Share

Bab Lima

Mendengar Lisa sakit berat. Tak sampai hati aku untuk tak mengacuhkannya. Apalagi untuk tidak memikirkannya. Aku mulai dibayang-bayangi kembali oleh kehadiran Lisa. Wajah manisnya dulu kembali merusak bayangan Nala di dalam pikiranku. 

“Abang beneran mau pulang sekarang?”

“Iya Nala. Ada yang harus abang urus di rumah. Tak bisa ditunda lagi.”

“Ya sudah kalau begitu. Hati-hati ya, bang.” Meski Nala menghadiahkan senyumnya padaku. Aku dapat melihat dari matanya jika ia kecewa padaku. Bagaimanapun aku sudah berjanji padanya untuk pulang bersama saat dia liburan semester lima ini. Tapi aku juga tak bisa mengacuhkan Lisa begitu saja. Aku merasa kurang ajar pada kedua wanita ini. Terlebih kepada Nala.

“Nara, ada sesuatu yang mau aku pinta kepadamu?” Tiba-tiba saja Tono menelponku pagi itu.

“Ada apa Tono?”

“Apa kau bisa pulang ke kampung dalam minggu ini? Lisa sakit keras. Dia selalu menyebut nama kau dalam igauannya. Aku tak bisa lagi mengontrolnya. Kata dokter aku harus mengikuti maunya Lisa. Jika tidak, dia bisa saja kehilangan nyawanya. Dia tak mau makan. Kerjaannya hanya melamun dan menangis. Sekali-sekali dia berteriak. Aku mohon padamu Nara. Sudikah kau memberi bantuan untukku?”

Aku sedikit ragu untuk memberi jawaban pada Tono. Bagaimanapun luka masa lalu akibat pengkhianatan mereka berdua masih membayangiku. Lagi pula Lisa masih istri Tono. Aku tak mau dianggap sebagai perusak rumah tangga orang. Di sisi lain, aku tak bisa memungkiri isi hatiku. Bahwasanya aku masih memikirkan Lisa. Tiba-tiba keegoisan merasuk pikiranku. Aku tertawa dalam hati mendengar Lisa sakit. Tertawa mengejek pada Tono, karena nyatanya hati Lisa masih tak bisa dimilikinya.

“Baiklah, kari.”

Aku langsung menuju rumah Lisa begitu sampai di Bukittinggi. Aku mendapati perempuan itu tengah duduk di bawah pohon Jambu di pekarangan rumahnya. Matanya tampak kosong memandang jauh ke arah Gunung Marapi.

“Apa kabarmu, Lisa?” Dia tampak tak bernafsu menanggapi pertanyaanku. Dia terlihat enggan melihat ke arahku, namun begitu mengetahui siapa yang menegurnya. Matanya langsung terlihat berbinar. Senyuman tiba-tiba menghiasi wajahnya  yang tampak pucat dan semakin tua. Namun, bagiku Lisa tetaplah gadisku yang cantik seperti dulu. Tapi senyuman itu hanya bertahan beberapa detik. Wajahnya tiba-tiba berubah suram dan dia mulai mangis.

“Maafkan aku, bang Nara. Maafkan aku yang telah mengkhianati cinta kita.” Perlahan Lisa mengangkat tanganya. Dia meraih pipiku dan mengusap dengan lembut. Aku lupa diri. Lupa jika Lisa masih istri orang,. Aku membiarkan dia meraba wajahku. Aku membiarkan kerinduan yang telah lama aku pendam meluap untuk sesaat. Aku tak berkata sepatah katapun. Begitu juga dengan Lisa. Kami membiarkan rindu itu meluap begitu saja.

***

“Perasaanku kok tidak enak ya?”

“Ada apa, La?”

“Nggak tau, Rum. Aku merasa ada sesuatu yang terjadi dengan bang Nara.”

“Telepon saja dia kalau begitu.”

“Iya, ya. Pintar kamu.” Aku cengengesan kepada Arum yang hanya membalas ucapanku dengan helaan nafas.

“Iya, Waalaikumsalam. Ada apa, La?”

“Abang lagi dimana?”

“Ini lagi di rumah. Kenapa memangnya, Nala?”

“Nggak ada, bang. Aku hanya penasaran dengan kabar abang. Abang belum pernah memberi kabar semenjak pulang ke rumah. Sudah hampir dua bulan.”

“Maaf ya, La. Abang terlampau sibuk. Sampai tak sempat untuk memberi kabar.” Aku hanya menghela napas panjang. Aku tahu persis, bahwa bang Nara menyembunyikan sesuatu. Tapi aku lebih memilih untuk berpura-pura tidak tahu. Aku memutuskan sambungan telepon setelah sedikit berbasa-basi.

“Gimana, La?”

“Katanya dia tidak apa-apa, Rum. Tapi aku nggak yakin. Rasanya bang Nara seperti menyembunyikan sesuatu.”

“Mungkin itu hanya perasaanmu saja. Berdoa saja pada Allah untuk hubungan kalian.”

“Iya, Rum. Makasih ya.” 

Aku tak sabar menunggu mobil travel yang akan membawaku dari bandara menuju rumahku untuk berangkat. Sudah dua jam aku duduk di atas mobil menunggu penumpang lain. Hanya ada satu orang perempuan lain selain diriku. Aku mendumel dalam hati. Aku ingin segera bertemu dengan mak. Sebenarnya, aku ingin segera bertemu dengan bang Nara. Aku penasaran, apa yang tengah dikerjakannya.

“Kamu sudah di mana, La?”

“Masih di bandara, mak. Dari tadi nungguin penumpang nggak dapat-dapat.”

“Suruh sopirnya cepat.”

“Gimana caranya, mak. Masak aku harus sewa satu mobil.”

“Bila perlu, kayak gitu aja.”

“Ish, si mami ngebet banget liat anaknya cepat pulang.”

“Aku tak menunggu kau pulang. Aku suruh kau pulang cepat, karena ada perlu. Ini masalah si Nara, yang akan dijodohkan sama kau.”

“Kenapa dengan bang Nara emangnya, mak?”

“Pokoknya kau pulang saja. Nanti kita bicarakan di rumah. Niniak mamak sudah berkumpul di rumah.” Mak mematikan telpon. Aku cemberut. “Dasar si mami, kebiasaan.”

Aku jadi kepikiran perkataan mak. Ada apa dengan bang Nara? Kenapa tiba-tiba seperti ini. Aku tak bisa mengalahkan penasaranku.

“Uda, ayo kita berangkat.”

“Sebentar dek. Nunggu penumpang dulu. Nanti juga datang.”

“Nggak usah ditungguin, da. Aku sewa penuh aja.”’

“Beneran?”

“Iya, uda. Tapi Cuma buat tiga kursi sama aku, ya?” Laki-laki yang masih berumur sekitar 30 tahunan itu mengangguk setuju padaku dan segera melajukan mobilnya menuju Bukittinggi.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status