Share

6~DS

Author: Kanietha
last update Last Updated: 2025-04-12 09:04:40

Sejak malam pertemuan dengan keluarga Axel itu, waktu terasa berlari begitu cepat bagi Sinar. Axel datang ke rumahnya, berbicara serius dengan bundanya. Dan hanya dalam hitungan hari, pertemuan antar keluarga pun terlaksana.

Tidak butuh waktu lama, tanggal pernikahan mereka ditetapkan. Segala persiapan dilakukan dalam waktu singkat, semuanya serba cepat.

Meski terasa terburu-buru, Sinar tidak lagi mencoba menghindar. Sebagian hatinya yakin, bahwa mungkin inilah jalan terbaik. Ia akan benar-benar lepas dari bayang-bayang Bintang.

Mereka ... selesai.

Segala simpul rumit yang pernah melilit hatinya, akhirnya usai. Setidaknya, itulah yang ingin Sinar yakini untuk saat ini.

“Jangan lupa undangannya nanti diambil,” ujar Sinar mengingatkan seraya membuka pintu mobil.

“Jangan lupa izin lagi nanti,” balas Axel melakukan hal yang sama. “Jam tiga aku jemput, kita fitting.”

“Oke.” Sinar sudah menurunkan satu kakinya. “Aku kerja dulu, hati-hati.”

“Kamu juga hati-hati,” pesan Axel. “Jangan deket-deket sama cowok-cowok di sana.”

“Ih! Kumat, kan, cemburunya.”

“Beb.” Axel meraih tangan Sinar sebelum gadis itu beranjak dari mobilnya. “I love you.”

Sinar tersenyum kecil, membalas genggaman Axel. “I love you too,” ucapnya pelan sebelum akhirnya melepas tangan pria itu.

Setelah keluar, Sinar bergegas memasuki kantornya. Namun, langkahnya terhenti, ketika melihat sebuah insiden yang mencengangkan di depan mata. Sekretaris direksi Metro Ibukota baru saja ditampar oleh seorang wanita di lobi.

“Mbak Rosa ...” cicit Sinar merasa ngilu sendiri sekaligus geregetan karena Rosa hanya diam ketika diperlakukan kasar. Sementara karyawan lain, hanya menatap dan tidak membantu sama sekali.

Namun, ketika Sinar berniat menghampiri dan baru berjalan satu langkah, tubuhnya tertarik menuju tangga.

“Nggak usah ikut campur.”

Sinar terbelalak menatap gadis yang menyeretnya menaiki tangga dengan terngaga. Carmen, reporter yang selalu berpenampilan tomboy itu berdecak dan menggeleng pada Sinar.

“Lho, Mbak Ro—”

“Yang gampar mbak Rosa itu istrinya pak Nolan,” ujar Carmen nyaris berbisik. “Kenapa dia digampar? Karena mbak Rosa ketahuan selingkuh sama pak Nolan.”

“WHAT!”

“Sstt!” desis Carmen meletakkan telunjuk di bibirnya. Sinar memang masih terhitung baru di Metro, jadi wajar jika gadis itu tidak mengetahui sisi gelap tempat kerjanya. “Kasus-kasus selingkuh kayak gini, mah, sudah jadi rahasia umum di Metro. Yang ono sama ini, si bapak itu sama mbak itu.”

“Eh, gimana-gimana?” tanya Sinar penasaran karena hal yang dikatakan Carmen hampir menimpa dirinya dan Bintang. Untungnya, Sinar dapat menahan itu semua dan tidak melewati batasannya. “Kasus-kasus? Berarti, nggak cuma mbak Rosa aja yang ...”

“Betul!” seru Carmen melepas tangannya dari Sinar ketika mereka sudah berada di lantai dua. “Jadi, pintar-pintar kita aja jaga diri. Banyak yang masih jomlo di luar, jadi ngapain harus ngembat yang sudah punya istri. Terutama elo, Nar.”

“Eh! Aku?” Sinar menyimpan rikuhnya dalam-dalam. Pura-pura tidak mengerti dengan maksud gadis itu. “Kenapa aku?”

“Gue tahu, lo sempat deket sama seseorang di kantor ini,” tembak Carmen memberi tatapan datar. “Tapi karena lo udah punya pacar, gue harap semua selesai. Ingat, dia sudah punya istri.”

Sinar terkekeh hambar. “Kamu sudah salah paham.”

Carmen menggeleng. “Gue diam, bukan berarti gue nggak tahu.”

“Car—”

“Gue ke meja dulu,” putus Carmen terburu pergi ke meja kerjanya. “Ada berita yang mau disetor. Tenang, rahasia lo ... aman sama gue!”

~~~~~~~~~~~

“Sudah diambil undangannya?” tanya Sinar begitu masuk ke dalam mobil.

“Sudah dong!” Axel menunjuk ke jok belakang. “Tinggal dibagi, terus disebar.”

“Syukurlah.” Sinar menghela napas panjang. Memasang sabuk pengamannya lalu bersandar. “Aku tidur bentar, ya? Ngantuuuk banget.”

“Tidurlah,” ucap Axel mengusap puncak kepala Sinar sebentar, lalu menjalankan mobilnya. “Habis fitting, kita ke rumahku dulu, ya. Kak Izac datang, dia bawain oleh-oleh buat kamu sama bunda.”

“Hmm.” Sinar menurunkan sandaran joknya, lalu memejamkan mata karena terlalu lelah dengan kesibukannya belakangan ini.

Tanpa ingin mengganggu lagi, Axel melajukan mobilnya menuju bridal shop. Sesampainya di sana, fitting baju berjalan lancar. Gaun putih yang dikenakan Sinar jatuh pas di tubuhnya, membuat Axel terpana.  Dalam artian, tidak ada masalah berarti dan semua sesuai rencana.

Setelah proses fitting selesai, mereka pun segera pergi ke rumah Axel. Langit mulai menggelap ketika mereka sampai di sana.

Entah mengapa, hati Sinar berdegup lebih cepat. Ada perasaan tidak biasa yang mengendap, saat mereka memasuki gerbang rumah besar itu. Terlebih ketika ia melihat dua buah mobil asing yang terparkir di area carport.

“Ada tamu,” celetuk Sinar membuka sabuk pengamannya dengan perlahan dan ragu.

“Sepertinya.” Axel menunjuk sebuah mobil SUV berwarna hitam. “Yang itu mobil Izac, tapi yang satunya aku nggak tahu. Ayo keluar! Kita lewat samping aja.”

Sinar mengangguk. Dengan kompak keluar bersama Axel. Namun, langkah mereka terhenti saat Sinar melihat sosok pria keluar dari dalam rumah.

Posturnya lebih tinggi dari Axel, dengan raut wajah yang tampak tegas dan dingin. Kulitnya sedikit lebih gelap dan sorot matanya tajam menelisik.

Sinar refleks menahan napas. “Kak Izac, kan?” ucapnya karena sudah pernah melihat foto pria itu sebelumnya.

“Iyap!” Axel tersenyum dan berjalan lebih dulu meninggalkan Sinar. “Akhirnya pulang juga,” sapanya langsung mengulurkan tangan dan Izac menyambutnya dengan singkat. Tidak seperti biasa.

“Dia Sinar?” tanya Izac menunjuk gadis yang berjalan ke arah mereka.

“Yes.” Axel bergeser. Mengulurkan tangan pada Sinar dan gadis itu segera meraihnya. “Sinar, ini Kak Izac,” ucapnya memperkenalkan. “Kak, ini Sinar, calon istriku.”

Sinar lebih dulu mengulurkan tangan dengan canggung dan Izac menyambutnya dengan anggukan singkat.

“Ayo masuk,” ajak Izac lalu menghela kasar. “Ada yang mau kami bicarakan dengan kalian.”

“Bukannya ada tamu?” tanya Axel menunjuk mobil merah yang terparkir di samping mobil Izac.

Izac mengangguk. “Dan tamunya sedang menunggu kalian berdua. Ayo masuk!”

Kendati bingung, tetapi Axel dan Sinar bergegas masuk ke dalam dan langsung menuju ruang tengah.

Sinar melihat ada dua tamu yang berada di sana, seorang ibu dan anak perempuannya yang bermata sembab. Dengan begini, hatinya terasa semakin kacau dan tidak karuan.

Kemudian, Sinar beralih pada Shania yang terlihat tidak nyaman. Tanpa banyak kata, wanita paruh baya itu segera menghampirinya. Merangkul Sinar, lalu mengajaknya duduk di sofa.

Sinar menatap satu per satu wajah yang ada di ruangan. Pandangannya berhenti pada Axel, yang terlihat menegang. Rahangnya mengeras dan sorot matanya gelap.

“Sinar …” panggil Shania pelan. Menggenggam tangan Sinar dengan erat. Menatap lembut, tetapi ada beban yang tersimpan begitu dalam. “Apa ... kamu bersedia menikah dengan Izac?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
mayuunice
Ya lord dag-dig-dug aku bacanya ada apa lagi iniii??
goodnovel comment avatar
Yelloe Duassatu
kenapa harus nikah dg izac apa axel wanita yg datang meminta pertanggungjawaban Axel???
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dear Secretary   14~DS

    Pada akhirnya, Elo berhasil membujuk Sinar untuk diantar pulang. Elo berasalan, nantinya mereka akan menjadi rekan kerja. Untuk itu, tidak boleh ada permusuhan agar pekerjaan mereka berjalan baik ke depannya.“Uhhh ...” Sinar membuang napas besar dari mulutnya ketika Elo membuka pintu mobil untuknya. Mengibas tangan di depan wajah, dengan pipi yang menggembung menatap pria itu. “Mobilnya bau rokok. Parah ini, sih!”“Namanya juga mobil cowok, Nar.” Elo tertawa tanpa rasa bersalah sama sekali. “Tapi aku jamin bersih, baru dicuci tadi pagi.”“Tapi bau rokok.” Sinar menggeleng. Kemudian, ia mulai berakting mual di depan pria itu. “Masa’ baru dicuci tapi dah bau? Itu artinya, Pak El nyebatnya parah ih. Coba mobilnya Pak Bin, wangi kopi. Enak.”Elo tersenyum tipis. Lantas, ia membuka semua pintu mobilnya dengan lebar. Termasuk pintu bagasi. “Tunggu lima menit.”“Kena ....” Sinar menutup mulutnya ketika Elo tiba-tiba berlari meninggalkannya. Pria itu memasuki kantor dan tidak lama kemudian k

  • Dear Secretary   13~NDS

    Asing.Semua benar-benar tidak bisa seperti dahulu lagi. Meskipun mengatasnamakan profesionalisme kerja, tetapi tetap saja ada jarak yang membentang antara Sinar dan Bintang.“Ehm!” Sinar berdehem, menegur sekretaris redaksi cabang yang sejak tadi hanya menatap Bintang. “Fokus, Lis.”Lilis buru-buru memalingkan wajah, lalu tertawa melihat Sinar. “Cakep, ya! Tapi sayang sudah ada yang punya.”“Siapa?” tanya Sinar pura-pura tidak tahu.“Pak Bintang.” Lilis meringis lebar. “Dulu, aku pernah magang di kantor pusat. Dan beliau itu orangnya humble banget sama semua orang.”“Kapan magang di kantor pusat?”“Lima tahun yang lalu,” jawab Lilis kembali fokus pada layar komputernya. “Pak Bintang waktu itu belum jadi redpel.”“Ooo.” Sinar membulatkan bibirnya. Ternyata bukan dirinya saja yang kagum dengan pria itu, tetapi wanita lainnya juga seperti itu.“Udah ketemu istrinya belum?” tanya Lilis.“Belum.” Sinar menggeleng. Menghela panjang sembari menatap Bintang yang berada di sisi ruang yang ber

  • Dear Secretary   12~DS

    Kesiangan.Tanpa sempat berpikir panjang, Sinar bergegas membereskan kamar seadanya. Semuanya serba buru-buru, karena pagi itu Bintang akan menjemputnya untuk berangkat ke kantor cabang.Tadinya, Sinar sudah meminta agar mereka bertemu di kantor saja. Namun, tanpa bisa dibantah dan dengan alasan efisiensi, Bintang mengatakan akan menjemputnya di rumah.Tepat pukul setengah enam, Bintang menelepon dan mengatakan sudah berada di luar rumahnya. Karena itulah, waktu Sinar benar-benar terbatas dan tidak bisa melakukan banyak persiapan seperti biasa.“Maaf, Pak Bin,” ucap Sinar ketika memasuki mobil pria itu. Ia harus bersikap profesional dan mengabaikan semua hal yang pernah terjadi di antara mereka. “Saya kesiangan. Insomnia.”“Gini yang katanya mau ketemu di kantor aja?” Bintang segera menjalankan mobilnya dengan perlahan. Menyusuri jalan sempit di tengah perkampungan, jalur satu arah yang hanya cukup dilalui satu mobil.“Maaf,” ucap Sinar sekali lagi. Perasaannya masih tidak karuan kare

  • Dear Secretary   11~DS

    Dari balik kemudi, Axel menatap setiap motor yang lewat atau berhenti di depan lobi kantor Sinar. Hingga pagi ini, gadis itu tidak bisa dihubungi sama sekali. Sinar memblokir nomornya dan tidak mau menerima panggilan dari nomor asing yang masuk ke ponselnya.Karena itulah, pagi-pagi sekali Axel sudah berada di halaman kantor Sinar. Ia tidak punya muka datang ke rumah wanita itu, karena semua masalah yang telah terjadi.Hampir setengah jam menunggu, akhirnya Axel melihat sebuah motor berhenti di samping pelataran kantor. Sinar berangkat ke kantor menaiki ojek dan tidak membawa motornya.Menurut Axel itu lebih baik, karena kondisi gadis itu pasti sedang tidak baik-baik saja.“Sinar!” panggil Axel yang bergegas keluar mobil dan berlari menghampiri. “Ayo bicara sebentar.”Sinar menunduk dengan helaan berat. Ia tidak menduga, jika Axel masih berani menunjukkan wajah di depannya.“Aku nggak mau,” tolak Sinar setelah kembali mengangkat kepala. “Kita sudah selesai.”“Kamu bilang selesai semud

  • Dear Secretary   10~DS

    Mata Sinar melebar menatap Bintang dan ternganga. Jelas ia terkejut karena Izac melamarnya dengan tiba-tiba melalui panggilan telepon. Baginya, semua ini sungguh-sungguh berada di luar nalar. Mereka baru bertemu satu kali, tetapi Izac dengan berani mengajaknya menikah.Kemudian, sebuah sentuhan lembut di punggung tangannya membuat Sinar tersadar. Bintang memecah lamunannya, sehingga Sinar segera berdehem.“Kak, jangan korbankan diri demi Axel,” ucap Sinar menutup mata sejenak. “Biar Axel sama Ruri yang nikah minggu depan.”“Nggak ada yang saya korbankan,” sanggah Axel. “Tadi malam, kami ke rumahmu dan bundamu sudah setuju kalau saya yang menggantikan Axel.”“Bu-bunda?” Sinar kembali melebarkan mata dan merampas ponselnya dari tangan Bintang. “Jadi tadi malam, kalian ke rumah?”“Ya,” jawab Izac. “Dan kamu belum pulang tadi malam. Jadi—”“Jangan memutuskan sesuatu secara sepihak,” sela Sinar sembari bangkit dan menonaktifkan mode loudspeakernya. “Yang nikah saya, jadi, saya juga yang me

  • Dear Secretary   9~DS

    Sinar menyandarkan kepalanya di lengan Bintang. Mereka berbaring saling berhadapan, membiarkan keheningan berbicara lebih dulu. Tatapan mereka bertaut, tanpa benar-benar tahu apa yang sedang dipikirkan satu sama lain.“Sudah hubungi orang tuamu?” tanya Bintang berusaha mengalihkan pikirannya yang mulai berlarian ke mana-mana. “Bilang ke mereka kalau kamu menginap di luar?”Sinar mengangkat bahunya samar. “Nggak akan ada yang peduli,” jawabnya enteng. “Mereka hidup di dunianya masing-masing, begitu juga saya. Jadi, pulang atau nggak, kayaknya sama aja.”Bintang tidak langsung menanggapi. Ucapan gadis itu membuat semua prasangkanya pada Sinar selama ini memudar. Sinar yang selalu ceria, penuh tawa, ternyata menyimpan sepi yang tidak pernah ditunjukkan. Dan entah kenapa, hatinya terasa sesak mendengar hal tersebut.“Tapi—”“Ayah sama bunda sudah pisah lama,” sela Sinar. Tanpa diminta, ia mulai membuka kisah tentang keluarganya. “Mereka sudah nggak tinggal bareng dari ... saya TK,” lanjutn

  • Dear Secretary   8~DS

    Sebuah air mineral dan satu kemasan susu cokelat favorit Sinar kini sudah berada di atas coffe table di hadapannya. ajah Sinar yang masih murung sedikit terangkat, menoleh ke arah pria yang kini duduk di sampingnya.“Itu...” Sinar menggumam pelan.Seolah tahu apa yang akan ditanyakan gadis itu, Bintang tersenyum lembut. “Susu favoritmu, kan.” Bintang menunjuk kemasan susu cokelat di meja dengan dagu. “Saya coba beli karena sering lihat kamu bawa itu ke kantor. Ternyata enak, jadi saya stok di sini.”Bintang meraih kemasan susu itu dan membukanya, memberikan pada Sinar. Ia tahu, gadis itu tidak dalam kondisi yang baik karena datang ke tempatnya dengan wajah yang kusut. “Minum dulu.”“Makasih.”Ingin rasanya Sinar tersenyum, tetapi otot wajahnya serasa berat untuk di ajak bekerja sama. Ia hanya menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan, berkali-kali.“Kamu sudah makan?” tanya Bintang.Ia tidak bertanya apa pun tentang kedatangan Sinar dengan wajah sembab ke apartemennya. Binta

  • Dear Secretary   7~DS

    “Ma!” Axel berseru tidak terima. Tanpa kejelasan, mamanya mendadak meminta Sinar menikah dengan kakaknya.“Ruri hamil.” Shania menunjuk sopan, ke arah dua tamu yang berada di ruang tengah. Seorang wanita paruh baya dan seorang gadis muda bermata sembab. “Anak Axel. Jadi ... kita—"“Ha ... mil?” Sinar terpaku. Matanya membelalak menatap Ruri yang hanya menunduk dalam diam.“Nggak mungkin!” seru Axel, menunjuk tajam ke arah Ruri. “Kamu jangan main-main, Ri! Aku nggak yakin itu anakku! Jadi jangan seenaknya nuduh!”“Kalau kamu nggak yakin, nanti kita bisa lakukan tes DNA saat waktunya tiba,” sambar Izac tidak kalah keras. “Tapi, sambil menunggu kamu nggak bisa menikah dengan Sinar.”“Kak!” Axel kembali berseru, lebih keras dari sebelumnya.“APA!” Izac balas membentak semakin keras dan tegas. “Papa lagi di perjalanan dan setelah ini kita selesaikan semuanya.”“Semua sudah selesai,” ucap Sinar lirih. Ia bangkit perlahan, sambil menatap hasil USG yang tergeletak di meja.Entah mengapa, mesk

  • Dear Secretary   6~DS

    Sejak malam pertemuan dengan keluarga Axel itu, waktu terasa berlari begitu cepat bagi Sinar. Axel datang ke rumahnya, berbicara serius dengan bundanya. Dan hanya dalam hitungan hari, pertemuan antar keluarga pun terlaksana.Tidak butuh waktu lama, tanggal pernikahan mereka ditetapkan. Segala persiapan dilakukan dalam waktu singkat, semuanya serba cepat.Meski terasa terburu-buru, Sinar tidak lagi mencoba menghindar. Sebagian hatinya yakin, bahwa mungkin inilah jalan terbaik. Ia akan benar-benar lepas dari bayang-bayang Bintang.Mereka ... selesai.Segala simpul rumit yang pernah melilit hatinya, akhirnya usai. Setidaknya, itulah yang ingin Sinar yakini untuk saat ini.“Jangan lupa undangannya nanti diambil,” ujar Sinar mengingatkan seraya membuka pintu mobil.“Jangan lupa izin lagi nanti,” balas Axel melakukan hal yang sama. “Jam tiga aku jemput, kita fitting.”“Oke.” Sinar sudah menurunkan satu kakinya. “Aku kerja dulu, hati-hati.”“Kamu juga hati-hati,” pesan Axel. “Jangan deket-dek

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status