Dirga nenahan senyumnya sepanjang jalan. Mereka setengah berlari keluar dari mall tersebut sambil bergandengan tangan, lebih tepatnya Dirga yang menahan tangan Naykilla untuk mengikutinya.
“Kak Dirga!! Lepasin! Cewek lo ngikutin kita tuh.” Dirga menoleh ke belakang sekilas, di belakang ada Rana yang mencoba mengejar mereka. Ini semakin menarik untuk Dirga. Dia melebarkan langkah kakinya sehingga Naykilla harus berlari kecil untuk menyesuaikan agar dia tidak terjatuh. “Kak Dirga jangan macem-macem, ya. Gue enggak akan segan buat teriak nih.” Dirga menyunggingkan senyum tipisnya. Dia tahu kalau Naykilla hanya menggertaknya. “Gue teriak beneran nih, ya.” Ucap Naykilla lagi namun tak di respon sama sekali oleh Dirga Naykilla pun kesal. Sementara di belakang mereka Rana sudah semakin dekat. Dia juga kasihan melihat Rana uang kesusahan berlari kena sepatu tingginya itu. Saat mereka tiba di sebuah mobil hitam, Naykilla jadi panik. “Tol...” Blam!! Dirga menutup teriakan Naykilla dengan memasukkan ke dalam mobil. Dia hendak mengitari mobil untuk masik di bagian kemudi, namun tangannya di tahan oleh Rana. “Dirga!! Kamu apa-apaan sih?! Kenapa main pergi gitu aja, terus kenapa kamu bawa cewek itu.” Rana menunjuk ke mobil Dirga dengan kaca hitam yang membuatnya tidak dapat melihat siapa yang ada di dalam sana “Itu cewek kamu?” tanya Rana lagi “Lo bisa berhenti nggak ngintilin gue terus?” Rana terkejut. “M-maksud kamu apa sih..” Dirga memijat pangkal hidungnya. Di antara semua perempuan yang mendekatinya, Rana lah yang paling mengesalkan. Dan dari semua perempuan yang pernah Dirga temui, hanya Naykilla lah yang tidak tertarik dengannya. Dirga meletakkan kedua tangannya di bahu Rana. Dia menatap tepat di mata Rana. “Gue risih sama lo. Bisa kan mulai sekarang jangan deket-deket gue lagi. Hm?” Rana terkejut. Entah harus marah atau terpesona karena nada bicara Dirga yang melembut. Rana menggigit bibir bawahnya, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. “Dirga, kamu nggak serius, kan? Selama ini aku berusaha nyenengin kamu. Kamu pikir ngapain aku ngelakuin ini dan itu kalau bukan karena aku suka sama kamu.” Dirga menghela napas panjang, lalu melepaskan tangannya dari bahu Rana. “Itu masalahnya, Ran. Gue nggak pernah minta lo buat ngelakuin ini dan itu. Lo yang maksa diri lo sendiri.” Wajah Rana memerah, entah karena marah atau malu. Matanya mulai berair, tapi Dirga tak mau ambil pusing. Dia tahu ini akan terjadi cepat atau lambat. “Gue harus pergi,” katanya, lalu mengitari mobilnya dan masuk ke dalam. Rana masih berdiri di tempatnya, terpaku dan menatap mobil hitam itu dengan ekspresi terluka. Di dalam mobil, Naykilla menatap Dirga dengan tatapan penuh selidik. “Gue bisa keluar sekarang?” tanyanya ketus. Dirga hanya meliriknya sekilas sebelum menyalakan mesin. “Nggak. Kita pergi.” Naykilla mendengus kesal dan menyandarkan tubuhnya di kursi. “Gue saranin lo buat berhentiin mobil ini sekarang juga, atau kalau enggak gue bakal telepon orang tua gue buat ngasih tau tabiat lo yang sebenarnya.” Dirga tertawa. “Emang tabiat gue yang mana yang mau lo laporin?” Naykilla memalingkan wajahnya ke samping. “Ya, ini. Culik anak gadis orang.” “Karena lo seru jadi gue mau ajak lo ke suatu tempat yang seru. Setelah itu gue anterin lo pulang tanpa kekurangan satu pun.” Naykilla merogoh tasnya namunn semangatnya luntur saat mengetahui ponselnya yang kehabisan daya. Naykilla menggerutu dalam hati. Seolah keadaan belum cukup buruk, sekarang ponselnya mati, dan ia terjebak di dalam mobil bersama Dirga yang jelas-jelas punya rencana sendiri. “Lo mau bawa gue ke mana?” tanyanya, tetap waspada. Dirga hanya tersenyum miring, matanya tetap fokus pada jalan di depan. “Tenang aja, lo bakal suka tempatnya.” Naykilla mendecak kesal, tapi tetap diam. Ia menatap keluar jendela, mencoba mengingat rute yang mereka lalui, kalau-kalau nanti ia harus mencari jalan pulang sendiri. Setelah beberapa menit berkendara, mobil melambat dan akhirnya memasuki gedung apartemen yang letaknya di tengah kota. Rasa panik itu datang lagi. Saat Dirga keluar dan mencoba untuk membukakan pintu untuk Naykilla saat itu lah dia mencoba untuk kabur. Sayangnya tangan Dirga lebih cepat daripada langkah kaki Naykilla. “Jalannya sebelah sini, Nay.” Ucap Dirga berpura-pura tidak tahu bahwa Naykilla ingin kabur darinya Naykilla berusaha menarik lengannya, namun genggaman Dirga terlalu kuat. “Lo gila, ya? Gue nggak mau masuk ke apartemen lo!” Dirga terkekeh pelan. “Sebentar aja kok. Enggak akan lama juga.” Naykilla menatap Dirga dengan tajam, tapi laki-laki itu hanya membalas dengan senyuman tipis yang membuatnya semakin jengkel. “Dirga, gue serius. Lepasin gue atau gue bakal teriak,” ancam Naykilla, meski ia tahu bahwa di tempat seperti ini, tak ada yang akan peduli. Dirga mendesah pelan, lalu menatapnya dengan ekspresi datar. “Teriak aja kalau mau. Tapi kalau sampai ada yang datang, gue bakal bilang lo pacar gue yang lagi ngambek.” Mata Naykilla membulat. “Gila lo!” Dirga tertawa kecil, kemudian menariknya masuk ke dalam lift. Tangannya masih menggenggam pergelangan tangan Naykilla dengan erat. “Lo terlalu banyak mikir. Santai aja, gue nggak akan ngapa-ngapain lo,” kata Dirga sambil menekan tombol lantai atas. Naykilla mendengus kesal. “Terus kenapa lo bawa gue ke sini?” Dirga menoleh ke arahnya, senyumnya menghilang. “Gue mau tunjukin sesuatu ke lo.” Naykilla mendelik curiga, tapi tak berkata apa-apa. Perasaannya semakin tidak enak. Saat pintu lift terbuka, Dirga menariknya keluar dan membawanya ke sebuah unit apartemen di ujung koridor. Ia membuka pintu dengan santai, seakan tak ada hal aneh dalam situasi ini. “Masuk,” perintahnya. Naykilla menatap pintu itu dengan enggan. “Kalau gue nolak?” Dirga mengangkat bahu. “Ya kita bisa berdiri di sini seharian.” Naykilla memutar bola matanya, tapi akhirnya melangkah masuk. Begitu ia berada di dalam, Dirga menutup pintu di belakangnya. Apartemen itu luas dan modern, dengan jendela besar yang menampilkan cahaya matahari sore yang begitu hangat. Hampir seluruh ruangan berwarna orange karenanya. “Cantik, kan?” bisik Dirga tepat di telinga Naykilla, membuat gadis itu terkejut Dirga tersenyum. Lalu menarik tangan Naykilla dan membawanya ke area balkon. “Yang mau lo tunjukin ke gue itu ini?” tanya Naykilla Dirga mengangguk. “Iya, ini spot favorit gue kalau sore hari. Sunsetnya bagus banget. Daripada nonton film ngebosenin kayak tadi, mending nikmatin sunset di apartemen gue. Ya, kan?” Naykilla tidak akan bohong karena pada nyatanya pemandangan sunset dari apartemen Dirga sangatlah indah. Dari gedung tinggi itu dia bisa melihat pemandangan yang luas di bawah sana, dan langit cerah terasa lebih dekat. Naykilla duduk di salah satu kursi. Berusaha menyamankan diri. “Udah berapa cewek yang lo bawa ke sini?” Sambil menyenderkan badannya di pagar pembatas balkon, Dirga menatap Naykilla dengan jahil. “Coba tebak. Kalau bener gue kasih hadiah.” “Cck!!” Naykilla berdecak kesal. Mengabaikan Dirga dan mulai fokus dengan cahaya sore di depannya Dirga tertawa pelan, menikmati reaksi Naykilla yang tidak pernah bisa ditebak. Ia masih berdiri di dekat pagar balkon, memandangi pemandangan kota yang semakin indah seiring matahari mulai tenggelam di balik horizon. Tiba-tiba, Dirga menghampiri Naykilla dan duduk di kursi sebelahnya. “Gue gak pernah bawa cewek ke sini sebelumnya,” ujarnya tanpa menoleh. Suaranya terdengar serius, namun ada sesuatu di mata Dirga yang menunjukkan kalau dia sedang menguji reaksi Naykilla. Naykilla menoleh cepat, berusaha membaca ekspresi Dirga yang sulit ditebak. “Jadi gue yang pertama?” tanyanya dengan nada skeptis. Dirga mengangguk, kali ini menatapnya dengan penuh arti. "Iya, lo yang pertama." “Lo pasti ngomong kayak gitu hampir ke semua cewek, kan.” Dirga tergelak. Memilih untuk tidak menjelaskan lebih lanjut karena akan terdengar bahwa dia seperti apa yang ada di pikiran Naykilla. “Gue mau susu...” Naykilla menatap tajam ke arah Dirga dan langsung memotong kalimat laki-laki tersebut. “Maksud lo apa, hah?!” “Maksudnya gue mau minum susu, kalau lo mau minum apa? Kebetulan di kulkas selain susu, ada cola sama jus jeruk. Mau yang mana?” Jangan salahkan Naykilla jika responnya terlalu kasar terhadap Dirga. Itu semua karena rumor yang beredar tentang laki-laki tersebut. Di kampus, Dirga di ceritakan sebagai laki-laki play boy yang suka mengencani wanita berbeda di setiap minggunya. Karena itu sebagian ada yang bilang bahwa Dirga itu ikut pergaulan bebas hingga seks bebas. Penampilan Dirga yang di hiasi oleh tato membuat sebagian orang berpikir jika mungkin saja Dirga mengkonsumsi obat-obatan ataupun narkoba. Ah, di telinga Naykilla tidak ada hal menarik tentang Dirga. Ia akui jika wajah Dirga tampan, tapi sepertinya itu tertutup oleh rumor yang sudah ia telan mentah-mentah. Dirga tertawa kecil melihat reaksi Naykilla yang jelas-jelas kesal. Tapi dia tidak marah. Dia justru menikmati kenyataan bahwa Naykilla tidak mudah dipengaruhi oleh pesona yang biasa dia gunakan untuk menaklukkan perempuan lain. “Gue serius kok,” jawab Dirga sambil berdiri dan berjalan menuju kulkas. “Di sini cuma ada susu, cola, sama jus jeruk. Lo pilih yang mana?” Naykilla masih terlihat ragu, lalu akhirnya menghela napas. “Jus jeruk aja,” ujarnya pelan, tetap tidak melepaskan pandangannya dari Dirga. Dirga mengeluarkan jus jeruk dari kulkas dan menuangkannya ke dalam gelas, kemudian menyerahkannya pada Naykilla. “Tenang aja, enggak gue masukin obat tidur kalau itu yang lo takutin nanti.” ucapnya sambil duduk kembali di kursi dekat Naykilla. Naykilla menatap gelas jus jeruk di tangannya dengan curiga, lalu melirik Dirga yang duduk santai di sebelahnya. “Lo jangan ngira gue bakal percaya sama lo gitu aja,” ujarnya, meski akhirnya ia meneguk jus tersebut. Rasanya segar, dan entah mengapa, itu sedikit membuatnya rileks. Dirga hanya tersenyum, menikmati suasana sore yang tenang di balkon apartemennya. Matahari semakin rendah, langit berubah warna menjadi oranye kemerahan yang memukau. “Lo tahu nggak, Nay? Lo itu beda sama cewek-cewek lain yang gue kenal,” ucapnya tiba-tiba, suaranya lembut namun penuh arti. Naykilla menoleh ke arahnya, matanya penuh pertanyaan. “Maksudnya cewek lain cantik sedangkan gue enggak, iya?” Dirga menatapnya, ekspresinya serius. “Kalau itu lo jelas lebih dari mereka. Maksud gue, lo nggak mudah terpengaruh sama gue. Lo nggak kayak mereka yang cuma ngeliat gue dari luar terus langsung ngejudge. Lo nggak takut buat ngomong apa yang lo pikir, bahkan kalo itu nggak enak buat gue denger.” Naykilla terdiam sejenak, mencerna kata-kata Dirga. Lalu berkata, “Yah, itu lah realitanya. Enggak semua orang tipenya itu cowok kayak lo, Kak.” Dirga tersenyum penuh arti. “Dan hari ini gue baru tau kalau realitanya tipe cowok lo itu jauh banget dari gue.” Seperti senjata makan tuan. Kata-kata Naykilla barusan malah membuatnya tidak mampu berkata-kata. Ah! Padahal baru saja dia melupakan tentang Beny yang sekarang sedang asyik menonton bersama Vira. Mengingat itu mendadak suasana hati Naykilla kembali kacau. “Dari pada itu, menurut gue ini waktu yang tepat untuk bahas soal kita.” Naykilla mencoba untuk mengalihkan perhatian Dirga sebelum laki-laki itu mengejeknya lebih jauh Dirga mengangkat sebelah alisnya sambil menyedot susu dengan pelan. “Soal kita?” tanyanya heran Naykilla mengangguk. “Iya. Soal perjodohan yang di rencanain sama orang tua kita berdua.” Ini mulai menarik. Dira paham ke mana arah pembicaraan ini nantinya. “Kak. Lo enggak serius kan waktu bilang setuju kalau di jodohin sama gue? Karena gue sama sekali enggak akan terima sama ide perjodohan ini. Gue udah berusaha buat ngomong sama Ayah dan Bunda, tapi mereka enggak mau dengerin gue. Jadi gue mohon sama lo buat kasih penjelasan ke mereka supaya perjodohan itu enggak terjadi.” Dirga mendengus pelan, matanya masih fokus pada pemandangan yang ada di luar. Pikirannya terdiam sejenak, mencerna kata-kata Naykilla. Perlahan, dia meletakkan gelas susu di meja kecil di sebelahnya, lalu menatap Naykilla dengan tatapan serius. “Nay, sebenarnya ini bukan pertama kali gue di jodohin sama orang tua gue. Sebelumnya gue selalu nolak tapi entah kenapa waktu gue tau kalau gue bakal di jodohin sama lo, gue jadi susah buat nolak.” “Kak, please.. ini bukan waktunya untuk bercanda.” Ucap Naykilla kesal Dirga menyenderkan tubuhnya ke kursi dengan santai. “Gue enggak bercanda, Nay. Kalau lo minta gue buat nolak perjodohan itu maka jawabannya adalah enggak. Gue enggak mau.” Naykilla terdiam, mata memicing tajam. Kalimat itu mengantung di udara, membuat suasana menjadi kaku. Tangan Naykilla menggenggam gelas jus jeruk yang kini terasa berat di tangannya. Sementara Dirga, yang duduk santai di sebelahnya, terlihat begitu tenang, hampir seolah tidak ada beban dalam hidupnya. “Kak, lo beneran serius ini?” tanyanya, suara tegas meski ada kekhawatiran yang samar terungkap di dalamnya. “Lo beneran mau di jodohin sama gue? Maksud gue, di luar sana masih banyak cewek yang seribu kali lebih cantik dari gue. Lo bisa aja dapat sesuatu yang lebih di bandingkan terjebak sama gue seumur hidup lo.” Di sana lah letak masalah utamanya. Seumur hidupnya Dirga tidak pernah benar-benar tertarik dengan wanita. Semuanya terlihat sama di mata Dirga. Hampir semua yang mendekati Dirga menginginkan dua hal yaitu tampangnya dan uang. Masalah keduanya adalah kedua orang tua Dirga menginginkan ia untuk segera menikah hanya karena mereka merasa Dirga butuh seseorang untuk mengarahkannya ke jalan yang benar. Hanya karena Dirga kecanduan nikotin, alkhol dan dunia malam membuat mereka berpikir bahwa Dirga bisa saja kehilangan arah jika tidak di tuntun oleh seseorang. Dari kedua masalah itu, Naykilla adalah solusinya. Naykilla tidak termasuk di kategori masalah yang pertama. Dan menariknya adalah bahwa Naykilla itu bukan lah orang baru. Dia dan Naykilla bisa di bilang teman masa bayi meski masa itu tidak tertanam di dalam memori mereka. Namun dua hal itu rasanya sudah cukup bagi Dirga untuk lepas dari segala tuntutan yang terus mengejarnya. Karena menurutnya semua perempuan sama saja sedangkan hanya Naykilla sendiri yang terlihat berbeda jadi dia rasa itu sudah cukup. Bagi Dirga, pernikahan itu sisanya adalah komunikasi. Dan sejauh ini dia sangat suka saat berinteraksi dengan Naykilla. Tentang perasaan.. bukan kah itu bisa tumbuh seiring waktu? “Sayangnya itu, Nay. Gue enggak peduli mau cantik atau pun jelek, toh nanti kalau meninggal kita bakal jadi kerangka, kan? Jadi sama aja lah.” Naykilla menatap Dirga dengan pandangan tajam. Kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Dirga terasa sangat berbeda dari yang dia bayangkan. Selama ini, dia mengira bahwa Dirga hanya main-main dan tidak serius dengan apa yang dia katakan. Namun, kali ini ada sesuatu yang membuat hatinya berdebar. “Tapi, Kak... in real life-nya enggak akan segampang itu,” jawab Naykilla dengan suara pelan, mencoba menenangkan dirinya. “Lo bisa bilang begitu, tapi kalau kita dipaksa buat hidup bersama tanpa perasaan, itu akan sangat berat buat kita berdua.” Dirga menghela napas panjang, masih dengan tatapan serius. “Gue ngerti, Nay. Gue juga nggak bilang kalau semuanya akan gampang. Tapi gue percaya, kalau kita saling berusaha, mungkin kita bisa bikin ini berjalan.” Naykilla masih terlihat ragu, dan sedikit bingung dengan pernyataan Dirga yang tiba-tiba serius. Ia tahu betul bagaimana sulitnya menjalani hidup dengan orang yang tidak punya perasaan sama sekali, dan itu membuatnya bertanya-tanya tentang niat Dirga yang sebenarnya. Akhirnya Naykilla menyerah. Dia berdiri dari tempat duduknya dan menghadang sinar matahari ke arah Dirga. “Gue mau pulang.” Dirga menatap Naykilla dengan tatapan tajam, namun tidak ada tanda-tanda dia akan menahan gadis itu. Dia hanya menghela napas dan berdiri dari kursinya, memandang langit yang semakin gelap di luar balkon apartemennya. “Ayo, gue anterin lo pulang.” Naykilla mengangguk pelan, masih terlihat ragu dan sedikit bingung dengan sikap Dirga yang tiba-tiba serius. Tapi dia tidak punya pilihan lain selain mengikuti Dirga keluar dari apartemen. Hatinya masih berdebar-debar, mencoba mencerna semua yang baru saja terjadi. Mereka berjalan menuju lift dalam keheningan. Suasana terasa tegang, tapi Dirga tetap tenang, seolah tidak ada yang terjadi. Dia menekan tombol lift dan berdiri di samping Naykilla, tangannya masuk ke dalam saku celananya. “Lo nggak perlu khawatir, Nay,” ujar Dirga tiba-tiba, memecah keheningan. “Gue nggak akan maksa lo buat nerima perjodohan ini. Tapi lo juga enggak bisa maksa gue buat nolak perjodohan ini.” Naykilla memilih unntuk diam. Lift pun tiba di lantai dasar, dan mereka berjalan menuju mobil Dirga. Naykilla masih merasa bingung, tapi dia memutuskan untuk tidak membahasnya lebih lanjut. Dia hanya ingin pulang dan mencoba memproses semua yang baru saja terjadi. Di dalam mobil, suasana kembali hening. Dirga menyalakan mesin dan mulai mengemudi, matanya fokus pada jalan di depan setelah Naykilla memberikan alamat rumahnya.Naykilla terbangun dan merasakan sesuatu yang berat melingkari perutnya dan sudah pasti itu pelukan dari Dirga. Setelah hubungan mereka perlahan semakin dekat, Dirga tidak pernah sekalipun melepaskan pelukannya ketika mereka tidur. Awalnya pelukan itu terasa menyesakkan tapi sekarang terasa hangat.Naykilla pun berbalik, mengecek suhu tubuh Dirga. Lalu dia bernapas lega. Bisa di katakan Dirga sudah sembuh dari demamnya. “Kak Dirga... bangun.” Ucapnya pelanDirga menggeliat dalam keadaan setengah tidur tapi pelukannya semakin erat.Dirga sendiri tidak menyangka bahwa dia bisa tidur senyenyak ini setelah bersama Naykilla. Entah kenapa tubuh Naykilla selalu berhasil mengantarkan kenyamanan pada dirinya. Di bandingkan alkohol, Naykilla lebih berefek langsung kepada dirinya. Bahkan Dirga pun sudah lupa kapan terakhir kali dia minum alkohol. Atau lebih tepatnya saat Naykilla sudah memenuhi isi otaknya perlahan-lahan membuat Dirga menjauhi hal seperti itu.“Yang, ini masih pagi banget.
Naykilla menghembuskan napas beratnya sambil mempersiapkan diri.Sesuai dugaannya bahwa hari ini dia menjadi pusat perhatian hampir semua orang setelah kejadian Dirga pingsan kemarin. Semua orang menatap tajam ke arahnya dan Naykilla bisa maklumi itu. Siapa sih yang tidak kaget dan kecewa jika idola mereka ternyata sudah menikah. Apalagi yang di nikahi itu adalah gadis yang amat biasa seperti dirinya ini. Tapi Naykilla tidak tahan saat kedua sahabat baiknya mendiamkannya karena kejadian itu.Perlahan Naykilla membuka pintu mobil. Saat ini dia menggunakan mobil Dirga karena paksaan dari laki-laki tersebut.Sebelum memasuki kafe di depannya, lagi dan lagi Naykilla menghembuskan berat. Kali ini untuk menghilangkan rasa gugup. Dari luar dia bisa melihat tatapan tajam Silla dan Audrey yang sudah menunggunya di dalam.Naykilla segera menghampiri mereka dan duduk di bangku yang tersisa.Untuk beberapa saat semuanya diam dan hening. Otak Naykilla sedang merangkai kata untuk menjelaskan
Dirga terbangun, badannya merasa gerah dan kepalanya terasa pusing. Di lihatnya sekeliling ruangan kamar yang tampak redup. Dengan enggan dia berusaha menegakkan tubuhnya meski terasa pelan dan sebuah handuk kecil terjatuh.Dirga meraba dahinya yang tampak basah. Sepertinya baru saja ada seseorang yang mengkompres dahinya. Dirga mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba membiasakan diri dengan pencahayaan kamar yang temaram. Hawa hangat menyelimuti tubuhnya—hangat yang berasal dari demam dan juga dari selimut tebal yang menutupi tubuhnya.Ia mendongak pelan, melihat handuk kecil yang jatuh ke lantai. Nafasnya masih berat, tapi pikirannya mulai lebih jernih. Dalam hati ia bertanya-tanya siapa yang merawatnya. Lalu, samar-samar Dirga mendengar suara Naykilla dari arah dapur. Dia pun segera beranjak dari dapur dan perlahan menuju sumber suara.“Makasi, ya, Mami. Aku beneran bingung banget tadi. Tapi setelah dokter itu periksa kondisi Kak Dirga baru aku ngerasa sedikit lega.” Tampak N
Dirga menyandarkan bahu lebarnya di kursi kayu kelas, kemudian menghela napas berat. Matanya menatap kosong ke luar jendela di mana cuaca tampak begitu mendung. Dia merasa beruntung hari ini mengenakan jaket tebal, jika tidak mungkin tubuhnya akan semakin meriang. Atau mungkin seharusnya dia tidak masuk kelas hari ini. Di lihat secara fisik Dirga memang kuat. Dia tinggi serta punya tubuh yang atletik. Siapa pun pasti akan menghindari masalah dengan laki-laki tersebut karena takut akan kalah kalau-kalau Dirga mengajak untuk bertarung. Tapi sayangnya, sekuat-kuatnya Dirga akan tumbang juga karena demam. Dirga melirik jam tangannya. Dia hanya perlu bertahan dua jam saja setelah itu bisa langsung pulang dan beristirahat. “Lo keliatannya murung banget, Ga.” Rafi mendekatkan tubuhnya lalu berbisik, “Enggak dapet jatah dari bini, ye?” Dirga berdecak kesal dan mendorong Rapi agar menjauh darinya. Boro-boro mendapatkan jatah, tidur pun mereka pisah. Naykilla di kamar sementara Dirga
Dirga menatap tajam jam dinding yang sedang menunjukkan pukul delapan tepat. Sudah semalam ini Naykilla juga belum pulang. Bahkan gadis itu susah untuk dia hubungi sejak siang tadi. Dirga menatap tajam jam dinding yang sedang menunjukkan pukul delapan tepat. Sudah semalam ini Naykilla juga belum pulang. Bahkan gadis itu susah untuk dia hubungi sejak siang tadi. Ponselnya aktif, tapi tak sekalipun membalas pesan atau menjawab telepon. Dan itu cukup membuat Dirga gelisah.Ia berdiri dari sofa apartemennya dan berjalan mondar-mandir seperti harimau dalam kandang. Pikirannya bercabang ke berbagai kemungkinan. Marah? Khawatir? Bingung? Semua rasa itu menumpuk jadi satu dan membuatnya ingin segera mencari Naykilla ke mana pun gadis itu pergi.Sambil menghela napas panjang, Dirga akhirnya mengambil kunci mobil dan jaket hitamnya. “Kalau sampai dia kenapa-kenapa, gue enggak bakal maafin diri sendiri,” gumamnya, lalu bergegas keluar.Saat dirinya hendak membuka pintu, pintu tersebut sudah
Naykilla berlari di sepanjang koridor menuju kelasnya. Hari ini dia memutuskan untuk masuk kuliah setelah beberapa hari absen. Dan pagi ini dia sudah di pastikan telat di kelas pertamanya. Pelakunya sudah pasti Dirga.Mereka berdebat panjang tentang dengan siapa Naykilla berangkat ke kampus. Naykilla sudah mengatakan bahwa dia akan pergi sendiri sementara Dirga tetap kekeh bahwa mereka harus pergi bersama. Dan perdebatan itu di menangkan oleh Dirga. Tapi dengan syarat Dirga harus memarkirkan mobilnya di parkiran belakang gedung fakultas, di sana tidak banyak orang yang mau memarkirkan kendaraan mereka karena letaknya agak jauh dari pintu keluar.Langkah kaki Naykilla terdengar tergesa di sepanjang lorong kampus yang mulai lengang. Napasnya terengah, keringat membasahi pelipis meski pagi belum terlalu panas. Ia menatap jam di ponselnya dan mendecak kesal. Sudah lewat sepuluh menit dari jadwal kelas dimulai.“Gara-gara Kak Dirga, gue jadi kayak anak kecil diantar orang tuanya,” gerut