MasukDiam-diam, Bintang menghela nafas. Kini dia mengerti kenapa kakaknya memilih untuk kabur. Kalau hanya tampan tapi tidak bisa melihat dan berjalan, apa gunanya?
Pantas saja ibunya juga mengatakan kalau tuan muda ini hanya ingin seorang teman, bukan istri. Dengan suami seperti ini, mungkin dia akan tetap perawan sampai mati. Di dalam mobil, Bintang yang duduk di samping Charles meliriknya sebentar. Pria itu sibuk mendiskusikan sesuatu dengan Thomas dan Bintang tidak tertarik untuk mendengarkannya. Gadis itu mengeluarkan ponsel dan melihat beberapa pesan dari Wina yang menanyakan keberadaannya. [Sedang ada urusan keluarga. Besok aku ceritakan.] Tentu saja Bintang tidak akan menceritakan alasannya absen kuliah hari ini. Itu hanya alasan yang dia buat agar kedua temannya tidak bertanya lebih banyak. Setelah membalas pesan Wina, Bintang menyimpan ponselnya dan menatap keluar. Lama-kelamaan, keningnya berkerut menyadari jika mobil tidak mengarah ke rumah orang tuanya. Bintang sontak menoleh. “Kita ke mana?” Charles tersenyum. Kepalanya sedikit miring, lalu dengan suaranya yang serak dia berkata, “Kita sudah menikah. Tentu aku akan membawamu tinggal di rumahku.” “Hah? Tapi aku tidak membawa baju ganti. Tidak membawa apapun.” Charles masih tersenyum. “Tidak perlu repot. Semua sudah disiapkan.” Jawaban itu sama sekali tidak membuat Bintang lega. “Bagaimana dengan kuliahku? Pekerjaanku?” Bintang memang masih terdaftar sebagai karyawan di sebuah perusahaan kecil sebagai admin. Meskipun gajinya tidak besar, tapi setidaknya bisa mencukupi kebutuhan hariannya dan mengirim beberapa rupiah kepada orang tuanya. Charles masih tersenyum. Namun, alih-alih menjawab, dia justru menutup matanya. “Thomas.” Thomas yang melirik dari kaca spion berkata, “Sebagai istri tuan muda, seluruh kebutuhan anda akan terpenuhi, tapi Anda masih diijinkan kuliah hingga lulus.” “Jadi, aku tidak lagi bekerja? Kalau begitu, antarkan aku ke sana. Aku akan berpamitan dengan bos.” “Semua sudah diselesaikan. Nona tidak perlu khawatir.” Bintang mengernyit. “Kenapa kalian tidak meminta pendapatku terlebih dulu? Ah, sudahlah.” Bintang membuang muka, tampak jelas jika suasana hatinya sangat buruk. ‘Orang sombong tetap akan menjadi sombong meskipun berpenyakitan!’ Bintang mendengkus. Bosnya itu baik. Teman-teman kerjanya juga suportif. Bintang ingin berpamitan dengan layak, bukannya pergi begitu saja. Sudahlah, Bintang tahu dia tidak akan menang jika berdebat dengan Charles atau Thomas. Bintang menutup mulutnya rapat-rapat. Suasana di dalam mobil menjadi hening. Thomas kembali melirik spion. Tuan mudanya sedang mengistirahatkan matanya sementara Bintang hanya melihat keluar. Thomas tidak banyak berkomentar. Dia fokus menyetir. Saat tiba di rumah Charles, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh. Bintang menatap tidak berkedip rumah mewah yang ada di depannya. Halamannya luas, dipenuhi dengan tanaman-tanaman yang dibentuk dengan estetik. Garasinya besar. Bintang bisa melihat setidaknya lima mobil dan masih ada ruangan kosong. Pilar-pilarnya tinggi dan kokoh dengan jendela besar yang berukiran indah. Bintang hampir saja membuka pintu saat dia mendengar suara merdu Charles. “Tunggu sebentar.” Gerakan Bintang terhenti, menunggu, sesuai kata-kata Charles. Detik kemudian, dia mengernyit, merasa aneh dengan sikapnya. Kenapa dia bisa menurut begitu saja? Tapi, tunggu dulu! Bintang menoleh dengan cepat. Dilihatnya Charles sedang turun dibantu oleh Thomas. ‘Bukankah dia buta? Bagaimana dia tahu kalau aku mau turun?’ Pertanyaan itu terus berputar di benaknya hingga seorang pelayan membukakan pintu untuknya. Saat memasuki rumah, Bintang takjub dengan ornamen dan lukisan yang digantung, membuatnya melupakan apa yang tadi ada di benaknya. “Kamar kita ada di lantai tiga,” ucap Charles tanpa menoleh. Meskipun tidak jelas siapa yang diajak bicara, tapi secara naluri, semua tahu jika kata-kata itu untuk Bintang. “Tapi, bagaimana kamu menaiki tangga?” Begitu kata-kata itu terucap, Thomas memencet sebuah panel kecil di sudut dinding. Lalu tiba-tiba saja, dinding itu bergerak dan ternyata itu sebuah lift. Oke, Bintang merasa seperti seorang udik sekarang. Kamar Charles berada di tengah-tengah lantai tiga. Sebelahnya ada ruang serbaguna dan satu lagi ruang kerja. Thomas membuka pintu, lalu berkata, “Saya akan merepotkan Nona Bintang sekarang.” Bintang awalnya tidak mengerti, tapi saat Thomas melepas kursi roda dan keluar kamar, Bintang akhirnya tahu. “Maaf.” Bintang mendekat dan mulai mendorong kursi roda Charles, lalu berhenti di tengah-tengah kamar. “Kamu ingin di kasur atau di mana?” tanyanya kebingungan. “Bawa aku ke sofa. Ada hal yang harus kita bicarakan.” Di depan sofa, ada sebuah meja bundar. “Apa kamu melihat amplop di sana?” Bintang mengangguk, lalu sadar jika Charles tidak bisa melihat. Jadi, dia menjawab, “Iya, ada amplop di sana.” “Bukalah!” Bintang membukanya. Rasa penasaran terlihat di wajahnya. Ternyata itu adalah sebuah kartu. “Ini apa?” “Itu kartu yang dibuat khusus untukmu. Setiap bulan akan ada sejumlah uang yang masuk. Kamu bisa membeli apapun yang kamu mau dengannya termasuk kebutuhan kuliamu.” Bintang menggenggam kartu itu dengan kuat. Perasaannya campur aduk. “Terima kasih. Lalu, apa yang harus aku lakukan sebagai gantinya?” Tentu saja Bintang tahu kalau Charles tidak akan serta merta memberinya kartu ini. Dia pasti meminta balasan. Bukankah sifatnya itu terlihat jelas? Charles terkekeh. “Dengan kondisiku yang seperti ini, aku tidak yakin bisa membuatmu bahagia di dalam kamar. Aku tahu aku tidak seharusnya menikah denganmu, tapi dengan kakakmu. Tapi, itu tidak masalah. Siapapun yang dipilih Pak Bayu, aku menyetujuinya. Jadi, aku hanya mengingatkan kamu jika pernikahan ini sungguhan. Kamu istriku dan aku suamimu. Kamu tidak diijinkan berteman dekat apalagi menjalin hubungan dengan lawan jenis. Kita akan saling menghormati. Sedangkan aku, kamu juga pasti yakin jika aku tidak akan tertarik dengan perempuan lain. Apa kamu mengerti?” Jantung Bintang berdegup kencang. Pernikahan sungguhan? Apa itu berarti tidak ada perjanjian perceraian? Dia kira isi amplop itu adalah perjanjian nikah yang harus dia tanda tangani -seperti dalam novel-novel yang pernah dia baca-. Namun, ternyata angan-angannya meleset. Charles ingin pernikahan sungguhan! ‘Baiklah, tidak apa-apa. Hidup bersama pria tampan dan kaya -meskipun sombong- sepertinya tidak terlalu buruk. Lagi pula, aku juga mendapat uang saku dan masih bisa mengirim beberapa rupiah kepada ayah dan ibu.’ “Aku mengerti. Jadi, aku bisa melakukan apapun dengan kartu ini?” Charles mengangguk. “Iya. Dan kamu tidak perlu mengirim apapun kepada Pak Bayu. Thomas sudah mengurus semuanya. Setiap bulan, dia akan mendapat uang sepuluh kali lipat dari yang biasa kamu kirimkan.” Rahang Bintang terjatuh. Sepuluh kali lipat?? Itu jumlah yang sangat banyak bagi keluarga biasa seperti dirinya. Apa sebenarnya suaminya ini peri baik hati? Apa kebaikan yang sudah aku lakukan dulu hingga mendapat keberkahan seperti ini? “Baiklah, aku setuju.” Bintang tersenyum lebar. Charles tersenyum lebih lebar. “Bagus.” Lalu, dia menekan sesuatu di kursi rodanya dan keluarlah sebuah tongkat. Charles menariknya menjadi lebih panjang, lalu dengan santainya, dia berdiri. Mata Bintang membelalak. “Kamu,,, kamu bisa berjalan?” Telunjuknya mengarah kepada Charles dengan gemetar. Masih dengan tersenyum, Charles menjawab, “Kakiku hanya mudah lemas, bukan cacat. Jadi, aku akan menggunakan kursi roda saat di luar.” Lalu, dia berjalan menuju lemari, membukanya. Tangannya menyentuh deretan baju dan tiba-tiba berhenti, lalu mengambil baju tersebut. Setelah itu, dia berjalan ke kamar mandi. Bintang menatap semua adegan itu dengan kepala berkecamuk. Semua gerakan Charles tampak alami seolah dia sudah terbiasa melakukannya. Bahkan Charles juga bisa menebak arah lemari dan kamar mandi dengan tepat. Jika Bintang tidak melihat bagaimana mata pria itu menatap, dia pasti mengira Charles sebenarnya bisa melihat. “Lalu, kenapa tadi dia memintaku mendorongnya ke sofa?”Charles memiliki jadwal yang padat. Pagi hari, dia disibukkan dengan banyaknya jadwal pekerjaan hingga sore bahkan sampai petang. Setelah itu, dia mencurahkan seluruh energi dan waktunya untuk Bintang. Tidak ada waktu untuk bermain-main, kecuali dengan sang istri di kamar. Wajar jika dia tidak mengetahui kabar kembalinya Luna.Matanya melirik Thomas dengan tajam seolah menyalahkan Thomas karena tidak memberi tahunya tentang ini. Kepalanya sedikit miring, bersiap menyerbunya.Thomas merasa gugup mendapat tatapan tajam itu. Keningnya basah karena keringat.Habis sudah! Bonusnya bulan ini tidak akan bertambah dan mungkin justru akan dipotong.“Nona, mohon minggir. Kami akan lewat,” ucap Thomas sopan.Tangan Luna terkepal. Dia tidak menyangka bahwa Charles melupakannya. Bagaimana bisa? Bukankah pria itu yang mengusulkan pernikahan padanya? Itu menunjukkan jika sebenarnya Charles memiliki sesuatu di hatinya, bukan? Lalu apa ini?Luna mengerjapkan matanya, menatap Charles dengan polos. Waja
Charles bekerja dengan penuh semangat. Ide-ide brilian muncul seperti air terjun. Otaknya berputar dan tangannya bergerak lincah di atas papan ketik. Hingga tiba-tiba, Thomas datang.“Permisi, Tuan, lima belas menit lagi rapat dimulai.”Charles sontak menoleh ke arah jam. Tidak disangka, dua jam sudah berlalu. Pantas saja dia merasa tenggorokannya kering.“Hmm, terima kasih.” Charles menyimpan pekerjaannya, lalu membuka botol air di depannya. Setelah meminum setengahnya, dia berdiri.“Ayo pergi!”Seperti yang dikatakan Thomas, rapat kali ini membahas tentang gaji dan bonus yang akan diterima karyawan.Charles mengangguk tipis sambil mendengarkan uraian direktur keuangan. Direktur tadinya merasa gugup. Dia bahkan sudah menyiapkan argumen dan rencana cadangan jika usulannya ditolak. Sepertinya, suasana hati Charles sedang baik. Semua usulan direktur diterima dengan baik dan hanya memberi beberapa masukan kecil. Saat rapat berakhir, semua keluar dengan hati lega.Thomas bergegas mengik
Bangun di pagi hari, Bintang merasa tubuhnya ringan dan penuh semangat. Senyumnya secerah langit biru. Matanya bersinar seperti air kolam yang terkena sinar matahari. Kakinya melangkah ringan dan panjang, berjinjit dan menapak, berjalan lurus, dan menyamping.“Hati-hati!” seru Charles. Sejak tadi, hatinya begitu gelisah melihat tingkah istrinya yang seolah tidak bisa berhenti. Apakah dia tidak memiliki rasa lelah?Semalam, mereka telah melewati pertarungan yang cukup panjang dan menyenangkan. Istri kecilnya itu kini memiliki banyak imajinasi liar. Dan Charles begitu menyukainya. Dia meladeni hingga jarum menyentuh angka dua. Siapa yang menyangka jika pagi ini, baterei Bintang masih terisi penuh?Bintang tertawa melihat wajah suaminya. Dengan tawa yang menghiasi wajahnya, Bintang duduk di sebelahnya. “Aku berhati-hati.”Charles mengelus rambut Bintang, merapikannya, lalu berkata dengan lembut, “Dua minggu lagi ujian. Jangan sampai terjadi sesuatu padamu.”Wajah Bintang berubah. “Jan
“Bajumu….” Bintang mengernyit menatap kemeja Charles yang kusut dan kotor. Tidak hanya itu, beberapa kancingnya terbuka, membuat tulang selangkanya terlihat; putih, bersih, dan menggoda. Namun, bukan itu yang mengusik pikiran Bintang.Kancing yang rusak menandakan kemeja itu ditarik paksa dengan kuat. Apa mereka berdua begitu bersemangat?Dadanya sontak berdegup kencang. Bayangan Luna datang dan menggoda Charles menari-nari dalam benaknya.Tidak, sepertinya Charles bukan tipe pria yang mudah tergoda perempuan lain. Namun, bisa saja itu terjadi. Jika Luna terus menggodanya, tidak menutup kemungkinan Charles menyerah. Bintang mengenal kakaknya dengan baik. Dia yakin Lina bahkan berani telanjang di depan Charles jika itu bisa membuatnya kembali.Darah Bintang berdesir lebih cepat, lebih panas. Sorot matanya berubah; dingin dan tajam.Charles refleks berhenti. Tenggorokannya kering dan dia kesulitan menelan ludahnya. Suara cegluk terdengar jelas di kamar yang sepi. “Sayang, ini tidak se
Coffeeshop ini sebenarnya cukup nyaman. Suasananya sejuk. Suara musiknya tidak lirih, tapi tidak juga menyakiti telinga. Makanan dan minumannya juga tidak mengecewakan. Namun, segala kenyamanan itu tidak membuat Luna tenang. Dia tidak tahu berapa lama dia duduk di dalam sini. Sejuknya pendingin ruangan tidak bisa mengusir rasa kesal dan penat yang dia rasakan. Otot matanya pegal karena terus menatap pintu utama kantor Charles, tapi yang ditunggu tidak juga keluar. Hingga matahari sudah berwarna kemerahan, sosoknya tidak terlihat.Sementara itu, Charles yang ditunggu-tunggu oleh Luna sedang berada di dalam mobil menuju bandara untuk pulang. Sejak pagi, dia berada di luar kota untuk meninjau lokasi dan penandatanganan proyek baru.“Kontrak kerja yang baru sudah saya kirim ke email anda. Perhitungan kasar valuasinya sepertinya cukup baik. Media juga sudah meluncurkan beritanya. Besok, harga saham diperkirakan naik hingga 20%. Aku tidak menyangka keputusanmu untuk mengakuisisi perusahaan
Luna begitu marah hingga dia ingin muntah darah. Adiknya, kini, begitu sombong dan arogan. Apa dia tidak ingat? Kalau bukan karena dirinya, Bintang tidak akan bisa mencicipi segala kemewahan yang dia dapat.Matanya terus mengikuti langkah Bintang. Tangannya terkepal melihat pakaian dan tas yang dikenakan adiknya. Batinnya menjerit. Dia ingin memiliki itu semua.Jika mengingat Bintang pergi dengan mobil dan sopir pribadi, ingin rasanya Luna menyeretnya keluar. Itu adalah mobil yang seharusnya menjadi miliknya! Kemeja mahal yang dia pakai adalah haknya! Tas yang ada di pundak Bintang juga punya dia.Saat dia melihat sepatu Bintang, darahnya semakin mendidih. Itu adalah sepatu yang dia idam-idamkan. Dia pernah melihatnya di internet dan harganya setara dengan harga ponselnya. Sepatu itu seharusnya menjadi miliknya. Bintang tidak memiliki satupun hak atas kemewahan dan kekayaan Charles. Semua itu adalah miliknya! Bintang telah merebutnya darinya.Dada Luna naik turun. Emosinya naik berka







