Arlita baru saja keluar dari gerbang perusahaan menunggu taksi online. Honda jazz merah tiba-tiba berhenti di hadapannya. Kanania keluar dari mobil dengan wajah pias. Air matanya bercucuran membasahi pipi."Nia, kamu kenapa? Ada yang nyakitin kamu?" cecar Arlita saat Kanania menghampirinya. "Duduk dulu, Nia."Arlita terpaksa membatalkan pesanan taksinya. Dia membimbing Arlita duduk di bangku taman yang tak jauh dari gerbang perusahaan. Kiria memang tidak menceritakan sifat asli sang adik, sehingga Arlita masih mengira Kanania gadis rapuh dan polos."Minum dulu, Nia?" tawar Arlita lagi.Kanania menggeleng lemah. "Ini bukan saatnya minum, Kak Lita. Kita harus mencari Kak Kiria!""Ketua? Mencari Ketua?""Kakak hilang!"Di sela isak tangisnya, Kanania menceritakan kronologis hilangnya sang kakak. Tentu saja, cerita itu hanya sebuah kepalsuan. Dia juga berpura-pura menyalahkan diri sendiri karena terlambat menjemput Kiria."Tenanglah, Dik. Pak Arya pasti menyelamatkan Ketua."Kanania menci
Kring kringTelepon di meja kerja Arya berdering tanpa permisi. Arya mengangkat telepon dengan raut wajah kesal. Dia tampak terlibat pembicaraan serius. Kiria memberi isyarat permisi keluar ruangan dengan alasan jam istirahat telah selesai. Arya mengangguk dengan setengah hati. Orang yang menelepon harus siap-siap menerima kekesalannya. Kiria keluar ruangan dan menutup pintu dengan hati-hati. "Ketua, apa Ketua baik-baik saja? Penelitiannya berjalan lancar. Enggak mungkin Ketua dimarahi, 'kan?" cecar Arlita saat melihat Kiria keluar dari ruangan presiden direktur dengan wajah memerah. "Aman, kok. Kamu kembali saja kerjakan proyekmu sana," sahut Kiria tergesa.Arlita langsung memicingkan mata. Dia adalah asisten Kiria yang paling terlama. Gerak-gerik atasan jelas sudah dihapalnya. Kiria terlihat seperti menyembunyikan sesuatu. Jiwa kepo Arlita pun meronta-meronta dibuatnya. Bukannya mendengarkan perintah, dia malah mengekori Kiria. "Ih, cerita dong, Ketua. Kalau aku penasaran giman
Kiria mengusap tengkuknya. Bulu kuduk terasa berdiri. Dia juga menggosok hidung yang terasa gatal. Sudah sepuluh kali gadis itu bersin. Untunglah, pengujian-pengujian yang harus dilakukan hari ini telah selesai, sehingga tidak menganggu pengembangan formula baru yang tengah digarapnya."Hatsuy! Ya ampun, enggak berhenti-henti nih bersin," keluh Kiria saat menyimpan data hasil analisis yang telah selesai diolah."Ada yang gosipin Ketua kali," celetuk Yanto yang tengah menimbang serbuk natrium benzoat."Kalo nimbang yang fokus, Yanto, nanti salah takaran lagi," tegur Kiria. "Natrium benzoat higroskopis jangan terlalu lama dibiarkan di tempat terbuka begitu," tambahnya lagi.Yanto langsung sengar-cengir. Amira menatap prihatin, tetapi mendukung pendapat Kiria. Sementara, Arlita tertawa lepas, tetapi tak lama.Kiria juga menegurnya, "Lita, kamu sudah meneteskan 4 tetes metilen blue, harusnya cuma 3 tetes. Ulangi prosesnya dari awal.""Yah, Ketua ....""Ulangi!" tegas Kiria.Arlita terpaks
Kanania menggigit ujung jari. Dia mencoba menggali ingatan. Namun, tak ada satu pun tentang orang bernama Lusiana dalam perjalanan karirnya."Apa orang baru, ya? Bisa jadi sih, beberapa hari ini juga selalu masuk tawaran bintang iklan," gumamnya. Kanania menghela napas berat. Dia sedang tak ingin pekerjaan tambahan lagi menjelang pernikahan. Seingatnya, manajer sudah mengatur semua jadwal dengan rapi. "Eh tunggu! Bukankah harusnya mereka tawarkan lewat manajer. Dari mana orang ini dapat nomor pribadiku?"Kanania mulai merasa resah. Nomor asing itu seperti sosok yang mengintai diam-diam. Tangannya sedikit gemetar saat mengetikkan pesan balasan. ["Siapa kamu? Siapa yang menyebarkan nomor pribadiku?"]Lama tak ada balasan. Kanania menggigiti ujung kuku. Kecurigaan pada Kiria melintas. Namun, dia menggeleng cepat. Kiria tidak akan membalas dendam dengan cara yang merepotkan. Kemungkinan besar saingan di dunia keartisan. ["Kamu disuruh, Jeje, Lulu, atau Kayla, hah?"]Tiga orang tersebu
Mendengar bunyi mencurigakan di luar, Kanania yang berada dalam kamar langsung menyeringai. Dia cepat mengganti pakaian dengan gaun tidur seksi. Sebelum keluar kamar, dia melapisinya dengan jubah mandi. "Kak Arya? Kakak baik-baik saja?" serunya saat menuju ruang tamu. Dengan tak sabar, Kanania melangkah cepat. Namun, Arya tak ditemukan di ruang tamu. Kanania megedarkan pandangan. Matanya kini tertuju pada pintu yang terbuka lebar. Engselnya sedikit rusak seperti dibuka dengan paksa. Kanania pun berlari ke luar. Mobil Arya sudah tak lagi terparkir di halaman. Kanania menendang meja teras, tetapi langsung mengerang karena tendangannya terlalu kencang sehingga kaki terasa ngilu. Untung saja, kakinya tak tertimpa kaktus seperti Aldino. "Sial*n! Kenapa bisa lolos? Padahal, aku sudah memesan obat yang sangat kuat," umpat Kanania. "Ya, tentu saja tidak mempan. Arya itu sudah sering diracuni dengan obat kuat. Selama ini, Jika orang lain pasti tidak bisa menahan diri, maka dia bisa
"Ketua? Ketua?"Arlita menggerak-gerakkan tangan di depan wajah Kiria. Namun, Kiria tetap tak bereaksi. Dia hanya menatap hampa gelas beker di atas pengaduk magnetik."Ketua!" seru Arlita lebih keras.Kiria tergagap. "Ya, ya, ada apa, Lit?""Waktu pengujiannya sepertinya sudah terlewat, Ketua," sahut Kiria seraya menunjuk stir bar yang telah berhenti berputar.Kiria menepuk kening, lalu mendecakkan lidah berkali-kali. Seorang penggila kerja sepertinya melamun saat dituntut fokus rasanya sangat memalukan. Kiria mengamati jam tangannya, sudah terlewat 30 detik. Dia menghela napas berat."Lewat 30 detik, harus diulang dari awal," keluhnya."Kan, cuma lewat, 30 detik, Ketua," celetuk Arlita sambil mengisi gelas ukur 100 ml dengan gliserin.Kiria mendelik tajam. Arlita menyegir lebar. Kiria mengambil gelas beker baru, menuangkan kembali sampelnya. Setelah memasukkan stir bar, dia menyalakan kembali menyalakan pengaduk magnetik dan mengatur timer."30 detik itu sangat berarti, Lit. Janganka