“Bintang, kamu harus pulang sekarang dan menikah dengan tuan muda! Kakakmu … dia kabur.”
Bintang yang baru saja memasuki kelas hanya bisa terdiam mendengar tangisan ibunya. Perlahan, dia berbalik dan berjalan menuju lorong sepi. “Bintang, kamu dengar apa kata ibu? Pulanglah sekarang. Kalau tidak, ayahmu akan dipenjara. Hutang seratus juta sudah lama jatuh tempo. Ayahmu sudah tua. Hanya pensiunan pegawai pabrik. Bagaimana bisa melunasinya?” Bintang menutup matanya. Rahangnya mengetat. Selalu saja begini! Kakaknya, Luna, selalu membuat masalah dan dia selalu ‘diminta’ berkorban untuk membereskan semua masalahnya. Lagi dan lagi, Bintang dipaksa mengalah. Saat lulus SMA, Bintang sangat bahagia karena akhirnya dia berhasil diterima di sebuah kampus favorit yang menyediakan asrama. Tanpa banyak berpikir, Bintang pindah ke asrama, berharap bisa keluar dari bayang-bayang Luna yang menyesakkan. Baru satu tahun dia merasa bebas, dia kembali harus berkorban untuk Luna. “Ibu, coba hubungi teman-temannya. Siapa tahu kakak hanya pergi bermain dengan mereka. Bukankah kakak sangat suka pergi dengan teman-temannya?” Bintang mencoba berkata dengan tenang. Jika saja Sekar, ibunya, berada di depannya sekarang, maka perempuan itu akan melihat betapa merah mata Bintang. “Ayahmu sudah menelepon mereka. Ibu juga sudah pergi ke rumah Tina. Tapi, mereka semua menjawab tidak tahu. Dan ternyata Luna sudah keluar dari pekerjaannya sejak kemarin. Bintang, apa yang harus ibu lakukan? Hanya kamu yang bisa menyelamatkan ayahmu.” Tangisan ibunya membuat amarah yang membakar hatinya meredup. Meskipun dia membenci kakaknya, tapi ayah dan ibunya hanya terlalu baik dan polos. Bintang ingat ayahnya pernah berhutang seratus juta kepada pemilik pabriknya dulu karena Luna menabrak seorang anak dan membutuhkan operasi. Kejadiannya sudah agak lama. Waktu itu, dengan sombongnya, Luna berjanji akan mencicilnya. Namun, kenyataan berkata lain. Lina baru membayar selama satu tahun, lalu dia mangkir. Sisanya, ayah dan ibunya harus banting tulang untuk membayar setiap bulan. Bahkan Bintang sendiri merelakan yang jajannya untuk membantu mencicil dan memilih untuk bekerja demi uang saku dan kebutuhan sekolahnya. Sekarang, saat sudah genting, Luna yang harusnya menikah dengan tuan muda justru pergi dengan entengnya. Bintang sungguh geram. Jika saja dia bisa bertemu kakaknya, ingin sekali dia memukul kepalanya agar sadar. “Bu, yang berhutang itu sebenarnya Kak Luna! Dia yang memaksa ayah berhutang seratus juta untuk biaya operasi waktu itu. Seharusnya, dia yang menikah dan bertanggung jawab.” Sekar membeku. Ya, dia tahu itu. Sangat tahu. Itu sebabnya, saat tuan muda meminta seorang istri, Bayu dan Sekar menyodorkan Luna kepadanya. Siapa yang menyangka jika putri sulungnya itu justru kabur? “Lalu, apa kamu akan membiarkan ayahmu dipenjara? Apa kamu tidak memikirkan bagaimana nasib ibumu ini? Hidupmu masih enak, bisa kuliah dan bersenang-senang. Sedangkan keluargamu di sini….” Sekar menangis, tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Kepala Bintang langsung berdenyut. “Ibu, jangan menangis. Aku akan pulang sebentar lagi.” Memangnya Bintang punya pilihan lain? Tidak! Ayah ibunya memang terlalu memanjakan kakaknya. “Baguslah, Nak. Jangan khawatir, tuan muda bukan orang yang merepotkan. Dia hanya ingin ditemani. Kamu cukup menjadi temannya yang baik, tidak perlu melakukan apa-apa, dan hidupmu akan baik-baik saja. Pulang cepat. Ibu dan ayah menunggumu.” Bintang menghela nafas panjang. Lalu, perlahan menyimpan ponselnya kembali ke dalam tas. Keinginan Bintang untuk mengikuti perkuliahan hari ini harus kandas. Percuma saja dia kuliah kalau tidak bisa fokus. Dengan langkah pasti, dia berbalik. “Bintang, mau ke mana?” seru Wina melihat Bintang yang tadinya ada di sebelahnya tiba-tiba saja berbalik. “Ada urusan,” jawabnya acuh, lalu melanjutkan langkahnya tanpa memperdulikan teriakan temannya itu. Suasana hati Bintang jelas buruk. ** “Apa dia calon suamiku?” tanya Bintang kebingungan. Saat ini, dia sudah memakai baju pengantin dan siap untuk melakukan pernikahan meskipun hati kecilnya ingin menolak. Sekar menggeleng sambil tersenyum kaku. Bintang mengangguk. Sudah dia duga. Calon suaminya memang sombong. Dia berjalan dengan tenang. Tidak ada riasan berlebih di wajahnya. Rambutnya juga hanya digerai sederhana dengan satu jepit rambut berhiaskan bunga di atasnya. Benar-benar sangat sederhana. Raut Thomas sempat berubah melihat calon pengantin tuan mudanya. Namun, perubahan itu hanya sekilas dan tidak membuat siapapun menyadarinya. Tanpa kata, Thomas berbalik. Bintang mengepalkan tangannya. Meskipun dia kaya, tapi apa pantas bersikap setidak sopan itu? Penilaiannya terhadap calon suaminya menjadi semakin negatif. “Silakan, Nona.” Thomas membuka pintu belakang. Bintang pun masuk dan Thomas segera menutup pintu. Perjalanan menuju kantor catatan sipil terasa seperti satu abad. Bintang mengira calon suaminya juga akan menjemput, tapi ternyata itu hanya angan-angan saja. Penilaian Bintang terhadap tuan muda semakin negatif. Tapi, itu bukan masalah. Bintang bisa berteman dengan siapa saja. Dia hanya perlu memberi apa yang dia terima. Simple! Bintang tidak tahu berapa lama dia melamun. Tiba-tiba saja, pintunya terbuka. “Kita sudah sampai, Nona.” Bintang mengerjapkan matanya, lalu melihat keluar. Benar saja, dia sudah tiba. Dia pun turun. Dengan cekatan, Thomas menunjukkan sebuah ruangan yang masih tertutup. Dia membukanya dan tanpa ragu, Bintang masuk. Betapa terkejutnya dia melihat seorang pria tampan dengan kulit putih pucat duduk dengan tenang di sampingnya. Wajahnya tampan, lebih tampan dari tokoh komik yang biasa dibaca Wina. Rahangnya, hidungnya, matanya, semuanya sempurna. Tunggu sebentar… Kenapa Bintang merasa mata indah itu tampak kosong. Pria itu bahkan tidak menoleh saat dia masuk. Namun, itu tidak menjadi fokusnya sekarang karena pria itu menggeser sebuah kertas ke arahnya. “Istriku, silakan tanda tangan.” Suaranya terdengar dalam dan serak, dan ada sedikit nada lembut di sana. Bintang meliriknya, tapi tuan muda itu tetap menatap ke depan. Dalam hati, Bintang mulai menerka-nerka, ‘Dia buta?’ Dia membaca sekilas tulisan yang ada di atas, melirik nama pengantin laki-laki. Charles Smith.. Bintang hanya menatapnya, lalu membubuhkan tanda tangannya tanpa banyak bertanya. “Selamat, anda berdua sudah sah menjadi suami dan istri,” ucap petugas di depan mereka dengan senyum lebar. Charles mengangguk, tampak tenang dan tidak banyak berekspresi. “Ayo kembali!” Charles mengangkat tangannya, memberi kode kepada Thomas. Thomas bergegas menyimpan semua berkas dan mendorong Charles kembali ke dalam mobil. Tubuh Bintang menegang. Karena hanya fokus pada wajah Charles, dia tidak menyadari jika suaminya itu duduk di atas kursi roda. Nafasnya terasa berat. Tidak hanya buta, suaminya juga lumpuh?!Luna begitu marah hingga dia ingin muntah darah. Adiknya, kini, begitu sombong dan arogan. Apa dia tidak ingat? Kalau bukan karena dirinya, Bintang tidak akan bisa mencicipi segala kemewahan yang dia dapat.Matanya terus mengikuti langkah Bintang. Tangannya terkepal melihat pakaian dan tas yang dikenakan adiknya. Batinnya menjerit. Dia ingin memiliki itu semua.Jika mengingat Bintang pergi dengan mobil dan sopir pribadi, ingin rasanya Luna menyeretnya keluar. Itu adalah mobil yang seharusnya menjadi miliknya! Kemeja mahal yang dia pakai adalah haknya! Tas yang ada di pundak Bintang juga punya dia.Saat dia melihat sepatu Bintang, darahnya semakin mendidih. Itu adalah sepatu yang dia idam-idamkan. Dia pernah melihatnya di internet dan harganya setara dengan harga ponselnya. Sepatu itu seharusnya menjadi miliknya. Bintang tidak memiliki satupun hak atas kemewahan dan kekayaan Charles. Semua itu adalah miliknya! Bintang telah merebutnya darinya.Dada Luna naik turun. Emosinya naik berka
Banyaknya pedagang bercampur dengan para pecinta kuliner malam, membuat suasana begitu ramai dan ceria. Lampu warna-warni dipasang di kanan dan kiri untuk memeriahkan suasana.Bintang tidak bisa menahan senyumannya. Dia berjalan dengan antusias, menuju satu pedagang ke pedagang lainnya. Di belakangnya, Charles mengikuti dengan sabar, kakinya melangkah ke manapun Bintang pergi. Dalam sekejap, kedua tangan Bintang sudah dipenuhi dengan aneka makanan. Dia berbalik, mengangkat kedua tangannya sambil tersenyum lebar bahagia.“Ayo kita makan!” serunya bahagia.“Kalau kamu makan sebanyak ini, perutmu tidak akan muat makan malam lagi,” ucap Charles sambil merapikan rambut Bintang yang berantakan karena angin.“Tidak perlu makan lagi. Aku membeli dua bungkus burger, kentang goreng, mochi, telur gulung, dan es kepal.”Charles sedikit mengernyit mendengar nama-nama makanan yang asing itu. Namun, dia tidak ingin membuat kebahagiaan Bintang hilang. Jadi, dia menurut saat istrinya itu menyeretnya d
Bintang memasuki rumah dengan wajah terlampau datar. Matanya yang biasa bersinar, kini tampak meredup. Langkahnya panjang dan tergesa-gesa. Tanpa melihat ke kanan dan kiri, dia memasuki lift dan pergi ke kamar.Charles sedang berbincang dengan Thomas di pantry lantai tiga. Kalimatnya berhenti saat melihat sang istri datang dengan wajah jauh dari senyuman.“Selidiki apa yang terjadi padanya,” ucapnya pada Thomas.“Baik, Tuan,” jawabnya. Thomas lalu mengambil ponsel dan mengetik beberapa kata.Charles menarik kembali pandangannya, menunjuk pada satu berkas, lalu berkata, “Pantau terus perusahaan ekspedisi ini. Jika waktunya tepat, segera ajukan akuisisi. Jangan sampai direbut perusahaan lain.”Thomas memberi tanda pada berkas tersebut.Setelah yakin Thomas mengerti seluruh instruksinya, Charles menyalakan pemanas air, lalu membuka kabinet.“Mau masak sesuatu?” tanya Thomas. Berkas-berkasnya sudah disimpan. Pria itu sedang duduk dengan tenang sambil membuka ponselnya.“Hanya ingin membua
“Dengar-dengar, pertunangan Kevin dan Stela batal,” ucap Wina pada Bintang saat mereka baru duduk di dalam kelas.Bintang mengernyit. Dia membuka tasnya, mengambil buku dan pena, lalu bertanya, “Kamu yakin? Dengar dari mana?”Wina mengangguk dengan cepat. “Aku sempat mendengar beberapa anak yang dekat dengan Stela membicarakannya.”Bintang membuka bukunya, tapi pikirannya tidak tertuju ke sana. Samar-samar, dia tahu jika hancurnya keluarga Kevin ada hubungannya dengan suaminya. Thomas pernah menyebutnya beberapa kali. Sayangnya, dia tidak tahu secara detail. Bahkan, perusahaan keluarga Adiwijaya di sini sudah diambil alih oleh suaminya. Dia baru mengetahuinya kemarin.“Mungkin karena keluarga Kevin sudah tidak lagi berjaya. Jadi, Stela melepasnya,” ucap Wina dengan mata menerawang.Kepala Bintang menunduk. “Jangan berpikiran buruk. Mereka hanya tidak berjodoh.”Wina mengenal nafas. “Ya, kamu benar.”Percakapan mereka terhenti.Wina membuka ponsel sambil menunggu dosen yang datang. Sed
Ada sebuah rumah kecil di pinggiran kota lain. Lingkungannya cukup ramai. Anak-anak kecil berlarian, bermain layangan, para tetangga keluar untuk bergosip, ada ibu-ibu yang meneriaki anaknya, juga bapak-bapak yang bermain catur dan merokok sambil menggoda para gadis dan janda muda.Hanya ada satu rumah yang pintunya jarang dibuka dan penghuninya jarang keluar. Suasana rumahnya agak suram. Rumput dibiarkan tinggi. Cat rumah dan pagarnya juga kusam. Televisi di depannya dibiarkan menyala, tanpa ada yang menonton. Bungkus sisa makanan berserakan di atas meja. Sepatu dan sandal tidak pada tempatnya.Di atas sofa, seorang wanita duduk dengan malas. Wajahnya ditutup masker. Hanya menyisakan matanya yang indah, fokus membaca berita di sosial media sambil sesekali bergumam kesal karena keramaian di depan.Sedang asyik menggulir layar, tiba-tiba matanya menangkap sosok yang sangat dikenalnya. Sontak, dia duduk dan menegakkan punggungnya, melepas maskernya, lalu berseru, “Itu Bintang? Tidak mun
Berita tentang Charles yang telah sembuh menyebar seperti serbuk sari yang tertiup angin. Dalam sehari, entah berapa kali Thomas mengangkat panggilan dan menjawab pertanyaan dari para kolega dan pelaku bisnis lainnya. Belum lagi menyelesaikan pekerjaan dari Charles yang tidak pernah sepi. Ini membuatnya semakin sibuk. “Tuan, apa Anda akan berangkat sekarang?” tanya Thomas saat Charles mempersilakan dirinya masuk.Charles melirik jam. “Pertemuannya sekarang?”“Iya, Tuan. Para direktur dan komisaris sudah siap. Hanya menunggu Anda.”Charles menghela nafas. Dia menyimpan pekerjaannya, merapikan berkas, lalu bertanya, “Apa yang mau dibahas?”“Tentang persiapan ulang tahun perusahaan satu minggu lagi. Seperti biasa, mereka akan mengundang seorang artis dan menyewa ballroom. Sedangkan untuk pegawai umum, manajer sudah menyiapkan lomba dan hadiah untuk mereka.”“Ayo berangkat!” Charles berdiri, merapikan pakaiannya, dan pergi diikuti Thomas di belakangnya.Thomas berjalan dengan patuh, bera