Rosa dan Jo berjalan menyusuri trotoar jalan raya. Mereka akan makan di tenda pinggir jalan. Pilihan jatuh pada warung lamongan dengan menu Pecel Lele. Setelah memesan, mereka makan sambil mengobrol banyak hal.
Jo melontarkan guyonan yang membuat Rosa tergelak. Ia berhasil membuat Rosa merasa nyaman saat bersama. Gadis bermata lebar itu tak menyangka dapat mengobrol akrab dengan seorang lelaki selain Anjun.
Sebentar bersama Jo, Rosa telah memberikan nomor ponsel dan WA-nya. Berbeda ketika mengenal Esa untuk pertama kalinya, ia begitu acuh. Ia merasa bertemu Jo seperti bertemu teman atau saudara yang telah lama tidak berjumpa. Mereka menjadi akrab satu sama lain.
Di dalam indekos, Rosa menelepon mamaknya di Berastagi. Mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Ia menanyakan kabar Anjun yang tidak meneleponnya seharian itu.
"Abang ke mana, Mak? Tak ditelpon nyah aku seharian," ucap Rosa, keheranan.
"Abang kau itu sedang ke Medan. Ada kasus besar di sana menyangkut pejabat tinggi kurasa," sahut mamaknya Rosa bernama Rosida.
"Ooo ya, sudah. Eh, iya, Mak, aku ketemu sama pariban ...." Rosa berhenti sejenak untuk menarik napas panjang. "Dia sama marganya seperti Mamak."
"Bagus kalau begitu, ada yang jaga kau di sana. Abang kau khawatir tiap hari memikirkan kau tuh," sahut Ida, mendengar nada suara Rosa yang begitu bersemangat. Ada sedikit harapannya agar Anjun segera menikah dan berhenti mengkhawatirkan Rosa.
Rosa tersenyum cerah mendengar mamaknya tidak melarang. Namun, ia teringat akan sikap Anjun bila mengetahuinya. "Mak, janganlah kasih tau Abang, yak."
Ida mengiyakan permohonan Rosa. Ia mengetahui karakter anak itu. Begitu menyayangi adiknya melebihi apa pun yang ada di dunia. Bahkan, ia rela tidak menikah demi menjaga adiknya. Satu yang tidak diketahui oleh Ida adalah rasa sayang Anjun kepada Rosa telah melewati batas sebagai saudara.
Rosa terlelap setelah menelepon mamaknya. Malam itu, ia merasakan kebahagiaan karena bertemu dengan lelaki yang bisa membuatnya nyaman dan tertawa. Sempat melupakan tentang rasa kepada Esa. Akan tetapi, Rosa menyadari satu hal rasa itu masih sama.
Jo membuat Rosa nyaman dan selalu tertawa. Sementara Esa, membuat ia berdebar setiap kali di dekatnya. Keduanya memiliki sifat yang saling bertolak belakang.
***
"Kenapa? Kelihatan lagi bahagia, nih?" Meity memandangi Rosa yang wajahnya semakin cerah pagi itu saat mereka menunggu dosen di kelas.
"Hmmm ... cerita gak, yak ...." Rosa tersenyum dengan mata lebar yang dikerjap-kerjapkan.
Meity mendengkus kesal. Semakin hari, sahabatnya itu semakin glowing. Harus diakui Rosa memiliki satu set skincare dengan merk bukan abal-abal. Perawatan wajah dan tubuh selalu rajin dilakukannya setiap bulan. Kadang Rosa mentraktir Meity, tetapi baru beberapa kali ikut, ia memutuskan menolaknya. Bukan karena tidak suka, ia takut terlalu nyaman hingga ketagihan. Sementara jatah bulanannya tidak melimpah seperti Rosa.
Walaupun penampilan Rosa bisa dibilang cukup sederhana, tetapi jangan dikira apa yang dipakainya setiap hari ke kampus berharga murah. Semuanya barang branded asli. Anjun rutin membelikan barang-barang tersebut setiap bulan. Padahal telah ditolak berulang kali oleh Rosa, Anjun tetap membelikannya.
"Abang lo kasih kartu platinum lagi?" tanya Meity dengan wajah iri.
"Apalah bukan! Kemarin sudah kukembalikan kartu itu, tak terpakai pun," sahut Rosa, cemberut melihat sahabatnya memajukan bibir karena kesal kepadanya.
Meity menarik bibirnya melengkung ke atas. Tercipta senyuman manis ciri khasnya. Meity tidak jelek. Kulitnya yang hitam manis terawat baik, terdapat ceruk di kedua pipinya menambah manis senyum itu.
"Iya, terus kenapa senyum-senyum dari tadi?" Meity semakin kepo.
"Kau pun sembuh!" seru Rosa, tidak menerima tuduhan Meity. Namun, Rosa akhirnya menceritakan pertemuan dengan Jo, sebagai paribannya.
Rosa bercerita bahwa mereka sangat cocok satu sama lain layaknya saudara. Ia merasa nyaman dan selalu tertawa bila bersamanya.
"Dia punya segudang lelucon yang bikin aku ngakak," ucap Rosa, matanya menerawang mengingat kembali kebersamaan mereka.
"Kamu jatuh cinta sama dia?"
Rosa tersentak mendengar pertanyaan Meity. Ia menyukai Esa, tetapi bingung dengan sikap Esa yang menggantungkan harapannya. Tidak memberikan kepastian tentang hubungan mereka.
Rosa menghela napas panjang. Wajahnya berubah mendung membuat Meity semakin penasaran dengan sikap Rosa.
"Kenapa?"
"Aku tak tahulah, tak adanya dia bilang-bilang jadi pacar nyah, tuh," keluh Rosa, wajah glowingnya berubah lesu.
"Siapa? Jo? Kan, baru sehari, Sayang ...."
"Hiiih! Bukanlah!"
"Jadi, siapa?"
"Bang Esa." Rosa menunduk malu.
Meity menutup mulut dengan kedua tangannya. Menatap Rosa tak percaya. Ia sama sekali tidak mengira bahwa Rosa yang acuh tak acuh itu bisa jatuh cinta kepada Esa, senior di Ukema Fotografi.
"Serius kamu?" Meity mengembangkan senyuman lebar. Rosa mengangguk semakin malu dengan wajah yang memerah.
Meity turut bahagia dengan perubahan Rosa. Dulu, ia mengira Rosa tidak suka lelaki lain. Hanya mencintai Anjun saja, dugaannya terhadap Rosa yang brother complex ternyata salah, sahabatnya itu benar-benar normal.
"Akhirnya!" seru Meity, memeluk tubuh sintal Rosa.
"Jangan kau sebar-sebar pula! Awas, kau, ya!" ancam Rosa dengan mata semakin lebar.
Meity menggerakkan tangan di depan bibir seperti sedang mengunci mulutnya. Ia tidak akan mengatakan kepada siapa-siapa rahasia ini. Hanya mereka yang tahu tentang perasaan Rosa.
Rosa segera membetulkan posisi duduk karena dosen telah datang memulai perkuliahan.
***
"Hey, Bro!"
"Hey, mana yang lain?"
Dua orang pemain basket bertemu di lapangan basket kampus pagi itu. Salah satunya Jo, ia sedang berlatih melempar bola ke arah jaring untuk memperoleh three point. Seorang lagi yaitu Felix seorang center di tim mereka.
"Ga tau. Eh, iya, gue liat lo jalan ama Rosa, Bro?" tanya Felix sembari menepuk punggung Jo.
"Iya, biasa aja kali. Gue udah bilang, dia pasti luluh ama gue," ujar Jo, pongah. Tangannya sibuk melempar bola di posisi three point.
Bola melambung membentuk parabola dan tepat mengenai papan jaring. Sepersekian detik bola itu masuk ke keranjang dan jatuh. Jo kembali menangkap bola, kemudian mendriblenya kembali ke tengah lapangan.
Felix mendelik kesal karena kesombongan Jo. Ia hanya memperhatikan tanpa berniat mengganggu. Ia hanya ingin memastikan bahwa apa yang dilihatnya kemarin malam adalah benar. Jo mengakuinya, itu berarti Felix harus melakukan sesuatu agar tidak akan ada yang dapat memiliki Rosa sebagai kekasih siapa pun di Unpad.
Felix pergi meninggalkan lapangan tanpa diketahui oleh Jo yang asik bermain bola basket. Ia menemui teman-teman yang lain untuk membicarakan tentang upaya Jo mendekati Rosa, sang bintang kampus. Mereka mencari cara untuk membuat Jo meninggalkan Rosa atau menjadi takut untuk mendekatinya. Sebab Rosa adalah milik semua orang.
Felix merencanakan sesuatu untuk Jo. Ia akan membawa pemuda bertubuh tinggi itu untuk melihat sendiri kelakuan Rosa yang suka mempermainkan hati. Senang berganti-ganti pacar, lalu membuang mereka tanpa kejelasan. Padahal itu adalah kebohongan yang dibuat oleh fans Rosa. Mereka terlalu tergila-gila kepada gadis batak itu, sehingga tak ingin melihatnya dimiliki oleh salah satu dari mereka.
"Gue melihat sendiri dia jalan sama Esa, mahasiswa semester akhir anak Ukema fotografi juga," ucap Felix, menggebu.
Bersambung
"Baiklah. Asal kau jujur sama Abang." Anjun mengalah. Ia pun tidak tega melihat adiknya menangis hingga tergugu seperti itu. Rosa mengangguk. Ia mulai bercerita. Di mulai dari dua tahun yang lalu. Rosa telah menjalin hubungan bersama Johansen selama dua tahun. Jo berhasil merebut hati Rosa dengan perlakuan yang amat manis. Selama dua tahun itu, Jo bersikap lembut dan perhatian. Hingga malam kelulusan, Jo datang menemui Rosa. Ia mengajaknya ke villa milik ayahnya di Lembang. Di villa itulah semua berawal, Rosa menyerahkan mahkotanya yang paling berharga kepada Jo. Ia begitu yakin bahwa Jo mencintainya. Bahkan, Jo berjanji akan menikahinya setelah ia memperoleh pekerjaan tetap. Setelah acara wisuda, ia merasa malu kepada ayah dan ibunya. Bahkan, tidak berani menatap wajah abangnnya. Ia meminta izin kepada orang tuanya untuk bekerja selama dua tahun sebagai pengalaman. Sebenarnya, Rosa hanya beralasan saja. Ia malu untuk menghadapi kedua orang tuanya. Jika mereka sampai mengetahui k
"Haaah! Dokter kandungan?" "Iya, kamu sedang hamil. Hanya saja saya tidak dapat memastikan, kecuali kamu mau mengetesnya dengan alat tes kehamilan. Atau, kamu mau mengatakan kapan terakhir kali kamu menstruasi." Rosa bersemu merah. Merasa jengah karena harus bercerita kepada dokter laki-laki di depannya. Ia juga tidak ingin aibnya dibuka kepada orang yang tidak dikenal. Melihat reaksi Rosa, dokter tersebut tidak memaksa. Ia memberikan resep, lalu berkata, "Istirahat dan makan yang cukup, ya." "Terima kasih, Dok," sahut Rosa, menunduk malu. Rosa bersyukur dokter tersebut memahami situasi, tanpa memaksanya untuk bercerita. Ia benar-benar kalut saat itu. Bingung dengan situasi yang menimpanya. "Kenapa harus sekarang? Kenapa harus hadir di saat hubungan kami mulai renggang?" Rosa menangis dalam hati. Rosa menyadari bahwa itu kesalahannya. Ia t
Rosa sama sekali tidak punya janji dengan Jo hari itu. Hubungan mereka yang baru dua hari tidak terlalu banyak berkomunikasi karena Rosa yang agak sibuk mengejar ketinggalannya. Begitu pula dengan Jo yang bertekat untuk segera lulus kuliah. Jo sudah menunggak dua tahun selama kuliah di Jakarta. Seharusnya, ia sudah lulus. Hanya saja, akibat perbuatannya selama mengikuti balap liar bersama teman satu geng, membuatnya harus menerima untuk diskors bahkan dikeluarkan. Jo tidak ingin itu terulang kembali. "Jalan ke club, yuk. Kamu sudah terlalu banyak belajar.""Gak mau, Jo. Di sana berisik banget," keluh Rosa, menolak ajakan Jo. "Ya, udah. Ke kafe seberang kampus aja. Gimana?""Baiklah. Ayo, berangkat sekarang." Rosa dan Jo semakin lama semakin dekat. Hubungan mereka sangat romantis di awal. Hingga keduanya lulus bersama dan mulai bekerja di bidang masing-masing. *** "Kamu keterlaluan, Jo!" pekik Rosa, penuh amarah dan kese
"Aduh, ngapa pulak dia kasih-kasih aku barang ini?" "Mana gue tau. Tanya sendiri sana masih di bawah orangnya, tuh." Meity sibuk menghabiskan sarapan Rosa."Kau tidak ke kampus?" Meity menggeleng dengan mulut penuh. Pipinya menjadi gembul akibat makanan yang dikunyah. Acuh tak acuh walau Rosa telah mendelik kesal. "Ya, sudah. Kau tinggal di kos dulu. Aku mau ke kampus mengejar ketinggal," ucap Rosa sembari membereskan beberapa buku yang harus dibawanya. "Lo udah baikan emangnya?""Udah, kok, bye ...." ***Rosa berjalan tergesa-gesa menuju ruang kelasnya. Ia tidak menyadari ada seseorang yang mengikuti langkahnya sedari menginjakkan kaki di depan gerbang universitas. Orang itu ialah Jo. Jo berjalan mendekat dan menepuk pundak Rosa. Ia berkata, "Kenceng banget jalannya." Rosa menoleh dan melambatkan langkahnya. Ia menekan perasaannya sehingga dapat menampilkan wajah biasa. Bahkan tersenyum ramah kepada Jo. "Eh, k
Selama satu minggu Rosa meringkuk di kamarnya. Esa mencarinya ke mana-mana, di kampus tidak ada, di indekos diusir. Meity terus menemani Rosa. Terkadang Susan datang untuk menjenguk dan menanyakan keadaan Rosa. Rosa benar-benar tidak ingin ditemui oleh siapa pun, terutama Esa. Anjun berulang kali menelepon yang juga tidak dijawab. Ia meminta tolong kepada Susan untuk melihat keadaan Rosa dan menghajar lelaki yang telah menyakiti hati adiknya itu. *** "Sumpah, Kak. Aku gak melakukan hal itu." Esa ditanyai oleh Susan di ruangan kantornya. "Lalu apa ini?!" Susan melemparkan foto-foto ke wajah Esa. Esa terperangah mendapati foto-foto tersebut. Ia sama sekali tidak pernah pergi dengan wanita yang ada di dalam foto. Ia mengamati gadis itu dengan seksama. Mata Esa melebar saat melihat siapa wanita yang ada dalam foto. Ia memandang wajah murka Susan, susah payah untuk mengendalikan ketakutannya. "Bu–bukankah dia, Milia?" "Ya, dia Milia
Telah hampir enam bulan Rosa berhubungan dengan Esa. Jo masih mendekati dengan berbagai cara. Juga rencananya telah tersusun matang. "Ros, nanti pulang jam berapa?" tanya Jo saat melihat Rosa melintasi lapangan basket dan ia mengejarnya. "Hmmm jam tiga sudah di kosan. Kenapa pulak rupanya?""Tak apa. Sekarang mau ke mana?""Ke kantin lah, mau makan siang. Kau tak makan siang?" Jo menggeleng. Lalu tersenyum sembari mengedipkan sebelah matanya. Rosa merasa jengah. Bibir ranumnya cemberut. Dengan sebal, ia pergi tanpa pamit lagi kepada Jo. Jo menyeringai menatap punggung Rosa melalui sudut matanya. Ia akan melancarkan rencana untuk memisahkan Rosa dan Esa. Membuat Esa dibenci oleh Rosa dan gadis Batak itu akan menjadi miliknya. *** Malam hari Rosa menerima sebuah paket tanpa nama. Setahunya, ia sama sekali tidak belanja online. Keluarga di Berastagi juga tidak mengabarinya tentang paket. Rosa penasaran dengan isi paket yang
udah jelas bagi Jo bahwa Rosa memiliki abang yang superior. Kehidupan Rosa banyak diatur oleh abangnya tersebut. Ia harus bisa menggantikan peran abang Rosa yang memiliki sifat berkebalikan dengannya. Hal tersebut akan memudahkannya untuk mendekati Rosa. Jo tidak peduli meskipun ia harus merebut Rosa dari Esa. Rosa merupakan mangsa yang besar. Ia akan memperoleh banyak keuntungan. Mereka tiba di kafe strawberi. Rosa turun dari mobil sport. Terlihat Angga sedang memperhatikan Rosa yang berjalan menuju perkebunan. Jo menyeringai, kemudian berbalik masuk ke mobil. Ia memutar balik kemudi untuk keluar dari area parkir kafe. Melaju dengan kecepatan sedang, ia mengendarai mobil ke arah Jakarta. Lewat tol Pasteur. Jo memang biasa menyetir mobil sendiri untuk pulang ke Jakarta. Ia akan menanyakan kepada ayahnya tentang hubungan kekerabatan dalam marga. Keinginannya untuk memiliki Rosa amat besar. Ia tidak peduli lagi tentang adat. *** "S
Rosa menutupi kamera ponselnya. Ia benar-benar sangat malu karena telah mengatakan isi hatinya. Esa terkekeh-kekeh. "Jangan ditutupi! Hilangkan cantiknya." Esa semakin senang menggoda Rosa. "Abang, nih, malu tau!""Gak usah malu. Sering cemburu aku rela, kok.""Taklah, sana kerja lagi. Aku ngantuk!" Esa tersenyum geli. Gadis Batak itu marah karena terlalu malu. Wajahnya telah memerah seperti kepiting rebus. "Iya, Sayang. Met istirahat. Nice dream," ucap Anan sembari mengecup layar ponselnya. Tingkahnya terlihat oleh Susan. Ia berteriak, "Kau ngapain cium-cium ponsel, hah!" "Uups! Eh, Kak Susan." Esa memperlihatkan giginya yang putih. Esa merasa jengah karena ketahuan sedang menciumi ponsel miliknya. Mesam-mesem saking terlalu malu. Susan berkacak pinggang memelototinya. "Awas hati-hati kau, ya, nanti kulapor ke Bang Anjun!""Calm down, Kak. Aku gak ngapa-ngapain, kok." Esa jelas ketakutan kalau sudah di
"Entahlah, aneh kali kulihat, dia yang suruh kita memperhatikan, 'kan?""Betul! Eh, lo perhatiin doi?""Iya, kenapa pulak?""Pantesan." Meity melengos. Ia segera mengemasi barang-barang miliknya ke dalam tas bahu berwarna pink. Rosa mengernyit kebingungan. Ia mengikuti langkah Meity di belakang menuju ke kantin. Tiba di kantin, Rosa melihat Jo tengah duduk bersama Felix dan teman-temannya. Ia segera menarik lengan Meity dan mengajak keluar kampus. "Aku traktir ke kafe, yuk," ajak Rosa, tidak menghiraukan protes Meity. "Gue lapar, Ros. Lom sarapan!" pekik Meity, tubuh mungilnya terseret. "Aku traktir apa aja yang kau mau," sahut Rosa, mempercepat langkahnya. Meity tersenyum senang. Ia langsung menyejajarkan langkah cepat Rosa. Meskipun agak tergopoh-gopoh dan napas yang terengah-engah, Meity berhasil menyusul. Mereka keluar dari kawasan kampus Unpad menuju kafe. Tidak jauh memang, sekitar 500 meteran. Mereka