Share

Dating

Rosa berjalan dengan ringan menuju ruang kelasnya. Ia merasa amat bahagia. Setidaknya, ada hal menyenangkan yang akan ia lakukan siang nanti.

Di depan fakultas pertanian, Esa Sandjaya sudah berdiri sendirian bersandar pada tembok menunggu Rosa. Ia langsung berdiri tegak dan merapikan kaus yang dikenakannya.

"Hai, gimana nyenyak tidurnya?" tanya Esa, ia membatin, "Aaah, pertanyaan macam apa itu?"

"Nyenyak, kok, Bang. Kenapa?" sahut Rosa, kebingungan.

"He-he-he. Pantes segeran," jawab Esa, asal.

Rosa tersenyum malu-malu. Antara mau, tetapi was-was saat ia menerima ajakan Esa. Entah apa yang akan diutarakan pria dari Jakarta itu, ia akan menunggu dengan debaran jantung yang tak biasa. 

"Jadi, kan, makan siang bareng?" tanya Esa, penuh harap.

"Iya, biar aku kuliah dululah, Bang. Kau tunggu aku di sini nanti siang, ya!"

Esa mengangguk dengan mata berbinar. Bagai anak kecil yang diiming-imingi permen. Harapannya melambung tinggi, ia tak boleh melewatkan kesempatan emas itu.

***

Siang hari, Rosa keluar dari kelasnya. Ia melihat Esa telah menunggunya di koridor. "Lama nunggunya, Bang?"

"Eh, enggak baru datang tadi. Ayo, mau makan di mana?" tanya Esa, salah tingkah. Sedikit berbohong agar ia tidak kelihatan berharap sekali. Padahal sudah nyaris satu jam ia menunggu.

Rosa tersenyum dan berjalan beriringan bersama menuju jalan raya. Esa mengajaknya makan siang di McD, makanan favorit Rosa selama di Bandung. Bukannya di Berastagi tidak ada, tetapi mamaknya tak mengizinkan ia untuk memakan makanan tersebut.

"Gimana dengan kuliahnya tadi?" tanya Esa, berbasa-basi. Ia bingung untuk memulai pembicaraan, seringnya mereka membicarakan tentang fotografi.

"Tadi? Membosankan, Bang. Tak tau aku, kalau ada pelajaran si Bapak itu, ngantuk kali, nyah," keluh Rosa sembari mengambil satu kentang goreng miliknya.

"Iya, dosen filsafat semua seperti itu. Lagian jurusan pertanian buat apa ada pelajaran filsafat, ya?" tanya Esa, terheran-heran.

Rosa mengangkat kedua bahunya. Ia hanya mengikuti mata kuliah yang memang wajib diambil. Tak terlalu peduli apakah ia memiliki nilai yang baik atau tidak. Mata kuliah itu membuatnya frustrasi.

"Jurusan Abang juga ada mata kuliah itu?" tanya Rosa, agak kepo. 

"Ada, tapi nilainya jelek. He-he-he."

Rosa tertawa mendengar jawaban jujur dari Esa. Pemuda berambut gondrong itu tak banyak berubah. Ia selalu membuatnya tertawa. Selalu memancarkan kebahagiaan dan rasa nyaman ketika di dekatnya.

"Abang gak aktif lagi di ukema?" tanya Rosa sembari menghabiskan sisa kentang gorengnya.

"Sesekali mungkin datang buat support kalian, tapi aku harus cari kerja, kan?" sahut Esa dengan wajah jahilnya.

Rosa mengerutkan kening dan bertanya, "Loh, kenapa?"

"Bapakku bilang, 'Kau lulus kuliah tak ada lagi uang saku, ya! Kerja sana!' Begitu, jadi terpaksa banget," ujar Esa, menirukan suara bapaknya sangat mirip.

Risa tergelak melihat ujaran Esa yang menurutnya sangat lucu. Belum ekspresi wajah yang ditampilkan. Esa berlagak menjadi bapaknya yang berbadan gemuk. Dengan sengaja, ia memajukan perut sehingga tampak buncit layaknya bapak-bapak.

"Mirip, Bang!" seru Rosa, tergelak hingga merasakan mulas karena banyak tertawa.

"Nah, gitu, dong. Jangan jutek-jutek nanti gak ada yang naksir! Eh, tapi ... Jangan manis-manis banget, kalau banyak yang naksir ntaran Abang cemburu!" 

Mendengar ucapan Esa, wajah Rosa memerah karena malu. Hilang sudah image gadis mandiri yang dirumorkan tukang gonta-ganti pacar. Kini, ia terlihat seperti orang yang sedang jatuh cinta.

"Malu aku, Bang. Tak ada nyah yang naksir sama aku," ucap Rosa, mengulum bibirnya menahan senyum.

"Abang yang naksir," akunya, keceplosan. Mendadak ia terpegun dan menjadi salah tingkah.

Rosa menunduk dan tersenyum. Hatinya berbunga-bunga bagai seorang yang sedang di mabuk cinta. Ia akan dengan senang hati bila Esa memintanya menjadi kekasih.

Mereka menghabiskan makanannya dan keluar dari McD. Tak ada ungkapan perasaan atau permintaan untuk menjadi pacar dari bibir Esa, membuat Rosa sedikit kecewa. Namun, ini baru pertama kalinya mereka jalan bareng. Tentu Esa masih ingin lebih mengenalnya.

Rosa berusaha menentramkan hatinya. Ia akan menikmati masa-masa pendekatan. Berusaha mengenal Esa lebih baik lagi agar mereka dapat saling melengkapi kekurangan masing-masing. Bukankah hal itu yang harus diketahui oleh pasangan?

"Kapan, kapan aku ajak keluar lagi, mau?" tanya Esa, berhenti melangkah saat tiba di depan pagar indekos mereka.

Rosa tersenyum dan mengangguk, "Kapan Abang ada waktu?"

"Entahlah, aku masih ada pekerjaan dan menunggu sidang. Kalau kamu?" tanya Esa, balik bertanya.

Rosa tersenyum. Ia memutar bola matanya, mencoba mengingat-ingat jadwal kuliah dan ukema. Hari Sabtu adalah hari yang agak kosong, tetapi Rosa mengurungkan niatnya. Akan terlihat begitu memalukan bila ia mengajukan terlebih dahulu.

Sembari menunduk, Rosa berkata, "Tungga saja nyah, pas Abang tidak sibuk."

"Okey, nanti aku wapri ke kamu, ya," timpal Esa yang disambut anggukan.

Mereka berpisah di depan pagar. Rosa menuju rumah indekos, tak sengaja ia melihat sosok lelaki bertubuh tinggi memandanginya tajam. Ia memicing agar dapat melihat dengan jelas sosok lelaki yang berdiri pada teras di indekos putra. 

Rosa tak pernah bisa mengingat wajah orang lain dalam satu kali pertemuan. Ia sangat yakin pernah bertemu dengan lelaki tadi, tapi di mana sudah lupa. Tak dihiraukannya lagi sosok yang terus memperhatikan itu, ia langsung masuk ke dalam rumah.

Seharian beraktivitas membuat tubuhnya begitu lelah. Rosa berbaring di ranjang besarnya dan langsung terlelap tanpa berganti pakaian. Pukul 17.30 WIB terbangun, ia segera ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Wajah yang kucel itu terlihat semakin kusam akibat bekas air liur di pipinya.

"Ya ampun, muka aku berantakan kali!" seru Rosa, terkejut melihat penampakannya di cermin.

Rosa bergegas menyelesaikan acara mandinya. Kemudian, ia menelepon Meity untuk menemaninya mencari makan pada malam hari. Meity baru saja tiba di kamar saat Rosa menghubunginya.

"Uh, telat. Aku udah beli makan, terus langsung pulang ke kosan," ucap Meity sembari menjilati tangannya yang berlumuran cokelat dari martabak manis yang dibelinya.

Rosa mendengkus kasar. Ia tak tahu siapa lagi yang akan diajak untuk menemaninya mencari makanan. Dengan lesu, ia keluar dari indekos dan berjalan menuju jalan raya. Lelaki tinggi yang berdiri di teras tadi ada di hadapannya sekarang.

"Mau nyari makan bareng?" 

Rosa tercengang. Lelaki itu adalah anak baru yang memandanginya kemarin di ukema. Ia tak menyangka akan bertemu lagi dengannya di depan indekos pula.

"Kenalin, aku Johansen Aritonang. Kamu?" 

"Aritonang? Hey, pariban kita!" seru Rosa, senang. Ia meninju lengan atas Jo. Tidak bertenaga, tetapi mampu menggoyahkan tubuh Jo yang sedang tidak siap. Tubuhnya sedikit terdorong akibat tinju tadi.

"Sial! Pariban?" rutuk Jo, dalam hati.

Rosa memperkenalkan namanya kepada Jo. "Aku, Rosanna boru Jung."

Jo terkekeh-kekeh. Ia menyambut uluran tangan Rosa, kemudian berbisik, "Kita pariban dari mana?"

"Mamakku boru Aritonang!" seru Rosa, bersemangat.

Jo tertawa semakin lebar, tetapi dalam hati meringis. "Sial!"

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status