika tangannya dikecup dengan lembut. Ah, siapa perempuan yang tidak meleleh jika diperlakukan seperti itu? "Ya udah, ayo berangkat. Ntar Pak Budi ngomel-ngomel lagi. Males aku." Rangga tertawa. Pria itu adalah manajer restoran di hotel tempatnya bekerja. Sudah meluangkan waktu untuk menemaninya libur, eh malah ditolak oleh ayah Jenna gara-gara Kala. "Lagian kenapa sih kamu sebegitu bencinya sama si Kala? Ntar jatuh cinta lho sama dia."Suasana mendadak hening setelah Jenna melampiaskan amarahnya. Dia menatap Kala dengan kebencian yang semakin bertambah. Dia benar-benar muak dengan segala tingkah laku pria itu."Kamu jangan sembarangan kalau ngomong. Kala nggak mungkin melakukan hal buruk seperti yang kamu tuduhkan."Jenna tertawa getir saat ibunya masih saja membela Kala. Entah apa yang dilakukan oleh pria itu hingga keluarganya tertipu mentah-mentah."Kala itu anak yang baik. Mana mungkin dia nakal? Mamanya pasti marah...""Mama nggak tahu kan kelakuan Kala selama ini gimana? Dia suka ke hotel sama cewek yang berbeda-beda sejak SMA dulu! Itu yang mama bilang anak baik? Mama mau aku dapat suami pezina macam dia!" pekik Jenna dengan putus asa."Jenna, kamu pasti salah lihat...""Kamu juga mau belain dia mentang-mentang dia sahabat kamu? Aku kecewa sama kamu, Mas." Dia tidak mengerti kenapa mereka menutup mata terhadap kelakuan Kala. Lelaki itu berkelakuan buruk dan suka bermain wanita. Apa orangtuanya tidak takut ji
Seumur-umur, baru kali ini Jenna melihat orang bule secara langsung. Meskipun beberapa orang Malang memang memiliki wajah mirip bule, tapi mereka berbeda dengan bule asli.Di depan Jenna saat ini, seorang pria yang terlihat begitu dewasa menjulang tinggi seperti tugu monas. Jenna yang mungil sampai harus mendongak. Mata abu-abu, rambut coklat, kulit putih dengan wajah berewok yang sudah dicukur rapi. Mirip seperti tokoh-tokoh pria yang menjadi sugar daddy di novel-novel dewasa. Jenna mengerjap. Dia yakin tadi sudah bangun dari tidurnya. Tapi kenapa para pria dalam cover novel tiba-tiba keluar ke dunia nyata? Dia melihat pria lain di belakang pria itu. Wajahnya hampir mirip, tapi lebih cuek dan tidak mau melihat Jenna. Tipikal pria yang digilai oleh banyak wanita."Ehem!"Jenna terkesiap. Ternyata ada orang lain lagi di sebelah dua pria yang memiliki vibes sugar daddy itu. Dia melirik siapa pelaku yang berdehem tadi. Dan saat itulah, Jenna tertegun.Sejak kapan Kala memiliki mata berw
Seperti slow motion di film-film, Jenna berlari ke arah Kala dan menerjang pria itu sambil melayangkan pukulan ke wajah. Otaknya tidak bisa berpikir dengan jernih. Tangannya digerakkan oleh amarah yang menggebu-gebu."Aduh!"Barulah ketika Kala mengerang dan menangkap tangannya, Jenna seketika sadar. Apa yang baru saja dia lakukan? Dia menoleh ke arah Bu Fera yang melotot dengan mulut menganga, begitu juga dengan staff lain yang ada di ruangan itu."Mati aku," gumam Jenna setelah sadar apa yang telah terjadi. Kakinya refleks mundur dengan mata membelalak. Bagaimana jika Kala menuntutnya? Tapi ngomong-ngomong, pria itu sedang apa di ruangan HRD?"Aku..." Jenna langsung berbalik dan bersiap untuk berlari, sampai tiba-tiba tubuhnya melayang. "Aaaaaa, apa-apaan ini?!"Kepalanya berada di bawah dan matanya bersirobok dengan punggung Kala yang baru Jenna tahu begitu lebar dan terlihat kokoh. Hah? Kenapa dia baru tahu?"Kalajengkiiing! Turunin nggak? Kenapa kamu ngangkat aku kayak karung ber
Baru kali ini Jenna merasa badannya remuk, padahal tidak bekerja ekstra seperti pegawai pabrik. Mungkin karena dia tidak tidur sama sekali selama sehari semalam, sehingga tubuhnya mulai oleng. Setelah ini mungkin bagian bawah matanya menghitam."Jenna, ke ruangan HRD sekarang." Pak Budi mencegatnya ketika hendak keluar dari lobi."Hah? Kenapa lagi sih Pak? Saya udah nggak kuat ini, ngantuk banget. Jantung saya juga berdebar-debar," keluh Jenna dengan wajah memelas.Ternyata dunia kerja itu berat sekali. Tidak bisa bersantai-santai seperti saat kuliah dulu. Rasanya Jenna ingin menangis. "Cuma sebentar. Habis itu kamu bisa istirahat."Jenna berdecak. Dengan malas membalikkan badannya dan berjalan menuju ke lift, lalu menekan tombol angka 2. Matanya benar-benar sudah hampir terpejam ketika pintu lift terbuka. Untung suasana hotel masih sepi, sehingga dia tidak perlu merasa malu karena penampilannya tidak sesegar waktu berangkat."Jenna!"Sebelum pintu lift menutup, Pak Budi berteriak me
Jenna menatap ngeri pada Rangga. Apa tadi pria itu bilang? Dia jatuh cinta pada Kala?"Dalam mimpi!" sergahnya kesal. "Aku nggak sudi ya jatuh cinta sama orang rese dan playboy macam dia. Kayak nggak ada cowok lain aja."Dalam hidupnya, sama sekali tidak pernah Jenna memiliki pemikiran seperti itu. Jangankan jatuh cinta, mendengar namanya saja sudah membuat darah Jenna mendidih. Selalu marah dan kesal bawaannya. Jenna merasa lebih aman dan damai jika pria itu tidak ada di sekitarnya."Sebenarnya apa sih yang menyebabkan kamu benci banget sama dia? Apa dulu dia pernah berbuat kasar sama kamu?" tanya Rangga sambil melajukan mobil.Ditanya seperti itu, Jenna langsung diam. Kala tidak pernah berbuat kasar. Apalagi sampai menyerang fisik. Yang ada, pria itu malah suka sekali menjailinya. Entah menarik rambutnya, menjawil pipinya, atau mencubit hidungnya. Eh, apakah itu termasuk dalam kekerasan fisik? Tapi, fisiknya tidak merasa sakit."Kenapa nggak bisa menjawab? Atau mungkin, sebenarnya k
Jenna menatap lantai kamarnya dengan cemberut. Rasa kesal, benci, dan marah bercampur aduk menjadi satu. Seharusnya dia bisa bersantai di rumahnya sendiri dan menikmati masakan mamanya, setelah itu pergi bersama Rangga. Tapi semuanya gagal total gara-gara kehadiran satu orang."Kapan sih pulangnya tuh orang? Rumahnya deket juga. Harusnya nggak usah mampir lah. Buat apa sih? Ngerusak mood aja," gerutunya untuk yang kesekian kalinya.Dia menolak untuk makan bersama karena Kala juga ikut. Bahkan teguran dari Pak Bowo, ayahnya, tidak dia gubris. Dia benar-benar marah luar biasa karena keluarganya menerima Kala dengan tangan terbuka dan hangat, padahal pria itu selalu bersikap buruk padanya.Kruuuukkk!Jenna meringis saat perutnya semakin terasa melilit dan air liurnya mulai melimpah di dalam mulut. Matanya melirik dimsum yang tadi diantarkan oleh Arman, yang tentu saja sambil menasehatinya macam-macam. Aromanya benar-benar menggoda luar biasa.Masakan Nek Sekar memang terkenal sangat enak
"Jennaaa! Pakai baju mbok yo yang sopan! Masa baju kok kaos gombrong sama celana dalam tok iku lho!"Jenna berdecak sambil memutar mata, lalu menghembuskan nafas lelah karena ibunya selalu mendramatisir keadaan."Celana dalam apanya sih, Ma? Ini tuh namanya hotpants. Celana pendek," bantahnya."Ck! Celana apa modelnya kok kelihatan pantatnya begitu? Ganti sana!""Buat apa sih, Ma? Toh ini juga lagi di rumah aja. Ntar kalau Mas Rangga dateng, aku pasti ganti baju kok," jawabnya dengan malas.Bu Via berkacak pinggang sambil melotot. "Mama bilang ganti baju ya ganti baju! Yang lebih sopan dan tertutup."Jenna tidak menggubris. Masih sibuk berbalas pesan dengan Rangga, pria yang menarik hatinya. Setelah entah berapa kali dia selalu gagal menjalin hubungan dengan lawan jenis, baru kali ini dia menemukan pria yang cocok dengan hatinya."Nanti sore nggak boleh keluar sama Rangga! Mama nggak suka sama anak itu. Ayahmu juga nggak suka," teriak Bu Via sambil melenggang menuju ke dapur.Perkataa