Bintang mengamati kamarnya. Sebenarnya, tidak terlalu ada banyak barang di sini, hanya hal-hal standar yang biasa ada di kamar. Namun, ada sesuatu dalam penataannya yang membuatnya terasa nyaman ditinggali.
Berjalan ke arah balkon, Bintang menyibak gorden. Dari sini, dia bisa melihat halaman yang luas dengan taman, kursi, dan gazebo. Saat membuka pintu balkon, dia menyadari jika ada satu set sofa di sana; cocok untuk menikmati matahari terbit.
Pikirannya berkecamuk. Ada begitu banyak hal yang terjadi dalam satu hari. Untungnya, Tuhan masih berbelas kasih, membuatnya tidak perlu bingung memikirkan keuangan. Setidaknya, dalam satu hari ini, masih ada hal menyenangkan untuknya.
“Jangan berdiri terlalu pinggir. Hati-hati pagarnya sudah tua.”
Bintang sontak menghentikan langkahnya dan mundur dengan cepat. Tangan dan lututnya gemetar. Hampir saja. Dia memang berencana mendekati pagar dan merasakan sensasi berdiri di lantai tiga.
Bintang bergegas kembali dan menutup pintu balkon.
“Terima kasih,” ucapnya sambil memegangi dadanya yang berdebar.
Charles hanya tersenyum. Dia baru saja keluar dari kamar mandi. Pakaian formalnya sudah berganti dengan celana panjang dan kaos pendek berkerah. Wajahnya yang bersih tampak bersinar setelah mandi. Tampan, sangat tampan. Hanya saja matanya…
Bintang menghela nafas. Sayang sekali. Lalu, sedetik kemudian, Bintang menyadari sesuatu. “Bagaimana kamu tahu aku ada di balkon?”
Charles tersenyum. “Aku merasakan angin. Aku kira seseorang pasti membuka pintu balkon,” jawabnya ringan sambil melangkah keluar kamar tanpa kesulitan.
Bintang diam-diam mengagumi sosok Charles. Pria itu sungguh memiliki daya ingat yang kuat.
Dia akhirnya mengikuti jejak Charles untuk membersihkan diri dan berganti baju. Ada banyak gaun di lemari, tapi Bintang memilih celana jeans dan kaos polos. Saat keluar dari kamar mandi, dia melihat pesan masuk dari Wina di ponselnya yang memberi informasi tugas.
Bintang menyandarkan punggungnya di sofa, lalu berkata dengan suara lirih, “Kira-kira tuan muda mengijinkan tidak ya?”
“Mengijinkan apa?”
Bintang sontak duduk tegak dan menatap Charles keheranan. “Kok? Kapan dia masuk? Kenapa suara pintunya tidak terdengar?”
Suara Bintang memang lirih, tapi karena tidak ada suara lain, jadi Charles bisa mendengarnya dengan jelas.
“Itu karena kamu melamun,” jawabnya sambil tersenyum.
Charles berjalan masuk dengan perlahan. Tongkat jalannya bergerak ke kanan dan kiri. Saat akhirnya menemukan sofa, dia pun duduk.
Bintang terpaksa menggeser tubuhnya karena posisi Charles terlalu dekat dengannya.
“Apa yang kamu pikirkan? Apa masih ada yang membuatmu bingung?” tanya Charles dengan wajah mengarah ke dinding.
“Mmm, apakah aku boleh kembali ke asrama? Semua barangku ada di sana. Barusan teman kelasku memberi info tentang tugas hari ini. Karena semua perlengkapan kuliahku di sana, aku jadi tidak bisa mengerjakannya.”
Charles mengangguk. Dia mengerti perasaan Bintang. Dia pun berkata, “Jangan khawatir! Sebentar lagi semua akan datang. Thomas sedang mengurusnya.”
Bintang mengernyit. “Maksud tuan muda apa?”
Charles tersenyum. “Maksudku jelas. Kamu istriku. Maka, sudah sepantasnya kamu tinggal di sini. Seperti kataku tadi. Hubungan kita sah. Jadi, tidak perlu tinggal terpisah. Kamu bisa tetap kuliah. Akan ada sopir yang mengantar dan menunggumu setiap hari.”
“Kalau aku mengerjakan tugas dengan teman-teman sampai malam?”
“Sopir akan menunggu.”
“Kalau harus mencetak tugas?”
Charles sontak mengernyit. “Kenapa mencetak tugas harus menjadi masalah?”
“Tuan muda harus tahu kalau mahasiswa mencetak tugas atau makalah, kita harus antri dengan mahasiswa yang lain.”
Charles tertawa ringan. Suaranya dalam dan serak, sangat memanjakan telinga. “Kamu bisa mencetaknya di rumah. Intinya, apapun kebutuhanmu, aku akan memenuhinya karena kita suami istri.”
Bintang melongo. Apa tuan muda ini serius dengan ucapannya? Kami memang sudah menikah, tapi apa perlu sampai harus segitunya?
Batin Bintang masih berkecamuk saat seseorang mengetuk pintu.
“Masuk!” seru Charles.
Thomas membuka pintu. Di sebelahnya, ada sebuah koper hitam yang sudah tua dan usang. Di atasnya, sebuah tas ransel yang warna sudah memudar bertengger.
“Itu…” Telunjuk Bintang terangkat. Matanya menatap koper, Thomas, dan Charles bergantian.
“Kamu sudah membawanya, Thomas?” Charles sedikit memutar kepalanya.
“Iya, Tuan Muda. Semua di sini.”
“Bagus.” Charles tersenyum, lalu kembali menoleh ke arah Bintang. “Semua barangmu di asrama sudah di sini. Kamu bisa menyimpannya.”
Thomas meletakkan koper dan ransel itu di sebuah meja di pojok kamar.
“Mulai sekarang, kamu bisa menganggap meja itu sebagai meja belajarmu,” ucap Charles yakin.
Bintang tidak bisa berkata-kata. Dia masih syok dengan semua perlakuan Charles padanya. Dimulai dengan tinggal bersama, jangan lupakan juga bahwa mereka tidur di kamar yang sama, lalu pemutusan kerja sepihak, dan sekarang asrama juga?
Bintang memejamkan matanya, mengambil nafas panjang, lalu berkata, “Lain kali, ajaklah aku berembuk.”
Tanpa menunggu reaksi Charles, Bintang berdiri dan mulai menata meja belajarnya.
Mata Charles berkilat, tapi dia segera mengatur raut wajahnya kembali. “Kalau sudah selesai, turunlah! Aku akan memperkenalkanmu pada anggota keluargaku.”
***
Keluar dari lift, Bintang melihat wajah-wajah baru di sana, duduk dan bercengkerama, tampak harmonis. Namun, saat dia melihatnya lebih dalam, Bintang menyadari jika mereka saling bicara sendiri dan mengacuhkan Charles. Tidak ada yang mengajaknya berbicara seolah pria itu tidak ada di sana.
Kening Bintang berkerut. Bagaimana bisa ada tamu yang begitu tidak sopan? Bukankah ini rumah Charles? Kenapa mereka bisa begitu tidak tahu aturan?
Pria itu duduk sendiri di sofa. Wajah tampannya tampak kosong dengan mata yang tidak fokus. Dia juga hanya diam dan tampak tidak tertarik berbincang dengan tamu-tamunya.
Tiba-tiba, Charles menoleh, lalu tersenyum. “Kamu di sini.”
Wajah Bintang sedikit berubah. Oke, sepertinya dia harus belajar memahami jika suaminya ini seperti punya indera keenam. Dia terus saja tahu siapa di sekitarnya meski tidak bisa melihat.
Suasana mendadak hening. Semua orang menoleh ke arah Bintang.
“Ini istriku, Bintang,” kata Charles memperkenalkan Bintang pada semua orang.
Bintang terlihat bingung. Sejak tadi, dia selalu melihat Charles yang tersenyum bahkan saat berbicara dengannya, perempuan yang mendadak menjadi istrinya.
Namun, kenapa sekarang suaminya itu sama sekali tidak tersenyum dan terlihat kaku?
Akan tetapi, bukan itu yang harus dia pikirkan sekarang.
Bintang tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangannya kepada Maria. “Halo, aku Bintang.”
Satu sudut bibir Maria terangkat, mengejek Bintang. Dia hanya melirik tangan Bintang tanpa bermaksud menyambutnya.
“Aku Maria, istri paman suamimu.” Maria mengibaskan rambutnya yang sebahu. “Aku dengar kamu masih kuliah, ya?”
Senyum Bintang menghilang. Dia kembali menarik tangannya. “Iya, semester tiga.”
“Charles, aku tidak tahu kamu begitu putus asa hingga menikahi gadis bau kencur. Umurnya saja belum genap dua puluh tahun,” kata Maria mengejek.
Charles tidak menjawab. Dia hanya tersenyum. Oh tidak, dia menyeringai.
Bintang menutupi rasa terkejutnya. Dia belum pernah melihat sisi Charles yang seperti ini.
“Seharusnya kamu setuju dengan perempuan yang aku pilihkan kemarin. Tidak hanya dia cantik, dia juga pintar dan dari keluarga yang setara dengan kita,” sambung Maria. Matanya menatap Bintang dari atas ke bawah, penuh penilaian.
“Aku tidak butuh bantuanmu. Aku masih sanggup memilih.”
Mulut Maria terbuka, siap membantah Charles, tapi suaminya lebih dulu menahannya.
“Sudah, sudah. Kita di sini untuk memberi selamat kepada Charles. Bukan untuk hal lain. Sudah bagus dia akhirnya bisa menikah. Apalagi istrinya masih muda dan cantik.”
Bintang mengalihkan pandangannya ke arah seorang pria dengan separuh rambutnya yang sudah berwarna putih. Punggungnya tegap dengan beberapa kerutan di ujung mata dan dahinya.
Pandangan mereka bertemu, tapi entah kenapa Bintang merasa merinding. Pria ini … agak aneh.
“Bintang, ini pamanku, David,” ucap Charles sambil merentangkan tangannya, meminta Bintang untuk mendekat.
Tanpa banyak berpikir, Bintang meraih tangan Charles dan duduk di sampingnya. Dia menatap Charles atau menunduk, dan sesekali menatap semua kecuali wajah David. Paman suaminya itu terlalu menakutkan baginya.
Bintang bisa merasakan tatapan David yang terus terarah padanya. Tanpa sadar, dia semakin mendekat kepada Charles.
“Di mana cucu menantuku?”
Seorang pria dengan wajah keriput dan rambut tipis berjalan dengan langkah tegap. Senyumnya lebar dan sekilas, ada sedikit kemiripan dengan cara Charles tersenyum.Charles berdiri diikuti oleh Bintang. “Kakek.”“Charles, dasar cucu durhaka. Kamu menikah tanpa memberitahu kakek.”“Semuanya begitu cepat, Kek. Ini istriku, Bintang. Bintang, ini kakekku.”Dilihat dari cara Charles berinteraksi dengan kakeknya yang hangat, Bintang bisa menyimpulkan jika hubungan mereka lebih baik daripada dengan David. Bintang tidak ragu untuk mengulurkan tangan. Namun, betapa kagetnya dia saat Jonathan menyalaminya dengan lebih semangat. Sang kakek juga menepuk pundaknya.“Bagus, bagus!” Jonathan menatap Bintang puas. “Selamat datang di keluargaku.”Senyum Bintang terlihat lebih lebar.“Ayo makan! Aku tahu kakek sudah lapar.”Charles berdiri. Jonathan segera bergeser ke sampingnya. Bertiga, mereka berjalan menuju meja makan dengan Charles berada di tengah.“Bagaimana pesanan kita kemarin?” tanya Jonathan.
Bintang terkesiap. Dia menutup mulutnya agar tidak berteriak. Saat dia menatap cermin lagi, pandangan Charles tetap kosong dan menerawang.Apa tadi dia hanya berhalusinasi? Bintang melihat Charles sudah selesai menyikat giginya. Kemudian, dia melangkah keluar. Pandangannya tetap kosong. Tidak lupa, tangannya meraba-raba sekitar untuk membantunya menemukan pintu.Bintang menghela nafas. Itu tadi pasti hanya perasaannya saja. Sudah jelas jika suaminya itu buta. Tidak mungkin dia bisa melirik apalagi melihat.Tiba-tiba, Bintang ingin mengakhiri acara berendamnya. Lagi pula, airnya tidak lagi hangat. Dia pun berdiri dan mengambil jubah mandi. Belum sempurna dia memakainya, Charles kembali masuk.“Bintang, kamu di sana?” serunya. Kepalanya mendongak, menatap langit-langit agar telinganya bisa bekerja lebih baik.Bintang gegas berbalik memunggungi sang suami dan memakai jubah mandinya dengan terburu-buru. “I-iya!” jawabnya gagap.‘Aduh, bagaimana bisa dia kembali masuk? Untung saja dia but
“Bintang, kamu harus pulang sekarang dan menikah dengan tuan muda! Kakakmu,,,, dia kabur.”Bintang yang baru saja memasuki kelas hanya bisa terdiam mendengar tangisan ibunya. Perlahan, dia berbalik dan berjalan menuju lorong sepi.“Bintang, kamu dengar apa kata ibu? Pulanglah sekarang. Kalau tidak, ayahmu akan dipenjara. Hutang seratus juta sudah lama jatuh tempo. Ayahmu sudah tua. Hanya pensiunan pegawai pabrik. Bagaimana bisa melunasinya?”Bintang menutup matanya. Rahangnya mengetat.Selalu saja begini! Kakaknya, Luna, selalu membuat masalah dan dia selalu ‘diminta’ berkorban untuk membereskan semua masalahnya. Lagi dan lagi, Bintang dipaksa mengalah. Saat lulus SMA, Bintang sangat bahagia karena akhirnya dia berhasil diterima di sebuah kampus favorit yang menyediakan asrama. Tanpa banyak berpikir, Bintang pindah ke asrama, berharap bisa keluar dari bayang-bayang Luna yang menyesakkan. Baru satu tahun dia merasa bebas, dia kembali harus berkorban untuk Luna. “Ibu, coba hubungi tem
Diam-diam, Bintang menghela nafas. Kini dia mengerti kenapa kakaknya memilih untuk kabur. Kalau hanya tampan tapi tidak bisa melihat dan berjalan, apa gunanya? Pantas saja ibunya juga mengatakan kalau tuan muda ini hanya ingin seorang teman, bukan istri. Dengan suami seperti ini, mungkin dia akan tetap perawan sampai mati. Di dalam mobil, Bintang yang duduk di samping Charles meliriknya sebentar. Pria itu sibuk mendiskusikan sesuatu dengan Thomas dan Bintang tidak tertarik untuk mendengarkannya. Gadis itu mengeluarkan ponsel dan melihat beberapa pesan dari Wina yang menanyakan keberadaannya. [Sedang ada urusan keluarga. Besok aku ceritakan.] Tentu saja Bintang tidak akan menceritakan alasannya absen kuliah hari ini. Itu hanya alasan yang dia buat agar kedua temannya tidak bertanya lebih banyak. Setelah membalas pesan Wina, Bintang menyimpan ponselnya dan menatap keluar. Lama-kelamaan, keningnya berkerut menyadari jika mobil tidak mengarah ke rumah orang tuanya. Bintang sontak
Bintang terkesiap. Dia menutup mulutnya agar tidak berteriak. Saat dia menatap cermin lagi, pandangan Charles tetap kosong dan menerawang.Apa tadi dia hanya berhalusinasi? Bintang melihat Charles sudah selesai menyikat giginya. Kemudian, dia melangkah keluar. Pandangannya tetap kosong. Tidak lupa, tangannya meraba-raba sekitar untuk membantunya menemukan pintu.Bintang menghela nafas. Itu tadi pasti hanya perasaannya saja. Sudah jelas jika suaminya itu buta. Tidak mungkin dia bisa melirik apalagi melihat.Tiba-tiba, Bintang ingin mengakhiri acara berendamnya. Lagi pula, airnya tidak lagi hangat. Dia pun berdiri dan mengambil jubah mandi. Belum sempurna dia memakainya, Charles kembali masuk.“Bintang, kamu di sana?” serunya. Kepalanya mendongak, menatap langit-langit agar telinganya bisa bekerja lebih baik.Bintang gegas berbalik memunggungi sang suami dan memakai jubah mandinya dengan terburu-buru. “I-iya!” jawabnya gagap.‘Aduh, bagaimana bisa dia kembali masuk? Untung saja dia but
Seorang pria dengan wajah keriput dan rambut tipis berjalan dengan langkah tegap. Senyumnya lebar dan sekilas, ada sedikit kemiripan dengan cara Charles tersenyum.Charles berdiri diikuti oleh Bintang. “Kakek.”“Charles, dasar cucu durhaka. Kamu menikah tanpa memberitahu kakek.”“Semuanya begitu cepat, Kek. Ini istriku, Bintang. Bintang, ini kakekku.”Dilihat dari cara Charles berinteraksi dengan kakeknya yang hangat, Bintang bisa menyimpulkan jika hubungan mereka lebih baik daripada dengan David. Bintang tidak ragu untuk mengulurkan tangan. Namun, betapa kagetnya dia saat Jonathan menyalaminya dengan lebih semangat. Sang kakek juga menepuk pundaknya.“Bagus, bagus!” Jonathan menatap Bintang puas. “Selamat datang di keluargaku.”Senyum Bintang terlihat lebih lebar.“Ayo makan! Aku tahu kakek sudah lapar.”Charles berdiri. Jonathan segera bergeser ke sampingnya. Bertiga, mereka berjalan menuju meja makan dengan Charles berada di tengah.“Bagaimana pesanan kita kemarin?” tanya Jonathan.
Bintang mengamati kamarnya. Sebenarnya, tidak terlalu ada banyak barang di sini, hanya hal-hal standar yang biasa ada di kamar. Namun, ada sesuatu dalam penataannya yang membuatnya terasa nyaman ditinggali.Berjalan ke arah balkon, Bintang menyibak gorden. Dari sini, dia bisa melihat halaman yang luas dengan taman, kursi, dan gazebo. Saat membuka pintu balkon, dia menyadari jika ada satu set sofa di sana; cocok untuk menikmati matahari terbit.Pikirannya berkecamuk. Ada begitu banyak hal yang terjadi dalam satu hari. Untungnya, Tuhan masih berbelas kasih, membuatnya tidak perlu bingung memikirkan keuangan. Setidaknya, dalam satu hari ini, masih ada hal menyenangkan untuknya.“Jangan berdiri terlalu pinggir. Hati-hati pagarnya sudah tua.”Bintang sontak menghentikan langkahnya dan mundur dengan cepat. Tangan dan lututnya gemetar. Hampir saja. Dia memang berencana mendekati pagar dan merasakan sensasi berdiri di lantai tiga.Bintang bergegas kembali dan menutup pintu balkon.“Terima kas
Diam-diam, Bintang menghela nafas. Kini dia mengerti kenapa kakaknya memilih untuk kabur. Kalau hanya tampan tapi tidak bisa melihat dan berjalan, apa gunanya? Pantas saja ibunya juga mengatakan kalau tuan muda ini hanya ingin seorang teman, bukan istri. Dengan suami seperti ini, mungkin dia akan tetap perawan sampai mati. Di dalam mobil, Bintang yang duduk di samping Charles meliriknya sebentar. Pria itu sibuk mendiskusikan sesuatu dengan Thomas dan Bintang tidak tertarik untuk mendengarkannya. Gadis itu mengeluarkan ponsel dan melihat beberapa pesan dari Wina yang menanyakan keberadaannya. [Sedang ada urusan keluarga. Besok aku ceritakan.] Tentu saja Bintang tidak akan menceritakan alasannya absen kuliah hari ini. Itu hanya alasan yang dia buat agar kedua temannya tidak bertanya lebih banyak. Setelah membalas pesan Wina, Bintang menyimpan ponselnya dan menatap keluar. Lama-kelamaan, keningnya berkerut menyadari jika mobil tidak mengarah ke rumah orang tuanya. Bintang sontak
“Bintang, kamu harus pulang sekarang dan menikah dengan tuan muda! Kakakmu,,,, dia kabur.”Bintang yang baru saja memasuki kelas hanya bisa terdiam mendengar tangisan ibunya. Perlahan, dia berbalik dan berjalan menuju lorong sepi.“Bintang, kamu dengar apa kata ibu? Pulanglah sekarang. Kalau tidak, ayahmu akan dipenjara. Hutang seratus juta sudah lama jatuh tempo. Ayahmu sudah tua. Hanya pensiunan pegawai pabrik. Bagaimana bisa melunasinya?”Bintang menutup matanya. Rahangnya mengetat.Selalu saja begini! Kakaknya, Luna, selalu membuat masalah dan dia selalu ‘diminta’ berkorban untuk membereskan semua masalahnya. Lagi dan lagi, Bintang dipaksa mengalah. Saat lulus SMA, Bintang sangat bahagia karena akhirnya dia berhasil diterima di sebuah kampus favorit yang menyediakan asrama. Tanpa banyak berpikir, Bintang pindah ke asrama, berharap bisa keluar dari bayang-bayang Luna yang menyesakkan. Baru satu tahun dia merasa bebas, dia kembali harus berkorban untuk Luna. “Ibu, coba hubungi tem