“Mami,” lirih Emily masih terpejam.
Emily belum ingin mati, meskipun dia tahu telah menjadi anak durhaka tetapi dia masih ingin hidup. Emily ingin memohon ampun pada kedua orang tuanya atas kesalahannya. Perlahan wanita itu akhirnya merasa bisa membuka kedua kelopak matanya, mencoba beradaptasi dengan ruangan yang tidak dia kenal. Dia berusaha mengenali ruangan itu, akan tetapi kepalanya berdenyut keras membuatnya meringis kesakitan. Sebelah tangan Emily memegang kepalanya yang berbalut perban. “Akh,” decit wanita itu. Saat Emily masih berusaha untuk sadar, samar-samar dia mendengar suara dua pria asing sedang saling bicara di hadapannya. “Hasil CT-Scan tak menampakkan kerusakan atau ada penggumpalan darah di otak, kemungkinan pasien syok karena benturan sangat keras juga luka yang didapat di kening, tapi selebihnya dia baik-baik saja.” “Jadi begitu, terima kasih informasinya, Dok.” Salah satu pria yang mengenakan jas putih pergi meninggalkan pria lain yang berdiri memunggungi ranjang. Meskipun penglihatannya masih belum sepenuhnya sadar, tapi Emily bisa melihat pria itu tinggi dan tubuhnya tegap dibalut jaket hitam yang pria itu kenakan. Emily kemudian melihat pria itu mengambil ponsel dan berbicara, “Awasi dia, kalau perlu kumpulkan bukti yang banyak. Dia pikir sedang bermain-main dengan siapa? Aku sedang di rumah sakit, ceritanya panjang. Aku akan menceritakan yang terjadi kalau nanti kita bertemu.” Emily membuang napas pelan, dia hanya bisa berharap pria itu bukan Farrel, karena dengan kondisinya saat ini dia tidak bisa menghadapi mantan kekasihnya itu. Ketika pria itu berbalik, kesadaran Emily sudah hampir penuh. Akan tetapi, apakah sebenarnya saat ini dia sudah berada di surga? Mengapa ada pria asing tapi tampan di samping ranjangnya? “Kamu sudah sadar?” tanya pria itu. Emily masih terus memperhatikan wajah pria itu. Dia penasaran tetapi juga tidak ingin melepaskan pandangannya. Sebab Emily tidak menjawab, pria itu kembali berkata, “Saya panggil dokter dulu.” Hendak berbalik, tetapi tertahan ketika Emily bertanya. “Siapa kamu?” Emily menatap lekat wajah tampan pria itu, dia masih bingung kenapa bisa di sana bersama pria itu. “Saya orang yang menolongmu. Mobilmu mengalami kecelakaan di jalan,” jawab pria itu. Emily terdiam seperti sedang mengingat sesuatu setelah mendengar jawaban pria itu. “Kamu benar-benar yang menolongku?” tanya Emily seolah tak percaya. Dia masih menatap lekat pria yang sedang memperhatikan dirinya. Emily hanya bisa melihat pria itu diam selama beberapa saat sebelum kemudian pria itu menjawab, “Saya hanya mencoba menolongmu. Terserah kamu mau percaya atau tidak.” Emily mengatup mulutnya, merasa tidak enak pada pria di hadapannya ini karena hampir berburuk sangka. “Maaf, aku hanya memastikan. Hari ini aku baru saja mengalami hal buruk, jadi perasaanku agak tidak karuan,” ucap Emily lirih. “Tidak masalah, saya bisa maklum,” balas pria itu. Emily mengangguk-angguk lemah mendengar ucapan pria itu. Untuk beberapa saat, harus Emily akui pria di hadapannya ini begitu tampan bak seperti dewa, tetapi gelagatnya aneh. Mengapa pria itu bolak-balik menatap pintu lalu kembali menatapnya? “Siapa namamu?” tanya pria itu kemudian. Belum sempat Emily menjawab, pria itu bertanya lagi, “Kamu ingat siapa namamu dan keluargamu? Atau kamu mau saya bantu menghubungi keluargamu?” “Aku Emi,” jawabnya, kemudian tak lama kepalanya kembali berdenyut. Emily memegang kepalanya dan tertunduk. Lalu, ketika Emily mendongak dan ingin menjawab, Emily tertegun. Ada raut yang tidak bisa Emily artikan dari wajah pria di sampingnya ini. Namun, Emily tidak peduli. Yang dia pedulikan adalah jangan sampai orang tuanya tahu tentang kecelakaan ini. Dia bisa malu, sudah gagal dalam hubungan kecelakaan pula. “Tidak perlu menghubungi orang tuaku, aku yakin baik-baik saja selama organ tubuhku masih utuh dan kakiku tidak cacat karena kecelakaan.” Emily bisa melihat pria di hadapannya ini hanya mengangguk-anggukan kepala. Tak lama pria itu kembali bertanya, “Jadi, kamu ingat apa yang terjadi padamu?”Vano baru saja selesai rapat saat membaca pesan dari Sabrina. Dia sangat terkejut membaca pesan dari Sabrina hingga terburu-buru meninggalkan tempat rapat begitu selesai, membuat semua orang sampai keheranan.Vano pergi ke rumah sakit. Dia mencari Sabrina di poliklinik, hingga bertemu dengan sang bibi.“Bi, Sabrina dan Mami ke sini?” tanya Vano.“Dia di ruang inap, tadi sudah diperiksa dan karena tekanan darahnya rendah serta dia pusing dan mual, jadi aku menyarankan untuk rawat inap,” jawab sang bibi.Vano sangat panik mendengar jawaban sang bibi.“Dia dirawat di ruang mana?” tanya Vano dengan wajah panik.Sang bibi tersenyum melihat kepanikan Vano, lalu memberitahu di mana Sabrina sekarang.Vano pergi ke ruang inap dengan terburu-buru, hingga akhirnya bertemu Sabrina yang berbaring lemas dengan selang infus terpasang di tangan.“Bagaimana kondisinya, Mi?” tanya Vano saat menghampiri Sabrina.“Dia baik, kamu jangan cemas,” jawab Oma Aruna.“Baik apanya, dia sampai dirawat seperti ini,
Sabrina duduk sambil menikmati cokelat hangat pagi itu, hingga satu tangannya yang bebas dari cangkir, digenggam sampai jemarinya bertautan dengan tangan lain. Sabrina menoleh Vano, melihat suaminya itu tersenyum sambil menggenggam erat tangannya. Vano duduk di samping Sabrina yang duduk di bangku panjang. Mereka berlibur di pantai, menikmati kebersamaan mereka setelah sah menjadi suami-istri. “Kamu tidak pesan kopi?” tanya Sabrina sambil menyandarkan kepala di pundak Vano. “Sudah, tinggal menunggu datang saja,” jawab Vano lalu memiringkan kepala hingga menyentuh kepala Sabrina. Keduanya saling bersandar satu sama lain, menatap hamparan pasir putih bersamaan dengan deburan ombak yang menghantam pantai. “Kamu yakin tidak masalah tinggal sama mami?” tanya Vano memastikan. Sabrina mengerutkan alis mendengar pertanyaan Vano. “Kenapa masih tanya lagi?” tanya Sabrina keheranan. Dia mengangkat kepala dari pundak Vano, lalu memandang suaminya itu. “Ya, aku hanya memastikan saja, takut
“Nggak mau pulang. Mau bobok sama Om Vano!” Athalia merengek menolak pulang saat kedua orang tuanya mengajak selepas pulang setelah pesta. Vano hanya mengusap tengkuk melihat kelakuan absurd keponakan satunya itu. Alaric sampai pusing, kenapa anaknya sampai bandelnya seperti itu. “Pulang beli es krim, ya.” Emily membujuk agar Athalia mau pulang. “Nggak mau!” Athalia menolak sampai memeluk kaki Vano. Sabrina menahan tawa dengan kelakuan Athalia, lalu dia ikut membujuk. “Papa mau beli bunga sama balon, Thalia nggak mau ikut?” tanya Sabrina ke Athalia. Athalia langsung menoleh ke sang papa, hingga melihat ayah dan ibunya terkejut mendengar ucapan Sabrina. “Ah, benar. Papa dan mama mau beli bunga, kamu nggak mau ikut?” tanya Emily mengiakan ucapan Sabrina. Athalia tiba-tiba bangun dan melepas kaki Vano, kemudian menggandeng tangan ibunya. “Ayo! Nanti kamarku harus dikasih bunga-bunga,” celoteh Athalia. Alaric dan Emily lega karena Athalia mau dibujuk, akhirnya mereka mengajak p
Mereka masih menautkan bibir, sampai terlena hingga sejenak lupa akan status mereka sekarang.Sabrina melepas pagutan bibir mereka, lalu sedikit mendorong dada Vano agar menjauh darinya.“Airnya sudah panas,” ucap Sabrina sambil masih menunduk karena malu.Vano mematikan mesin pemanas air, lantas kembali memandang Sabrina.Sabrina menatap Vano, melihat wajah pria itu yang merah mungkin dia juga.“Sekadar ciuman boleh, tapi jangan melebihi batas,” ujar Sabrina mengingatkan.Vano langsung mengulum bibir sambil memulas senyum.“Aku tidak mau kita berhubungan sebelum menikah. Kamu paham maksudku, kan?” tanya Sabrina kemudian agar Vano tak salah paham dengan ucapannya.“Hm … ya, tentu,” balas Vano sedikit canggung karena dia terlalu impulsif. Dia tentunya takkan marah dengan keinginan Sabrina yang mencoba menjaga diri sampai mereka benar-benar sah menjadi suami istri.Van
Setelah bertunangan, Vano dan Sabrina sering menghabiskan waktu bersama di akhir pekan. Mereka jarang jalan di tempat umum karena Raditya melarang, pria tua itu takut kalau terjadi sesuatu lagi dengan Sabrina, padahal ada Vano yang menjaganya. Seperti hari ini, mereka berada di apartemen menonton film seolah berada di bioskop. Vano duduk sambil melingkarkan tangan di belakang pundak Sabrina, sehingga gadis itu bisa bersandar di dadanya. “Besok Mami mengajak fitting gaun untuk pernikahan kita,” ucap Vano sambil melihat ke film yang sedang mereka tonton. Sabrina sedang mengunyah snack, lalu menoleh ke kalender yang ada di meja hias. Tak terasa sudah dua bulan semenjak mereka bertunangan, pantas saja Oma Aruna sudah ingin melakukan fitting baju. “Iya,” balas Sabrina menoleh sekilas ke Vano. Mereka kembali fokus ke film, hingga ponsel Sabrina yang ada di meja berdering. Sabrina menegakkan badan, lalu mengambil benda pipih itu dan melihat sang papa yang menghubungi. “Papa telepon, aku
Hari pertunangan Sabrina dan Vano pun tiba. Pertunangan mereka diadakan di rumah Vano sesuai dengan kesepakatan Raditya dan Opa Ansel.Malam itu halaman samping rumah disulap menjadi tempat pesta untuk pertunangan yang terlihat romantis. Acara itu didatangi keluarga terdekat dan rekan kerja Sabrina di divisinya.“Rumah Pak Vano ternyata sangat besar,” celetuk salah satu staff yang datang.“Pastilah, perusahaannya saja besar. Lupa kalau dia anak pemilik perusahaan,” timpal yang lain.“Iya, lupa,” balas staff itu sampai membuat yang lain tertawa.Sabrina keluar bersama ayahnya memakai gaun elegan hingga membuatnya tampak begitu cantik.Vano sudah menatap tanpa berkedip saat melihat Sabrina. Dia tak menyangka kalau hari ini tiba lalu tinggal menunggu hari lain yang luar biasa tiba.Sabrina tersenyum saat melihat Vano menatapnya, hingga akhirnya mereka berdiri berhadapan untuk melakukan prosesi pertunan