"Jennaaa! Pakai baju mbok yo yang sopan! Masa baju kok kaos gombrong sama celana dalam tok iku lho!"
Jenna berdecak sambil memutar mata, lalu menghembuskan nafas lelah karena ibunya selalu mendramatisir keadaan. "Celana dalam apanya sih, Ma? Ini tuh namanya hotpants. Celana pendek," bantahnya. "Ck! Celana apa modelnya kok kelihatan pantatnya begitu? Ganti sana!" "Buat apa sih, Ma? Toh ini juga lagi di rumah aja. Ntar kalau Mas Rangga dateng, aku pasti ganti baju kok," jawabnya dengan malas. Bu Via berkacak pinggang sambil melotot. "Mama bilang ganti baju ya ganti baju! Yang lebih sopan dan tertutup." Jenna tidak menggubris. Masih sibuk berbalas pesan dengan Rangga, pria yang menarik hatinya. Setelah entah berapa kali dia selalu gagal menjalin hubungan dengan lawan jenis, baru kali ini dia menemukan pria yang cocok dengan hatinya. "Nanti sore nggak boleh keluar sama Rangga! Mama nggak suka sama anak itu. Ayahmu juga nggak suka," teriak Bu Via sambil melenggang menuju ke dapur. Perkataan sang ibu membuat mood Jenna hancur. Entah kenapa orangtuanya tidak setuju jika dia menjalin hubungan dengan Rangga. Padahal pria itu baik dan tidak neko-neko. Tidak pernah kurang ajar juga padanya. Hanya Rangga yang bisa membuatnya merasa bahagia, setelah sekian lama dia harus terus memendam kebencian... Ting tong! Jenna menoleh ke arah pintu yang tertutup. Rasanya malas sekali jika harus menghadapi tamu saat mood berantakan begini. Ting tong! "Maaa! Ada tamuuu!" teriak Jenna sambil rebahan di atas sofa di depan TV, enggan beranjak dari tempatnya. "Bukain sana! Mama masih sibuk masak!" Lagi-lagi Jenna berdecak. Dengan malas bangkit dari tidurannya tanpa peduli dengan penampilannya. Paling-paling juga teman-teman arisan sang mama. Buat apalagi ibunya memasak banyak dan berat-berat kalau bukan untuk acara arisan? Ting tong! "Iya bentar!" teriak Jenna dengan kesal. Usia 21 tahun belum membuat Jenna bisa bersikap dewasa, meskipun dia sudah bekerja sebagai resepsionis di sebuah hotel bintang lima. Dengan sedikit hentakan, Jenna membuka pintu. Wajahnya ditekuk karena merasa hari liburnya sudah terganggu. "Ya? Mencari siapa...." Mata Jenna langsung melotot begitu melihat siapa tamu yang tak diharapkan itu. "Mas Arman!" Refleks Jenna melompat ke dalam pelukan kakak laki-laki satu-satunya itu hingga Arman sedikit mundur karena tak siap. Tapi pria itu dengan sigap menangkap tubuh Jenna yang mungil sambil tertawa terbahak-bahak. "Masih kecil aja sih kamu, dek? Mas tinggal tiga tahun aja kok nggak ada perubahan kamu? Masih kayak anak SMA." Jenna tidak mempedulikan ledekan kakaknya itu saking kangennya. Tiga tahun tidak pernah bertemu, karena sang kakak ditugaskan ke cabang perusahaan di luar negeri. "Lho, kok nangis? Nanti hilang imutnya," ledek Arman lagi. Tangisan Jenna malah makin keras. Dia terlihat seperti anak remaja yang sedang merajuk pada ayahnya dengan posisinya yang sekarang. Kedua tangan memeluk erat leher Arman, sedangkan kedua kakinya membelit pinggang pria itu. Sampai-sampai dia tidak sadar bahwa pakaiannya tersingkap dan memperlihatkan...bagian tubuh yang tadi diomelkan oleh Bu Via. "Kakak jahat! Kok tega sih nggak pulang-pulang? Padahal aku kangen banget..." Mata Jenna melotot ketika melihat ada 2 orang lain di luar pintu. Tubuhnya langsung membeku saat itu juga. Matilah dia! Buru-buru dia turun dari pelukan Arman dan memperbaiki bajunya yang tersingkap. Alamak, malu sekali! "Ehem! Eh, ada temen-temennya Mas Arman. Kok nggak ngomong daritadi?" ucap Jenna dengan tertawa canggung. Salah satu pria itu malah cengengesan sambil mengusap tengkuk. "Maaf ya, Jen. Kami nggak mau mengganggu reuni kalian. Kami cuma mau mampir sebentar kok, habis itu pulang. Kangen sama masakan Tante Via," jawab Bayu, pria berambut cepak yang memang sering berkunjung ketika masih masa-masa sekolah dulu. "Oalah, pantesan mama masak banyak hari ini. Ayo, masuk aja." Jenna mengulurkan tangan untuk menyalami Bayu sambil tersenyum ramah, kemudian dia beralih pada pria yang sejak tadi hanya diam sambil menatapnya tajam. Senyum Jenna langsung lenyap saat itu juga, berganti dengan kerutan di antara kedua alisnya yang begitu dalam dan mata menatap tak suka. Pria itu adalah sumber penderitaannya sejak dulu. Pria yang selalu membully-nya, mengata-ngatai ukuran tubuh dan warna kulitnya, serta perlakuan-perlakuan tidak menyenangkan yang membuat Jenna sering menangis. "Ngapain kamu ke sini? Sana pergi!" hardik Jenna dengan hati dongkol bukan main. Kala Lakeswara Wisnuwardhana. Pria yang selalu memplesetkan nama Jenna Sekar Arum menjadi "Sekarang" atau "Arumanis", mengatainya berkulit dekil, bertubuh pendek, bahkan kekurangan gizi. Hal yang membuat Jenna marah bukan main dan sering memukul pria itu untuk melampiaskan amarahnya. Padahal Jenna berkulit kuning langsat. Gara-gara dulu sering bermain di bawah teriknya matahari, kulitnya menjadi gosong. Sekarang kulitnya sudah kembali seperti semula kok, malah lebih bersih karena sudah mengenal skincare. "Jenna, nggak boleh gitu dek," tegur Arman. "Kenapa sih mas ngajak si Kalajengking itu ke sini? Bikin polusi! Harusnya biarin aja dia berkeliaran di luar sana nyari cewek-cewek liar kayak dulu!" sentak Jenna dengan sengit. Satu hal yang membuat Jenna sangat muak dengan Kala adalah itu. Pria itu suka berganti-ganti pacar. Jenna sangat jijik dengan pria playboy. Apalagi pria itu dulu sering mengatai Jenna si dada rata. Hal yang membuat harga diri Jenna seperti diinjak-injak. "Ppfffttt! Kalajengking!" Bayu tertawa kecil sambil memegangi perutnya, terlihat sekali sedang menahan diri untuk tidak terbahak-bahak. "Pokoknya aku nggak mau kalajengking itu ada di rumah ini! Usir dia, Mas!" rajuk Jenna sambil menghentakkan kaki dan meninggalkan mereka. "Dek, nggak boleh gitu. Kala itu juga tetangga kita. Nggak enak sama Nek Sekar yang udah baik sama keluarga kita." "Bodo amat! Bikin mood hancur aja!" Ingin sekali Jenna menangis karena pria itu kembali. Padahal selama tiga tahun ini, Jenna merasa hidupnya aman damai karena tiba-tiba saja pria itu menghilang. Sama sekali tidak pernah terlihat di kompleks perumahan tempat mereka tinggal. Tidak tampak di sebelah rumah Nenek Sekar setiap kali dia lewat. "Nih, makanan kesukaan kamu." Tiba-tiba Arman menyodorkan satu kotak besar makanan yang aromanya langsung tercium. Mata Jenna yang tadinya berkaca-kaca, kini berubah menjadi berbinar-binar. "Eh, apa nih?" tanyanya pura-pura tidak tahu sambil merebut kotak itu. Perutnya mendadak lapar. Aroma dimsum begitu kuat dan menggoda. Dia tidak pernah bosan dengan makanan yang satu itu. Kakinya buru-buru melangkah menuju ke ruang keluarga dan mencomot satu buah begitu pantatnya mendarat di sofa. "Enak banget, Mas. Beli di mana? Kok aku nggak pernah tahu ada dimsum yang seenak ini?" "Itu Kala yang bawa. Dibuatin sama Nek Sekar." Dimsum kedua yang sudah separo digigit, langsung jatuh saat itu juga. Tubuh Jenna membeku."Aku minta maaf. Aku sudah tahu kalau Kala tergila-gila sama kamu dan sangat setia. Bahkan dia selalu menolak siapapun perempuan yang mengejar-ngejar dia atau sengaja mendekati dia. Semuanya demi kamu."Jenna masih tidak berbalik. Dia hanya menatap mobilnya dan beberapa orang yang lewat."Dia juga sudah bersikap tegas sama aku. Aku saja yang nggak tahu diri. Sebenarnya....sebenarnya sudah lama Kala menghentikan bantuannya untuk membiayai sekolah adik-adikku dan biaya pengobatan ibuku. Karena aku...aku pernah nekat datang ke penthouse-nya dan...." Suara Septi mulai terdengar lirih. "Dan sengaja telanjang di depannya."Panas, Jenna langsung berbalik dan menghampiri Septi dengan cepat. Ketika wanita itu mendongak, tangan Jenna melayang dan menghantam pipi kiri Septi hingga tubuh wanita itu terhuyung. Tangannya meraih rambut Septi dan menjambaknya dengan kuat."Apa kamu semurahan dan segatal itu sampai telanjang di depan laki-laki? Kamu pikir Kala itu laki-laki rendahan yang langsung takl
"Jangan banyak protes! Rumah itu memang bukan milik kita. Seharusnya kamu bersyukur karena dia tidak melaporkan Mbak ke polisi!""Aku nggak peduli! Aku mau menuntut Kala biar dia tanggung jawab!"Jenna hanya mematung di tempatnya berdiri. Seandainya saja dia belum mendengar semuanya dari Kala, mungkin dia akan langsung berlari meninggalkan tempat ini dan menangis seperti orang bodoh, sebelum akhirnya meminta cerai.Bahkan Jenna tidak sempat protes, ketika Kala menunjukkan semua rekaman CCTV yang berhubungan dengan Septi. Saking hafalnya pria itu pada tabiat Jenna yang keras kepala dan suka berburuk sangka.BRAK!Jenna terlonjak dan sedikit mundur. Pintu yang sudah lapuk itu hampir saja terlepas dari pengaitnya karena dibanting oleh seorang gadis yang terlihat lebih tua dari Jenna. Siapa dia? Apa kakaknya Septi? Tapi Kala bilang, Septi anak sulung."Siapa kamu?" Gadis itu menatap penampilan Jenna dari atas sampai bawah, lalu melirik mobil di belakang Jenna."Mbak Septi ada? Aku Jenna."
Semenjak Kala mencurahkan isi hatinya, hubungan mereka kian dekat. Jenna melihat pria itu dari sudut pandang yang berbeda. Selama ini, dia hanya fokus pada kebenciannya karena Kala menolak perasaannya. Lagipula, waktu itu dia masih sangat labil. Perasaannya begitu sensitif, sehingga belum mampu untuk mengelola emosinya."Harum banget. Masak apa?"Jenna memekik ketika sepasang tangan memeluk perutnya dari belakang. Dia masih belum terbiasa dengan perhatian-perhatian kecil dari pria itu, karena selama ini dia belum pernah pacaran."Iih, ngagetin aja! Nanti kalau aku kena wajan gimana?" gerutunya kesal."Nanti aku obatin." Kala mencium pipinya dari belakang. "Kelihatannya enak. Kenapa nggak minta Buk Ngatini aja buat masak? 'Itu' kamu masih sakit kan?"Kalau menuruti keinginannya, tentu saja dia maunya bermalas-malasan. Tapi petuah dari sang ibu yang sering berkunjung karena rumah mereka dekat, membuat kuping Jenna panas. "Meskipun kamu masih belum bisa menerima pernikahan ini, setidakn
Seandainya saja Jenna bisa menghilang, dia akan langsung menghilang saat ini juga. Tak pernah terbayangkan dalam hidupnya akan berada dalam posisi seperti ini. Harus buang air kecil di depan seorang laki-laki. Harga dirinya jatuh sejatuh-jatuhnya. Jenna merasa dipermalukan. Dan dia merasa benci dan marah pada laki-laki yang kini menurunkan celananya itu. "Aku benci banget sama kamu!" ucapnya dengan ketus dan mata berkaca-kaca. "Aku tahu." "Kamu kenapa sih selalu menyebalkan dari dulu?" Kesal, Jenna menjambak rambut Kala dengan kuat sampai pria itu memekik. "Nanti keburu ngompol, Jen. Jangan ditahan," ucap Kala dengan sabar. Jenna menangis lagi. Selain karena malu, bagian intimnya benar-benar masih sakit. Saking sakitnya, dia bahkan tidak kuat berjalan jauh dan tidak bisa berjongkok. Apa begini rasanya melahirkan? Lagi-lagi tidak ada yang memberitahunya bahwa luka di bagian bawah sana rasanya berkali-kali lipat lebih sakit dari pada luka di bagian tubuh lain. Menahan malu dan h
"Hah? WC umum? Buat apa laki-laki tidur di WC umum? Apa nggak bau?" tanya Jenna tak mengerti.Kala menyentil dahi Jenna yang mengaduh."Dasar! Kamu nih, polosnya kebangetan.""Ck! Sakit, Ka!""Panggil Mas bisa? Aku ini suami kamu, loh," protes Kala.Jenna hanya memutar mata malas. Siapa suruh memaksanya menjadi istri? Dia sebenarnya belum siap untuk menikah. Yang dia pikirkan hanyalah mencari uang sebanyak-banyaknya dan berpacaran dulu. Menikah sama sekali tidak masuk dalam rencananya dalam waktu dekat."Kenapa cemberut, hm?"Jenna menatap Kala dengan kesal. "Kamu kenapa sih, tiba-tiba banget melamar aku? Padahal aku masih mau senang-senang dulu menikmati hidup. Masih pengen tahu rasanya pacaran gimana. Kerja aja belum ada setahun. Udah gitu, menikah pun dadakan di rumah sakit. Nggak ada perayaan kek, pesta mewah kek. Kesannya aku ini kayak boneka yang bisa diatur sesuka hati.""Kan udah kubilang kalau...""Aku dalam bahaya? Meta mau menjahati aku? Atau Rangga mau memperkosa aku? Tap
"Dia digrebek sama para tamu hotel?" Kala menaikkan alisnya ketika Bayu menceritakan tentang kejadian yang menimpa Rangga.[Septi pinter banget memanfaatkan situasi. Sengaja dia melakukan aksinya waktu para tamu hotel keluar buat nyari makan siang.]"Tuh cowok memang bego. Ngapain ke hotel waktu rame? Padahal dia udah lama jadi manajer, tapi kok kayak amatiran. Jadi, endingnya gimana? Udah dibawa ke polisi?"[Sudah. Sama tiga orang suruhan Meta. Mereka nggak sadarkan diri waktu polisi datang. Itu orang-orangnya Om Ethan pada ke mana habis mengeksekusi mereka? Nggak kelihatan dari tadi.]"Ck, mereka itu bisa menyamar jadi apa saja. Tahu sendiri Om-Om ku gimana. Untung Om Nathan udah balik ke luar pulau. Coba kalau dia masih di sini, bisa habis itu Rangga."[Lebih serem Om Alek, bro. Dia bisa melenyapkan emaknya Om Ethan di negara orang dengan santainya. Apa nggak lebih kejam?]"Ck! Beda level lah. Om Alek kan memang mafia. Beda sama Om Nathan. Dari segi moral, memang masih bagusan Om N