Share

Bab Empat

Aku memandangi perempuan berjilbab abu-abu yang tengah mengomel-omel kepada orang yang di teleponnya. Hatiku sedikit bergetar tak menentu melihatnya marah-marah. Perasaan yang sama seperti yang pernah aku rasakan kepada Lisa. Ah, ngapain aku menatapinya seperti itu. Nanti dia malah risih.

“Atul, bang.” Ujar gadis yang duduk di sampingku memperkenalkan diri. Semester lima jurusan Hukum Tatanegara.”

“Syari’ah juga ya.”

“Iya, bang. Ada satu lagi yang satu kosan. Namanya Nala, jurusan Sastra Inggris. Itu dia bang yang pake jilbab abu-abu.” Aku mengikuti telunjuk Atul yang mendarat pada gadis manis yang sedari tadi aku pandangi. Jadi namanya Nala.

Aku kaget melihat gadis ini. Dia begitu blak-blakan sampai membuatku salah tingkah. Berbeda sekali dengan Lisa.

“Abang kuliah dimana? Umurnya berapa? Udah nikah belum?”

“Di McGill. Belum, rencananya mau nugguin kamu.” Entah karena kaget mendengar gombalanku atau karena apa. Gadis ini langsung tersedak.

“Abang kuliah di McGill? Beneran bang?"

“Iya kenapa emangnya?”

“Ya, emang kenapa, La?” Bang Zaki  memandangku. 

“Mau tau aja atau mau tau bingit?”

“Ye, malah becanda. Seriusan ini.”

“Nggak. Cuma kaget aja. Bang Nara satu kampus dengan orang yang bakal di jodohin sama aku.”

“Emang kamu di jodohin?” Bang Andi ikut menatapku dengan rasa penasaran.

“Iya. Tau tuh, mak. Ngebet banget nyuruh aku nikah. Sebulan terakhir ini nelpon tiap hari. Bukannya nanyain aku udah makan atau belum. Malah nanyain mau terima lamarannya kan? Siapa yang nggak kesal coba. Aku masih semester lima malah di suruh nikah. Kalau nanti suamiku nggak ngizinin kuliah gimana coba.”

“Emang siapa namanya?”

“Nanda Rasyid.” Aku langsung tersedak mendengar namaku disebut oleh Nala.

“Kata mak sih dia juga kuliah di UIN dulu. Trus sekarang S3 di Kanada. Kalu emang satu kampus. Bang Nara pasti kenal.” Aku hanya terdiam, sementara anak-anak lain malah cekikikan. Gadis itu hanya bisa memandang dengan heran.

“Apaan sih yang di ketawain? Ada yang lucu ya?”

“Iya,” kor mereka semua kecuali aku dan Nala.

“Lah apa?” Gadis ini tambah bingung.

“Emang kamu nggak lihat foto calon kamu?” ujar Andi.

“Nggak. Ngapain liat-liat nanti aku malah naksir.”

“Dasar ele.

“Ish, bang Andi kenapa sih? Malah ngatain bego lagi.”

“Ya, salah sendiri nggak liat fotonya. Kalau kamu liat kamu pasti bakalan kaget.”

“Kenapa?”

“Karena, Nanda Rasyid yang kamu sebutin tadi itu adalah bang Nara.” Perkataan Atul membuat gadis ini tersedak. Dia diam seraya menatapku dengan ragu. Lantas menyapu bibirnya yang terkena kopi. Lalu dia berdiri, sedikit membungkuk ke arahku dan yang lain seperti kebiasaan di Korea. 

“Aku permisi dulu ya abang-abang dan kakak-kakak.” Tanpa menunggu jawaban dari kami, dia langsung tancap gas menuju meja teman-temannya. Sepertinya dia malu atau malah jengkel.

Semenjak kejadian itu, aku tak pernah melihat Nala. Dia tak mau ke kontrakan daerah. Setiap kali aku tanyakan pada Atul, dia selalu mengatakan kalau Nala tidak berada di kos. “Nginap di kos temannya, bang.”

Ah, Nala. Kenapa dikau malah menghindar? Apa aku segitu buruknya untuk bersanding denganmu? Atau memang kau tak menginginkan lelaki tua sepertiku. Aku selalu terbayang-bayang wajah Nala. Bahkan aku sering memimpikannya. Seyumannya yang jahil dan tawarnya yang selalu lepas. Semua keceriaan dan ocehannya mampu membuatku melupakan Lisa, untuk pertama kalinya semenjak lima tahun ini.

Aku memutuskan untuk tak menyerah kali ini. Aku akan mengejarnya. Kali ini tak akan aku lepaskan. Pohonku boleh layu dan daunnya senantiasa berguguran dikarenakan akarnya yang terlalu kering akibat sengatan matahari. Tapi, kali ini aku tak akan melepaskan awan yang datang memberi keteduhan. Lisa boleh jadi Matahari bagiku. Tapi sayang cahayanya terlalu cerah sehingga membakarku.  Sementara itu Nala terlihat seperti awan yang meneduhkan bagi hatiku yang terlalu lama kering kerontang. Perlahan tapi pasti daun-daun jiwaku mulai menghijau kembali dan mulai membisikkan nyanyiannya. Nyanyian yang bagiku masih terasa sumbang.

Aku memberanikan diri untuk menghubungi Nala. “Ya, maaf ini siapa?” suaranya terdengar ceria. Semoga hatinya juga se ceria suaranya.

“Ini bang Nara.”

“Oooohh, bang Nara. Ada apa bang?” Ternyata nada suaranya tidak berubah.

“Kamu ada waktu nggak nanti malam?”

“Ada sih bang. Kenapa emangnya, bang? Mau ajak jalan, ya?”

“Emangnya kamu mau jalan sama abang?”

“Boleh. Kemana?”

“Kita liat nanti aja. Nanti abang jemput habis Isya.”

“Oke, bang.”

***

Aku sangat malu mengetahui bahwa laki-laki yang ada di hadapanku adalah orang yang dijodohkan denganku. Aku ingin berteriak-teriak. Alhasil malam itu teman-temanku menjadi sasaran empukku. Aku berteriak tak karuan di kos.

“Lu sih, mulut ember banget udah kayak kaleng bocor.” Zen bersungut-sungut padaku akibat rambutnya yang aku tarik-tarik terus. 

“Ya, mana gua tau kalau ternyata dia yang di jodohin sama gua.”

“Trus gimana sekarang?

“Aku juga nggak tau, Rum.”

Aku menghela napas panjang. Sudah berkali-kali aku mencoba untuk tidur. Tapi tak bisa. Bayangan bang Nara senantiasa memenuhi pikiranku. Apa aku jatuh cinta? Apa aku terima saja perjodohan ini? Tapi kalau seperti itu bagaimana dengan kuliahku. Ah, cinta memang tak mengindahkan logika. Tapi mau bagaimana lagi. Perasaan ini tak bisa di tolak begitu saja. Dia terlanjur mengikat kuat dan aku tak sanggup untuk membuka ikatannya.

“Mak, aku bakalan pulang liburan semester nanti.”

“Kau mau menerima lamaran itu?”

“Ish, si mak masih aja mikirin lamaran.”

“Kalau kamu nggak menerima lamaran itu. Kamu nggak boleh pulang.”

“Mak yakin? Oke, nanti Nala nggak bakalan pulang-pulang.”

“Iya. Pokoknya nggak boleh pulang, Tuutt,-“ Sambungan telpon terputus. “Dasar emak. Ngotot banget nyuruh anaknya nikah.”

***

Aku masih tak bisa melupakan bang Nara. Terlebih jika mengingat sebentar lagi iya akan menikah. Aku mendengar kabar jika bang Nara akan pulang bersama calonnya liburan semester ini. Tampaknya dia menerima lamaran.

“Lisa, buatkan uda kopi.”

“Iya, da. Sebentar.”

“Apa yang kau lamunkan di dapur? Aku lihat semenjak si Nara pergi kau sering melamun.”

“Tidak ada, uda. Aku hanya kepikiran anak-anak saja.”

“Kau tak usah berbohong sama uda. Aku tahu betul yang kau pikirkan.” Tiba-tiba sebuah tamparan melayang di pipiku. Aku hanya bisa menahan tangis. “Kau ingat ya, Sa. Sekali lagi ku dapati kau melamun seperti itu. Habis kau ku pukuli.” Da Tono meninggalkanku yang sudah sesegukan di ruang tamu. Sementara kopi yang di mintanya tadi dibiarkan begitu saja.

Andai itu kau bang Nara. Tentu kau tak akan pernah menamparku seperti ini. Mana mau kau menyakitiku barang seujung kuku pun. Aku tak bisa mengendalikan perasaanku. Setiap hari aku hanya melamun. Aku tak bisa melepaskan pikiranku dari bayang-bayang bang Nara. Bahkan aku tak mengacuhkan lagi suami dan anakku. Aku juga tak merespon kala uda Tono marah-marah atau memukuliku. Kata dokter di kampungku, aku stres.

“Kau tak bisa berbuat banyak, Kari. Saran saya jangan membuat Lisa semakin banyak pikiran. Jika dapat, apa yang menjadi beban pikirannya itu dicari tahu dan diberikan penawarnya.”   

Aku berpura-pura tidak tahu dengan perkataan dokter Razak yang masih seorang kawan lama. Mana mungkin uda Tono mau melepaskanku untuk kembali kepada bang Nara. Lagi pula sebentar lagi bang Nara akan kawin.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status