Share

Bab Tiga

"Aku tidak mau menikah, mak. Aku itu masih kecil. Masih 20 tahun. Aku juga mau kuliah dulu. Aku masih semester lima, mak.” Aku bersungut-sungut menerima telepon amak. Masih saja telepon mengenai pernikahanku. Apalagi ini soal masa depan. Aku tak mau menikah cepat. Aku tak mau berhenti kuliah. Masih banyak mimpi-mimpiku yang belum aku capai. Aku juga tak mau kehilangan beasiswaku hanya karena menikah. Apalagi aku dengar calonku sudah tua. Sudah berumur 27 tahun. 

“Pokoknya Nala tak mau.” Aku mematikan teleponku.

“Kamu kenapa, La? Kok marah-marah gitu.” Ria temanku memandangku dengan rasa ingin tahu yang besar. Aku menghela nafas. Memandang sekeliling. Tampak beberapa orang menatapku dengan ingin tahu. Aku sama sekali tak sadar jika tengah berada di tempat ngopi yang biasa aku datangi bersama anak-anak kontrakan daerah atau bersama teman-temanku. “Oi, kalau di tanya itu ya di jawab dong. Bukannya malah bengong.”

“He, sory sory. Marah aja. Aku disuruh nikah.” Sonya yang tengah minum teh langsung tersedak mendengar ucapanku. “Seriusan lu?”

“Iya. Tuh Nyokap gua kayaknya serius kali ini. Setiap hari nggak ada bosan-bosannya nelpon gua. Kalo gua nggak mau nikah, dia ngancam mau bunuh diri.”

“Hee? Kok bisa malah mama kamu yang mau bunuh diri kalau nggak kamu terima. Di mana-mana kalau di TV biasanya anaknya yang mau bunuh diri kalau permintaannya nggak dituruti.” Arum ikut berkomentar.

“Hehe, mamaku kan korban sinetron, Rum.”

“Ah, kamu becanda aja La.”

“Ye, aku seriusan, Rum.”

“Trus gimana sekarang? Ujar Aisyah.

“Kamu kan tengah menerima beasiswa. Bisa-bisa kalau nikah, nanti malah di keluaran.” Sela Zena.

“Aku juga bingung. Lagi pula aku nggak mau. Umurnya udah tua. Udah 27 atau 28 an. Mamaku juga nggak tau pasti. Udah gitu kabar-kabarnya wajahnya jelek, pendek, hitam. Pokoknya gitu deh.”

“Ussh.. Nggak boleh ngehina kayak gitu. Nanti malah kualat lo.”

“Hahaha,. Becanda, Rum. Aku nggak peduli sama fisik atau umur. Itu hanya alasanku saja sama mama. Habisnya mama nggak terima kalau yang menjadi alasanku itu adalah kuliahku. Aku kan nggak terima kalau harus kayak gitu. Aku masih pengen kuliah. Nanti gimana kalau sampai aku menikah trus suamiku ngelarang aku buat kuliah. Aku kan juga nggak bisa protes.”

“Kalau saranku mending kamu ketemu dulu sama masnya. Trus jelasin baik-baik. Siapa tau dia mau ngerti.”

“Kalau dia nggak mau ngerti gimana, Syah? Atau lebih parah lagi gimana kalau dia pura-pura ngerti tapi setelah nikah dia amlah melanggar janjinya. Aaaaaa…, pokoknya aku nggak mau nikah.” Zena dan Ria langsung membekap mulutku menahan teriakanku. Pengunjung lain menatap kami termasuk satu meja yang berisi anak-anak kontrakan daerahku. Aku mulai malu. Mengutuki diri. Terlebih bang Dani mengamitku menyuruh ke mejanya.

“Lu malu-maluin aja.” Kutuk Sonya.

“Gua juga malu tanpa harus lu ingetin. Guys, aku ke sana bentar ya.”

“Jangan lama-lama.”

“Iya, Zena cantik.”

Aku duduk di sebelah bang Dani. Tampaknya ada orang baru. Aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Mungkin senior.

“Kamu ngapain teriak-teriak di sana. Malu-maluin aja.” Protes bang Zaki padaku.

“Tanpa abang bilangan aku juga udah malu. Biarin aja. Semua orang juga bakalan ngerti kalau mak-mak udah ngumpul.” Aku cuek dan menyeruput jus mangga yang ada di depanku. Tak memedulikan siapa yang punya.

“Hoi, asal minum aja. Itu punyanya bang Nara tau.” Kak Atul berteriak histeris. Aku langsung terbatuk memandang laki-laki yang ada di hadapanku. Saat itu aku baru sadar betapa tampannya dia. Aku cengengesan sementara dia hanya tersenyum. 

“Minum saja, saya nggak sawan kok.”

“Nah, tuhkan abangnya nggak sawan, eh maksudnya nggak ngelarang.” Aku jadi salah tingkah akibat mulutku yang tak bisa di rem. Anak-anak kontrakan daerahku hanya bisa menggeleng-geleng.

“Maaf ya bang. Si Nala emang suka ceplas-ceplos nggak ngerem kayak gitu.” Bang Anto mewakiliku meminta maaf.

“He, santai aja. Nggak apa-apa kok.”

“Nala, bang. Aku menyodorkan tanganku memperkenalkan diri. Aku telah melupakan kejadian yang baru saja terjadi.

“Nara.”

“Cie, nama kita sama ya. Beda satu huruf saja. Jangan-jangan jodoh.” Aku langsung mengutuki diri. Spontanitas yang tak pantas. Tapi aku berpura-pura tak tahu apa-apa dan berusaha santai.

“Ni anak, mulutnya nggak pake rem ya.” Bang Andi memelototiku.

“Ye, si abang kok sewot. Cemburu ya.” Aku balik meledek. Aku langsung di jitak oleh bang Andi.

“Kan, beneran cemburu. Kalau nggak ngapai jitakin kepala orang.” Bang Andi hanya melongos tak tahu mau berkata apa. Sementara aku hanya cekikikan.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status