Sejak malam pertemuan dengan keluarga Axel itu, waktu terasa berlari begitu cepat bagi Sinar. Axel datang ke rumahnya, berbicara serius dengan bundanya. Dan hanya dalam hitungan hari, pertemuan antar keluarga pun terlaksana.
Tidak butuh waktu lama, tanggal pernikahan mereka ditetapkan. Segala persiapan dilakukan dalam waktu singkat, semuanya serba cepat.
Meski terasa terburu-buru, Sinar tidak lagi mencoba menghindar. Sebagian hatinya yakin, bahwa mungkin inilah jalan terbaik. Ia akan benar-benar lepas dari bayang-bayang Bintang.
Mereka ... selesai.
Segala simpul rumit yang pernah melilit hatinya, akhirnya usai. Setidaknya, itulah yang ingin Sinar yakini untuk saat ini.
“Jangan lupa undangannya nanti diambil,” ujar Sinar mengingatkan seraya membuka pintu mobil.
“Jangan lupa izin lagi nanti,” balas Axel melakukan hal yang sama. “Jam tiga aku jemput, kita fitting.”
“Oke.” Sinar sudah menurunkan satu kakinya. “Aku kerja dulu, hati-hati.”
“Kamu juga hati-hati,” pesan Axel. “Jangan deket-deket sama cowok-cowok di sana.”
“Ih! Kumat, kan, cemburunya.”
“Beb.” Axel meraih tangan Sinar sebelum gadis itu beranjak dari mobilnya. “I love you.”
Sinar tersenyum kecil, membalas genggaman Axel. “I love you too,” ucapnya pelan sebelum akhirnya melepas tangan pria itu.
Setelah keluar, Sinar bergegas memasuki kantornya. Namun, langkahnya terhenti, ketika melihat sebuah insiden yang mencengangkan di depan mata. Sekretaris direksi Metro Ibukota baru saja ditampar oleh seorang wanita di lobi.
“Mbak Rosa ...” cicit Sinar merasa ngilu sendiri sekaligus geregetan karena Rosa hanya diam ketika diperlakukan kasar. Sementara karyawan lain, hanya menatap dan tidak membantu sama sekali.
Namun, ketika Sinar berniat menghampiri dan baru berjalan satu langkah, tubuhnya tertarik menuju tangga.
“Nggak usah ikut campur.”
Sinar terbelalak menatap gadis yang menyeretnya menaiki tangga dengan terngaga. Carmen, reporter yang selalu berpenampilan tomboy itu berdecak dan menggeleng pada Sinar.
“Lho, Mbak Ro—”
“Yang gampar mbak Rosa itu istrinya pak Nolan,” ujar Carmen nyaris berbisik. “Kenapa dia digampar? Karena mbak Rosa ketahuan selingkuh sama pak Nolan.”
“WHAT!”
“Sstt!” desis Carmen meletakkan telunjuk di bibirnya. Sinar memang masih terhitung baru di Metro, jadi wajar jika gadis itu tidak mengetahui sisi gelap tempat kerjanya. “Kasus-kasus selingkuh kayak gini, mah, sudah jadi rahasia umum di Metro. Yang ono sama ini, si bapak itu sama mbak itu.”
“Eh, gimana-gimana?” tanya Sinar penasaran karena hal yang dikatakan Carmen hampir menimpa dirinya dan Bintang. Untungnya, Sinar dapat menahan itu semua dan tidak melewati batasannya. “Kasus-kasus? Berarti, nggak cuma mbak Rosa aja yang ...”
“Betul!” seru Carmen melepas tangannya dari Sinar ketika mereka sudah berada di lantai dua. “Jadi, pintar-pintar kita aja jaga diri. Banyak yang masih jomlo di luar, jadi ngapain harus ngembat yang sudah punya istri. Terutama elo, Nar.”
“Eh! Aku?” Sinar menyimpan rikuhnya dalam-dalam. Pura-pura tidak mengerti dengan maksud gadis itu. “Kenapa aku?”
“Gue tahu, lo sempat deket sama seseorang di kantor ini,” tembak Carmen memberi tatapan datar. “Tapi karena lo udah punya pacar, gue harap semua selesai. Ingat, dia sudah punya istri.”
Sinar terkekeh hambar. “Kamu sudah salah paham.”
Carmen menggeleng. “Gue diam, bukan berarti gue nggak tahu.”
“Car—”
“Gue ke meja dulu,” putus Carmen terburu pergi ke meja kerjanya. “Ada berita yang mau disetor. Tenang, rahasia lo ... aman sama gue!”
~~~~~~~~~~~
“Sudah diambil undangannya?” tanya Sinar begitu masuk ke dalam mobil.
“Sudah dong!” Axel menunjuk ke jok belakang. “Tinggal dibagi, terus disebar.”
“Syukurlah.” Sinar menghela napas panjang. Memasang sabuk pengamannya lalu bersandar. “Aku tidur bentar, ya? Ngantuuuk banget.”
“Tidurlah,” ucap Axel mengusap puncak kepala Sinar sebentar, lalu menjalankan mobilnya. “Habis fitting, kita ke rumahku dulu, ya. Kak Izac datang, dia bawain oleh-oleh buat kamu sama bunda.”
“Hmm.” Sinar menurunkan sandaran joknya, lalu memejamkan mata karena terlalu lelah dengan kesibukannya belakangan ini.
Tanpa ingin mengganggu lagi, Axel melajukan mobilnya menuju bridal shop. Sesampainya di sana, fitting baju berjalan lancar. Gaun putih yang dikenakan Sinar jatuh pas di tubuhnya, membuat Axel terpana. Dalam artian, tidak ada masalah berarti dan semua sesuai rencana.
Setelah proses fitting selesai, mereka pun segera pergi ke rumah Axel. Langit mulai menggelap ketika mereka sampai di sana.
Entah mengapa, hati Sinar berdegup lebih cepat. Ada perasaan tidak biasa yang mengendap, saat mereka memasuki gerbang rumah besar itu. Terlebih ketika ia melihat dua buah mobil asing yang terparkir di area carport.
“Ada tamu,” celetuk Sinar membuka sabuk pengamannya dengan perlahan dan ragu.
“Sepertinya.” Axel menunjuk sebuah mobil SUV berwarna hitam. “Yang itu mobil Izac, tapi yang satunya aku nggak tahu. Ayo keluar! Kita lewat samping aja.”
Sinar mengangguk. Dengan kompak keluar bersama Axel. Namun, langkah mereka terhenti saat Sinar melihat sosok pria keluar dari dalam rumah.
Posturnya lebih tinggi dari Axel, dengan raut wajah yang tampak tegas dan dingin. Kulitnya sedikit lebih gelap dan sorot matanya tajam menelisik.
Sinar refleks menahan napas. “Kak Izac, kan?” ucapnya karena sudah pernah melihat foto pria itu sebelumnya.
“Iyap!” Axel tersenyum dan berjalan lebih dulu meninggalkan Sinar. “Akhirnya pulang juga,” sapanya langsung mengulurkan tangan dan Izac menyambutnya dengan singkat. Tidak seperti biasa.
“Dia Sinar?” tanya Izac menunjuk gadis yang berjalan ke arah mereka.
“Yes.” Axel bergeser. Mengulurkan tangan pada Sinar dan gadis itu segera meraihnya. “Sinar, ini Kak Izac,” ucapnya memperkenalkan. “Kak, ini Sinar, calon istriku.”
Sinar lebih dulu mengulurkan tangan dengan canggung dan Izac menyambutnya dengan anggukan singkat.
“Ayo masuk,” ajak Izac lalu menghela kasar. “Ada yang mau kami bicarakan dengan kalian.”
“Bukannya ada tamu?” tanya Axel menunjuk mobil merah yang terparkir di samping mobil Izac.
Izac mengangguk. “Dan tamunya sedang menunggu kalian berdua. Ayo masuk!”
Kendati bingung, tetapi Axel dan Sinar bergegas masuk ke dalam dan langsung menuju ruang tengah.
Sinar melihat ada dua tamu yang berada di sana, seorang ibu dan anak perempuannya yang bermata sembab. Dengan begini, hatinya terasa semakin kacau dan tidak karuan.
Kemudian, Sinar beralih pada Shania yang terlihat tidak nyaman. Tanpa banyak kata, wanita paruh baya itu segera menghampirinya. Merangkul Sinar, lalu mengajaknya duduk di sofa.
Sinar menatap satu per satu wajah yang ada di ruangan. Pandangannya berhenti pada Axel, yang terlihat menegang. Rahangnya mengeras dan sorot matanya gelap.
“Sinar …” panggil Shania pelan. Menggenggam tangan Sinar dengan erat. Menatap lembut, tetapi ada beban yang tersimpan begitu dalam. “Apa ... kamu bersedia menikah dengan Izac?”
Tanpa berkata sepatah kata pun, Sinar mengangkat kerah kemeja suaminya. Ia membentangkan ujung dasi ke belakang leher, lalu menarik kedua sisinya ke depan. Dengan cekatan Sinar melilitkan kedua ujung itu sampai menjadi simpul yang rapi, kemudian menarik ujung dasi yang lebar ke bawah sambil menggeser simpulnya ke atas.Setelah selesai, Sinar kembali merapikan kerah kemeja tersebut. “Selesai.”Pras mencekal tangan Sinar yang hendak berbalik. Menariknya, hingga tubuh sang istri jatuh di pangkuannya yang sejak tadi duduk di tepi ranjang. “Aku mau ke persidangan, Nar. Bukan ke pesta atau klub malam. Jadi jangan merengut terus.” “Banyak ceweknya di sana, kan?” tanya Sinar dengan nada ketus.“Jelas.” jawab Pras. “Terus, habis itu kamu juga ada janji dengan Rista, kan?”“Betul!”“Ck! Aku nggak suka sama dia!” dengkus Sinar. “Bajunya ketat, roknya pendek. Kalau nggak ada aku, nanti kamu ditempel-tempelin sama dia!”“Ditempelin itu enak, anget! Seperti ini.” Pras memeluk erat tubuh Sinar y
Dengan memakai piyama lengkap, Sinar keluar dari kamar mandi. Mengambil ponselnya yang ada di nakas, tanpa memedulikan Pras sama sekali.Begitu ia berbalik dan hendak melangkah pergi, Pras membuka suara.“Masih mau pergi tidur di kamar Aya dan balik ke sini waktu pagi?”Sinar tidak jadi melangkah. Ia menatap Pras, tajam. Akhirnya, setelah tiga hari mereka tidak bertegur sapa karena masalah pil KB, Pras lebih dulu membuka mulut. Sinar baru membuka bibirnya, tetapi Pras lebih dulu melanjutkan kalimatnya. “Tidur di sini malam ini,” titah Pras tegas, tanpa mau dibantah. “Jangan berani-berani melangkah keluar kamar, atau kamu terima akibatnya.”“Kamu ngancam aku?”“Ya,” jawab Pras. “Matikan lampunya, terus tidur. Nggak perlu beralasan mau lihat Asa atau Aya, karena mereka tidur di kamar mami malam ini.”Sinar menghempas ponselnya di tempat tidur. Tidak lagi memiliki alasan untuk pergi keluar kamar, Sinar akhirnya menuruti perintah Pras. Mematikan lampu utama kamar, lalu berbaring di sam
Pagi itu, Pras terbangun dengan garis bibir yang melengkung sempurna. Sinar masih terlelap di pelukannya, napasnya teratur, dan hangat tubuhnya masih menyelimuti dada Pras. Tidak ada lagi jarak, tidak ada lagi pembatas. Tadi malam, mereka benar-benar telah menyatu. Bukan hanya raga, tetapi dengan mantap juga menyatukan hati.Pras menyibak beberapa helai rambut yang menutupi wajah Sinar dengan perlahan. Menatap lamat-lamat, menghafal setiap garis, setiap lekuk yang selama ini hanya bisa ia sentuh di dalam mimpi.Namun, tidak kali ini. Semua telah tampak begitu nyata, begitu dekat, dan Sinar akhirnya menjadi miliknya, seutuhnya. Dengan amat perlahan, Pras menggeser tubuh Sinar agar tidak mengganggu tidur lelapnya. Kemudian, ia membenarkan selimut di tubuh sang istri lalu pergi ke kamar mandi. Dan sejak pagi itu, Pras memutuskan untuk tidak lagi memakai kursi rodanya. Ia akan kembali menjalani kehidupan normal seperti biasa dan menjadi dirinya seutuhnya. ~~~~~~~~~~~~~~~“Pras!Eila t
Sudah hampir satu jam Sinar menunggu suaminya di ruang kerja Pras. Setelah itu, Pras muncul dan langsung mengajaknya pergi ke Network.“Yakin langsung ke Network?” tanya Sinar, sambil menggandeng Asa menuju lift. “Nggak mau istirahat dulu?”“Nggak,” jawab Pras lalu menguap sebentar sambil menutup mulutnya. “Cepat selesai, cepat pulang. Aku ngantuk, mau tidur.” Bibir Sinar langsung terlipat rapat, berusaha menahan tawa yang hampir meledak. “Tumben, emang semalam tidurnya nggak nyenyak?”“Hm, kepanasan,” jawab Pras, jujur tapi dengan nada malas.“Kepanasan?” tanya Irfan sambil menekan tombol lift menuju lantai dasar. “Saya aja sampai menggigil waktu masuk ke kamar Mas tadi pagi. Apa Mas nggak enak badan? Atau, kita bisa mampir dulu ke rumah sakit?”Sinar nyaris tertawa keras, tetapi ia buru-buru menggigit pipi bagian dalamnya dan menunduk. Ekspresi penat Pras, ditambah wajah serius dan khawatir Irfan, sungguh membuat Sinar geli sendiri. “Nanti aja, sekalian jadwal terapi,” elak Pras s
Dahi Sinar berkerut, menatap tajam ke arah Irfan yang hendak melangkah ke rumah depan. Akhirnya, ia bisa bertemu dengan pria itu tanpa ada Pras di sebelahnya.“Jadi, sejak kapan Mas Pras mulai bisa jalan?” tanya Sinar setelah sedikit mengeluarkan protes dan emosinya pada Irfan.Irfan meringis, salah tingkah. Dua-duanya adalah majikannya. Jika ia berbohong pada salah satu, entah apa yang akan menimpanya nanti.“Ayolah, Fan!” desak Sinar. “Saya janji, ini cuma di antara kita.”Irfan memijat tengkuknya, menatap langit malam yang bertabur bintang sekilas sambil tersenyum salah tingkah.“Bener ya, Mbak, jangan bilang siapa-siapa?” tanya Irfan memastikan.“Janji!” jawab Sinar. “Lagian aku juga taunya bukan dari kamu. Jadi, namamu aman.”Irfan membuang napas besar, lalu kembali menarik napas dalam. “Habis operasi, perkembangan mas Pras memang signifikan. Dia betul-betul semangat buat sembuh. Tapi, kalau untuk jalan sempurna seperti dulu, baru jalan tiga bulanan ini.”“Kenapa aku nggak dikasih
“Sinar, kan!”Sinar baru memasuki cabang gerai rotinya yang ketiga, saat seruan penuh semangat itu menyapanya. Sinar mengerjap dan mengingat-ingat, di mana ia pernah melihat atau bertemu dengan gadis di hadapannya.“Sorry, anak SMA Permata kan? Aku udah mulai pikun soalnya.” Aku Sinar lalu terkekeh garing. Samar di ingatan, gadis dengan tubuh langsing dan wajah tirus itu tampak seperti salah satu siswa di SMA-nya dahulu kala.“Aku Tami,” ujarnya memperkenalkan diri. “Anak IPS, jadi wajar kalau kamu nggak tau atau nggak inget.”“Ohh …” Sinar mengangguk-angguk. Agak canggung rasanya jika bertemu teman dari SMA dulu, karena Sinar tidak sering bersosialisasi saat itu. Sebagian besar waktunya ia gunakan untuk belajar, agar bisa masuk ke universitas incarannya dengan full beasiswa. “Oia, bentar, ya!” Tami segera mengeluarkan dompet, lalu membayar total belanjaannya pada kasir. Setelah selesai, ia bergeser dan kembali bicara dengan Sinar. “Oia, kamu nggak gabung di grup alumni kita, ya?”