Sinar mencengkeram kemeja Andri, menariknya dengan gerakan cepat dan kasar, sebelum melepaskannya dengan dorongan kuat ke sudut kantor yang sepi.
“Hei, apa—”
“Kamu sudah nyampurin minumanku dengan obat tidur malam itu!” potong Sinar tajam, mendorong dada Andri dengan penuh amarah. “Berengsek!”
Bukannya menyesal, Andri justru terkekeh pelan. Ia menegakkan diri, melirik sekeliling sejenak. Di siang hari seperti ini, lorong menuju tempat percetakan memang sepi. Para pekerja baru akan berdatangan menjelang sore.
“Jangan lebay, Nar.” Andri menyeringai, merapikan kerah seragamnya. “Gue cuma mau bantu lo istirahat. Lo kelihatan capek, kan? Capek hati habis patah hati.”
“Bukan urusan lo!” Sinar sudah enggan bersikap sopan pada pria itu. Namun, darimana Andri tahu Sinar sedang patah hati?
Jangan-jangan, Bimalah yang memberitahukan hal tersebut pada pria itu.
Andri berdecih. Menghabiskan jarak, tetapi gadis itu segera mundur beberapa langkah. “Heh! Gue tahu, ya! Malam itu lo dibawa sama pak Bintang! Dibawa ke mana lo? Sudah diapain aja sama dia?”
Sinar berusaha untuk tidak menelan ludah, agar pikiran Andri tidak semakin liar. Namun, tiba-tiba ia mengingat gosip yang beredar di kantor tentang Bintang. Dengan cepat, Sinar mengangkat wajah, menatap Andri tanpa takut.
“Diapain aja?” Sinar berdecih. Maju satu langkah, memelankan suaranya. “Lo lupa? Pak Bin itu gay?”
Entah bagaimana gosip itu bermula. Namun, Sinar tahu pasti, Bintang tidak seperti yang mereka katakan. Ia sudah membuktikannya sendiri. Ciuman panas dan setiap sentuhan yang pernah terjadi di antara mereka, sudah cukup memastikan bahwa Bintang masih menyukai wanita.
Sinar dapat merasakan hasrat tersebut dan juga menikmatinya sekaligus.
Andri mulai ragu dengan pikirannya. Selama ini, gosip tersebut memang sudah menjadi rahasia umum. Andri juga tidak tahu dari mana asalnya, tetapi ia pun termasuk salah satu orang yang mempercayai hal tersebut.
Bintang memang sudah menikah, tetapi semua orang tahu jika wanita yang dinikahi pria itu adalah janda almarhum kakaknya. Dan selama tujuh tahun menikah, pria itu tidak memiliki anak dengan istrinya tersebut. Hanya ada anak dari almarhum kakaknya yang dibesarkan bersama.
Desas-desus pun beredar. Ada yang bilang pernikahan mereka hanya formalitas, sekadar bentuk tanggung jawab Bintang terhadap keluarga almarhum kakaknya. Ada juga yang berbisik bahwa rumah tangga mereka tidak lebih dari sebuah sandiwara.
Kenapa begitu? Karena sebelum menikah, Bintang tidak pernah terlihat "dekat" dengan wanita mana pun. Bahkan, pria itu tidak pernah digosipkan berhubungan dengan rekan kantor sekali pun. Bintang terlalu baik dan mungkin karena itulah orang-orang mulai menggosipkan hal yang tidak-tidak tentang pria itu.
Kesal karena argumennya terpatahkan, Andri meraih lengan Sinar dengan kasar, menyeretnya ke sudut ruangan yang lebih sepi. Dengan gerakan cepat, ia menghimpit tubuh Sinar ke dinding, lalu tanpa peringatan, menekan bibirnya dengan paksa.
Sinar tersentak. Tubuhnya menegang seketika, tangannya langsung terangkat, mendorong dada Andri dengan sekuat tenaga. Namun, pria itu tetap bertahan, menahannya dengan tubuh yang lebih besar. Sinar meronta, kepalan tangannya menghantam bahu Andri, kukunya mencakar kulit di bawah kerah kemeja pria itu.
“Berengsek!” Sinar menggeram, berusaha memalingkan wajahnya, tetapi Andri menahannya. Napasnya tersengal. Amarah dan jijik bercampur menjadi satu. Refleks, lututnya terangkat tinggi dan menghantam bagian inti tubuh pria itu dengan keras.
“Sialan!” Andri terbatuk, sedikit terhuyung ke belakang. “Lo—”
“Lo yang sialan!” Sinar memotong tajam, wajahnya merah padam oleh amarah. Ia melepas salah satu high heel-nya, menggenggamnya erat di tangan, lalu mengacungkannya ke arah Andri seperti senjata.
“Muna lo!” maki Andri masih menahan nyeri dengan tertunduk. "Di kantor belagak alim, di luar lo jagonya clubbing!"
“Yang muna gue, kenapa lo yang berisik!” Sinar berjalan mundur, menjauh dari Andri dengan kaki yang pincang, karena hanya memakai satu high heel. Entah dari mana lagi Andri tahu jika Sinar terkadang suka memasuki kelab malam untuk menghilangkan penat. Namun, itu tidak salah, kan? Sinar juga tidak merugikan siapa-siapa? Jadi, Andri tidak punya hak untuk menghakimi. “Jangan pernah lagi macam-macam sama gue, karena bukan cuma elo yang punya bekingan, tapi gue juga. Dasar banci!”
Setelah puas mengeluarkan isi kepalanya, Sinar berbalik cepat. Menjauh sambil memakai kembali sepatu high heelsnya. Ia berlari kecil, sembari mengeluarkan ponsel yang berdering dari saku jasnya.
Sinar melirik sekilas nama yang tertera di layar ponselnya. Tanpa ragu, ia langsung mengangkatnya dengan senyum. Jennar, teman SMA Sinar yang sampai sekarang masih berhubungan, meskipun sudah sangat jarang sekali. Jennar adalah seorang model dan sering berpergian ke luar kota, bahkan luar negeri. Karena itulah, mereka sudah jarang sekali bersua karena kesibukan masing-masing.
“Halo, Jen!” sapanya, berusaha mengabaikan emosi yang masih bergejolak di dalam dada.
“Aku di depan kantormu,” ujar Jennar tanpa basa-basi. “Makan siang bareng, yok!”
“Ayok!” Sinar langsung bergegas menuju lobi. Namun, sebelum keluar, ia lebih dulu menghampiri resepsionis untuk menyampaikan bahwa ia akan pergi makan siang.
Setelahnya, ia melangkah keluar dengan ringan, matanya langsung mencari sosok gadis yang sudah lama tidak ia temui.
“Nar!” panggil Jennar sambil melambai.
Sinar balas melambai. Menghampiri Jennar dengan berlari kecil. Ada seorang pria tampan berdiri di samping gadis itu dan Sinar menduga pria itu adalah kekasih barunya.
“Kusut amat,” kata Jennar menyeringai kecil. Dengan segera ia meraih tangan kanan pria di sebelahnya dan mengulurkan pada Sinar. “Axel! Sepupu jauh banget. Baru putus dari pacarnya.”
Axel berdecih sebentar ketika menatap Jennar, tetapi dengan segera ia memperkenalkan diri pada Sinar. “Axel Zachary.”
“Sinar Bhanuresmi,” balasnya menyambut uluran tangan pria blasteran, yang auranya langsung menyita perhatian sejak pertama kali menatap. Bagaimana tidak menarik, jika sosok pria jangkung berkulit putih bersih itu mengingatkannya pada Angkasa.
“Kita jadi makan?” tanya Jennar menatap Axel dan Sinar bergantian. “Atau berdiri di sini aja?”
Sinar terkekeh. Bergeser dengan cepat ke samping Jennar, lalu menggandeng gadis itu. “Kita ke kafe pojok aja. Biar nggak jauh-jauh.”
Jennar mengangguk. Mendekatkan wajah ke telinga Sinar, setelah melihat Axel berjalan di belakang mereka. “Seleramu banget, kan? Kalau nggak bapak-bapak, pasti sukanya sama bule-bulean gitu. ”
“Paan, sih!” Sinar terkikik dan mencubit gemas lengan Jennar. “Dia baru juga putus. Entar aku dijadiin pelarian.”
“Sama aja kek kamu, baru putus.”
“Heh! Pacaran aja nggak, gimana bisa putus?”
“Eleh! Nggak ada status, tapi udah kek orang pacaran aja sama Angkasa,” cibir Jennar. “Coba aja dulu, Nar. Kita satu server, jadi bisa aja dilanjut kalau mau serius. Lagian, dia itu seleramu, kan? Blasteran gitu, udah sunat pula, aku saksinya!”
“Jennar!”
Jennar tergelak, lalu menoleh ke belakang sebentar. “Tanya aja kalau nggak percaya.”
“Nggak mungkinlah aku nanya begituan."
Jennar memelankan tawanya. "Jumat malam clubing yok! Bareng Axel."
"Ayok!" jawab Sinar tanpa ragu. "Jemput aku di sini, ya, jadi ..."
Langkah Sinar terhenti tepat di depan kafe. Matanya tidak berkedip menatap sosok Bintang yang sedang makan siang berdua dengan Rosa, sekretaris direksi Metro. Tidak ada gestur romantis di antara mereka, bahkan cenderung serius. Namun, entah mengapa sudut hatinya terasa nyeri. Sinar tidak suka melihatnya. Bahkan sangat tidak suka.
“Lumayan penuh, ya,” ujar Jennar, ikut berhenti di depan kafe. “Masih mau makan di sini, atau cari tempat lain?”
Sinar tersentak dari lamunannya, tersadar dengan tawaran Jennar. Ia buru-buru menggeleng, lalu melirik sekilas ke arah Axel yang berdiri tegak di sampingnya.Entah dorongan dari mana, tetapi emosi yang mengendap tiba-tiba mendesaknya untuk bertindak. Tanpa pikir panjang, Sinar menggandeng lengan Axel dengan erat. Ia ingin Bintang melihatnya.Sinar juga ingin menunjukkan, bahwa ciuman yang terjadi di apartemen pagi itu, adalah sebuah kesalahan kecil yang tidak berarti apa-apa.
“Ayo masuk,” ucap Sinar sambil tersenyum manis pada Axel. “Kita makan ... di sini aja.”
“Dibaca dulu,” ujar Bintang sambil menyodorkan dokumen.Ryu mengangguk. Mengambil dokumen tersebut lalu duduk di sofa. Sejenak, pandangannya tertuju pada Asa yang duduk anteng di pangkuan Bintang, juga sebuah botol susu kosong yang tergeletak di sebelah pria itu.“Nyonya ke mana, Pak?” tanya Ryu tidak melihat Sinar di mana pun. “Tumben nggak kelihatan.”“Di sebelah,” jawab Bintang singkat, sambil menahan senyum karena mengingat banyak hal yang mereka lakukan pagi tadi.“Ooo ...” Ryu segera membuka halaman pertama dokumen. “Ini, kan, laporan kinerja perusahaan.”“Betul.” Bintang mengangguk. Meletakkan Asa yang mulai menggeliat di sofa dengan perlahan. Sambil mengawasi, Bintang melanjutkan kalimatnya. “Pelajari lagi masalah perusahaan lebih dalam. Karena ke depannya fokusmu cuma di Trading House. Urusan yayasan, nanti biar Sinar yang handle.”“Kalau Network?”“Saya yang urus sama Sinar,” jawab Bintang. “Kami nunggu masa jabatan pak Harsa selesai, baru mundur pelan-pelan dan cuma di bela
“Pak Edi langsung pulang aja,” ujar Sinar setelah membaca pesan dari Bintang. “Nanti saya dijemput Bapak.”“Baik, Bu.”“Makasih, Pak,” ujar Sinar kemudian keluar dari mobil dan terdiam. Menatap mobil Elo yang terparkir di luar pagar. Pria itu, ternyata sudah lebih dulu ada di rumah Praba untuk bertemu Asa.Dengan langkah berat, Sinar masuk ke dalam. Namun, ia memilih melewati garasi agar tidak bertemu Elo lebih dulu.“Sore, Oma,” sapa Sinar saat melihat June sedang berada di dapur. Saat mendekat, ternyata wanita itu sedang membaluri udang dengan tepung. “Mas El sudah lama?”“Sore,” balas June ramah. “Hampir setengah jam kayaknya. Katanya masih kangen sama Asa.”Sinar duduk di kursi plastik yang ada di samping pintu dapur. Melihat sesaat ke kiri dan ke kanan, untuk memastikan sesuatu. Karena mobil Janus dan Praba tidak ada di carport maupun garasi, maka Sinar memastikan kedua orang itu belum ada di rumah.“Bibik ke mana?”“Keluar, katanya mau nungguin bakso di depan,” jawab June sambil
“Sweetheart.” Bintang menyentuh bahu Sinar, ketika mobilnya berhenti saat lampu lalu lintas berubah merah.Sinar terkesiap, menoleh seketika. “Maaf, tapi aku kepikiran mas El.”“Tarik napas dalam-dalam,” pinta Bintang. Ia bisa mengerti dengan kekhawatiran istrinya. “Dan percaya sama aku, semua pasti baik-baik aja.”Sinar tidak membantah. Ia menarik napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan. “Dia nggak bakal aneh-aneh, kan, Mas?”“Masih khawatir sama dia?” tanya Bintang, sambil menginjak pedal gas saat lampu berganti hijau.“Jangan mikir macam-macam dulu,” ujar Sinar tidak ingin sang suami salah paham.“Aku nggak mikir macam-macam,” balas Bintang tersenyum kecil. “Wajar kalau kamu khawatir karena El itu ayahnya Asa. Dan kalian juga pernah hidup bersama. Tapi percayalah, El nggak akan berpikiran pendek kalau itu yang kamu khawatirkan. Dia cuma butuh waktu untuk memproses semuanya dan menerima kenyataan.”Ucapan Bintang mungkin ada benarnya, tetapi tetap saja hati Sinar belum bisa tenang
“Mas ...” Sinar menepuk-nepuk bokong Asa yang sang bertelungkup, sambil membaca dokumen yang Bintang beri padanya beberapa saat lalu. “Ini, kan ... Mas Bin punya saham di Network? Aku nggak salah baca, kan?”“Bukan sepenuhnya punyaku.” Bintang segera berbaring di samping Asa, setelah selesai membersihkan diri. “Uang dinginku nggak sebesar.”“Jadi, total saham segini itu ... uang siapa?”“Pak Harsa.” Bintang mengangkat Asa, meletakkan di atas tubuhnya. “Beliau nggak bisa pake namanya karena masih jadi pemred Metro. Tunggu masa jabatannya selesai dulu.”“Kenapa pak Harsa nggak beli saham Metro aja?” Sinar meletakkan dokumen yang telah dibacanya di nakas, lalu ikut berbaring di samping Bintang.“Riskan, karena kita nggak bisa lihat masa depan Metro,” ujar Bintang. “Perlu investor besar kalau mau mengubah Metro jadi lebih baik lagi.”“Oh! Masalah oplah yang terus turun, kan,” ujar Sinar sudah bisa mengambil kesimpulan. “Media cetak pelan-pelan mulai ditinggalin karena digitalisasi. Orang-
“Rasanya, kok, tambah deg-degan, ya, Mas?” tanya Sinar pelan. Jantungnya tidak berhenti berdebar sejak mereka meninggalkan rumah. Dan kini semakin menggila saat mobil mulai melambat, lalu berhenti di depan rumah Aster. Rumah yang dulu sempat ia kunjungi ketika status Bintang dan wanita itu masih suami istri, meski hanya di atas kertas.“Kita ke sini cuma untuk memberi tahu, bukan minta izin,” jawab Bintang tenang. “Cepat atau lambat Aster pasti tahu. Dan, lebih baik dia tau langsung dari kita. Tapi, mungkin Aster nggak akan terlalu kaget, karena aku sudah pernah bicara ke Astro soal kita. Jadi, mungkin dia sudah cerita ke mamanya. Atau, mamaku sudah lebih dulu bicara dengan Aster.”Sinar menelan ludah. Begitu Bintang membukakan pintu untuknya, pria itu mengambil Asa lebih dulu dari gendongan Sinar.“Tunggu di sini sebentar,” pinta Bintang menyerahkan Asa kembali pada Sinar dan meminta sang istri duduk di teras rumah.Setelah itu, Bintang masuk ke dalam rumah dan mendapati Aster sedan
June menangis tergugu saat Sinar berpamitan pergi. Hari itu juga, cucu kesayangannya akan ikut pindah bersama Sinar ke rumah Bintang. Meskipun akan tetap bertemu, tetapi hari-harinya pasti akan terasa berbeda tanpa kehadiran Asa.“Oma jangan nangis, ya. Besok Asa ke sini lagi,” ucap Sinar lembut setelah mengambil putranya dari gendongan June.June menyeka air matanya. “Mending Asa titip di sini aja dulu, Nar. Kamu, kan, baru nikah, biar bisa berdua dulu sama Bintang.”Kalimat sederhana itu langsung membuat suasana menjadi kikuk. Sinar dan Bintang saling pandang sesaat, lalu tertawa.“Kan, tiap hari juga udah berdua, Ma,” kata Sinar. “Aku, kan, kerjanya tiap hari sama Mas Bintang.”“Tapi sekarang, kan, beda,” balas June sambil tersenyum menggoda. “Sekarang kalian suami istri. Pengantin baru pasti butuh waktu buat berdua.”Sinar langsung menunduk malu. Rasanya ingin cepat-cepat pergi, sebelum June menambahkan kalimat akan membuatnya lebih salah tingkah.“Ya, ampun, Ma!” potong Janus yan