Ilham sangat memperhatikan kehamilan Indira sejak kepulangannya dari luar kota. Mulai dari sarapan, makan siang hingga makan malam. Dia juga mengatur jam istirahat Indira. Dia ingin anak dalam kandungan Indira tumbuh dengan sehat.
“Kamu harus makan tiga kali sehari ya, Dira. Makanan kamu akan saya atur yang banyak gizinya. Camilan juga saya yang tentukan. Kamu tinggal minta sama Rania. Dia akan menyiapkan semuanya buat kamu.” “Baik, Tuan.” Indira tidak akan membantah karena dia tahu semua demi kesehatan bayi dalam perutnya. Perempuan itu rela mengandung yang penting setelah melahirkan dia bisa keluar dari rumah itu. “Tuan, apa saya boleh minum susu khusus ibu hamil?” Jika Ilham melarang, dia akan membuang semua susu itu dan akan diam karena sudah minum susu itu. “Sepertinya boleh saja. Susu itu bagus untuk ibu hamil. Jadi, tidak masalah.” “Oh ya, baik, Tuan.” “Kamu lagi pengen makan sesuatu enggak, Dira? Mangga muda atau rujak? Yang saya tahu ibu hamil suka makan makanan asam seperti itu.” “Enggak, Tuan. Saya lagi enggak mau makan mangga muda atau rujak.” “Oh. Kalau kamu mau makanan itu, saya bisa carikan. Saya mau berangkat kerja dulu. Kamu jangan lupa makan dan istirahat.” “Iya, Tuan.” Ilham pun berangkat ke kantor. Selesai sarapan, Indira menuju taman belakang. Dia ingin menyiram bunga di sana. Rania menghampiri perempuan itu tak lama kemudian. “Dira … kenapa sih kamu tuh enggak bisa duduk aja gitu atau istirahat aja? Ini kan bukan kerjaan kamu lagi. Kamu udah jadi nyonya di rumah ini. Daripada kamu sibuk ngerjain kerjaan pembantu, mending kamu jalan di mall. Nyalon kek, beli baju yang bagus kek atau jalan ke mana gitu. Jangan diem aja di rumah.” Indira cuek mendengar ucapan Rania karena dia tidak merasa sebagai nyonya di rumah itu. Hanya dinikahi untuk melahirkan anak setelah itu dia akan pergi dari sana. Indira tersenyum. “Enggak ah. Aku lebih suka di rumah. Lihat rumah rapi dan bersih aku suka.” “Ah, kamu mah emang mental pembantu sih. Sudah dinikahi majikan kaya raya, tapi enggak bersyukur.” “Enggak bersyukur gimana sih?” tanya Indira heran. “Ya gitu, dikasih kelebihan harta malah enggak dimanfaatkan. Kalau aku jadi kamu, aku pasti setiap hari pergi, ke salon, perawatan, beli baju yang mahal, makan yang enak-enak, tapi kamu enggak. Emang kamu tuh aneh ya, Dira.” Rania memang iri pada Indira. Terkadang dia berpikir jika nasibnya tidak sebagus Indira yang mendadak dinikahi majikan kaya raya. Kemudian, Rania pun pergi meninggalkan Indira karena dia merasa kesal. Indira hanya bisa geleng-geleng kepala melihat temannya itu. Selesai menyiram tanaman, Indira berkeliling rumah membawa lap. Perempuan itu mengelap meja atau lemari yang terlihat berdebu di matanya. *** Pada malam hari, hampir jam sembilan malam, tiba-tiba saja Indira ingin makan makanan asam. Namun, dia tidak berani meminta pada Ilham yang sedang duduk di ranjang bersamanya sambil memeriksa ponsel. Keinginannya itu semakin lama semakin kuat sehingga Indira memberanikan diri bicara pada Ilham. “Tuan ….” Indira menarik lengan baju Ilham. “Hm … kenapa?” “Saya boleh minta tolong?” Ilham memutar badan agar menghadap Indira. Dia merasa ada hal serius yang ingin dikatakan perempuan itu. “Kamu mau minta tolong apa, Dira?” “Tuan, bisa enggak carikan saya makanan yang asem-asem, kayak rujak gitu, Tuan? Tapi, sekarang sudah malam sih.” Indira meragu Ilham akan pergi mencarikan permintaannya. Wajah Ilham terlihat sumringah. “Kamu mau rujak? Saya bisa carikan buat kamu. Tunggu di sini ya, saya pergi dulu sebentar.” Ilham turun dari ranjang lalu menuju kamarnya. Di sana dia mengganti pakaian lalu pergi bersama supir mencari rujak untuk Indira. “Malam-malam begini cari rujak di mana ya, Pak?” tanya Ilham pada supirnya. “Kalau malam begini tukang rujak sudah enggak jualan, Tuan. Gimana kalau kita ke tukang buah, terus beli buah untuk dibuat rujak, nanti bumbunya minta tolong bibi saja yang buatkan. Rujaknya buat Nyonya Dira ya, Tuan?” “Iya. Ya sudah kalau begitu kita beli buahnya saja. Tolong antarkan saya ke sana!” Supir mengantarkan Ilham ke tukang buah yang masih buka. Di sana dia membantu Ilham mencari buah yang masih muda atau mengkal untuk dibuat rujak. Ilham membeli mangga muda, jambu air, nanas dan pepaya muda. Selesai membeli buah mereka pulang ke rumah. Tiba di rumah, supir membawa semua buah ke dapur untuk dikupas dan meminta bibi untuk membuat rujak. Tidak perlu menunggu lama, rujak pesanan Indira pun sudah jadi. Mereka berikan pada Ilham lalu pria itu membawa ke kamar Indira. “Ini rujak buat kamu. Makan ya!” Ilham meletakkan piring buah dan bumbu rujak di meja. Indira mendekati meja lalu mencoba rujak itu. “Rasanya enak, Tuan, terima kasih sudah mau repot-repot.” Indira tersenyum. Dari wajahnya terlihat jika dia sangat menikmati rujak itu. “Sama-sama. Semua kan buat janin dalam perut kamu. Pokoknya kamu mau minta apa saja akan saya kabulkan.” “Oh ya, Tuan, kalau saya minta yang lain lagi apa boleh?” “Tentu saja boleh. Kamu mau minta apa, Dira? Saya bisa kabulkan semua permintaan kamu.” Indira diam sejenak sambil berpikir apakah dia harus mengatakannya atau hanya memendamnya. Namun, dorongan keingina n itu sangat kuat. Akhirnya Indira pun bicara. “Saya pengen jalan-jalan ke luar negeri, Tuan. Satu kali saja dalam hidup saya, tapi misalnya enggak bisa pun enggak apa-apa.”Setahun kemudian, Indira sudah melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik. Ilham memberinya nama Keyra Salsabila. Indira masih tinggal di rumah yang dibeli Ilham sebelum mereka menikah dan tiga bulan sebelum melahirkan Ilham memboyong mbak Rohiman ke rumah itu untuk membantu Indira sesuai permintaannya. Kebahagiaan Ilham terasa lengkap dengan lahirnya anak perempuan itu. Dia pun semakin cinta dengan Indira dan keluarga kecilnya. Tidak ada lagi yang Ilham inginkan selain hidup bahagia dengan keluarga kecilnya. Karena kondisi Indira sudah pulih, Ilham minta Indira memasak makanan untuknya, termasuk bekal makan siang. Lidahnya sangat cocok dengan masakan istrinya dan mengesampingkan makanan lain meskipun itu dari restoran ternama. Siang itu Ilham sudah menunggu bekal makan siang yang dijemput Dedi ke rumah. Ilham : Sayang, sudah diantar belum makan siangnya? Mas sudah laper banget ini. Indira : Sudah, Mas. De
Tamu undangan mengantre untuk memberikan ucapan selamat pada Indira dan Ilham. Siang itu mereka harus menyiapkan tenaga untuk menyambut banyak tamu di acara resepsi yang memang langsung digelar setelah akad nikah tadi. Ruangan resepsi itu ramai dengan tamu-tamu yang antre salaman, menikmati hidangan dan mengobrol. Kenzi sedang bermain bersama Linda di luar ruangan acara. Anak yang berusia 10 tahun itu sedang malas berada di dalam ruangan yang sesak dengan banyak orang. Dia lebih suka duduk di luar bersama Linda sehingga tidak perlu capek berbagi oksigen dengan orang lain. “Kenzi tadi sudah foto kan sama mama, papa?” tanya Linda di luar ruangan. “Sudah, Tante. Oh ya, Tante kapan mau nikah?” “Hei, kamu masih kecil kok penasaran sih tanya kapan Tante nikah? Doain aja ya, Kenzi yang ganteng. Kamu seneng enggak papa sama mama nikah? Dulu mereka juga sudah pernah nikah, tapi harus pisah.” “Tante, aku sudah tahu cer
Ilham terkesiap. Pria itu masih belum percaya jika perempuan yang ada di hadapannya itu menerima lamarannya. “Dira, kamu benar-benar menerima lamaran saya? Kamu lagi enggak bercanda kan, Dira?” Saking seringnya ditolak, Ilham pun sudah pasrah dengan keputusan Indira hari ini. Pria itu terlalu bahagia saat ini. “Iya, Mas. Kalau saya tolak kan enggak mungkin saya bilang iya.” Indira tersenyum sekali lagi dan membuat hati Ilham meleleh. Pria itu pun menyematkan cincin di jari Indira. Dia tersenyum puas karena perjuangannya selama ini tidak berakhir sia-sia.“Kita harus buru-buru kasih tahu Kenzi nih kalau sebentar lagi kita akan tinggal bersama lagi.” Indira tidak setuju dengan ucapan Ilham itu. “Jangan dulu, Mas. Nanti saja tunggu selesai akad, kita baru kasih tahu Kenzi.” Ada banyak yang ingin Ilham diskusikan dengan Indira, dia pun menarik Indira ke sofa dan duduk bersamanya di sana. “Ada syarat
Indira tiba di rumah sakit, di kamar tempat Ilham dirawat, di sana dia melihat pria itu terbaring lemah dia tas brankar. Indira menghampiri Kenzi lebih dulu. “Kamu beneran enggak apa-apa, Sayang?” tanya Indira sambil memeriksa keadaan Kenzi. “Aku enggak apa-apa kok, Ma.” Indira terua memeriksa tubuh Kenzi sampai dia merasa yakin anak itu benar-benar dalam keadaan baik-baik saja. “Kenzi sudah makan? Aduh, Mama tadi lupa bawa makanan ke sini. Nanti kita cari makan di luar aja ya, Sayang.” Indira menatap Kenzi masih dengan perasaan khawatir. “Kenzi tunggu di sini ya, Mama mau lihat kedaan papa dulu.” Indira lalu beralih mendekati Ilham. Dia kasihan pada pria itu. Indira sendiri masih belum tahu keadaan Ilham yang sebenarnya. Dia pun duduk di kursi di dekat brankar Ilham.“Mas, gimana keadaannya? Apa ada yang kerasa sakit?” Indira hanya bisa menatap Ilham dan tidak bisa memeriksa kondisi tubuh pria itu seperti dia
Pada suatu malam, Ilham mengajak Kenzi menginap di rumahnya. Tentu saja tanpa Indira. Dia ingin mengajak Kenzi kerja sama untuk membujuk Indira agar mau menikah lagi dengannya. Harapan terakhir Ilham hanya pada Kenzi saja. “Kenzi, Papa mau minta tolong sama Kenzi, boleh?” “Papa mau minta tolong apa?” Anak itu penasaran. “Kenzi mau engggak tinggal bersama di satu rumah? Di rumah itu ada Papa, mama sama Kenzi?” Tanpa perlu pikir panjang Kenzi langsung menjawab pertanyaan Ilham. “Mau, Pa, tapi mama suka bilang kalau kita belum bisa tinggal bareng di satu rumah.” Ilham berpikir sejenak, apa yang bisa dia katakan agar Kenzi paham dengan maksudnya, “Besok coba tanya sama mama, mau enggak mama tinggal bareng sama papa dan kamu. Kalau mama mau, Kenzi kasih tahu Papa ya?” “Kalau mama enggak mau, gimana, Pa?” “Ya nanti Papa mikir lagi deh. Yang penting sekarang Kenzi tanya dulu sama mama, mau apa enggak.” “Ok, Pa, besok aku tanya sama mama.” Kenzi tersenyum. Dia mengemban misi untuk men
Masuk liburan anak sekolah, setelah mengambil rapot Kenzi, Ilham mengajak putranya ke Australia untuk liburan dan mengobati rasa rindunya pada Indira. Ilham sudah berada di hotel bersama Kenzi dan menunggu Indira pulang dari kampus. Indira berjanji akan mengabari Ilham saat pulang dari kampus. Ketika dia mendapat pesan dari Indira, pria itu langsung mengajak Kenzi ke apartemen Indira. Hotel yang dia pesan letaknya tidak jauh dari apartemen Indira, dengan berjalan kaki pun mereka sudah bisa tiba di sana. Namun, ketika Ilham datang ke apartemen Indira, pintunya terbuka dan dia lihat mantan istrinya itu sedang mengobrol dengan seorang pria. Ilham terkejut dan bertanya-tanya. “Siapa Pria itu? Dia mau PDKT sama Dira atau cuma teman kuliah saja?” tanya Ilham dalam hati.Setelah mengucap salam Ilham dan Kenzi masuk ke apartemen Indira. Perempuan itu pun menoleh ke arah pintu. “Mas Ilham? Eh, ada Kenzi?” Indira langsung bangkit dari sofa lalu berjalan mendekati anaknya. “Kenzi … Mama kange