Share

Tiga

Author: pipitxomi
last update Huling Na-update: 2025-04-29 11:58:18

Bintang mengamati kamarnya. Sebenarnya, tidak terlalu ada banyak barang di sini, hanya hal-hal standar yang biasa ada di kamar. Namun, ada sesuatu dalam penataannya yang membuatnya terasa nyaman ditinggali.

Berjalan ke arah balkon, Bintang menyibak gorden. Dari sini, dia bisa melihat halaman yang luas dengan taman, kursi, dan gazebo. Saat membuka pintu balkon, dia menyadari jika ada satu set sofa di sana; cocok untuk menikmati matahari terbit.

Pikirannya berkecamuk. Ada begitu banyak hal yang terjadi dalam satu hari. Untungnya, Tuhan masih berbelas kasih, membuatnya tidak perlu bingung memikirkan keuangan. Setidaknya, dalam satu hari ini, masih ada hal menyenangkan untuknya.

“Jangan berdiri terlalu pinggir. Hati-hati pagarnya sudah tua.”

Bintang sontak menghentikan langkahnya dan mundur dengan cepat. Tangan dan lututnya gemetar. Hampir saja. Dia memang berencana mendekati pagar dan merasakan sensasi berdiri di lantai tiga.

Bintang bergegas kembali dan menutup pintu balkon.

“Terima kasih,” ucapnya sambil memegangi dadanya yang berdebar.

Charles hanya tersenyum. Dia baru saja keluar dari kamar mandi. Pakaian formalnya sudah berganti dengan celana panjang dan kaos pendek berkerah. Wajahnya yang bersih tampak bersinar setelah mandi. Tampan, sangat tampan. Hanya saja matanya…

Bintang menghela nafas. Sayang sekali. Lalu, sedetik kemudian, Bintang menyadari sesuatu. “Bagaimana kamu tahu aku ada di balkon?”

Charles tersenyum. “Aku merasakan angin. Aku kira seseorang pasti membuka pintu balkon,” jawabnya ringan sambil melangkah keluar kamar tanpa kesulitan.

Bintang diam-diam mengagumi sosok Charles. Pria itu sungguh memiliki daya ingat yang kuat.

Dia akhirnya mengikuti jejak Charles untuk membersihkan diri dan berganti baju. Ada banyak gaun di lemari, tapi Bintang memilih celana jeans dan kaos polos. Saat keluar dari kamar mandi, dia melihat pesan masuk dari Wina di ponselnya yang memberi informasi tugas.

Bintang menyandarkan punggungnya di sofa, lalu berkata dengan suara lirih, “Kira-kira tuan muda mengijinkan tidak ya?”

“Mengijinkan apa?”

Bintang sontak duduk tegak dan menatap Charles keheranan. “Kok? Kapan dia masuk? Kenapa suara pintunya tidak terdengar?”

Suara Bintang memang lirih, tapi karena tidak ada suara lain, jadi Charles bisa mendengarnya dengan jelas.

“Itu karena kamu melamun,” jawabnya sambil tersenyum.

Charles berjalan masuk dengan perlahan. Tongkat jalannya bergerak ke kanan dan kiri. Saat akhirnya menemukan sofa, dia pun duduk.

Bintang terpaksa menggeser tubuhnya karena posisi Charles terlalu dekat dengannya.

“Apa yang kamu pikirkan? Apa masih ada yang membuatmu bingung?” tanya Charles dengan wajah mengarah ke dinding.

“Mmm, apakah aku boleh kembali ke asrama? Semua barangku ada di sana. Barusan teman kelasku memberi info tentang tugas hari ini. Karena semua perlengkapan kuliahku di sana, aku jadi tidak bisa mengerjakannya.”

Charles mengangguk. Dia mengerti perasaan Bintang. Dia pun berkata, “Jangan khawatir! Sebentar lagi semua akan datang. Thomas sedang mengurusnya.”

Bintang mengernyit. “Maksud tuan muda apa?”

Charles tersenyum. “Maksudku jelas. Kamu istriku. Maka, sudah sepantasnya kamu tinggal di sini. Seperti kataku tadi. Hubungan kita sah. Jadi, tidak perlu tinggal terpisah. Kamu bisa tetap kuliah. Akan ada sopir yang mengantar dan menunggumu setiap hari.”

“Kalau aku mengerjakan tugas dengan teman-teman sampai malam?”

“Sopir akan menunggu.”

“Kalau harus mencetak tugas?”

Charles sontak mengernyit. “Kenapa mencetak tugas harus menjadi masalah?”

“Tuan muda harus tahu kalau mahasiswa mencetak tugas atau makalah, kita harus antri dengan mahasiswa yang lain.”

Charles tertawa ringan. Suaranya dalam dan serak, sangat memanjakan telinga. “Kamu bisa mencetaknya di rumah. Intinya, apapun kebutuhanmu, aku akan memenuhinya karena kita suami istri.”

Bintang melongo. Apa tuan muda ini serius dengan ucapannya? Kami memang sudah menikah, tapi apa perlu sampai harus segitunya?

Batin Bintang masih berkecamuk saat seseorang mengetuk pintu.

“Masuk!” seru Charles.

Thomas membuka pintu. Di sebelahnya, ada sebuah koper hitam yang sudah tua dan usang. Di atasnya, sebuah tas ransel yang warna sudah memudar bertengger.

“Itu…” Telunjuk Bintang terangkat. Matanya menatap koper, Thomas, dan Charles bergantian.

“Kamu sudah membawanya, Thomas?” Charles sedikit memutar kepalanya.

“Iya, Tuan Muda. Semua di sini.”

“Bagus.” Charles tersenyum, lalu kembali menoleh ke arah Bintang. “Semua barangmu di asrama sudah di sini. Kamu bisa menyimpannya.”

Thomas meletakkan koper dan ransel itu di sebuah meja di pojok kamar.

“Mulai sekarang, kamu bisa menganggap meja itu sebagai meja belajarmu,” ucap Charles yakin.

Bintang tidak bisa berkata-kata. Dia masih syok dengan semua perlakuan Charles padanya. Dimulai dengan tinggal bersama, jangan lupakan juga bahwa mereka tidur di kamar yang sama, lalu pemutusan kerja sepihak, dan sekarang asrama juga?

Bintang memejamkan matanya, mengambil nafas panjang, lalu berkata, “Lain kali, ajaklah aku berembuk.”

Tanpa menunggu reaksi Charles, Bintang berdiri dan mulai menata meja belajarnya.

Mata Charles berkilat, tapi dia segera mengatur raut wajahnya kembali. “Kalau sudah selesai, turunlah! Aku akan memperkenalkanmu pada anggota keluargaku.”

***

Keluar dari lift, Bintang melihat wajah-wajah baru di sana, duduk dan bercengkerama, tampak harmonis. Namun, saat dia melihatnya lebih dalam, Bintang menyadari jika mereka saling bicara sendiri dan mengacuhkan Charles. Tidak ada yang mengajaknya berbicara seolah pria itu tidak ada di sana.

Kening Bintang berkerut. Bagaimana bisa ada tamu yang begitu tidak sopan? Bukankah ini rumah Charles? Kenapa mereka bisa begitu tidak tahu aturan?

Pria itu duduk sendiri di sofa. Wajah tampannya tampak kosong dengan mata yang tidak fokus. Dia juga hanya diam dan tampak tidak tertarik berbincang dengan tamu-tamunya.

Tiba-tiba, Charles menoleh, lalu tersenyum. “Kamu di sini.”

Wajah Bintang sedikit berubah. Oke, sepertinya dia harus belajar memahami jika suaminya ini seperti punya indera keenam. Dia terus saja tahu siapa di sekitarnya meski tidak bisa melihat.

Suasana mendadak hening. Semua orang menoleh ke arah Bintang.

“Ini istriku, Bintang,” kata Charles memperkenalkan Bintang pada semua orang.

Bintang terlihat bingung. Sejak tadi, dia selalu melihat Charles yang tersenyum bahkan saat berbicara dengannya, perempuan yang mendadak menjadi istrinya.

Namun, kenapa sekarang suaminya itu sama sekali tidak tersenyum dan terlihat kaku?

Akan tetapi, bukan itu yang harus dia pikirkan sekarang.

Bintang tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangannya kepada Maria. “Halo, aku Bintang.”

Satu sudut bibir Maria terangkat, mengejek Bintang. Dia hanya melirik tangan Bintang tanpa bermaksud menyambutnya.

“Aku Maria, istri paman suamimu.” Maria mengibaskan rambutnya yang sebahu. “Aku dengar kamu masih kuliah, ya?”

Senyum Bintang menghilang. Dia kembali menarik tangannya. “Iya, semester tiga.”

“Charles, aku tidak tahu kamu begitu putus asa hingga menikahi gadis bau kencur. Umurnya saja belum genap dua puluh tahun,” kata Maria mengejek.

Charles tidak menjawab. Dia hanya tersenyum. Oh tidak, dia menyeringai.

Bintang menutupi rasa terkejutnya. Dia belum pernah melihat sisi Charles yang seperti ini.

“Seharusnya kamu setuju dengan perempuan yang aku pilihkan kemarin. Tidak hanya dia cantik, dia juga pintar dan dari keluarga yang setara dengan kita,” sambung Maria. Matanya menatap Bintang dari atas ke bawah, penuh penilaian.

“Aku tidak butuh bantuanmu. Aku masih sanggup memilih.”

Mulut Maria terbuka, siap membantah Charles, tapi suaminya lebih dulu menahannya.

“Sudah, sudah. Kita di sini untuk memberi selamat kepada Charles. Bukan untuk hal lain. Sudah bagus dia akhirnya bisa menikah. Apalagi istrinya masih muda dan cantik.”

Bintang mengalihkan pandangannya ke arah seorang pria dengan separuh rambutnya yang sudah berwarna putih. Punggungnya tegap dengan beberapa kerutan di ujung mata dan dahinya.

Pandangan mereka bertemu, tapi entah kenapa Bintang merasa merinding. Pria ini … agak aneh.

“Bintang, ini pamanku, David,” ucap Charles sambil merentangkan tangannya, meminta Bintang untuk mendekat.

Tanpa banyak berpikir, Bintang meraih tangan Charles dan duduk di sampingnya. Dia menatap Charles atau menunduk, dan sesekali menatap semua kecuali wajah David. Paman suaminya itu terlalu menakutkan baginya.

Bintang bisa merasakan tatapan David yang terus terarah padanya. Tanpa sadar, dia semakin mendekat kepada Charles.

“Di mana cucu menantuku?”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Dear Suami Butaku   59

    Luna begitu marah hingga dia ingin muntah darah. Adiknya, kini, begitu sombong dan arogan. Apa dia tidak ingat? Kalau bukan karena dirinya, Bintang tidak akan bisa mencicipi segala kemewahan yang dia dapat.Matanya terus mengikuti langkah Bintang. Tangannya terkepal melihat pakaian dan tas yang dikenakan adiknya. Batinnya menjerit. Dia ingin memiliki itu semua.Jika mengingat Bintang pergi dengan mobil dan sopir pribadi, ingin rasanya Luna menyeretnya keluar. Itu adalah mobil yang seharusnya menjadi miliknya! Kemeja mahal yang dia pakai adalah haknya! Tas yang ada di pundak Bintang juga punya dia.Saat dia melihat sepatu Bintang, darahnya semakin mendidih. Itu adalah sepatu yang dia idam-idamkan. Dia pernah melihatnya di internet dan harganya setara dengan harga ponselnya. Sepatu itu seharusnya menjadi miliknya. Bintang tidak memiliki satupun hak atas kemewahan dan kekayaan Charles. Semua itu adalah miliknya! Bintang telah merebutnya darinya.Dada Luna naik turun. Emosinya naik berka

  • Dear Suami Butaku   58

    Banyaknya pedagang bercampur dengan para pecinta kuliner malam, membuat suasana begitu ramai dan ceria. Lampu warna-warni dipasang di kanan dan kiri untuk memeriahkan suasana.Bintang tidak bisa menahan senyumannya. Dia berjalan dengan antusias, menuju satu pedagang ke pedagang lainnya. Di belakangnya, Charles mengikuti dengan sabar, kakinya melangkah ke manapun Bintang pergi. Dalam sekejap, kedua tangan Bintang sudah dipenuhi dengan aneka makanan. Dia berbalik, mengangkat kedua tangannya sambil tersenyum lebar bahagia.“Ayo kita makan!” serunya bahagia.“Kalau kamu makan sebanyak ini, perutmu tidak akan muat makan malam lagi,” ucap Charles sambil merapikan rambut Bintang yang berantakan karena angin.“Tidak perlu makan lagi. Aku membeli dua bungkus burger, kentang goreng, mochi, telur gulung, dan es kepal.”Charles sedikit mengernyit mendengar nama-nama makanan yang asing itu. Namun, dia tidak ingin membuat kebahagiaan Bintang hilang. Jadi, dia menurut saat istrinya itu menyeretnya d

  • Dear Suami Butaku   57

    Bintang memasuki rumah dengan wajah terlampau datar. Matanya yang biasa bersinar, kini tampak meredup. Langkahnya panjang dan tergesa-gesa. Tanpa melihat ke kanan dan kiri, dia memasuki lift dan pergi ke kamar.Charles sedang berbincang dengan Thomas di pantry lantai tiga. Kalimatnya berhenti saat melihat sang istri datang dengan wajah jauh dari senyuman.“Selidiki apa yang terjadi padanya,” ucapnya pada Thomas.“Baik, Tuan,” jawabnya. Thomas lalu mengambil ponsel dan mengetik beberapa kata.Charles menarik kembali pandangannya, menunjuk pada satu berkas, lalu berkata, “Pantau terus perusahaan ekspedisi ini. Jika waktunya tepat, segera ajukan akuisisi. Jangan sampai direbut perusahaan lain.”Thomas memberi tanda pada berkas tersebut.Setelah yakin Thomas mengerti seluruh instruksinya, Charles menyalakan pemanas air, lalu membuka kabinet.“Mau masak sesuatu?” tanya Thomas. Berkas-berkasnya sudah disimpan. Pria itu sedang duduk dengan tenang sambil membuka ponselnya.“Hanya ingin membua

  • Dear Suami Butaku   56

    “Dengar-dengar, pertunangan Kevin dan Stela batal,” ucap Wina pada Bintang saat mereka baru duduk di dalam kelas.Bintang mengernyit. Dia membuka tasnya, mengambil buku dan pena, lalu bertanya, “Kamu yakin? Dengar dari mana?”Wina mengangguk dengan cepat. “Aku sempat mendengar beberapa anak yang dekat dengan Stela membicarakannya.”Bintang membuka bukunya, tapi pikirannya tidak tertuju ke sana. Samar-samar, dia tahu jika hancurnya keluarga Kevin ada hubungannya dengan suaminya. Thomas pernah menyebutnya beberapa kali. Sayangnya, dia tidak tahu secara detail. Bahkan, perusahaan keluarga Adiwijaya di sini sudah diambil alih oleh suaminya. Dia baru mengetahuinya kemarin.“Mungkin karena keluarga Kevin sudah tidak lagi berjaya. Jadi, Stela melepasnya,” ucap Wina dengan mata menerawang.Kepala Bintang menunduk. “Jangan berpikiran buruk. Mereka hanya tidak berjodoh.”Wina mengenal nafas. “Ya, kamu benar.”Percakapan mereka terhenti.Wina membuka ponsel sambil menunggu dosen yang datang. Sed

  • Dear Suami Butaku   55

    Ada sebuah rumah kecil di pinggiran kota lain. Lingkungannya cukup ramai. Anak-anak kecil berlarian, bermain layangan, para tetangga keluar untuk bergosip, ada ibu-ibu yang meneriaki anaknya, juga bapak-bapak yang bermain catur dan merokok sambil menggoda para gadis dan janda muda.Hanya ada satu rumah yang pintunya jarang dibuka dan penghuninya jarang keluar. Suasana rumahnya agak suram. Rumput dibiarkan tinggi. Cat rumah dan pagarnya juga kusam. Televisi di depannya dibiarkan menyala, tanpa ada yang menonton. Bungkus sisa makanan berserakan di atas meja. Sepatu dan sandal tidak pada tempatnya.Di atas sofa, seorang wanita duduk dengan malas. Wajahnya ditutup masker. Hanya menyisakan matanya yang indah, fokus membaca berita di sosial media sambil sesekali bergumam kesal karena keramaian di depan.Sedang asyik menggulir layar, tiba-tiba matanya menangkap sosok yang sangat dikenalnya. Sontak, dia duduk dan menegakkan punggungnya, melepas maskernya, lalu berseru, “Itu Bintang? Tidak mun

  • Dear Suami Butaku   54

    Berita tentang Charles yang telah sembuh menyebar seperti serbuk sari yang tertiup angin. Dalam sehari, entah berapa kali Thomas mengangkat panggilan dan menjawab pertanyaan dari para kolega dan pelaku bisnis lainnya. Belum lagi menyelesaikan pekerjaan dari Charles yang tidak pernah sepi. Ini membuatnya semakin sibuk. “Tuan, apa Anda akan berangkat sekarang?” tanya Thomas saat Charles mempersilakan dirinya masuk.Charles melirik jam. “Pertemuannya sekarang?”“Iya, Tuan. Para direktur dan komisaris sudah siap. Hanya menunggu Anda.”Charles menghela nafas. Dia menyimpan pekerjaannya, merapikan berkas, lalu bertanya, “Apa yang mau dibahas?”“Tentang persiapan ulang tahun perusahaan satu minggu lagi. Seperti biasa, mereka akan mengundang seorang artis dan menyewa ballroom. Sedangkan untuk pegawai umum, manajer sudah menyiapkan lomba dan hadiah untuk mereka.”“Ayo berangkat!” Charles berdiri, merapikan pakaiannya, dan pergi diikuti Thomas di belakangnya.Thomas berjalan dengan patuh, bera

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status