"Abang, takut kali aku!" seru Rosa, ditelepon. Hampir menangis.
Mendengar ketakutan Rosa, Anjun langsung bergerak. Ia menelepon pemilik indekos tersebut dan memastikan kalau Rosa baik-baik saja. "Kau tolong urus di sana sekarang! Aku sedang menuju ke bandara!"
Rosa menanti dengan gelisah. Tak lama pintu kamarnya yang berada di lantai dua diketuk. Dengan perasaan kalut, ia membukanya. Terlihat Susan—anak pemilik indekos—berdiri di balik pintu.
"Ada apa, Rosa? Kau mengagetkanku saja. Abang kau sedang ada di bandara untuk mendatangi kau," ujar Susan, kesal melihat anak manja yang ada di depannya.
"Abang mau ke sini? Malam-malam?" tanya Rosa, terkejut.
"Gara-gara kau pun!" Susan menoyor kepala Rosa yang usianya lebih muda lima tahun.
Rosa menunduk, menyesali perbuatannya. "Maaf, Kak."
"Oke .... Ada apa memangnya malam-malam heboh kali?"
"Itu indekos sebrang siapa yang menyewa? Dia menguntit aku barusan, Kak," adu Rosa sembari menunjuk ke pintu kaca menuju balkon.
"Kamar yang mana?" tanya Susan.
"Tepat sejajar dengan kamarku. Pakai teropong segala pula," keluh Rosa, kesal.
Susan berjalan menuju balkon dan membukanya. Ia memperhatikan kamar seberang. Lampunya masih menyala, menandakan penghuninya masih di kamar.
"Kau telpun Abang kau dulu sana! Kasihan dia rupanya jauh-jauh dari Medan cuma untuk mengurusi masalah seperti ini!"
Rosa mengangguk dan segera menelepon abangnya. Anjun masih mengantri tiket saat Rosa menelepon. "Bang, tak usah kau kemari! Sudah ada Kak Susan yang mengatasi, dia akan memeriksa kamar itu. Sudah dulu, ya, Bang!"
Anjun menatap layar ponsel dengan bingung. Rosa mematikannya langsung tanpa mendengarkan jawaban darinya. Setidaknya, Anjun dapat sedikit lega karena ada Susan yang akan menolong Rosa di Bandung.
Rosa bergegas mengikuti Susan menuju rumah seberang. Ada pintu kawat pada pagar yang dapat dibuka dengan membuka gemboknya. Susan membawa kunci dan berhasil membukanya dengan mematikan aliran listrik pada pagar tersebut.
Susan masuk melalui pintu utama yang disambut oleh penjaga indekos putra. "Non, aya naon wengi ka dieu?" tanya Saep.
"Ayo, kau antar aku ke kamar di lantai dua!" ajak Susan sembari menggandeng lengan Saep.
Pria itu mengikuti langkah Susan nyaris terseret. Rosa melihatnya dan merasa kasihan. Ia berjalan di belakang keduanya.
Mereka tiba di depan pintu kamar bertuliskan angka dua belas sama seperti angka pada kamar Rosa. Susan menggedor kencang pintu kayu dengan kualitas terbaik itu. Terdengar suara berat dari dalam, "Tunggu!"
Rosa merasakan debaran kencang di dadanya. Ia begitu takut melihat siapakah pria yang menguntit dirinya. Suara 'klik' terdengar dari dalam dan 'ceklek' pintu itu terbuka.
Rosa mematung dengan wajah pucat pasi melihat pria yang ada di balik pintu. Susan mendorong tubuh pria itu dan masuk ke dalam kamarnya. Pria itu kebingungan, "Ada apa, Kak?"
"Ada apa, Rosa?" tanya pria itu yang ternyata Esa Sandjaya.
"Kau mengintip Rosa, hah?!" gertak Susan sembari berkeliling mencari teropong.
Rosa mematung tak menjawab pertanyaan Esa. Ia begitu syok menghadapi kenyataan bahwa orang yang dilihatnya barusan adalah Esa. Pria itu begitu baik kepadanya selama mereka saling kenal.
"Di mana kau taruh teropongnya, hah?!" Susan berkacak pinggang mengancam. "Kau tak mau bilang biar kuusir kau dari sini!"
"Gue gak ngerti maksud lo, Kak. Teropong apa?" tanya Esa kebingungan.
"Jangan kau mengelak, hah! Kau barusan menguntit Rosa pakai teropong, 'kan?"
Esa tepekur. Ia mengernyitkan dahi, kebingungan. "Gue gak lakuin itu, Rosa. Sungguh!"
Esa memegang bahu Rosa berusaha meyakinkan gadis itu. Rosa menunduk, meragukan penglihatannya. Apakah ia berkhayal barusan?
"Iya, Bang. Maafkan saya, mungkin tadi saya berhalusinasi karena ketakutan," ucap dari bibir ranum itu.
Susan terhenyak mendengar pengakuan Rosa. Ia berjalan mendekati gadis yang dianggapnya sangat manja itu. Dengan perlahan, ia menyentil dahi Rosa.
"Merepotkan saja! Lain kali lihat dulu yang benar! Untung Abang kau tak jadi kemari!" gerutu Susan, ia berbalik meninggalkan kekacauan tanpa meluruskannya.
"Kak, lo gak minta maaf ke gue!" teriak Esa, tersenyum puas.
Susan hanya mengacungkan jari tengahnya tanpa menoleh apalagi berbalik. Ia berjalan menuju tangga diikuti oleh Saep. Memangnya tugas Saep apa hingga harus diseret oleh Susan?
Rosa menunduk semakin dalam. Dengan tulus, ia berkata, "Maafkan saya, Bang. Tak akan terulang lagi."
"Baik, saya maafkan tapi ...." Esa berpikir sejenak. "Besok makan siang bareng, yok!"
Rosa mendongak. Tak percaya. Walaupun ia lumayan tinggi, tetapi dibandingkan Esa, tetap saja ia harus sedikit mengangkat wajahnya untuk bisa menatap mata Esa.
Esa sedikit menunduk, membiarkan Rosa menatap matanya. Mata elang dengan tatapan tajam. Mata yang mampu membuat Rosa tersihir di hari pertama ia masuk ukema fotografi.
"Abang mau memaafkan saya?"
Esa mengangguk dan tersenyum hangat. Ia selalu menantikan momen itu. Momen di mana ia dapat mengutarakan isi hatinya kepada gadis pujaannya selama dua tahun belakangan. Toh, skripsinya telah selesai, ia tinggal menunggu sidang dan di wisuda.
"Bagaimana?"
Rosa mengangguk, menyetujui ajakan Esa. Ia yakin Esa adalah orang baik. Entah siapa yang meneropongnya barusan, ia akan melupakan dengan cepat.
"Saya kembali ke kamar lagi, ya, Bang," ujar Rosa, malu karena teman-teman Esa yang lain di lantai dua tersebut keluar dari kamar mereka mendengar suara teriakan Susan.
Rosa segera turun dan mendapati Susan sedang berkacak pinggang menatapnya. "Kenapa kau tak bilang sama aku kalau kau naksir si Esa itu?"
Rosa membelalak. Ia tak menduga, kalau Susan menyangka ia berbohong karena naksir kepada seniornya di ukema fotografi. Ia menggeleng cepat, mengelak dari tuduhan Susan.
"Gaya kau, nih. Pura-pura, kau takut ketahuan Abang kau, hah!" tukas Susan. "Biar nanti aku yang ngomong sama Abang kau yang sister complex itu. Kapan dia kawin kalau terus mengekori kau, cih? Kau pun tak usah lagi manja-manja, yak."
Rosa hanya mengangguk. Tak mungkin ia menang melawan Susan yang cerewetnya melebihi mamaknya di kampung. Susan hanya mendengkus saat melihat tanggapan Rosa.
Susan meminta Saep untuk memeriksa setiap kamar. Ia tak mengizinkan siapa pun menggunakan teropong di sekitar indekos. Saep mengangguk patuh sembari menghormat layaknya prajurit.
Susan terbahak melihat pria tua yang humoris itu. Saep berkata dengan candanya, " Tenang wè, Neng. Nanti ku Mamang dijitak lamun aya nu make taropong deui!"
Susan mengacungkan jempol dan berkata, "Daebak!"
Rosa menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan menahan tawa. Ia tak mengira wanita berusia dua puluh lima tahun itu menggemari drama Korea. Sama sepertinya yang tergila-gila dengan Song Jong Ki.
Susan berbalik dan menatap Rosa dengan tajam. "Kenapa kau?"
"Aku mau lah, Kak. Minta l**k drama Korea-nya," rajuk Rosa, mengulum bibir menahan senyum.
"Tak modal kali kau! Nonton sana di vive banyak lah di aplikasi, tuh. Asal kau bayar saja bulanannya. Ha-ha-ha!" Susan pergi meninggalkan Rosa sendiri tanpa mengajak.
"Kak Susan sialan. Huh! Aku harus melewati taman yang gelap sendirian," keluh Rosa, mengekor langkah Susan yang telah menghilang di kegelapan malam.
Bersambung
"Baiklah. Asal kau jujur sama Abang." Anjun mengalah. Ia pun tidak tega melihat adiknya menangis hingga tergugu seperti itu. Rosa mengangguk. Ia mulai bercerita. Di mulai dari dua tahun yang lalu. Rosa telah menjalin hubungan bersama Johansen selama dua tahun. Jo berhasil merebut hati Rosa dengan perlakuan yang amat manis. Selama dua tahun itu, Jo bersikap lembut dan perhatian. Hingga malam kelulusan, Jo datang menemui Rosa. Ia mengajaknya ke villa milik ayahnya di Lembang. Di villa itulah semua berawal, Rosa menyerahkan mahkotanya yang paling berharga kepada Jo. Ia begitu yakin bahwa Jo mencintainya. Bahkan, Jo berjanji akan menikahinya setelah ia memperoleh pekerjaan tetap. Setelah acara wisuda, ia merasa malu kepada ayah dan ibunya. Bahkan, tidak berani menatap wajah abangnnya. Ia meminta izin kepada orang tuanya untuk bekerja selama dua tahun sebagai pengalaman. Sebenarnya, Rosa hanya beralasan saja. Ia malu untuk menghadapi kedua orang tuanya. Jika mereka sampai mengetahui k
"Haaah! Dokter kandungan?" "Iya, kamu sedang hamil. Hanya saja saya tidak dapat memastikan, kecuali kamu mau mengetesnya dengan alat tes kehamilan. Atau, kamu mau mengatakan kapan terakhir kali kamu menstruasi." Rosa bersemu merah. Merasa jengah karena harus bercerita kepada dokter laki-laki di depannya. Ia juga tidak ingin aibnya dibuka kepada orang yang tidak dikenal. Melihat reaksi Rosa, dokter tersebut tidak memaksa. Ia memberikan resep, lalu berkata, "Istirahat dan makan yang cukup, ya." "Terima kasih, Dok," sahut Rosa, menunduk malu. Rosa bersyukur dokter tersebut memahami situasi, tanpa memaksanya untuk bercerita. Ia benar-benar kalut saat itu. Bingung dengan situasi yang menimpanya. "Kenapa harus sekarang? Kenapa harus hadir di saat hubungan kami mulai renggang?" Rosa menangis dalam hati. Rosa menyadari bahwa itu kesalahannya. Ia t
Rosa sama sekali tidak punya janji dengan Jo hari itu. Hubungan mereka yang baru dua hari tidak terlalu banyak berkomunikasi karena Rosa yang agak sibuk mengejar ketinggalannya. Begitu pula dengan Jo yang bertekat untuk segera lulus kuliah. Jo sudah menunggak dua tahun selama kuliah di Jakarta. Seharusnya, ia sudah lulus. Hanya saja, akibat perbuatannya selama mengikuti balap liar bersama teman satu geng, membuatnya harus menerima untuk diskors bahkan dikeluarkan. Jo tidak ingin itu terulang kembali. "Jalan ke club, yuk. Kamu sudah terlalu banyak belajar.""Gak mau, Jo. Di sana berisik banget," keluh Rosa, menolak ajakan Jo. "Ya, udah. Ke kafe seberang kampus aja. Gimana?""Baiklah. Ayo, berangkat sekarang." Rosa dan Jo semakin lama semakin dekat. Hubungan mereka sangat romantis di awal. Hingga keduanya lulus bersama dan mulai bekerja di bidang masing-masing. *** "Kamu keterlaluan, Jo!" pekik Rosa, penuh amarah dan kese
"Aduh, ngapa pulak dia kasih-kasih aku barang ini?" "Mana gue tau. Tanya sendiri sana masih di bawah orangnya, tuh." Meity sibuk menghabiskan sarapan Rosa."Kau tidak ke kampus?" Meity menggeleng dengan mulut penuh. Pipinya menjadi gembul akibat makanan yang dikunyah. Acuh tak acuh walau Rosa telah mendelik kesal. "Ya, sudah. Kau tinggal di kos dulu. Aku mau ke kampus mengejar ketinggal," ucap Rosa sembari membereskan beberapa buku yang harus dibawanya. "Lo udah baikan emangnya?""Udah, kok, bye ...." ***Rosa berjalan tergesa-gesa menuju ruang kelasnya. Ia tidak menyadari ada seseorang yang mengikuti langkahnya sedari menginjakkan kaki di depan gerbang universitas. Orang itu ialah Jo. Jo berjalan mendekat dan menepuk pundak Rosa. Ia berkata, "Kenceng banget jalannya." Rosa menoleh dan melambatkan langkahnya. Ia menekan perasaannya sehingga dapat menampilkan wajah biasa. Bahkan tersenyum ramah kepada Jo. "Eh, k
Selama satu minggu Rosa meringkuk di kamarnya. Esa mencarinya ke mana-mana, di kampus tidak ada, di indekos diusir. Meity terus menemani Rosa. Terkadang Susan datang untuk menjenguk dan menanyakan keadaan Rosa. Rosa benar-benar tidak ingin ditemui oleh siapa pun, terutama Esa. Anjun berulang kali menelepon yang juga tidak dijawab. Ia meminta tolong kepada Susan untuk melihat keadaan Rosa dan menghajar lelaki yang telah menyakiti hati adiknya itu. *** "Sumpah, Kak. Aku gak melakukan hal itu." Esa ditanyai oleh Susan di ruangan kantornya. "Lalu apa ini?!" Susan melemparkan foto-foto ke wajah Esa. Esa terperangah mendapati foto-foto tersebut. Ia sama sekali tidak pernah pergi dengan wanita yang ada di dalam foto. Ia mengamati gadis itu dengan seksama. Mata Esa melebar saat melihat siapa wanita yang ada dalam foto. Ia memandang wajah murka Susan, susah payah untuk mengendalikan ketakutannya. "Bu–bukankah dia, Milia?" "Ya, dia Milia
Telah hampir enam bulan Rosa berhubungan dengan Esa. Jo masih mendekati dengan berbagai cara. Juga rencananya telah tersusun matang. "Ros, nanti pulang jam berapa?" tanya Jo saat melihat Rosa melintasi lapangan basket dan ia mengejarnya. "Hmmm jam tiga sudah di kosan. Kenapa pulak rupanya?""Tak apa. Sekarang mau ke mana?""Ke kantin lah, mau makan siang. Kau tak makan siang?" Jo menggeleng. Lalu tersenyum sembari mengedipkan sebelah matanya. Rosa merasa jengah. Bibir ranumnya cemberut. Dengan sebal, ia pergi tanpa pamit lagi kepada Jo. Jo menyeringai menatap punggung Rosa melalui sudut matanya. Ia akan melancarkan rencana untuk memisahkan Rosa dan Esa. Membuat Esa dibenci oleh Rosa dan gadis Batak itu akan menjadi miliknya. *** Malam hari Rosa menerima sebuah paket tanpa nama. Setahunya, ia sama sekali tidak belanja online. Keluarga di Berastagi juga tidak mengabarinya tentang paket. Rosa penasaran dengan isi paket yang
udah jelas bagi Jo bahwa Rosa memiliki abang yang superior. Kehidupan Rosa banyak diatur oleh abangnya tersebut. Ia harus bisa menggantikan peran abang Rosa yang memiliki sifat berkebalikan dengannya. Hal tersebut akan memudahkannya untuk mendekati Rosa. Jo tidak peduli meskipun ia harus merebut Rosa dari Esa. Rosa merupakan mangsa yang besar. Ia akan memperoleh banyak keuntungan. Mereka tiba di kafe strawberi. Rosa turun dari mobil sport. Terlihat Angga sedang memperhatikan Rosa yang berjalan menuju perkebunan. Jo menyeringai, kemudian berbalik masuk ke mobil. Ia memutar balik kemudi untuk keluar dari area parkir kafe. Melaju dengan kecepatan sedang, ia mengendarai mobil ke arah Jakarta. Lewat tol Pasteur. Jo memang biasa menyetir mobil sendiri untuk pulang ke Jakarta. Ia akan menanyakan kepada ayahnya tentang hubungan kekerabatan dalam marga. Keinginannya untuk memiliki Rosa amat besar. Ia tidak peduli lagi tentang adat. *** "S
Rosa menutupi kamera ponselnya. Ia benar-benar sangat malu karena telah mengatakan isi hatinya. Esa terkekeh-kekeh. "Jangan ditutupi! Hilangkan cantiknya." Esa semakin senang menggoda Rosa. "Abang, nih, malu tau!""Gak usah malu. Sering cemburu aku rela, kok.""Taklah, sana kerja lagi. Aku ngantuk!" Esa tersenyum geli. Gadis Batak itu marah karena terlalu malu. Wajahnya telah memerah seperti kepiting rebus. "Iya, Sayang. Met istirahat. Nice dream," ucap Anan sembari mengecup layar ponselnya. Tingkahnya terlihat oleh Susan. Ia berteriak, "Kau ngapain cium-cium ponsel, hah!" "Uups! Eh, Kak Susan." Esa memperlihatkan giginya yang putih. Esa merasa jengah karena ketahuan sedang menciumi ponsel miliknya. Mesam-mesem saking terlalu malu. Susan berkacak pinggang memelototinya. "Awas hati-hati kau, ya, nanti kulapor ke Bang Anjun!""Calm down, Kak. Aku gak ngapa-ngapain, kok." Esa jelas ketakutan kalau sudah di
"Entahlah, aneh kali kulihat, dia yang suruh kita memperhatikan, 'kan?""Betul! Eh, lo perhatiin doi?""Iya, kenapa pulak?""Pantesan." Meity melengos. Ia segera mengemasi barang-barang miliknya ke dalam tas bahu berwarna pink. Rosa mengernyit kebingungan. Ia mengikuti langkah Meity di belakang menuju ke kantin. Tiba di kantin, Rosa melihat Jo tengah duduk bersama Felix dan teman-temannya. Ia segera menarik lengan Meity dan mengajak keluar kampus. "Aku traktir ke kafe, yuk," ajak Rosa, tidak menghiraukan protes Meity. "Gue lapar, Ros. Lom sarapan!" pekik Meity, tubuh mungilnya terseret. "Aku traktir apa aja yang kau mau," sahut Rosa, mempercepat langkahnya. Meity tersenyum senang. Ia langsung menyejajarkan langkah cepat Rosa. Meskipun agak tergopoh-gopoh dan napas yang terengah-engah, Meity berhasil menyusul. Mereka keluar dari kawasan kampus Unpad menuju kafe. Tidak jauh memang, sekitar 500 meteran. Mereka