“Makasih, ya,” ucap Sinar sembari melepas sabuk pengaman. “Aku, tuh, jadi enak kalau diantar jemput gini tiap hari.”
Sinar terkekeh sesudahnya sambil menyampirkan tas kerja di bahu. Setelah pertemuan pertama kala itu, hubungannya dengan Axel semakin dekat. Bahkan, hampir setiap hari pria itu mengantar jemputnya bekerja dengan suka rela.
Awalnya, Sinar memanfaatkan kehadiran Axel untuk menjaga jarak dengan Bintang. Namun, seiring waktu, kehadiran Axel justru memberi kenyamanan baru. Pria itu seperti membawa warna yang berbeda ke dalam hidupnya. Axel sangat hangat, dewasa, dan hampir tanpa cela.
Axel ikut terkekeh atas ucapan Sinar yang tidak berbasa-basi. “Malam minggu nanti, aku ajak kamu ke rumah ya? Makan malam sama keluargaku.”
“Bentar.” Sinar tidak jadi menarik handle pintu. Ia justru mengeratkan pegangannya di sana. “Makan malam sama keluargamu?”
Axel mengangguk. Menggeser posisinya agar nyaman menatap Sinar. “Makan malam dengan mama papaku. Aku ajak Jennar juga, biar kamu nggak terlalu gugup.”
“Tapi ...” Jantung Sinar mulai berdebar-debar. “Kenapa aku diajak makan malam dengan keluargamu?”
“Karena aku mau serius sama kamu,” jawab Axel sembari meraih tangan Sinar. “Aku tahu ini terlalu cepat, tapi—”
“Bisa aku pikir-pikir dulu,” sela Sinar sembari membuka pintu mobil. Namun, tangan lainnya masih ada di genggaman Axel. “Kita ... lagi nggak pacaran, kan?”
“Kalau begitu, ayo pacaran,” ajak Axel tidak mau menunggu lagi. “Jadi, aku bisa kenalin kamu sebagai pacarku malam minggu nanti.”
“Ini terlalu cepat.”
“Nggak papa, kan?”
“Kasih aku waktu untuk berpikir,” pinta Sinar menarik tangannya dengan perlahan dari genggaman Axel. Permintaan pria itu sungguh mengejutkan, jadi, Sinar tidak bisa memberi keputusan begitu saja.
Ia keluar dari mobil lalu menatap Axel yang juga keluar dari pintu yang berbeda.
“Maaf,” ucap Sinar sambil menghampir Axel lebih dulu. “Aku cuma syok. Kaget aja ditembak begini.”
“Kalau gitu pikirkan dulu.” Axel terkekeh maklum. “Makan malamnya ditunda minggu depan.”
Sinar baru membuka mulut, ketika melihat mobil yang sudah sangat ia hafal melewatinya. Tanpa sadar, tatapannya terus tertuju pada mobil tersebut hingga berhenti. Sosok pria yang keluar dari sana, membuat Sinar menarik napas panjang dan segera mengalihkan pandangan.
“Nggak usah ditunda,” ujar Sinar tersenyum kecil sambil meraih tangan Axel. “Aku mau makan malam di rumahmu.”
“Serius?”
Sinar mengangguk. Sudut matanya menangkap sosok Bintang berjalan memasuki lobi. Ia yakin, pria itu pasti melihatnya bergandengan tangan dengan Axel. Sama seperti di kafe saat itu. “Aku serius.”
“Jadi, kita pacaran?” tembak Axel.
“Yaaa ... oke!”
Demi membuang nama Bintang dari hatinya, Sinar merasa harus mencari sosok pengganti, yaitu Axel.
“Aku masuk dulu, ya,” ucap Sinar sambil berjalan menjauh dan melepas tangannya. “Bye Axel.”
“Bye, Beb,” balas Axel langsung mengubah panggilannya. “Aku jemput nanti sore.”
“Oke!” Sinar melambai dan langsung berbalik pergi. Memasuki kantor dan berbelok menuju tangga.
“Jadi, sudah ada yang baru?”
Langkah Sinar melambat. Agak terkejut ketika Bintang ternyata sudah ada di sebelahnya, menaiki tangga yang sama. Ia mengira, Bintang sudah lebih dulu berada di lantai dua, tetapi dugaannya salah.
“Maksud Pak Bin apa?”
“Kamu, saya, dan dia,” jawab Bintang tanpa melihat Sinar. “Yang belakangan ini selalu antar jemput kamu.”
“Masalahnya apa?” tanya Sinar berjalan sambil menunduk.
“Masalahnya ...” Bintang menarik napas panjang ketika sudah berada di lantai dua. Ia menunggu Sinar sebentar, lalu bertolak pinggang. “Harusnya, kamu selesaikan dulu masalah dengan saya.”
“Kita nggak punya masalah apa-apa.” Sinar terus berjalan menuju meja kerjanya. Hari masih pagi, jadi lantai redaksi masih terlihat sepi.
“Jadi, kejadian pagi itu nggak berarti apa-apa?”
“Nggak,” jawab Sinar datar, sambil meletakkan tasnya di meja. “Bapak sudah punya istri,” ucapnya memelankan suara. “Punya anak juga. Jadi, jangan ngotot mau nerusin sesuatu yang salah.”
“Karena itu, kita harus bicara, Nar.” Bintang pun memelankan suaranya. Ia mengeluarkan dompet dan menarik sebuah kartu dari sana. Meletakkannya di meja Sinar. “Access card unit saya. Datang kapan pun kamu siap dan kita bicarakan semuanya.”
Tanpa ingin memperpanjang perdebatan, Bintang segera berbalik pergi menuju tangga. Ia kembali menuju lantai satu karena harus pergi ke ruang iklan.
Sementara itu, tubuh Sinar langsung merosot lemas di kursinya. Menatap sebuah kartu yang tergeletak di meja.
Lantas, apa yang harus Sinar lakukan setelah ini?
~~~~~~~~~~~~~
Makan malam di rumah Axel malam itu benar-benar terasa hangat. Kedua orang tuanya menyambut Sinar dengan ramah, seolah ia sudah lama menjadi bagian dari keluarga. Kehadiran Jennar pun turut mencairkan suasana, menghilangkan kegugupan yang sempat membayangi Sinar sejak awal.
Namun, ada satu anggota keluarga yang tidak bisa hadir malam itu, yaitu kakak laki-laki Axel, Izac. Pria itu sedang ditugaskan ke luar kota selama beberapa hari, sehingga Sinar hanya bisa mengenalnya lewat foto keluarga yang terpajang di ruang tengah.
“Karena makan malamnya sudah selesai, aku mau bilang sesuatu …” Axel menatap satu per satu wajah di hadapan, lalu menarik napas panjang. “Aku serius sama Sinar dan aku mau melamarnya.”
Sinar sontak menoleh, menatap Axel dengan mata membesar.
Bukan hanya Sinar yang terperangah, tetapi juga Jennar dan kedua orang tua Axel. Sejenak, suasana hening menyelimuti ruang makan tempat mereka berkumpul.
“Me-melamar?” cicit Sinar ingin memperjelas maksud Axel. Belum genap satu minggu mereka berpacaran, tetapi Axel sudah ingin melamarnya.
“Iya,” jawab Axel tanpa ragu, ketika memandang Sinar yang duduk di sampingnya. “Besok malam aku ke rumahmu, bicara sama bundamu.”
“Aseeek,” celetuk Jennar memecah ketegangan yang ada.
“Kalau menurut Mama, lebih cepat lebih baik” ujar Shania, mama Axel yang tiba-tiba terlihat bersemangat. “Karena kalau nungguin Izac, kalian mungkin nggak nikah-nikah karena isi kepala anak itu cuma kerja, kerja, dan kerja.”
“Betul!” sambar Jimmy, papa Axel yang juga setuju dengan ucapan sang istri. “Nggak perlu menunda sesuatu yang baik. Jadi, setelah Axel ketemu bundamu besok, kita bisa percepat aja semuanya. Gimana kalau bulan depan, Nar?”
Sinar terpojok. Merasa serba salah. Bukan karena ia tidak ingin menikah, tetapi semua ini terasa begitu cepat. Kendati demikian, menolak di situasi seperti ini pun bukan pilihan mudah. Apalagi, saat ia menangkap tatapan penuh harap dari Jimmy dan Shania yang tampak bahagia menanti jawabannya.
Akhirnya, senyum tipis terukir di wajah Sinar. Cenderung dipaksakan untuk menghormati kedua orang tua Axel. Dengan anggukan pelan, Sinar pun menjawab ...
Sinar berdiri di samping Pras yang hanya terdiam di tepi kolam renang. Satu tangannya mengusap pelan di sepanjang punggung sang suami yang masih saja menatap lurus dan kosong.“I feel you, Pras.” Sinar menghela bersamaan dengan Pras. Kemudian, ia kembali melanjutkan kalimatnya yang menggantung. “Dulu, waktu bunda masih ada. Hubunganku juga nggak baik sama beliau. Kalimat terakhir yang aku ucapin terakhir kali sama beliau …”Wajah Sinar mulai memanas. Dadanya membuncah penuh dengan sesak tiba-tiba. “Aku benci sama bunda.”Air mata itu tiba-tiba saja meleleh tanpa permisi. Bila ingat semua masa lalu dengan sang bunda, Sinar pasti tidak akan kuat menahan pilu dan sesal yang kembali menyeruakPras menoleh, sedikit menunduk menatap Sinar. Tangan kanan Pras terangkat, merangkul tubuh sang istri. Kepala Sinar otomatis terjatuh pada lengan Pras, sambil mengusap perut yang sudah sangat besar di kehamilan keempatnya.Dan hanya tinggal hitungan hari, maka anak kelima Sinar akan lahir ke dunia.Ti
Sinar membuka pintu ruang perpustakaan lalu masuk. Berjalan ragu menghampiri Pras yang tengah serius menatap laptop. Memeluk lembut tubuh Pras dari belakang dan meletakkan dagunya di pundak Pras.“Mau minta apa?” tanya Pras tetap menatap serius pada laptopnya. Ia bahkan belum menatap istrinya sama sekali. Menurutnya, jika Sinar sudah bersikap seperti sekarang, pasti ada maunya.Sinar terkikik. Ia sudah kebal dengan sikap Pras yang terkadang bisa sangat dingin itu. Lantas, untuk sedikit mencairkan suasana, Sinar pun memberi kecupan lembut pada leher sang suami. “Ada ayahmu di luar.”“Dia ke sini lagi?” Pras tetap menatap layar laptopnya. “Mau ngapain?”“Beliau udah nggak punya siapa-siapa Pras, ayolah temui sebentar.” Sinar melepas pelukannya. Bergeser lalu duduk di pangkuan Pras. Mengalungkan satu tangan pada leher suaminya. “Ayahmu mau ngajak makan siang di luar, mau ya? Bawa Akhil sama Arsya. Mumpung Aya sama Asa nggak di rumah, jadi nggak repot bawa semuanya.”“Aku sibuk.”“Jahat,
Balita yang sedang aktif-aktifnya berjalan itu, melepaskan diri dari sang bunda saat melihat sesuatu yang menarik. Melangkahkan kaki kecilnya begitu antusias, diantara padatnya lobi hotel.“Akhil!”Mendengar namanya dipanggil, Akhil justru mempercepat langkahnya. Tubuh kecilnya yang sesekali masih terhuyung itu, akhirnya berhenti mendadak. Jatuh terduduk setelah menabrak kaki seseorang.“Maaf, Pak,” ujar Sinar terburu, sedikit menunduk sungkan. “Anak saya lagi senang-senangnya jalan.”Baru saja Sinar hendak berjongkok untuk membawa Akhil berdiri, tetapi pria tua di depannya lebih dahulu mengangkat balita tersebut.“Nggak papa. Siapa tadi namanya?”“Akhil.” Sinar memasang senyum ramah. Mengingat-ingat, sepertinya ia pernah melihat pria tua tersebut.Namun, di mana?“Sepertinya, saya nggak asing sama Bapak,” ucap Sinar. “Pernah lihat di mana, ya.”“Di koran barangkali atau tivi.”Ah, ya!Wajar rasanya jika Sinar bertemu dengan pejabat atau pengusaha terkenal di lobi hotel berbintang.Nam
“Papi, papi, adek Aya gelak-gelak,” ujar Aya sambil menempelkan sisi wajahnya di perut sang bunda. “Dali tadi dak mau diyem. Bunda udah kasi maem tapi masi lapal kayakna. Dak bobo-bobo.”Sinar tergelak mendengar ocehan Aya. Putri kecilnya itu, selalu memiliki sesuatu yang membuat suasana rumah menjadi lebih hidup.“Ini memang bukan waktunya tidur,” ujar Pras sambil mengangkat Aya yang menempel pada perut Sinar. Kemudian, ia meletakkan gadis kecil itu di samping Asa yang sedang main play station seorang diri di karpet. “Mau berangkat sekarang?” tanya Sinar mengulurkan tangan pada Pras dan sang suami langsung menyambutnya. “Lima menit,” jawab Pras kemudian duduk di samping Sinar. “Lex baru datang. Biar dia ngopi du … mau apa lagi?” tanya Pras menatap datar pada Aya yang duduk di pangkuannya. Padahal, baru saja ia hendak berpamitan pada kedua calon bayi yang ada di perut Sinar, tetapi Aya tiba-tiba menyela. “Papi mau kerja, Ay,” ucap Sinar sambil mengacak rambut bergelombang Aya. “A
“Du-dua?” Eila menatap hasi USG yang diberikan oleh Pras. Melihat dua buah kantong janin yang ada di dalam sana. “I-ini ... kembar? Mami nggak salah, kan?”“Kembar,” jawab Pras untuk lebih meyakinkan sang mami. “Dan cuma dua.”Sinar reflek memukul lengan Pras. “Emang mau berapa? Enam?”Pras mengendik singkat. Sementara Eila langsung memeluk Sinar dengan erat. Menumpahkan kebahagiaan yang semakin bertambah di dalam keluarganya. Langkahnya untuk membawa Sinar masuk ke dalam hidup Pras ternyata tidak salah. Wanita itu ternyata mampu merubah banyak hal dan membuat hidup Pras semakin berwarna.Tentu tidak hanya Eila yang ikut berbahagia, Kaisar pun turut merasakan hal yang sama.“Mau apa?” Pras menahan kepala Bima yang mulai mendekat pada Sinar.“Ngasih selamatlah, Mas!”“Hm.” Pras bergeser segera. Berdiri di depan Sinar. Menjabat tangan Bima dengan segera. “Terima kasih. Sekarang kembali ke tempatmu.”Bima berdecih pelan. “Segitunya lo, Mas.”“Makanya nikah,” sindir Eila. “Bawa calonnya k
Tanpa berkata sepatah kata pun, Sinar mengangkat kerah kemeja suaminya. Ia membentangkan ujung dasi ke belakang leher, lalu menarik kedua sisinya ke depan. Dengan cekatan Sinar melilitkan kedua ujung itu sampai menjadi simpul yang rapi, kemudian menarik ujung dasi yang lebar ke bawah sambil menggeser simpulnya ke atas.Setelah selesai, Sinar kembali merapikan kerah kemeja tersebut. “Selesai.”Pras mencekal tangan Sinar yang hendak berbalik. Menariknya, hingga tubuh sang istri jatuh di pangkuannya yang sejak tadi duduk di tepi ranjang. “Aku mau ke persidangan, Nar. Bukan ke pesta atau klub malam. Jadi jangan merengut terus.” “Banyak ceweknya di sana, kan?” tanya Sinar dengan nada ketus.“Jelas.” jawab Pras. “Terus, habis itu kamu juga ada janji dengan Rista, kan?”“Betul!”“Ck! Aku nggak suka sama dia!” dengkus Sinar. “Bajunya ketat, roknya pendek. Kalau nggak ada aku, nanti kamu ditempel-tempelin sama dia!”“Ditempelin itu enak, anget! Seperti ini.” Pras memeluk erat tubuh Sinar y