Sinar tahu, membesarkan anak dalam keluarga yang tidak sempurna tentu akan meninggalkan celah tersendiri. Akan tetapi, itu masih lebih baik dibanding tumbuh di tengah rumah tangga yang cacat dan penuh dengan kecurigaan, luka, dan kebohongan yang tidak kunjung reda.Untuk itu, Sinar memilih melepaskan hubungannya dengan Elo. Ia tidak ingin terus hidup bersama, tetapi dihantui prasangka yang bisa menggerogoti hatinya setiap hari. Lebih baik ia berdamai dan membangun hidup yang baru, seorang diri.Bagi Sinar, yang penting hidupnya dan Asa bahagia. Berdamai dengan masa lalu, berdamai dengan Elo, demi anak mereka, Angkasa.Sejauh ini, Asa tidak pernah kekurangan kasih sayang sama sekali. Praba dan seluruh anggota keluarga menyayangi bayi tampan itu dengan sepenuh hati.Namun, ada satu hal yang membuat Sinar selalu merasa canggung. Yakni ketika Elo, Bintang, dan Jericho datang bersamaan ke rumah. Suasana terasa langsung berubah. Dingin, sunyi, penuh kecanggungan yang menggantung tanpa kata.
“Kamu di sini dari kemarin, kan?” desis Puspa tidak bisa bicara dengan leluasa karena mereka sedang berada di lingkungan rumah sakit. “Nemani Sinar lahiran.”Jericho menguap sejenak. Menatap sang istri tanpa minat.“Hm, aku nginap di sini,” ujar Jericho. “Sama mantan suaminya Sinar.”Jericho tidak mengelak, karena semalam ia memang menginap di ruang rawat inap yang ditempati Sinar. Ia melakukannya karena Elo juga menginap di sana. Pria itu memaksa untuk menemani Sinar pasca melahirkan, sehingga Jericho pun akhirnya memutuskan tinggal.Jericho tidak membiarkan June untuk tinggal, karena mamanya pasti sudah teramat lelah menemani Sinar di ruang bersalin.“Ngapain?” Meskipun pelan, tetapi intonasi Puspa meninggi. Bagaimana tidak kesal, jika Puspa tidak melihat Jericho ada di rumah ketika ia pulang. Suaminya tidak ada di kafe dan tidak pulang mengangkat telepon darinya. “Aku istrimu, loh, Jer. Aku nungguin kamu di rumah.”“Oh, ada di rumah?” sindir Jericho tenang. “Kamu sekarang berubah,
“Mau El yang temani?” tanya June merasa tidak memiliki hak untuk menemani persalinan Sinar.Meski masih memendam kesal pada Elo, tetapi jauh di lubuk hati, June bisa memposisikan diri sebagai Sinar. Di saat-saat seperti sekarang, bisa saja Sinar menginginkan ayah dari bayinya berada di sisi dan berjuang bersama.“Nggak mau,” tolak Sinar dengan suara lemah. Tangannya menggenggam erat jemari June di ruang bersalin. “Aku mau bunda aja yang di sini. Jangan pergi.”June tercekat. Saat itu juga, air matanya menitik pelan. Ia tahu, panggilan tersebut bukanlah untuknya, tetapi untuk mendiang Rani.Kerinduan Sinar pada sang bunda menyelinap tepat di tengah gelombang kontraksi. June tidak mencoba mengisi kekosongan itu. Ia hanya diam, balik menggenggam tangan Sinar dan mengangguk. Memberi isyarat bahwa ia akan tetap di sana. Sebagai seseorang yang peduli dan tidak akan pergi.“Maafin aku, Bun …” ucap Sinar lirih, lalu menarik napas panjang. Ia kembali mencoba mengejan, dengan mengerahkan tenaga
“Nar, coba dipikir dulu dengan tenang,” ujar June setelah Elo keluar dari ruangan. “Buang ego dan gengsi jauh-jauh. Karena, kamu dan El sebenarnya masih bisa bersama. Semua ini—”“Ngapain?” sela Jericho yang berdiri berseberangan dengan June. Setelah membersamai Sinar selama kehamilan, kini ia juga bisa melihat bagaimana detik-detik wanita itu akan bersalin.Sungguh sesuatu yang sudah lama diinginkannya, tetapi sang istri belum kunjung mau mencoba dan berusaha untuk hamil.“Iya, ngapain?” timpal Janus yang berbaring nyaman di sofa. “Apa mama lupa, mantannya mbak Sinar itu sudah ngapain aja?”Tidak hanya itu, Janus juga masih menyimpan kesal karena tidak bisa membalas pukulan Elo.“Sinar sudah minta El keluar dari kerjanya, tapi sampe sekarang apa?” sahut Jericho meneruskan. “Dia masih kerja di tempat yang sama. Satu kantor sama selingkuhannya itu. Jadi, nggak usah lagi dipikirkan, karena cerita yang ada nanti pasti berulang.”Sinar menggigit bibir. Mencerna semua ucapan ketiga orang y
Tante June, Janus, Bang Jer.Kini ada tiga nama baru yang bergelayut di kepala Elo. Wanita itu baru saja selesai menerima panggilan dari tiga orang dan tiga nama itulah yang muncul dalam pembicaraan yang Elo dengar. Kepala Elo semakin sakit memikirnya, karena ia tidak pernah mendengar ketiga nama tersebut sama sekali dalam lingkungan pertemanan Sinar.Siapa gerangan ketiga orang tersebut?“Yang nelpon kamu barusss ...” Kalimat Elo terpotong, karena Sinar kembali menerima panggilan dari seseorang.Sekarang, siapa lagi orang yang menelepon wanita itu?“Halo, Pak Bin.”Cengkraman Elo mengerat pada setir. Buku-buku tangannya memutih karena mendengar nama Bintang disebut oleh Sinar.Elo yakin, wanita hamil yang saat itu diceritakan Melati, adalah Sinar. Ibu hamil yang tengah ngidam martabak dengan porsi triple daging adalah mantan istrinya. Ibu dari anaknya.Elo ingin sekali mengumpat keras, tetapi hal itu pasti akan semakin memperburuk keadaan. Ia harus menahan dalam-dalam emosinya, ter
Setelah keluar dari toilet, Elo segera menghubungi Abbas karena mereka berencana akan makan siang bersama. Pria itu sudah lebih dulu keluar dari Balai Agung setelah mengikuti acara penandatangan MoU. Sementara Elo harus menuntaskan panggilan alamnya terlebih dahulu.“Posi—”“Ada Sinar di sini, El.”Langkah Elo terhenti ketika Abbas memutus ucapannya di telepon. Masih belum percaya sepenuhnya, jika mantan istrinya saat ini ada di Balaikota.“El, Sinar hamil.”Ucapan Abbas tersebut, membuat Elo kembali melangkah. Setengah berlari sambil tetap menempelkan ponsel di telinga. Menggenggamnya erat.“Dia masih di sini?” tanya Elo dengan debaran jantung yang berdetak kencang.“Dia jalan ke taman arah ke kantin.”“Makasih, Pak!”Elo mengakhiri panggilannya dan berlari secepat mungkin menuju tempat yang dikatakan Abbas. Detak jantungnya berdegup kencang, menerobos setiap detik dengan kegelisahan yang tidak bisa dijelaskan.Ada rindu yang membara. Ada sesal yang tidak terkira dan banyak tanya yan