Share

Daun Yang Sumbang
Daun Yang Sumbang
Penulis: Fahmi Nur

Bab Satu

Kau tak perlu takut dengan dunia ini, sayang. Aku takkan meninggalkan dirimu barang sedetik pun bersama dengan kekejaman di dalamnya. Kau cukup menatap ke depan, sayang. Maka biarkan aku mengurus segala yang sumbang.

Jangan pergi, Lis. Aku tak bisa membayangkan hidupku ini tanpa dirimu. Kau sendiri juga tahu, Lis. Selama ini aku terlalu terbiasa dengan kehadiranmu.  Aku tak bisa membayangkan bagaimana nanti hari-hariku. Tentunya sepi tanpa kehadiran mu. Lisa, kau ingat bahwa setiap hari aku senantiasa menyantap senyuman manja dari bibirmu. Lantas bagaimana hariku sekarang? Tentu aku akan sengsara menahan rasa lapar akan dirimu. 

Bang Nara. Apalagi yang bisa aku katakan kepada abang. Hatiku juga sudah terlanjur sakit. Sakit bukan karena abang. Tapi sakit karena perpisahan ini. Abang sendiri juga tahu bagaimana aku sangat mencintaimu. Bahkan aku tidak yakin. Bagaimana caranya aku bisa hidup tanpa kehadiran mu. 

Hidupku juga terasa hampa, bang. Sama halnya dengan yang kau rasakan, bang. Tapi sudahlah, bang. Tak ada yang perlu kita sesalkan. Bila ternyata takdir jua yang tak mempertemukan. Seberapa eratpun kau menggenggamku. Bila memang Tuhan tak menakdirkan kita untuk berjodoh. Maka pasti akan ada jalan untuk memisahkan. 

***

“Hoi bro, melamun saja. Tak kau lihat matahari saja sudah tergelincir dari peraduannya. Kau masih saja setia dengan batang Jambu ini sambil melamun. Tak kau liat badan kau yang sudah sebesar lidi itu. Tak makan-makan. Kau malah memikirkan si Lisa saja. Aku jemput pula si Lisa itu ke Padang nanti.” Bang Sidompuan , seorang Batak peranakan Jawa mengagetkanku.

Memutus lamunan dan kayalanku mengenai Lisa, kekasih hati yang sudah lima tahun tak bersua. Bukan karena jarak. Hanya karena dia sudah kawin dengan Tono di waktu aku tengah mengerjakan skripsiku. Saat itu aku masih semester delapan.

Tono merupakan seorang kawan lama yang kaya raya. Dia anak dari tuan tanah di kampung kelahiranku, Canduang. Sebuah desa kecil yang semenjak tahun 2000-an menjadi bagian administratif dari kecamatan Canduang. Tidak lagi menjadi bagian dari kecamatan IV Angkek Canduang. Pada sekitar tahun 2000-an, sudah di pecah menjadi dua kecamatan. 

Tono bukanlah sembarang kawan. Dia juga merupakan saudara jauhku. Nenekku dan neneknya masih saudara seibu. Tapi sayang kehidupan mereka bak langit dan bumi.

Jika Nek Ipah, neneknya Tono, hidup dengan harta yang bergelimang. Kerbau yang tak bisa dihitung dan sawah yang berhektar-hektar. Maka nenekku, nek Dalimah, malah hidup melarat. Hanya bermodal sepetak ladang yang ditinggalkan oleh para tetua kaum. Sementara, bapaknya nenek. Jangan ditanya, semua kekayaannya jatuh ke tangan nek Ipah. 

Awal mulanya, aku berkawan karib dengan Tono. Tapi setelah kami tumbuh menjadi remaja tanggung. Aku acapkali bersitegang dengan Tono. Apalagi kalau bukan karena Lisa. Perawan dari desa sebelah, desa Lasi. Lisa sebenarnya masih terhitung saudara denganku. Kerabat jauh yang kami panggil dengan anak bako. Semasa kecil aku sering bermain di sawah dengan Lisa manakala aku mengunjungi nenek, yang merupakan ibu dari ayahku. 

Lisa seorang gadis manis berambut panjang sepinggang. Kulitnya putih dan memiliki badan yang bagus. Selain itu, Lisa juga bertubuh tinggi semampai. Di pipinya terdapat cekungan samar yang menambah kecantikannya. Wajahnya yang teduh dan senyumnya yang ramah dapat memikat siapa saja yang bertemu dengannya. Tua muda, laki-laki atau perempuan akan sangat senang bergaul dengannya.

Cinta mulai tumbuh di hatiku terhadap Lisa seiring waktu berlalu. Aku mulai menyadarinya, saat aku mulai remaja. Kala itu aku menginjak bangku pertama di Sekolah Menengah Pertama. Sementara, Lisa masih kelas Lima Sekolah Dasar. Aku mulai merasakan getaran aneh pada dadaku setiap kali Lisa tersenyum dan tertawa padaku. Aku juga merasakan badanku panas dingin. Semula aku mengira bahwa aku tengah demam. Kemudian hari aku sadar bahwa aku telah jatuh cinta padanya.

“Hei, Nara. Aku lihat akhir-akhir ini kau sering melamun. Kau malah senyum-senyum sendiri, bahkan terkadang tertawa sendiri. Apa kau baru saja mendapat jatah jajan lebih besar dari Nek Dalimah?” Tono mengejutkan lamunanku tentang Lisa siang itu. Kami tengah duduk bersama di sawah. Menunggui padi yang tengah menguning supaya tidak di makan burung gereja. 

“Ah, kau mengejutkanku saja Tono. Bukan karena jajanku yang bertambah Tono. Tapi sepertinya aku terkena demam Puyuh.”

“Demam Puyuh? Kau sakit? Apa yang sakit? Sudah kau bilang sama nenek, supaya dibuatkan segelas air beras dan irisan biji Kemiri?”

“Bukan sakit yang seperti itu, No. Sakitku kali ini beda. Badanku panas hanya saat aku bersua dengan Lisa. Jantungku senantiasa berdetak tak beraturan saat melihat dia tertawa. Bahkan acapkali aku seakan mati rasa manakala ia melempar senyum ke arahku.”

“Astaghfirullah. Itu bukan demam namanya, Nar. Itu artinya kau tengah jatuh cinta dengan gadis bernama Lisa itu.”

“Ah, kau mengada-ada saja No. Bagaimana mungkin aku jatuh cinta pada anak mamak-ku sendiri. Walaupun dia anak bako, tapi tetap saja rasanya tak mungkin.”

“Apanya yang salah Nar? Banyak orang-orang yang menikahi pihak bako-nya sendiri. Kalau kata urang awak. Bapulang ka bako.”

“Ah, tak mau aku. Lagi pula si Lisa sudah aku anggap layaknya adik kandungku sendiri.”

“Tak ada yang salah dengan hal itu, Nar. Aku yakin kau tengah jatuh cinta. Ngomong-ngomong si Lisa itu yang mana, Nar?”

“Dia anaknya Mak Utiah, adiknya bapakku yang paling bungsu. Kau mungkin tak tahu. Kau kan belum pernah aku ajak ke rumah bako-ku.”

“Ya sudah. Kalo seperti itu aku akan ikut kau kapan-kapan. Aku penasaran, seberapa cantik si Lisa itu.”

“Terserah kau lah. Ayo kita pulang. Sudah mau adzan Magrib.”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status