Durante mucho tiempo, Inés del Valle creyó que Emiliano Cornejo era su única luz en este mundo. Hasta que, mirándola directamente a los ojos, él le dijo con cruel indiferencia: —Mi compromiso con Mariana Altamirano no se cancelará. Si quieres, puedes seguir siendo mi amante. En ese instante, Inés despertó. Esa luz que tanto amaba, hacía mucho se había convertido en la sombra que la asfixiaba. Esa misma noche, se marchó de la casa sin volver la vista atrás. Todos pensaron que una huérfana como ella, sin el respaldo de los Cornejo, no tardaría en arrastrarse de vuelta, rogando por perdón. Pero entonces ocurrió lo inesperado. En plena ceremonia de compromiso entre los Cornejo y los Altamirano, Inés apareció vestida de rojo, del brazo del patriarca de los Altamirano, Sebastián Altamirano. Ya no era la mujer abandonada: ahora era la cuñada del novio. El salón entero quedó en shock. Emiliano, furioso, pensó que todo era una provocación. Dio un paso hacia ella… Y entonces una voz helada, firme como el acero, se dejó oír por encima de todos: —Atrévete a dar un paso más… y verás lo que pasa.
View More“Om … Om sangat gagah … sangat ahli–”
Kalimat itu terpotong lenguhan keras dari bibir Nasya sendiri. Kuku-kuku jarinya pastilah meninggalkan bekas di punggung pria blasteran yang sedang ada di atasnya, tanpa sadar. Gadis itu berusaha mengimbangi gerakan pria asing yang ia temui di kelab dua jam yang lalu.
Tak ada lagi suara rintihan kesakitan, seperti saat pria itu memasuki tubuh langsingnya. Kini yang terdengar di kamar hotel itu hanya erangan nikmat dari bibir kedua anak Adam dan Hawa tersebut.
Desahan kembali lolos dari bibir Nasya, membuat si pria bermata abu-abu tersebut kembali melumat bibir sensual Nasya. Menambah gelombang kenikmatan bersamaan, sama sekali lupa akan insiden yang membawa mereka ke atas ranjang ini.
Dua jam yang lalu ….
“Eh, mau dibawa ke mana aku? Lepaskan!”
Nasya meronta, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman para pria yang mengerubunginya. Ia malam ini minum-minum sendiri di kelab karena kabar perjodohan yang baru saja ia terima. Tidak ada penolakan, Nasya harus mau menikahi pria yang sudah dipilih oleh orang tuanya tersebut.
Namun, perbuatan itu justru membawa petaka!
“Gila, semok bet ni cewek, boleh juga, nih!” seru salah satu dari tiga pria yang memegangi Nasya. Tatapannya tampak lapar saat melihat ke arah Nasya yang mengenakan tank top dan juga celana pendek.
“Mantap, nih, bisa diewe. Buruan bawa ngamar!” celetuk pria lainnya. Semakin liar saja tatapan mata mereka di tubuh Nasya.
Dengan susah payah, Nasya melepaskan diri dan berakhir terjatuh di sofa, tepat di samping seorang pria bermata abu-abu yang menatapnya dingin.
“Lepas! Kalian siapa? Lepasin!” bentak Nasya saat tangan-tangan itu tampak akan menjamah tubuhnya kembali. “Om tolongin aku, dong,” rengek Nasya tiba-tibba mendekat pada tubuh seorang pria asing yang tampaknya berusia sekitar tiga puluh tahun. Yang sudah menghuni sofa tersebut lebih dulu.
“Bawa dia!” Salah satu pria berjambang itu memberi perintah. Kedua teman pria pemberi perintah itu dengan gembira, kembali menarik tangan Nasya yang sudah setengah sadar.
“Tunggu,” ucap pria yang duduk di sofa dengan ketus. Sekalipun tatapannya risih saat memandang ke arah Nasya. “Apakah kalian sebenarnya mengenal gadis ini?”
“Ya–”
“Om, tolongin aku,” kata Nasya, memotong kebohongan pria berjambang. “Aku tidak kenal mereka, Om. Mereka mau bawa aku ke mana? Tolong dong, Om.”
Seketika, pria yang duduk di sofa itu memicingkan mata pada ketiganya yang membuat ketiga pria mesum itu takut.
“Lepaskan!”
Ketiga kawanan domba haus mangsa itu membubarkan diri, dengan mendengus kesal. Mereka tidak mau menciptakan keributan di bar itu hingga nantinya diblacklist.
“Loh, Om bisa bahasa Indonesia juga? Orang Indonesia, toh? Sama dong. Tahu dong, isi sumpah pemuda? Om, tolongin dong, ini kenapa makin panas, sih?”
Omongan Nasya mulai melantur, sementara tangannya sendiri mulai menggerayangi tubuhnya. Gadis itu sendiri tidak mengerti, kenapa semua tubuhnya terasa seperti terbakar. Tubuhnya bergerak gelisah dalam tatap tajam si pria asing tadi.
“Coba kamu embuskan napas di depan saya!” perintah pria itu sembari mendekat pada mulut Nasya. Gadis polos itu pun turut akan perintah.
Pria itu mengernyit. “Benar dugaanku,” gumamnya. Lalu dengan suara lebih keras, ia bertanya, “Siapa yang memberimu minuman itu?”
"Minuman?" Nasya mengernyit. Matanya sudah tidak fokus. "Oh, yang tadi aku minum?" Jarinya kemudian mengarah pada bartender di belakang meja bar. "Itu."
Pria itu hendak pergi ke sana, menanyakan perihal minuman sekaligus siapa teman yang datang bersama Nasya. Tapi gadis itu hendak melakukan tindakan gila. Dia ingin melepas tank top nya.
“Kamu mau apa?” bentak pria itu kembali pada Nasya.
“Panas banget. Aku gak tahan lagi,” keluh Nasya. “Tolongin aku, Om.”
Pria tampan bak malaikat itu bernama Chris Davidson. Tampan, pengusaha sukses dan pastinya matang dari segi usia. Dia datang ke Indonesia hanya ingin mengintai kekasihnya yang dikabarkan berselingkuh dengan seorang produser film. Siapa sangka dia bertemu dengan anak ABG yang setengah mabuk.
“Itu kamar mandi. Kamu muntahkan semua minuman yang tadi kamu tenggak!” Chris menunjuk pintu kamar mandi yang terbuat dari kaca.
Kamar hotel tempatnya menginap tak jauh dari bar tempat mereka tadi. Terletak di lantai paling atas. Chris memilih kamar VIP yang bisa dipastikan tempatnya sangat nyaman dengan fasilitas kamar yang mewah.
Penuh semangat, Nasya masuk ke kamar mandi. Menghidupkan shower dan duduk di bawahnya.
“Ini segar!” ucapnya cengengesan. Duduk bersandar pada dinding kamar mandi.
Chris yang menunggu di luar, mulai khawatir. Sudah setengah jam berlalu, Nasya tidak ada suara dan tidak juga ada tanda-tanda keluar dari sana.
“Hei, Bocah! Sudah belum?”
Tak ada jawaban, hingga Chris memutus untuk masuk saja. Dia begitu terkejut melihat Nasya yang sudah tertidur di lantai kamar mandi di bawah siraman shower.
“Dasar bocah kosong!” umatnya segera berlari mengangkat Nasya dari sana dan segera membaringkan di ranjang. Dia mempertimbangkan sejenak dengan mengamati tubuh Nasya yang basah kuyup.
“Sori, aku harus membuka bajumu!”
Secepat yang dia bisa lakukan, Chris membuka baju Nasya, menutupi tubuh polos gadis itu dengan selimut tebal. Terlihat napas Nasya naik turun dengan teratur. Chris tebak, mungkin gadis itu sebentar lagi akan tertidur dan dia pun bisa beristirahat.
Namun, harapan Chris buyar. Beberapa menit setelahnya, Nasya terbangun karena merasakan panas dalam tubuhnya kembali membakar.
“Om ... Om,” teriak Nasya memandang sekeliling. Tak mendapat jawaban, gadis itu mendudukkan dirinya. Selimut yang dijepit di pangkal ketiak hampir saja merosot.
“Om ....” Kembali suara Nasya menggema di ruangan itu. Tapi, panggilan Nasya kali ini sedikit berbeda. Lebih mendayu dan terdengar seksi menggoda.
“Kamu baru terpejam lima menit, dan kini sudah bersuara.” Pria itu menggerutu dengan suara rendahnya. “Apa lagi sekarang?”
Nasya merengek. “Masih panas. Ini aku kenapa, sih?” kata gadis itu. Ia mulai menyentuh bagian-bagian tubuhnya, membuatnya makin tampak gelisah. “Salahnya di mana? Apa pendingin kamarnya yang mati?”
“Minuman yang kamu minum itu yang jadi penyebabnya.” Chris berdecak. “Kamu udah minum obat perangsang.”
Bola mata Nasya membulat. “Hah?”
Siapa yang memberinya obat seperti itu? Atau apa mungkin dia salah mengambil minuman?
Ah, entahlah. Yang terpenting saat ini, bagaimana caranya agar dia bisa lepas dari perasaan aneh ini?
“Om–” Gadis itu hendak berjalan mendekati Chris, tapi kemudian kakinya terjerat selimut yang membungkus tubuhnya sendiri. “Ah!”
Untungnya, Chris dengan sigap menangkapnya.
Namun, itu justru membuat situasi makin runyam karena tanpa sengaja, tangan Chris menyentuh tempat yang tidak semestinya.
Dan hal itu memancing suara desahan dari bibir Nasya!
Tubuh Chris langsung menegang saat mendengarnya.
Di sisi lain, Nasya menemukan satu hal. Sentuhan Chris terasa dingin, menyelamatkannya dari panas yang menyiksa tubuhnya. Seketika Nasya menyadari bahwa ia ingin disentuh di beberapa bagian inti tubuhnya.
Sebuah perasaan yang seumur hidup baru kali ini dia rasakan.
Yang kemudian membuat Nasya mengalungkan lengannya pada leher pria matang di hadapannya dan menempelkan bibirnya pada milik Chris, melumatnya pelan.
Namun, pria itu dengan segera menarik diri dan mendorong gadis kecil itu ke sofa.
“Kamu–”
“Om, aku menemukan cara untuk menghilangkan perasaan aneh ini!” potong Nasya. Selimut yang tadi membalut tubuhnya sudah jatuh begitu saja di lantai, dengan jelas memperlihatkan kedua miliknya yang anggun menjulang, penuh sempurna.
Gadis itu berdiri, kemudian berjalan mendekati Chris.
Pero esta vez, aunque Alejandra regresara, ya no tenía sentido.Mientras manejaba, Zoraida le sonrió a Inés y dijo:—Ahora que tú y Sebastián ya se casaron legalmente, si Alejandra tiene un poco de dignidad, desaparecerá para siempre. Pero si todavía se atreve a seguir insistiendo, pues la partimos entre las dos, ¿te parece?Con la posición de Zoraida, enfrentarse a Mariana era un poco complicado, pero lidiar con los Guzmán... eso era como aplastar a una mosca.Inés soltó una risa, aunque no negó nada.Después de todo, aunque su matrimonio con Sebastián era solo una alianza, como su socia oficial, ella podía ignorar a otras mujeres que se acercaran a él... excepto a Alejandra. A esa, sí que podía aplastarla sin el menor remordimiento.—Ojalá que esa tal Alejandra sea lo suficientemente lista para detenerse aquí mismo —dijo Inés con sinceridad.Zoraida no respondió, pero en el fondo, sabía que esa esperanza estaba destinada a romperse.Justo en ese momento, el auto se detuvo frente al H
—N-no es nada... —dijo Inés, agitándose la mano frente al rostro para aliviar el calor que le subía por las mejillas. —Deja de hablar mal de Sebastián, él no tiene la culpa de nada...Rápidamente cambió de tema para desviar la conversación—: Además, ¿no ibas a contarme más de mi “victoria”? Ya hablaste de Emiliano... ¿y qué pasó con Mariana?Cuando se fue de la rueda de prensa tras haberle dado una bofetada a Mariana, no se quedó a ver las consecuencias.Por eso ahora tenía cierta curiosidad: ¿habría planeado algo con Estela para vengarse?Zoraida soltó una carcajada aún más sonora.—¡Ay, Inés! Es que lo de Mariana fue tan jugoso que te lo dejé para el final. ¡No tienes idea de lo buena que estuvo!—Como es parte de la familia Altamirano, intentaron silenciar muchas cosas, pero ya sabes cómo es este círculo... Yo tengo mis fuentes en los grupos de las damas de sociedad, y me contaron que Mariana fue sacada del evento por órdenes directas de Don Horacio Altamirano.—¡La mandaron a atar
—¡Obvio que lo más importante de esta noche es tu gran victoria, Inés! —Zoraida lo dijo con entusiasmo desbordante.No había asistido personalmente a la conferencia porque los Cornejo, temiendo que la defendiera, deliberadamente no la invitaron.Y por el bien del plan de Inés, ella tampoco insistió, fingiendo no saber nada.Pero aunque su cuerpo no estuvo ahí, sus ojos ya habían invadido hasta el último rincón del evento, en línea y en persona.—¡Inés, no tienes idea! Desde que se anunció oficialmente que eres la esposa de Sebastián, ¡las redes sociales están que arden!—Todos esos usuarios que estaban convencidos, gracias a la manipulación de Emiliano, de que tú eras la amante, se quedaron sin palabras y empezaron a disculparse públicamente.Ahora están insultando a Emiliano, diciendo que se cree demasiado importante, que tiene la cara más dura del mundo… incluso las acciones del Grupo Cornejo cayeron un montón.—Porque seamos realistas: Emiliano no está mal, pero Sebastián… Sebastián
—Tú y Sebastián están colaborando —soltó Emiliano con tono gélido.—Él se hace pasar por tu esposo para respaldarte al salir de la familia Cornejo y protegerte de los ataques de Mariana.—Y tú te haces pasar por su esposa para ayudarlo a contener las sospechas y manipulaciones dentro del Grupo Altamirano, y de paso evitar que más mujeres se le acerquen.Por eso, lo que realmente le dolía a Emiliano esa noche…No era que Inés se hubiera casado con otro hombre.Era que, con tal de alejarse de él,fuera capaz de hacer cualquier cosa.Pero justo en ese instante… lo entendió.—Inés… si necesitas alejarte para respirar, para tranquilizarte, lo acepto —dijo en tono suave—. No quiero que pienses que te estoy atando. Pero esto... aún no termina.—Tu matrimonio con Sebastián es falso. Tarde o temprano se acabará. Y entonces… volverás a mi lado.Se colocó de nuevo los lentes dorados con aire solemne, su voz suave y firme como si estuviera pronunciando una promesa.Inés lo miró con incredulidad.Su
Inés, al pedirle explicaciones a Emiliano, en realidad no esperaba que él dijera nada bueno.Lo que no imaginaba…Era que, en lugar de explicarse, Emiliano comenzara a actuar como si tuviera derecho a “retenerla” por la fuerza, como si todo eso fuera lo más natural del mundo.Pero Inés nunca le debió nada.Y mucho menos era su mascota.Ella podía irse con quien quisiera, amar a quien quisiera.Y eso no era algo que Emiliano pudiera decidir.—Ya no hay nada que decir —murmuró fríamente Inés mientras cerraba la maleta con un gesto firme y se disponía a marcharse.Sin embargo, justo cuando extendió la mano hacia la puerta, esta se cerró de golpe frente a ella.Desde atrás, Emiliano la empujó con fuerza y apoyó la palma contra la madera, encerrándola entre su pecho y la salida. Su voz, oscura y baja, resonó con sombra contenida:—Has cambiado, Inés… Ya no eres la misma.—Nadie permanece igual —respondió ella, con el ceño fruncido, tratando de soltarse—. ¿O acaso te molesta porque ya no pue
Inés volvió a mirar a Emiliano, sin poder creer que, incluso a estas alturas, ese hombre aún tuviera el descaro de decirle semejantes cosas.Dejó de guardar sus cosas por un instante y, mirándolo fijamente, le preguntó con calma:—Emiliano, ¿no estarás confundido? ¿Por qué habría de tener miedo de enfrentarte? ¿Acaso te hice algo?—Sí. Traicionaste mis sentimientos. Traicionaste la promesa de no dejarme nunca.Emiliano se quitó los lentes de montura dorada y, por primera vez, dejó ver el caos en su mirada.Inés no sabía que, justo después de que ella se marchara con Sebastián, Mariana fue detenida por los guardias de Don Horacio y llevada de inmediato de regreso a la mansión.Fue entonces que Mariana, al darse cuenta del desastre que había provocado, comenzó a gritar, a llorar y a pedir perdón desesperadamente. Incluso llegó a morder a uno de los guardias con tal de no ser llevada.Don Federico y Mirna seguían en el salón intentando calmar la situación y contener a Mariana.Emiliano sa
Bienvenido a Goodnovel mundo de ficción. Si te gusta esta novela, o eres un idealista con la esperanza de explorar un mundo perfecto y convertirte en un autor de novelas originales en online para aumentar los ingresos, puedes unirte a nuestra familia para leer o crear varios tipos de libros, como la novela romántica, la novela épica, la novela de hombres lobo, la novela de fantasía, la novela de historia , etc. Si eres un lector, puedes selecionar las novelas de alta calidad aquí. Si eres un autor, puedes insipirarte para crear obras más brillantes, además, tus obras en nuestra plataforma llamarán más la atención y ganarán más los lectores.
Comments