Share

3~DS

Author: Kanietha
last update Last Updated: 2025-03-21 15:46:00

Ini salah!

Sinar tahu itu. Namun, tubuhnya seakan menolak untuk mundur. Ia menginginkan Bintang, pria yang seharusnya tidak boleh ia inginkan.

Mereka semakin dalam, semakin menguasai, seolah menenggelamkan keduanya dalam arus yang tidak lagi bisa dihentikan. Bintang tidak menarik diri, begitu pun Sinar. Tidak ada lagi akal sehat yang mengintervensi, hingga .... Dering ponsel tiba-tiba memecah keheningan.

Bintang tersentak, seolah baru tersadar dari sesuatu yang seharusnya tidak terjadi. Dengan helaan kasar, ia menjauh. Meraih ponselnya di atas ujung meja bar. Telunjuknya sedikit gemetar saat menggeser ikon hijau di layar, untuk menerima panggilan video dari seseorang.

“Papaaa! Kapan pulang?”

Suara kecil nan manja dari panggilan video itu, sontak menyadarkan Sinar yang masih duduk di samping Bintang. Gadis itu menggigit bibirnya yang terasa tebal juga kebas, sisa dari apa yang baru saja mereka lakukan.

Di sebelahnya, Bintang tersenyum lembut, menatap sosok bocah kecil di layar yang tengah asyik menikmati es krimnya.

“Nanti sore Papa pulang,” jawab Bintang begitu hangat, tanpa sedikit pun menghilangkan senyum di wajahnya.

Lagi-lagi, hati Sinar terasa retak. Ia tahu, ia harus pergi. Secepat mungkin. Dengan gerakan hati-hati, Sinar mencoba berdiri. Namun, belum sempat melangkah, jemarinya sudah lebih dulu diraih oleh Bintang. Pria itu menariknya lembut, tetapi cukup kuat untuk membuatnya kembali duduk.

Bintang menatapnya sekilas, lalu menggeleng pelan. Meminta Sinar untuk tetap di sana.

Namun, semakin lama, rasanya semakin mustahil bagi Sinar untuk tetap tinggal.

“Nanti malam ke toko buku ya, Pa. Sama Mama juga,” lanjut bocah tersebut.

“Oke,” jawab Bintang tanpa ragu.

Sinar ... membeku. Haruskah ia tetap tinggal? Haruskah ia terus menjadi saksi obrolan penuh kehangatan antara ayah dan anak itu?

Lalu, suara lembut seorang wanita terdengar dari seberang sana.

“Mas Bintang, nanti malam sekalian makan di luar, ya? Ibu kangen ngumpul katanya.”

Wajah Sinar memanas detik itu juga. Matanya mulai mengembun, dadanya terasa sesak. Rasa bersalah mendera begitu hebat. Dengan pelan, ia melepaskan jemarinya dari genggaman Bintang, lalu berdiri dan melangkah pergi menuju kamar.

Tanpa membuang waktu, Sinar mengemasi barangnya. Dengan tergesa, ia mengenakan jaket dan sneaker, sementara setitik air mata jatuh di pipi dan ia buru-buru menyekanya.

Sinar pergi tanpa pamit. Tidak ingin menginterupsi tawa yang menggema di ruang tengah apartemen itu. Ia melangkah dalam diam, tidak lagi menoleh ke belakang.

Rasanya berpisah dengan Angkasa tidak sesakit ini. Namun, kali ini, ada sesuatu yang jauh lebih berat. Ada penyesalan yang menggelayut, membuatnya merutuki kebodohan sendiri. Sinar hampir merusak sesuatu yang bukan miliknya. Ia telah menodai sebuah ikatan suci, yang telah dibangun dengan cinta dan kepercayaan.

Dan ... itu salah!

Langkahnya semakin cepat meninggalkan apartemen itu, tapi bayangan tadi terus mengikuti—senyum Bintang yang begitu lembut saat berbicara dengan anaknya, suara tawa kecil yang penuh kasih, dan panggilan hangat seorang istri.

Sinar mengepalkan jemarinya, menahan perasaan yang mendidih di dalam dada. Ini salah. Ini seharusnya tidak terjadi. Dan satu-satunya yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah pergi. Pergi sebelum ia benar-benar kehilangan dirinya sendiri.

~~~~~~~~~~~

“Sinar, empat mata di ruang meeting,” ucap Bintang. Ia sengaja datang lebih pagi, agar bisa bicara lebih dulu dengan Sinar.

Ada yang harus mereka selesaikan secepatnya, mengenai kejadian kemarin pagi. Waktunya memang terasa tidak tepat, tetapi Bintang tidak punya pilihan. Sejak kemarin, Sinar tidak kunjung menerima panggilannya dan tidak juga membuka pesan yang ia kirimkan.

“Tapi saya banyak kerjaan, Pak,” elak Sinar. “Ini hari senin jadi—”

“Ke ruang meeting,” putus Bintang tegas, memberi perintah. “Lima menit.”

“Ada surat yang harus saya—”

“Sinar Bhanuresmi.” Intonasi Bintang mulai meninggi.

Sinar mengerjap, tidak berani lagi membantah. Dengan langkah malas, ia berjalan menyusul Bintang, sementara pipinya sedikit menggembung menahan kesal.

Andai saja Bintang bukan atasannya, Sinar pasti tidak akan ragu menyemprotnya dengan serangkaian omelan.

“Tutup pintunya,” titah Bintang yang lebih dulu berada di ruanga meeting. Setelah memastikan Sinat menutup pintu, ia lantas bersedekap. “Kenapa semua telpon dan pesan saya kamu abaikan?”

“Karena nggak ada yang perlu kita bicarakan.” Sinar hanya berdiri di samping pintu, menjaga jarak. “Kecuali masalah pekerjaan.”

“Setelah apa yang telah kita lakukan kemarin, sekarang kamu bilang nggak ada yang perlu kita bicarakan? Begitu?”

Dengan pipi yang mengembung, Sinar mengangguk. Tanpa mau melihat Bintang. “Karena semua itu salah.”

Bintang menghela kecil.  Perbuatan mereka memang salah, tetapi ada sesuatu yang harus ia perjelas.

“Datang ke apartemen saya sepulang kantor,” ucap Bintang lembut. Ia mengambil dompet dari saku celana, lalu mengeluarkan sebuah kartu. Memberikannya pada Sinar. “Ini access card—”

“Saya nggak mau,” tolak Sinar mundur satu langkah. Memegang handle pintu dan bersiap membukanya. “Jangan diteruskan dan jangan dibicarakan lagi. Pak Bin sudah punya istri sama anak, jadi, yang kemarin itu ... salah.”

“Tapi ada yang harus saya jelaskan.”

“Nggak perlu,” tolak Sinar. “Simpan penjelasan itu buat Pak Bin. Saya nggak butuh.”

“Sinar—”

“Saya pergi dulu, Pak.” Sinar membuka pintu ruang meeting dengan segera. “Dan ... cukup sampai di sini.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
good Sinar jangan sampe kamu jadi pelakor ya..
goodnovel comment avatar
Yelloe Duassatu
ya bener sih yg dulakukan sinar menghentikan semuanya sebelum jauh terlibat asmara yg salah
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dear Secretary   173~DS

    Tanpa berkata sepatah kata pun, Sinar mengangkat kerah kemeja suaminya. Ia membentangkan ujung dasi ke belakang leher, lalu menarik kedua sisinya ke depan. Dengan cekatan Sinar melilitkan kedua ujung itu sampai menjadi simpul yang rapi, kemudian menarik ujung dasi yang lebar ke bawah sambil menggeser simpulnya ke atas.Setelah selesai, Sinar kembali merapikan kerah kemeja tersebut. “Selesai.”Pras mencekal tangan Sinar yang hendak berbalik. Menariknya, hingga tubuh sang istri jatuh di pangkuannya yang sejak tadi duduk di tepi ranjang. “Aku mau ke persidangan, Nar. Bukan ke pesta atau klub malam. Jadi jangan merengut terus.” “Banyak ceweknya di sana, kan?” tanya Sinar dengan nada ketus.“Jelas.” jawab Pras. “Terus, habis itu kamu juga ada janji dengan Rista, kan?”“Betul!”“Ck! Aku nggak suka sama dia!” dengkus Sinar. “Bajunya ketat, roknya pendek. Kalau nggak ada aku, nanti kamu ditempel-tempelin sama dia!”“Ditempelin itu enak, anget! Seperti ini.” Pras memeluk erat tubuh Sinar y

  • Dear Secretary   172~DS

    Dengan memakai piyama lengkap, Sinar keluar dari kamar mandi. Mengambil ponselnya yang ada di nakas, tanpa memedulikan Pras sama sekali.Begitu ia berbalik dan hendak melangkah pergi, Pras membuka suara.“Masih mau pergi tidur di kamar Aya dan balik ke sini waktu pagi?”Sinar tidak jadi melangkah. Ia menatap Pras, tajam. Akhirnya, setelah tiga hari mereka tidak bertegur sapa karena masalah pil KB, Pras lebih dulu membuka mulut. Sinar baru membuka bibirnya, tetapi Pras lebih dulu melanjutkan kalimatnya. “Tidur di sini malam ini,” titah Pras tegas, tanpa mau dibantah. “Jangan berani-berani melangkah keluar kamar, atau kamu terima akibatnya.”“Kamu ngancam aku?”“Ya,” jawab Pras. “Matikan lampunya, terus tidur. Nggak perlu beralasan mau lihat Asa atau Aya, karena mereka tidur di kamar mami malam ini.”Sinar menghempas ponselnya di tempat tidur. Tidak lagi memiliki alasan untuk pergi keluar kamar, Sinar akhirnya menuruti perintah Pras. Mematikan lampu utama kamar, lalu berbaring di sam

  • Dear Secretary   171~DS

    Pagi itu, Pras terbangun dengan garis bibir yang melengkung sempurna. Sinar masih terlelap di pelukannya, napasnya teratur, dan hangat tubuhnya masih menyelimuti dada Pras. Tidak ada lagi jarak, tidak ada lagi pembatas. Tadi malam, mereka benar-benar telah menyatu. Bukan hanya raga, tetapi dengan mantap juga menyatukan hati.Pras menyibak beberapa helai rambut yang menutupi wajah Sinar dengan perlahan. Menatap lamat-lamat, menghafal setiap garis, setiap lekuk yang selama ini hanya bisa ia sentuh di dalam mimpi.Namun, tidak kali ini. Semua telah tampak begitu nyata, begitu dekat, dan Sinar akhirnya menjadi miliknya, seutuhnya. Dengan amat perlahan, Pras menggeser tubuh Sinar agar tidak mengganggu tidur lelapnya. Kemudian, ia membenarkan selimut di tubuh sang istri lalu pergi ke kamar mandi. Dan sejak pagi itu, Pras memutuskan untuk tidak lagi memakai kursi rodanya. Ia akan kembali menjalani kehidupan normal seperti biasa dan menjadi dirinya seutuhnya. ~~~~~~~~~~~~~~~“Pras!Eila t

  • Dear Secretary   170~DS

    Sudah hampir satu jam Sinar menunggu suaminya di ruang kerja Pras. Setelah itu, Pras muncul dan langsung mengajaknya pergi ke Network.“Yakin langsung ke Network?” tanya Sinar, sambil menggandeng Asa menuju lift. “Nggak mau istirahat dulu?”“Nggak,” jawab Pras lalu menguap sebentar sambil menutup mulutnya. “Cepat selesai, cepat pulang. Aku ngantuk, mau tidur.” Bibir Sinar langsung terlipat rapat, berusaha menahan tawa yang hampir meledak. “Tumben, emang semalam tidurnya nggak nyenyak?”“Hm, kepanasan,” jawab Pras, jujur tapi dengan nada malas.“Kepanasan?” tanya Irfan sambil menekan tombol lift menuju lantai dasar. “Saya aja sampai menggigil waktu masuk ke kamar Mas tadi pagi. Apa Mas nggak enak badan? Atau, kita bisa mampir dulu ke rumah sakit?”Sinar nyaris tertawa keras, tetapi ia buru-buru menggigit pipi bagian dalamnya dan menunduk. Ekspresi penat Pras, ditambah wajah serius dan khawatir Irfan, sungguh membuat Sinar geli sendiri. “Nanti aja, sekalian jadwal terapi,” elak Pras s

  • Dear Secretary   169~DS

    Dahi Sinar berkerut, menatap tajam ke arah Irfan yang hendak melangkah ke rumah depan. Akhirnya, ia bisa bertemu dengan pria itu tanpa ada Pras di sebelahnya.“Jadi, sejak kapan Mas Pras mulai bisa jalan?” tanya Sinar setelah sedikit mengeluarkan protes dan emosinya pada Irfan.Irfan meringis, salah tingkah. Dua-duanya adalah majikannya. Jika ia berbohong pada salah satu, entah apa yang akan menimpanya nanti.“Ayolah, Fan!” desak Sinar. “Saya janji, ini cuma di antara kita.”Irfan memijat tengkuknya, menatap langit malam yang bertabur bintang sekilas sambil tersenyum salah tingkah.“Bener ya, Mbak, jangan bilang siapa-siapa?” tanya Irfan memastikan.“Janji!” jawab Sinar. “Lagian aku juga taunya bukan dari kamu. Jadi, namamu aman.”Irfan membuang napas besar, lalu kembali menarik napas dalam. “Habis operasi, perkembangan mas Pras memang signifikan. Dia betul-betul semangat buat sembuh. Tapi, kalau untuk jalan sempurna seperti dulu, baru jalan tiga bulanan ini.”“Kenapa aku nggak dikasih

  • Dear Secretary   168~DS

    “Sinar, kan!”Sinar baru memasuki cabang gerai rotinya yang ketiga, saat seruan penuh semangat itu menyapanya. Sinar mengerjap dan mengingat-ingat, di mana ia pernah melihat atau bertemu dengan gadis di hadapannya.“Sorry, anak SMA Permata kan? Aku udah mulai pikun soalnya.” Aku Sinar lalu terkekeh garing. Samar di ingatan, gadis dengan tubuh langsing dan wajah tirus itu tampak seperti salah satu siswa di SMA-nya dahulu kala.“Aku Tami,” ujarnya memperkenalkan diri. “Anak IPS, jadi wajar kalau kamu nggak tau atau nggak inget.”“Ohh …” Sinar mengangguk-angguk. Agak canggung rasanya jika bertemu teman dari SMA dulu, karena Sinar tidak sering bersosialisasi saat itu. Sebagian besar waktunya ia gunakan untuk belajar, agar bisa masuk ke universitas incarannya dengan full beasiswa. “Oia, bentar, ya!” Tami segera mengeluarkan dompet, lalu membayar total belanjaannya pada kasir. Setelah selesai, ia bergeser dan kembali bicara dengan Sinar. “Oia, kamu nggak gabung di grup alumni kita, ya?”

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status