LOGINAira berusaha melepaskan diri dari Satrio, saat berhasil dia melayangkan tangannya dengan keras ke pipi Satrio. Susah payah Aira menghirup udara bebas, ia melangkah mundur menjauh dari Satrio.
Satrio menyentuh pipinya yang mendadak panas, terasa sakit bekas tamparan Aira. “Aku akan bertanggung jawab,” ujar pria itu membuat Aira geram. “Laki-laki begitu mudahnya berucap, kamu tidak jauh beda dari Marsel!” maki Aira dengan mata memerah. “Mengkhianati satu perempuan demi perempuan lain.” Aira merasa direndahkan sebagai perempuan. “Aku bisa mengurus Dinda, kamu tidak perlu kuatir.” Kalimat Satrio bukannya membuat Aira tenang, ia semakin muak terlibat percakapan dengan pria itu. Aira menarik kembali kopernya, memberanikan diri melintasi Satrio menuju pintu keluar. Sebelum berhasil meraih gagang pintu, pria itu dengan sigap memeluk Aira dari belakang membuat Aira kembali meradang. “Lepaskan!” Badan Aira dibalik oleh Satrio, pria itu kembali ingin mencium Aira, dia hanya ingin menenangkan perempuan hamil itu agar tidak membabi buta. Niatnya baik, tetapi tidak dengan penerimaan Aira. Perempuan itu menggigit kuat bibir Satrio sampai meninggalkan jejak darah, dengan terpaksa Satrio melepaskan Aira kembali. Satrio tidak menyangka kalau Aira bisa sekasar itu padanya. Melihat darah dari bibir Satrio, Aira sempat merasa bersalah. Akan tetapi, menjaga jarak harus dilakukan Aira demi kebaikan dirinya sendiri. Satrio mengambil sapu tangan dari kantong celananya, mengusap darah yang keluar. Ia menatap Aira yang berdiri menatap tidak suka terhadapnya. “Jangan samakan aku dengan mantan suami kamu. Kamu sudah bercerai Aira, bahkan saat menjadi suami dan istri, kalian tak pernah lagi berhubungan. Bila Marsel mengetahui kehamilan kamu, aku rasa pilihannya dia akan semakin menekan posisi kamu. Dia pasti tahu anak dalam kandungan kamu bukan anaknya.” Pikiran Aira tidak tenang dengan kemungkinan bila Marsel mengetahui kehamilannya. “Aku akan menggugurkannya!” Entah dari mana kekuatan Aira mengeluarkan kalimat yang mengejutkan itu. Satrio menahan menunjukkan ekspresi tak terimanya. “Anak itu tidak salah, Aira. Jangan mengancamku menggunakan anak itu. Aku akan menikahi kamu.” “Kamu pikir aku mau menjadi perusak hubungan orang lain!” Aira pun tak terima tawaran posisi yang buruk untuk dirinya. “Tidak perlu kamu memikirkan orang lain, tugas kamu melahirkan anak itu dengan selamat dan sehat. Aku berikan waktu sampai besok untuk memikirkan tawaran ini.” Satrio memutar badan berniat keluar dari rumah, pas dia memegang gagang pintu, Satrio berkata, “Jangan berani-berani melarikan diri, aku akan kejar kamu sampai ke penjuru dunia!” Aira terduduk di kursi tamu, badannya menjadi lemas kembali. Memikirkan lepas dari kandang singa lalu masuk kandang macan, Aira merasa kemujuran tak pernah berpihak pada dirinya. Sewaktu Aira bangun di pagi hari, ia berniat membeli makanan di dekat rumahnya. Aira tertegun melihat dua orang berdiri di depan pagar rumahnya, berkostum warna hitam dan berkacamata. “Permisi, Bapak berdua siapa?” Aira tidak takut untuk menghampiri. “Kami diperintahkan Bapak Satrio untuk menjaga rumah dan ibu Aira,” jawab salah satu pria sembari membungkukkan badan. “Apa ibu ada keperluan keluar?” tanya yang lain. Mereka menduga Aira akan kelaur lantaran pakaian Aira cukup rapi. “Saya ingin membeli makanan ke depan,” jawabnya. “Boleh menitip ke saya saja, Bu.” Aira terheran-heran, Satrio memberinya dua orang penjaga. Kebebasannya seperti terpenjara. Satrio dihubungi oleh Aira, begitu dia masuk ke dalam rumah. Perempuan itu memuntahkan amarahnya, tidak terima cara Satrio yang tidak elegan. “Calon isteri keluarga Tarasumitro memang diperlakukan khusus,” ucap Satrio tenang. “Itu sudah prosedur.” Jawaban Satrio membuat Aira tergemap kehabisan kata-kata. Sore hari, usai dari perusahaannya, Satrio menghampiri Aira. “Sudah kamu pikirkan tawaran pernikahan itu?” Satrio duduk berseberangan dengan Aira. Perempuan itu enggan mengeluarkan kalimat. “Kalau diam aku artikan kamu menerima tanpa ada ketentuan lain.” “Ada tiga permintaanku.” Cepat Aira bersuara, dia tidak ingin rugi terlalu besar. Satrio mengangguk, menyuruh Aira mengemukakan keinginannya. “Satu: Pernikahan berlangsung sampai anak ini lahir, setelah itu bercerai. Dua: selama menikah tidak ada hubungan suami dan isteri, Tiga: setelah perceraian hak anak jatuh ke kamu.” Satrio menatap Aira dalam-dalam sampai dia tak bisa tenang seakan-akan ingin menguliti Aira. “Oke, aku terima.”"Dara itu adikku," ucap Satrio sewaktu pulang mengantarkan Aira. Pria itu menolak menjelaskan saat di rumah kediaman Tarasumitro lantaran mereka harus bergabung lagi dalam makan malam bersama."Mengapa tidak jujur sedari awal?""Kalau jujur, kamu pasti menolak bantuanku.""Jangan-jangan kamu yang membayar tagihan rumah sakitku," selidik Aira. Satrio fokus memandang jalanan di depan. "Begitulah," jawabnya datar."Aku tadi lihat kamu berduaan dengan Dinda sebelum kita pulang, sepertinya Dinda sesayang itu dengan kamu." Suasana hati Aira tidak cukup bagus sepulang dari kediaman Tarasumitro. Seharusnya ia bisa senang menjadi menantu orang kaya raya di negara tempatnya tinggal, akan tetapi Aira merasa banyak hal tidak dimengertinya. "Kami tumbuh bersama sedari kecil. Dia hanya takut kehilangan kakak laki-laki, tapi aku katakan kalau itu tidak akan terjadi.""Ya, terlihat akrab, sampai berpelukan dan -- dia mencium kamu." Aira tidak menyukai perasaan posesif yang mendadak timbul dalam hat
Suasana dalam kendaraan mewah Satrio hening, Aira sibuk dengan pikirannya sendiri. Malam ini dia diajak Satrio ke kediaman kakeknya. Satrio mengatakan kalau keluarga besarnya ingin bertemu dengan Aira.[Mereka akan menyukaiku, tidak, ya?] suara Aira dalam hatinya. Dia menyadari posisinya sebagai perempuan bercerai, lewat pengalaman orang lain, cukup sulit mendapat tempat di keluarga suami. Namun, Aira bertekad untuk tampil apa adanya agar tidak punya beban. Memasuki kediaman Tarasumitro membuat Aira tercengang, rumah di hadapannya itu bak istana yang megah. Dia tidak menyangka kalau konselor yang rutin dijumpainya berasal dari keluarga kaya raya.“Aku sudah kabarkan soal kehamilan kamu pada keluargaku,” ucap Satrio memecah keheningan. Aira tidak tertarik menanyakan reaksi pendengar, bagi Aira keluarga Tarasumitro pasti saja tidak terjangkau olehnya. Dia ada di sini karena tidak sengaja ketahuan mengandung bayi Satrio.Satrio dan Aira berjalan berdampingan, pria itu membawa Aira k
Aira berusaha melepaskan diri dari Satrio, saat berhasil dia melayangkan tangannya dengan keras ke pipi Satrio. Susah payah Aira menghirup udara bebas, ia melangkah mundur menjauh dari Satrio.Satrio menyentuh pipinya yang mendadak panas, terasa sakit bekas tamparan Aira.“Aku akan bertanggung jawab,” ujar pria itu membuat Aira geram.“Laki-laki begitu mudahnya berucap, kamu tidak jauh beda dari Marsel!” maki Aira dengan mata memerah. “Mengkhianati satu perempuan demi perempuan lain.” Aira merasa direndahkan sebagai perempuan.“Aku bisa mengurus Dinda, kamu tidak perlu kuatir.” Kalimat Satrio bukannya membuat Aira tenang, ia semakin muak terlibat percakapan dengan pria itu.Aira menarik kembali kopernya, memberanikan diri melintasi Satrio menuju pintu keluar. Sebelum berhasil meraih gagang pintu, pria itu dengan sigap memeluk Aira dari belakang membuat Aira kembali meradang.“Lepaskan!”Badan Aira dibalik oleh Satrio, pria itu kembali ingin mencium Aira, dia hanya ingin menenan
Terasa berputar dunia saat Aira membuat proposal usaha yang akan digeluti paska bercerai dari Marselino Wijaya. Sengaja Aira keluar rumah untuk mencapat inpirasi demi masa depannya. Dia berada di sebuah restoran dengan pemandangan alam perbukitan.Tenggorokan Aira terasa panas dan masam, matanya berair sewaktu rasa mual menyerang Aira. Cepat Aira berlari ke toilet meninggalkan barang-barangnya.Di waktu bersamaan, Satrio tengah bersama rekan kerjanya ke restoran yang sama dengan Aira. Pertemuannya telah selesai, ia hendak kembali pulang. Satrio memandang tas yang mirip sekali dengan yang dimiliki oleh Aira.“Terima kasih kedatangannya, kerja sama kita pasti akan besar dan diterima masyarakat,” ucap Satrio pada rekan bisnisnya. Tamu Satrio pamit undur diri, tinggallah Satrio bersama seorang perempuan. Satrio kembali menatap tas yang mirip dengan kepunyaan Aira.“Kak Satrio, aku kembali ke perusahaan bersama kakak, ya?” tanyanya.Satrio tidak menjawab, ia malah duduk di kursi tempa
Setelah sidang pertama, yakni upaya mediasi gagal karena keduanya bersepakat bercerai, maka hakim memutuskan mengabulkan gugatan perceraian yang diajukan Marsel terhadap Aira. Aira pun tidak berniat untuk melakukan upaya hukum banding. Dua pekan kemudian, barulah mereka menerima akta cerai.Secara tidak sengaja mereka bersamaan mengambil akta perceraian. Aira menampilkan paras cerah sewaktu menerima akta cerai. Namun, tidak demikian dengan Marsel. Dia tampak kaku membaca kertas dengan tulisan besar AKTA CERAI. Melihat tak ada reaksi sedih dari Aira, perasaan Marsel seolah-olah membalik.“Sepertinya kamu senang,” sapa Marsel sewaktu mendatangi Aira yang berniat keluar dari kantor tanpa menyapanya.“Seperti yang kamu lihat.” Aira mengangkat kertas akta sembari melebarkan senyumnya menandakan kepuasaan karena mereka berdua telah sah menjadi mantan.Dengan kepala tegak dan dada yang membusung, Aira melewati Marsel. Sebaliknya, Marsel tampak gusar melihat Aira berubah sikap dari sebelu
“Bu, ada kabar baik.” Dara duduk di samping Aira sembari menyodorkan air minum. “Ada yang berniat membeli rumah ibu ini,” ucap Dara girang menunjukkan percakapannya dengan seseorang yang disebut sebagai calon pembeli.Menjelang sore, pria yang dimaksud Dara duduk di teras rumah Aira. Suasana baik di hati Aira meningkat, ia punya harapan pria itu akan membeli rumahnya dengan harga yang layak. “Satrio?” ucap Aira serasa tidak percaya saat sosok itu membalik. Badannya hampir limbung ke belakang, untung saja Dara sigap menopang lengan Aira.“Sore Aira, aku tertarik dengan rumah ini.” Satrio mengulas senyum tipis. Aira bergeming tidak menunjukkan reaksi. “Tiga milyar,” ucap Satrio tegas tanpa basa-basi. Aira memejamkan mata, jantungnya berdetak kencang, kehilangan kata-kata. Memori bersama Satrio yang merupakan konselor psikologis yang seharusnya menangani perkara kesehatan mentalnya menari-nari di pikirannya hingga malam buruk yang menghancurkan Aira dan kepercayaan d







