Ini salah!
Sinar tahu itu. Namun, tubuhnya seakan menolak untuk mundur. Ia menginginkan Bintang, pria yang seharusnya tidak boleh ia inginkan.
Mereka semakin dalam, semakin menguasai, seolah menenggelamkan keduanya dalam arus yang tidak lagi bisa dihentikan. Bintang tidak menarik diri, begitu pun Sinar. Tidak ada lagi akal sehat yang mengintervensi, hingga .... Dering ponsel tiba-tiba memecah keheningan.
Bintang tersentak, seolah baru tersadar dari sesuatu yang seharusnya tidak terjadi. Dengan helaan kasar, ia menjauh. Meraih ponselnya di atas ujung meja bar. Telunjuknya sedikit gemetar saat menggeser ikon hijau di layar, untuk menerima panggilan video dari seseorang.
“Papaaa! Kapan pulang?”
Suara kecil nan manja dari panggilan video itu, sontak menyadarkan Sinar yang masih duduk di samping Bintang. Gadis itu menggigit bibirnya yang terasa tebal juga kebas, sisa dari apa yang baru saja mereka lakukan.
Di sebelahnya, Bintang tersenyum lembut, menatap sosok bocah kecil di layar yang tengah asyik menikmati es krimnya.
“Nanti sore Papa pulang,” jawab Bintang begitu hangat, tanpa sedikit pun menghilangkan senyum di wajahnya.
Lagi-lagi, hati Sinar terasa retak. Ia tahu, ia harus pergi. Secepat mungkin. Dengan gerakan hati-hati, Sinar mencoba berdiri. Namun, belum sempat melangkah, jemarinya sudah lebih dulu diraih oleh Bintang. Pria itu menariknya lembut, tetapi cukup kuat untuk membuatnya kembali duduk.
Bintang menatapnya sekilas, lalu menggeleng pelan. Meminta Sinar untuk tetap di sana.
Namun, semakin lama, rasanya semakin mustahil bagi Sinar untuk tetap tinggal.
“Nanti malam ke toko buku ya, Pa. Sama Mama juga,” lanjut bocah tersebut.
“Oke,” jawab Bintang tanpa ragu.
Sinar ... membeku. Haruskah ia tetap tinggal? Haruskah ia terus menjadi saksi obrolan penuh kehangatan antara ayah dan anak itu?
Lalu, suara lembut seorang wanita terdengar dari seberang sana.
“Mas Bintang, nanti malam sekalian makan di luar, ya? Ibu kangen ngumpul katanya.”
Wajah Sinar memanas detik itu juga. Matanya mulai mengembun, dadanya terasa sesak. Rasa bersalah mendera begitu hebat. Dengan pelan, ia melepaskan jemarinya dari genggaman Bintang, lalu berdiri dan melangkah pergi menuju kamar.
Tanpa membuang waktu, Sinar mengemasi barangnya. Dengan tergesa, ia mengenakan jaket dan sneaker, sementara setitik air mata jatuh di pipi dan ia buru-buru menyekanya.
Sinar pergi tanpa pamit. Tidak ingin menginterupsi tawa yang menggema di ruang tengah apartemen itu. Ia melangkah dalam diam, tidak lagi menoleh ke belakang.
Rasanya berpisah dengan Angkasa tidak sesakit ini. Namun, kali ini, ada sesuatu yang jauh lebih berat. Ada penyesalan yang menggelayut, membuatnya merutuki kebodohan sendiri. Sinar hampir merusak sesuatu yang bukan miliknya. Ia telah menodai sebuah ikatan suci, yang telah dibangun dengan cinta dan kepercayaan.
Dan ... itu salah!
Langkahnya semakin cepat meninggalkan apartemen itu, tapi bayangan tadi terus mengikuti—senyum Bintang yang begitu lembut saat berbicara dengan anaknya, suara tawa kecil yang penuh kasih, dan panggilan hangat seorang istri.
Sinar mengepalkan jemarinya, menahan perasaan yang mendidih di dalam dada. Ini salah. Ini seharusnya tidak terjadi. Dan satu-satunya yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah pergi. Pergi sebelum ia benar-benar kehilangan dirinya sendiri.
~~~~~~~~~~~
“Sinar, empat mata di ruang meeting,” ucap Bintang. Ia sengaja datang lebih pagi, agar bisa bicara lebih dulu dengan Sinar.
Ada yang harus mereka selesaikan secepatnya, mengenai kejadian kemarin pagi. Waktunya memang terasa tidak tepat, tetapi Bintang tidak punya pilihan. Sejak kemarin, Sinar tidak kunjung menerima panggilannya dan tidak juga membuka pesan yang ia kirimkan.
“Tapi saya banyak kerjaan, Pak,” elak Sinar. “Ini hari senin jadi—”
“Ke ruang meeting,” putus Bintang tegas, memberi perintah. “Lima menit.”
“Ada surat yang harus saya—”
“Sinar Bhanuresmi.” Intonasi Bintang mulai meninggi.
Sinar mengerjap, tidak berani lagi membantah. Dengan langkah malas, ia berjalan menyusul Bintang, sementara pipinya sedikit menggembung menahan kesal.
Andai saja Bintang bukan atasannya, Sinar pasti tidak akan ragu menyemprotnya dengan serangkaian omelan.
“Tutup pintunya,” titah Bintang yang lebih dulu berada di ruanga meeting. Setelah memastikan Sinat menutup pintu, ia lantas bersedekap. “Kenapa semua telpon dan pesan saya kamu abaikan?”
“Karena nggak ada yang perlu kita bicarakan.” Sinar hanya berdiri di samping pintu, menjaga jarak. “Kecuali masalah pekerjaan.”
“Setelah apa yang telah kita lakukan kemarin, sekarang kamu bilang nggak ada yang perlu kita bicarakan? Begitu?”
Dengan pipi yang mengembung, Sinar mengangguk. Tanpa mau melihat Bintang. “Karena semua itu salah.”
Bintang menghela kecil. Perbuatan mereka memang salah, tetapi ada sesuatu yang harus ia perjelas.
“Datang ke apartemen saya sepulang kantor,” ucap Bintang lembut. Ia mengambil dompet dari saku celana, lalu mengeluarkan sebuah kartu. Memberikannya pada Sinar. “Ini access card—”
“Saya nggak mau,” tolak Sinar mundur satu langkah. Memegang handle pintu dan bersiap membukanya. “Jangan diteruskan dan jangan dibicarakan lagi. Pak Bin sudah punya istri sama anak, jadi, yang kemarin itu ... salah.”
“Tapi ada yang harus saya jelaskan.”
“Nggak perlu,” tolak Sinar. “Simpan penjelasan itu buat Pak Bin. Saya nggak butuh.”
“Sinar—”
“Saya pergi dulu, Pak.” Sinar membuka pintu ruang meeting dengan segera. “Dan ... cukup sampai di sini.”
Sinar berdiri di samping Pras yang hanya terdiam di tepi kolam renang. Satu tangannya mengusap pelan di sepanjang punggung sang suami yang masih saja menatap lurus dan kosong.“I feel you, Pras.” Sinar menghela bersamaan dengan Pras. Kemudian, ia kembali melanjutkan kalimatnya yang menggantung. “Dulu, waktu bunda masih ada. Hubunganku juga nggak baik sama beliau. Kalimat terakhir yang aku ucapin terakhir kali sama beliau …”Wajah Sinar mulai memanas. Dadanya membuncah penuh dengan sesak tiba-tiba. “Aku benci sama bunda.”Air mata itu tiba-tiba saja meleleh tanpa permisi. Bila ingat semua masa lalu dengan sang bunda, Sinar pasti tidak akan kuat menahan pilu dan sesal yang kembali menyeruakPras menoleh, sedikit menunduk menatap Sinar. Tangan kanan Pras terangkat, merangkul tubuh sang istri. Kepala Sinar otomatis terjatuh pada lengan Pras, sambil mengusap perut yang sudah sangat besar di kehamilan keempatnya.Dan hanya tinggal hitungan hari, maka anak kelima Sinar akan lahir ke dunia.Ti
Sinar membuka pintu ruang perpustakaan lalu masuk. Berjalan ragu menghampiri Pras yang tengah serius menatap laptop. Memeluk lembut tubuh Pras dari belakang dan meletakkan dagunya di pundak Pras.“Mau minta apa?” tanya Pras tetap menatap serius pada laptopnya. Ia bahkan belum menatap istrinya sama sekali. Menurutnya, jika Sinar sudah bersikap seperti sekarang, pasti ada maunya.Sinar terkikik. Ia sudah kebal dengan sikap Pras yang terkadang bisa sangat dingin itu. Lantas, untuk sedikit mencairkan suasana, Sinar pun memberi kecupan lembut pada leher sang suami. “Ada ayahmu di luar.”“Dia ke sini lagi?” Pras tetap menatap layar laptopnya. “Mau ngapain?”“Beliau udah nggak punya siapa-siapa Pras, ayolah temui sebentar.” Sinar melepas pelukannya. Bergeser lalu duduk di pangkuan Pras. Mengalungkan satu tangan pada leher suaminya. “Ayahmu mau ngajak makan siang di luar, mau ya? Bawa Akhil sama Arsya. Mumpung Aya sama Asa nggak di rumah, jadi nggak repot bawa semuanya.”“Aku sibuk.”“Jahat,
Balita yang sedang aktif-aktifnya berjalan itu, melepaskan diri dari sang bunda saat melihat sesuatu yang menarik. Melangkahkan kaki kecilnya begitu antusias, diantara padatnya lobi hotel.“Akhil!”Mendengar namanya dipanggil, Akhil justru mempercepat langkahnya. Tubuh kecilnya yang sesekali masih terhuyung itu, akhirnya berhenti mendadak. Jatuh terduduk setelah menabrak kaki seseorang.“Maaf, Pak,” ujar Sinar terburu, sedikit menunduk sungkan. “Anak saya lagi senang-senangnya jalan.”Baru saja Sinar hendak berjongkok untuk membawa Akhil berdiri, tetapi pria tua di depannya lebih dahulu mengangkat balita tersebut.“Nggak papa. Siapa tadi namanya?”“Akhil.” Sinar memasang senyum ramah. Mengingat-ingat, sepertinya ia pernah melihat pria tua tersebut.Namun, di mana?“Sepertinya, saya nggak asing sama Bapak,” ucap Sinar. “Pernah lihat di mana, ya.”“Di koran barangkali atau tivi.”Ah, ya!Wajar rasanya jika Sinar bertemu dengan pejabat atau pengusaha terkenal di lobi hotel berbintang.Nam
“Papi, papi, adek Aya gelak-gelak,” ujar Aya sambil menempelkan sisi wajahnya di perut sang bunda. “Dali tadi dak mau diyem. Bunda udah kasi maem tapi masi lapal kayakna. Dak bobo-bobo.”Sinar tergelak mendengar ocehan Aya. Putri kecilnya itu, selalu memiliki sesuatu yang membuat suasana rumah menjadi lebih hidup.“Ini memang bukan waktunya tidur,” ujar Pras sambil mengangkat Aya yang menempel pada perut Sinar. Kemudian, ia meletakkan gadis kecil itu di samping Asa yang sedang main play station seorang diri di karpet. “Mau berangkat sekarang?” tanya Sinar mengulurkan tangan pada Pras dan sang suami langsung menyambutnya. “Lima menit,” jawab Pras kemudian duduk di samping Sinar. “Lex baru datang. Biar dia ngopi du … mau apa lagi?” tanya Pras menatap datar pada Aya yang duduk di pangkuannya. Padahal, baru saja ia hendak berpamitan pada kedua calon bayi yang ada di perut Sinar, tetapi Aya tiba-tiba menyela. “Papi mau kerja, Ay,” ucap Sinar sambil mengacak rambut bergelombang Aya. “A
“Du-dua?” Eila menatap hasi USG yang diberikan oleh Pras. Melihat dua buah kantong janin yang ada di dalam sana. “I-ini ... kembar? Mami nggak salah, kan?”“Kembar,” jawab Pras untuk lebih meyakinkan sang mami. “Dan cuma dua.”Sinar reflek memukul lengan Pras. “Emang mau berapa? Enam?”Pras mengendik singkat. Sementara Eila langsung memeluk Sinar dengan erat. Menumpahkan kebahagiaan yang semakin bertambah di dalam keluarganya. Langkahnya untuk membawa Sinar masuk ke dalam hidup Pras ternyata tidak salah. Wanita itu ternyata mampu merubah banyak hal dan membuat hidup Pras semakin berwarna.Tentu tidak hanya Eila yang ikut berbahagia, Kaisar pun turut merasakan hal yang sama.“Mau apa?” Pras menahan kepala Bima yang mulai mendekat pada Sinar.“Ngasih selamatlah, Mas!”“Hm.” Pras bergeser segera. Berdiri di depan Sinar. Menjabat tangan Bima dengan segera. “Terima kasih. Sekarang kembali ke tempatmu.”Bima berdecih pelan. “Segitunya lo, Mas.”“Makanya nikah,” sindir Eila. “Bawa calonnya k
Tanpa berkata sepatah kata pun, Sinar mengangkat kerah kemeja suaminya. Ia membentangkan ujung dasi ke belakang leher, lalu menarik kedua sisinya ke depan. Dengan cekatan Sinar melilitkan kedua ujung itu sampai menjadi simpul yang rapi, kemudian menarik ujung dasi yang lebar ke bawah sambil menggeser simpulnya ke atas.Setelah selesai, Sinar kembali merapikan kerah kemeja tersebut. “Selesai.”Pras mencekal tangan Sinar yang hendak berbalik. Menariknya, hingga tubuh sang istri jatuh di pangkuannya yang sejak tadi duduk di tepi ranjang. “Aku mau ke persidangan, Nar. Bukan ke pesta atau klub malam. Jadi jangan merengut terus.” “Banyak ceweknya di sana, kan?” tanya Sinar dengan nada ketus.“Jelas.” jawab Pras. “Terus, habis itu kamu juga ada janji dengan Rista, kan?”“Betul!”“Ck! Aku nggak suka sama dia!” dengkus Sinar. “Bajunya ketat, roknya pendek. Kalau nggak ada aku, nanti kamu ditempel-tempelin sama dia!”“Ditempelin itu enak, anget! Seperti ini.” Pras memeluk erat tubuh Sinar y