Abigail tersadar dari lamunannya sesaat. Ingatannya sempat kembali pada masa dimana ia akhirnya menyandang namanya yang sekarang. Pada mulanya ia tidak terima melepaskan nama keluarganya, tetapi ia kemudian sadar bahwa itulah cara Alex untuk menjauhkan dirinya dari bahaya.
Abigail meraih blazer merah dari balik pintu kemudian memakai sembari melangkah tergesa keluar dari kantornya. Ia sudah membuat janji dengan Mr.Thompson untuk membicarakan tentang misinya. Tidak, ia tidak mengatakan pada dektektif itu detail tujuannya mencari tahu identitas rival bisnis James, ayahnya. Ia hanya akan menyampaikan alasan yang berhubungan dengan bisnis.
Saat mobilnya tiba di halaman parkir L'Restaurante, sudah terlihat dari kejauhan sosok Mr.Thompson yang duduk di sudut ruangan dekat dengan jendela besar. Mungkin agar mempermudah dirinya mengawasi sekitar.
Tak masalah bagi Abigail, ia telah merogoh kocek cukup dalam untuk mempekerjakan pria itu. Sudah seharusnya ia melakukan segalanya sesuai keinginan.
Abigail melangkah masuk ke restaurant itu, beberapa pasang mata langsung tertuju padanya. Ia memang memiliki kecantikan dan pesona. Rambut hitam yang panjang terurai, tubuh jenjang sedikit berisi, serta proporsi wajah yang menawan.
Gadis itu mengulas senyum tipis sembari tetap melangkah anggun. Ia segera duduk berhadapan dengan Mr. Thompson saat tiba di meja, dan memesan secangkir kopi untuknya.
"Maaf membuatmu menunggu lama." Gadis itu meletakkan tas tangan di sampingnya lalu membenarkan duduk agar lebih nyaman. "Kita mulai saja, jika kau tidak keberatan. Kau pasti punya kepentingan lain."
"Ah, baik, Nona Genovhia." Pria itu terlihat gugup, mengeluarkan beberapa berkas data yang ia miliki.
"Ini beberapa hal yang aku miliki tentang rival bisnis tuan James Anderson, dan ... ada namamu juga sebagai pembeli sisa aset yang dimilikinya sejak kebakaran."
"Oh, ya, benar. Aku memang membelinya, sayang saja jika lahan itu tidak dimanfaatkan. Sementara untuk membangun ulang sebuah perusahaan bukanlah hal mudah, bukan?!"
"Benar, nona. Apakah tuan James adalah rivalmu?" selidik pria itu. Abigail menyandarkan punggungnya.
"Hmm ... bagaimana aku menjelaskannya, ya? Jadi, keluargaku memiliki saham di perusahaan tuan Anderson, dan ketika aku ingin mengambil alih saham tersebut, justru terjadi kejadian naas itu. Semua aset dan lainnya hangus sudah. Aku hanya sedang ingin membangun kembali usaha keluargaku, tetapi dengan cara yang benar." Abigail menghirup kopinya sejenak.
"Aku harus tahu, segarang apa rival bisnis tuan Anderson agar bisa menyiasati perusahaanku tak mengalami nasib sama. Kau tahu,'kan, dunia bisnis sangat kejam." Gadis itu menghentikan kalimatnya. Telunjuknya memainkan bibir cangkir yang masih berada di atas mejanya.
Mr. Thompson memandangnya penuh tanya. Ia kemudian menoleh ke arah lain di mana beberapa pria masih memaku tatapan mereka pada gadis anggun di depannya.
"Sejak tadi beberapa pasang mata itu tak lepas memerhatikanmu," ucap Mr. Thompson kemudian menyeruput kopinya. Tegukan terakhir. Abigail menoleh sedikit mengikuti arah yang ditunjukkan Mr. Thompson, senyum simpul tersungging di ujung bibirnya.
Ia tak perduli berapa pasang mata pun yang memerhatikannya, ia tidak tertarik.
"Kau ingin pesan kopi lagi?" tawar Mr. Thompson pada Abigail. Gadis itu menggeleng.
"Aku cukup. Setelah ini harus kembali ke kantor. Kau sendiri?"
"Ah, aku akan memulai pencarian saja. Day is still young, aku harus memanfaatkan dengan baik. Kau membayarku tidak sedikit untuk ini."
"Baguslah kalau begitu." Abigail menghirup minumannya terakhir kali sebelum kemudian bangkit. "Untuk selanjutnya jika ada informasi dan apa pun yang kau butuhkan bisa menghubungi nomorku. Aku permisi."
Abigail mengambil selembar kartu nama dari tasnya kemudian meletakkan di atas meja, mengangguk, lalu memutar tubuh melangkah meninggalkan restaurant.
***
Abigail menderap langkah memasuki gedung kantornya. Beberapa pegawai menyapa dan menyambut kedatangannya. Terlalu berlebihan baginya, tetapi hal itu sudah menjadi kebiasaan pegawai yang sebagian besar adalah berasal dari perusahaan James Anderson. Pegawai yang loyal dan dapat menjaga kepercayaan dengan baik.
"Nona Genovhia," panggil seseorang sembari berlari kecil mengejar langkah Abigail. Gadis itu memutar tubuh demi melihat siapa yang terlihat datang terburu-buru.
"Ya, Tamara? Apakah ada masalah?"
Tamara mengatur nafas sebelum menjawab pertanyaan bosnya. Ia menyodorkan sebuah amplop cokelat beserta sebuah undangan.
"Amplop cokelat itu baru saja dikirimkan oleh Mr. Thompson, dan undangan itu—"
"Aku bisa membacanya, Tamara. Terima kasih, kau bisa melanjutkan pekerjaanmu. Oh, iya, tolong pesankan gaun di butik yang terbaik. Kau pasti tahu bagaimana seleraku." Abigail kembali melangkah menuju ruangannya. Namun, ia berhenti sejenak, berbalik lagi.
"Terima kasih, Tamara," ucapnya lagi, kemudian melanjutkan langkahnya.
Setiba di ruangannya, ia membuka amplop cokelat yang dikirimkan Mr. Thompson. Ada beberapa nama rival bisnis yang ternyata memiliki saham di perusahaan lama ayahnya. Sayang, perusahaan itu sudah tak menyisakan aapaa pun selain puing kala itu, karena ulah Abigail sendiri. Gadis itu menyungingkan senyum sinis.
Ia meletakkan amplop itu di atas meja kerjanya, meraih amplop lain dengan aksen emas. Pelantikan CEO baru di Zacamers Corp. Ia baru mendengar nama perusahaan itu. Bisa jadi perusahaan baru atau berkembang. Belum sesukses perusahaan miliknya. Tentu saja.
Perusahaan miliknya merupakan perusahaan yang dikelola dengan baik oleh ayahnya, tentu saja sebelum tragedi itu terjadi. Hingga saat Abigail kembali, perusahaan itu masih berdiri berkat Alex. Dan kini, ia melanjutkan apa yang sudah dilakukan James dan Alex. Tentu saja, masih dalam pantauan pamannya.
Sesungguhnya Abby sedikit gentar jika harus menghadapi musuh ayahnya seorang diri, tetapi Alex berjanji akan selalu menjadi pendukungnya kapan pun ia membutuhkan.
Abigail melemparkan undangan itu ke atas meja, mengambil telepon kantor dan menekan tombol line yang langsung terhubung pada asistennya, Tamara.
"Tamara, bagaimana gaun yang kupesan?" tanya Abigail sembari memainkan kukunya.
"Sedang proses pengantaran, Nona Genovhia. Apakah sebaiknya kuambil langsung agar anda tidak perlu menunggu?" ucap Tamara, memastikan.
"Tidak, biarkan saja. Aku akan ke salon sebentar, tolong kau awasi lainnya. Pesta pelantikan ini penting, siapa tahu mereka bisa menjadi kolega bisnis yang potensial."
Abigail menutup sambungan telepon, kemudian bergegas ke salon seperti yang ia rencanakan. Acara pelantikan bisa menjadi berbagai macam kesempatan. Kesempatan menjalin hubungan bisnis dengan perusahaan baru, sekaligus bertemu dan mengenal satu per satu rival bisnis ayahnya.
***
Seorang pria dengan penampilan parlente, mengenakan setelah jas berwarna silver dipadu kemeja hitam, terlihat menawan. Sorot mata tajam yang dihias bulu mata dan alis yang lebat, serta rambut kecoklatan yang disisir rapi melengkapi ketampanan dari pemilik rahang tegas itu.
Ia berdiri dan berbincang dengan lainnya di antara alunan musik jazz nan lembut, menanti sang empunya acara naik ke atas panggung dan memanggil namanya untuk maju ke podium.
Pesta sedang berlangsung sebagaimana mestinya saat kemudian seseorang melangkah masuk ke dalam aula tempat dihelatnya acara tersebut.
Dengan gaun malam velvet yang membalut tubuh, bibir ranum dipoles lipstick berwarna pink muda, menambah pesona dan kecantikannya. Semua mata terpaku saat ia berjalan masuk, tak elak Zachary Emerson-sang putra mahkota Emers Corp. Ia bahkan tak ingin berkedip dan melewatkan kehadiran gadis itu. Jika saja ia tak mengingat dirinya sudah memiliki kekasih, maka sudah ia datangi sosok menawan itu.
Abigail yang kini tengah berada di antara lainnya, sepertinya tak ingin beramah tamah dengan tamu lain. Ia terlihat memilih tempat yang agak jauh, mengedar pandangan dari sudut ruangan yang hiruk-pikuk dengan suara musik mendayu-dayu.
Ia memerhatikan saja bagaimana pesta berlangsung, dan seperti apa penampakan sang putra mahkota pemilik Emers Corp yang ramai diperbincangkan terlebih oleh kaum hawa. Mungkin saja ia bisa menjalin hubungan baik dalam hal bisnis.
Tak berapa lama, harapan Abigail terwujud. Garry Emerson sebagai pemilik perusahaan Emers Corp naik ke atas panggung, memperkenalkan putranya yang akan menjabat sebagai CEO dari perusahaan miliknya sendiri sekaligus anak perusahaan Emers Corp.
Zachary Emerson yang disebutkan oleh pria bertubuh tambun itu kemudian maju ke depan, disambut sorak sorai beberapa pemuda yang terlihat seperti sahabat pria itu.
Lainnya mengiring langkah Zachary dengan tepuk tangan yang meriah. Namun, tidak dengan Abigail. Ia memutar tubuh dan melangkah keluar dari ruang pesta sebelum memastikan seperti apa penampakan seorang Zachary Emerson. Ia berubah pikiran dan memilih untuk hengkang dari acara itu.
Setidaknya ia sudah mengisi buku tamu dan membiarkan mereka mengetahui nomor yang mungkin bisa mereka hubungi nanti. Untuk saat ini ia ingin sendiri.
***
Abigail masih duduk menghadap layar laptop, mengawasi pergerakan indeks saham untuk beberapa anak perusahaannya. Ia berharap kali ini akan kembali memenangkan beberapa perusahaan incarannya. Ia ingin menanamkan aset di perusahaan pertambangan. Prospek yang cukup bagus dan potensial. Sesekali ia menghubungi Tamara, sekretarisnya untuk melakukan pemeriksaan secara manual dengan menghubungi perusahaan miliknya. Beberapa hari ini akan menjadi hari paling menegangkan baginya dan juga seluruh karyawan perusahaannya. Tak lama ponselnya berdering. Nama Alona tertera di sana. Panggilan rutin yang selalu dilakukan bibinya terlebih setiap kali perusahaan mereka ikut dalam trading besar seperti saat ini. “Halo, Bi,” sapa Abigail, tanpa mengalihkan mata elangnya dari layar. “Kau jangan hanya duduk di depan layar, jangan lupakan perutmu. Bibi tidak mau sampai asam lambungmu kambuh lagi. Siapa nanti yang akan mengurus jika kau sakit?” “Iya, Bi ... aku tahu. Kami sedang bersaing ketat dan ak
Abigail dan pria berkumis tebal dengan jas kulit berwarna coklat membungkus tubuhnya, kini tengah duduk di tempat yang sama seperti beberapa waktu sebelumnya. Mereka memutuskan untuk bertemu setiap dua minggu sekali untuk menyetorkan informasi yang ia dapatkan kepada Abigail. Terlebih setelah kekalahan Abigail dalam perang bisnis beberapa waktu lalu, Mr. Thompson kebetulan mengikuti juga perkembangan berita tersebut, membuatnya tak sabar untuk menyampaikan hasil investigasinya. Senyum terulas di sisi wajah Abigail. Lipstik merah menyala yang terpoles di bibirnya menambah kesan dominan dan mungkin antagonis bagi sebagian besar orang yang tidak mengetahui latar belakang gadis itu. Informasi yang ia dapat dari Mr. Thompson cukup sebagai penunjuk arah baginya. Hanya tinggal menyusun rencana untuk langkah selanjutnya. Sepeninggal Mr. Thompson, Abigail mengambil ponsel, kemudian menekan nomor pria itu dan menunggu jawaban dari seberang. Ia membenarkan duduk, melipat kaki dengan anggu
Setelah pertemuannya dengan Zachary beberapa kali, Abigail mulai menemukan ritme dan siasat untuk menaklukkan pria itu. Terakhir kali mereka bertemu, Abigail sudah bisa melihat ada ketertarikan di mata pria itu. Kali ini saatnya ia membalas kebaikan Zachary. Ia berencana mengundang pria itu untuk makan malam, ia yang akan menjamu sendiri tamu istimewanya, bahkan mempersiapkan segala bahan yang dibutuhkan. Untuk mendapatkan ikan paus, ia harus menyiapkan jala yang besar. Bahkan bila perlu, ia akan menggunakan peledak untuk menghancurkannya mangsanya. Apa pun akan ia lakukan demi lancarnya misi balas dendam ini. Abigail berjalan santai mendorong keranjang belanjaan dan memilih bahan yang ia butuhkan. Hingga tak sengaja ia berpapasan dengan seseorang. Seolah takdir memiliki kehendak yang sama, Zachary kini berdiri di hadapan Abigail nyaris tertabrak kereta belanja milik gadis itu. “Whoa ... lihat jalan–“ Zachary membulatkan mata saat melihat siapa yang berada di depannya sekaran
Mr. Thompson menyodorkan sebuah kartu nama pada Abigail. Dengan cepat gadis itu meraihnya dari meja dan membaca barisan huruf yang tertulis di sana. Alice Denver, merupakan detektif yang direkomendasikan oleh Mr. Thompson untuk menyelidiki dan mencari keberadaan adik Abigail. Beberapa saat Abigail terdiam, menimbang-nimbang keputusan darinya apakah akan menyewa Alice atau tetap menyerahkan semua pada Mr. Thompson. Sejauh ini ia tidak mengalami masalah dengan pria itu. Namun, justru pria itu sendiri yang menyarankan untuk memakai jasa lain agar kasus tidak tercampur. Terlebih, Abigail masih mampu membayar bahkan ratusan detektif sekali pun. Ia hanya mempertimbangkan, dengan adanya pihak lain yang ia gerakkan, itu berarti latar belakang keluarganya akan diketahui lebih banyak orang. Dan ia tak ingin itu terjadi. “Ia sangat kompeten dan bisa dipercaya, jika itu yang menjadi pertimbanganmu, Nona Genovhia.” Mr. Thompson berusaha meyakinkan Abigail untuk segera membuat keputusan. Gad
Hari Minggu terasa lambat berlalu bagi Abigail. Ia merasa bosan hanya berdiam di rumah tanpa kawan. Sejak dulu ia memang menghindari pertemanan dengan siapa pun. Ia tak ingin citra yang telah ia bentuk sejak awal akaan sirna, karena ada orang terdekat yang mengenali dirinya yang sesungguhnya. Itulah sebabnya Abigail lebih suka menghabiskan waktu di perpustakaan sekolah atau kampus. hanya sendiri dan tenggelam dalam bacaan di hadapannya. Dan itulah yang dikenal orang darinya, seorang kutu buku yang dingin dan tertutup. Namun, di usianya yang sudah menginjak kepala tiga, ia mulai merasa hidupnya membosankan. Ia teringat masa kecilnya, memiliki seorang teman pria, satu-satunya yang dapat ia percaya. Sayang, pertemanan mereka hanya sebentar karena berikutnya yang ia tahu, pria itu sudah tidak lagi berada di Estern Shore, kota asal mereka. Ia lalu
Sidney dan Zachary berada dalam mobil setelah acara makan malam mereka. Suasana yang semula mesra dan hangat, berubah seketika tatkala Zachary mendadak terlihat sedang termenung. Matanya menatap lurus ke jalan beraspal di hadapannya, tetapi beberapa kali ia nyaris menyerempat kendaraan lain, bahkan sampai hampir bertabrakan. Sidney sangat mengenal pria itu, ia tak akan hilang fokus seperti sekarang jika tak ada masalah yang mengganggu pikirannya. "Ada apa denganmu, sayang? Sejak tadi kau seperti tidak benar-benar berkonsentrasi pada jalanan di hadapanmu." Sidney membuka obrolan, karena mengerti Zachary tak akan memulai jika ia tidak mengawali. Pria itu pada mulanya menolak unuk menjawab. Ia bergeming, tak mengucap sepatah kata pun. Berpura fokus pada jalanan padat di hadapannya, padahal sesungguhnya pikirannya sudah tak berada di tempat seharusnya.
Abigail menghentikan mobil saat melihat siapa yang duduk di pinggir jalan bersama seorang gadis. Tak salah lagi, itu adalah Zachary dan gadis yang tampak tak asing. Mungkin itu gadis yang bernama Sidney, kekasih Zachary. Ia bergegas keluar dari mobil dan menghampiri keduanya. "Zac? Apa yang sedang kau lakukan di sini?" tanya Abigail, dan ia tak perlu mengulangi pertanyaan ketika matanya tertuju pada kemerahan yang ada di kening Zachary. Sidney bangkit kemudian mendekat pada Abigail. Keduanya tampak bagaikan sepasang musuh yang hendak menghancurkan satu sama lain. Tatapan tak suka terlihat dari sorot mata Sidney, sementara Abigail yang berdiri di depannya terlihat tenang. "Hai, aku Abigail, rival sekaligus calon rekan bisnis Zachary. Kau pasti ...." Abigaail mengulurkan tangan hendak
Tamara masuk ke ruangan Abigail, saat atasannya itu terlihat sedang merenung. Tamara yang telah bekerja pada Abigail sejak awal sangat memahami bagaimana perangai dan karakter bos-nya. Terlebih jika wajahnya muram seperti hari ini. "Apakah ada yang mengganggu pikiran anda, Nona Genovhia?" tanya gadis yang berusia lebih muda empat tahun darinya. Gadis itu bergeming, menanti jawaban Abigail. Ia tak akan beranjak sebelum memastikan bahwa atasannya baik-baik saja. Abigail menggeleng. "Tamara, katakan padaku, apakah aku terlihat tua?" tanya Abigail, polos. Tamara berusaha untuk tidak tersenyum apalagi tertawa, meski ekspresi wajah polos Abigail membuatnya ingin melakukan itu. Namun, ia tahu bahwa ini bukan perkara main-main. Ini adalah masalah yang cukup serius. Tamara menghormati Abigail. Meski gadis itu seringkali memint