*Tiga Setengah Tahun Kemudian*
Udara pagi di Kota Boston berembus dingin, hingga membuat beberapa mahasiswa yang keluar dari asrama merapatkan jaket masing-masing. Termasuk pula gadis bertubuh petit dengan wajah cantik yang mengalihkan beberapa fokus para mahasiswa ketika melewatinya. Rambut blonde strawberry gadis itu berayun seirama dengan langkahnya yang anggun saat melewati beberapa kerumunan mahasiswa laki-laki di dekat parkiran.
Salah satu dari mahasiswa di sana sampai terpaku, sehingga teman di sebelahnya harus menepuk bahu pria tersebut untuk menyadarkan dari pesona seorang Krista Reid, si dewi kampus, yang menjadi incaran banyak pria di universitas.
“Kau lihat, bagaimana mungkin aku bisa mengalihkan mata dari makhluk Tuhan yang sesempurna itu,” gumam pria berambut auburn itu.
“Wajahnya memang sempurna, tetapi kelakukannya …”
Seketika kumpulan itu pun hening dan serentak mereka menarik napas panjang.
&l
Suara musik dari loudspeaker di dekat tangga mengisi seluruh ruangan mansion yang berada tidak jauh dari pinggiran Kota Boston. Rumah besar itu dipadati mahasiswa dan beberapa undangan yang Krista yakini masih usia SMA.Orang-orang di sana tampak menikmati musik dan pasangan dansa di hadapan, namun ternyata Krista tidak memiliki perasaan yang sama.Gadis itu tampak bosan setengah mati di sudut ruangan. Berkali-kali dia menghela napas dengan segelas minuman di tangan, sedang matanya menyapu seluruh kepala yang berada di lantai dansa, namun dia tidak memiliki keinginan untuk bergabung di sana.“Kupikir kau tidak akan datang,” ucap Evan yang datang belakangan.Krista hanya mengangkat bahu sembari melirik ke arah Linda yang kini kembali dalam pelukan kekasihnya, Adrian. Kedua lengan kekar dari pemain football dengan posisi bek itu tampak seakan melahap tubuh Linda yang mungil, membuat Krista penasaran bagaimana mereka melakukan sesi panas di atas
Baru saja Krista membuka pintu kamar besok paginya, saat dia menemukan buket bunga mawar yang kemarin dibuang ke tong sampah berada di bawah pintu. Pandangan gadis itu langsung tertuju pada buket tersebut.Ada dorongan untuk memijak bunga-bunga itu sampai hancur dengan sepatu hak tinggi yang dipakai, ketika tiba-tiba dia melihat sebuah kartu ucapan menyembul keluar dari setangkai mawar di tengah-tengah rangkaian.Kakinya kembali ke posisi berdiri, dan gadis itu pun mengurungkan niat untuk menginjak-injak benda tidak berdosa tersebut.“Kenapa kau masih di sana? Apa kau lupa sesuatu?” tanya Linda yang tetap berbaring di kasur.Seketika Krista tersadar dan matanya berkedip-kedip, mengusir lamunan akan siapa pengirim bunga tersebut, dan dia pun berdehem sebelum akhirnya menjawab.“Tidak apa-apa,” ujarnya sembari mengambil bunga yang tergeletak di lantai.Dia membungkuk sedikit dan memungut bunga itu dengan tidak minat.
Ketika lelehan air mata itu mulai bergulir jatuh, jemari pria di hadapan Krista pun mengusap lembut pipi yang mulai basah, tetapi dengan cepat kepala gadis itu berputar menjauhi sentuhan, sehingga jemari-jemari tidak berdosa itu menggantung di udara sebelum akhirnya kembali ke sisi tubuh pria tersebut.“Mau apa kau ke sini?” Gadis dua puluh satu tahun itu mendelik tajam dan dengan cepat bergerak menjauhi pria yang mulai menyesaki ruang privasi.Mata biru pria itu memperhatikan kegelisahan Krista dengan pandangan tidak biasa.“Aku ingin melihatmu,” ucap pria itu pelan.Dia hendak menyentuh lagi wajah gadis di hadapan, tetapi Krista memilih untuk mundur beberapa langkah hingga mereka berjarak.Ujung bibir pria itu berkedut menahan senyuman, dan dengan sangat pelan dia pun bergumam lebih pada dirinya sendiri; “Tiga tahun kita tidak pernah berjumpa.”Mendapati ada kesedihan bergelayut di bawah mata pria di had
Setibanya di basement hotel, Krista melirik Gavin tajam.“Aku tidak akan masuk ke dalam sana,” desis gadis itu sembari berusaha keluar dan berniat untuk mencari kereta bawah tanah, tetapi pintu yang berusaha dia buka tidak juga bergerak seinci, membuatnya menggeram frustrasi. “Keluarkan aku!”Untuk sesaat Gavin diam memerhatikan Krista yang kesulitan dan beberapa kali memukul jendela kaca menggunakan telapak tangan dengan keras.“Aku mau keluar!”Mendengar jeritan keras gadis itu yang diikuti suara bergetar hendak menangis, Gavin pun menghela napas panjang dan membuka pintu, sebelum akhirnya keluar dari sana dan memutari mobil, lalu berdiri di depan pintu di mana Krista berada.Melihat gadis itu terus memukul kaca jendela, Gavin pun mengeluarkan Krista yang seketika menghambur keluar dan berjalan cepat untuk menghindarinya.“Urusan kita belum selesai,” ucap Gavin sembari menarik tangan gadis it
Pandangan Gavin lurus ke depan, sedang kedua tangan menggenggam erat pada pembatas rooftop. Dari ketinggian ini, dia dapat menikmati suguhan pemandangan sore Kota Boston yang terbentang di hadapan.Beberapa kali dia menghela napas, dan juga menyugar rambut sebanyak itu pula."Shit," umpatnya sembari menghembuskan napas keras, kemudian menyesap air mineral dari botol yang dia bawa ke atap gedung hotel.Fokus Gavin kembali pada ingatan seorang gadis yang masih tidur di atas kasur dalam kamar yang dia sewa sementara.Ketika Gavin hendak menyesap minumannya kembali, tiba-tiba saja ponsel yang berada di saku celana berdering nyaring dan nama
Krista terbangun saat dia merasakan hangat tubuh seseorang tengah membungkusnya. Seketika gadis itu berputar cepat untuk berbalik badan dan melihat siapa yang memeluk dari belakang.Mata gadis dua puluh satu itu mengerjab-ngerjab hingga bulu mata lentiknya mengipas wajah begitu mendapati sosok pria berwajah rupawan yang terlelap di hadapan.Awalnya Krista hanya terdiam, memandangi pria yang mendengkur halus. Gurat wajah tampannya membuat Krista ingin meraba setiap lekuk yang membingkai dengan sempurna.Namun, dia pun menepis perasaan itu ketika ingatan banyak wanita mungkin telah melakukannya lebih dulu, membuat Krista meremas dada yang terasa n
Mata Krista yang basah menatap Gavin lekat. Dia bahkan tidak tahu harus berbuat apa pada pria yang telah berkali-kali membuat hatinya pecah berkeping-keping.“Tidak perlu peduli padaku,” ucap Krista sembari menarik tangan yang berada dalam genggaman hangat pria itu.“Aku tahu kau merasa nyeri di sini,” ucap Gavin dengan suara sedikit serak sembari menghembus pelan-pelan permukaan kulit Krista yang masih berdenyut akibat tamparan tadi.Rasanya hati Krista seperti diremas begitu perhatiannya teralih ke wajah rupawan yang berusaha meredakan nyeri bekas tamparan tadi. Bahkan, alam bawah sadarnya ingin mengelus pipi pria itu yang memerah bekas jejak telapak tangan. Namun dengan cepat dia menepis semua perasaan itu.“Mengapa kau tidak menjauh saja seperti tiga tahun ini,” bisik Krista dengan nada suara berderak dan bibir bergetar.Dia tidak kuat membendung air mata yang perlahan berlinang jatuh ke atas tangan mereka ke
Wajah Gavin seketika basah karena tiba-tiba saja wanita di hadapan menyiramnya dengan air mineral di depan semua orang. Untuk sesaat pria itu terpaku.Atmosfir di sekitar dengan sangat cepat berubah menjadi tegang.Dalam posisi berdiri, Krista memegang erat gelas yang berada dalam genggaman, di mana benda berbahan kaca tersebut menggantung di sisi tubuh sedang matanya sembab dengan manik mata bergetar ketika menatap pria di hadapan.Terdengar suara terkesiap dari segala arah, namun tidak mereka pedulikan.Setelah menarik napas, perlahan-lahan Gavin membuka kelopak mata yang tadi sempat tertutup karena refleks tubuh. Dia berkedip beberapa kali, sebelum akhirnya mata Gavin terbiasa dengan air di sekitar wajah.Pria itu tidak mengulas senyum, tidak pula terlihat marah. Ekspresinya sangat datar, tanpa ada emosi mengitari.Pandangan Gavin pun terarah pada gadis bertatapan melankolis di depannya begitu dia menyadari apa yang sedang terjadi.