LOGINTerasa berputar dunia saat Aira membuat proposal usaha yang akan digeluti paska bercerai dari Marselino Wijaya. Sengaja Aira keluar rumah untuk mencapat inpirasi demi masa depannya. Dia berada di sebuah restoran dengan pemandangan alam perbukitan.
Tenggorokan Aira terasa panas dan masam, matanya berair sewaktu rasa mual menyerang Aira. Cepat Aira berlari ke toilet meninggalkan barang-barangnya. Di waktu bersamaan, Satrio tengah bersama rekan kerjanya ke restoran yang sama dengan Aira. Pertemuannya telah selesai, ia hendak kembali pulang. Satrio memandang tas yang mirip sekali dengan yang dimiliki oleh Aira. “Terima kasih kedatangannya, kerja sama kita pasti akan besar dan diterima masyarakat,” ucap Satrio pada rekan bisnisnya. Tamu Satrio pamit undur diri, tinggallah Satrio bersama seorang perempuan. Satrio kembali menatap tas yang mirip dengan kepunyaan Aira. “Kak Satrio, aku kembali ke perusahaan bersama kakak, ya?” tanyanya. Satrio tidak menjawab, ia malah duduk di kursi tempat tas ditaruh. “Kak, ini kursi milik orang lain.” Perempuan itu kebingungan melihat tingkah aneh Satrio. Satrio mengecek ke dalam, ternyata isi dompet di dalam tas menyimpan kartu pengenal milik seseorang. Dugaannya benar, tas itu milik Aira. “Permisi! Mengapa di dini?” tanya Aira memandang Satrio dan perempuan yang sama-sama berdiri dengannya. Satrio berdiri berhadapan dengan Aira. “Kamu di sini juga, kebetulan. Sudah makan siang?” tanya Satrio mengulas senyum Aira merasa dihujani tatapan menyelidik dari perempuan yang berdiri sejejer dengan Satrio. Pria itu menyadari arah manik Aira. “Perkenalkan ini Dinda Fatmawati.” Aira mengulurkan tangan dengan senyum terulas di bibir, tetapi Dinda tidak begitu saja menerima. Ia merangkul lengan Satrio seolah-oleh menunjukkan kedekatan dengan Satrio. “Dinda,” tegur Satrio, barulah Dinda membalas uluran tangan Aira. “Tunangan Satrio.” Aira merasa dunia kembali berputar, perutnya mual sampai-sampai dia memuntahkan sesuatu dari mulut hingga tak sengaja mengenai Dinda. Ingin bertahan lebih lama, tetapi Aira tidak kuat berdiri, Satrio menahan badan Aira sebelum perempuan itu terjatuh ke lantai. Satrio memaksa Aira pergi ke klinik terdekat, ia ingin berlari dari sana, sayangnya badannya terasa lemas. Dia merasakan tatapan dingin Dinda terhadapnya selama berada di klinik. Ingin rasanya Aira mengusir perempuan itu karena membuat dirinya tidak nyaman. Hampir satu jam Dinda beristirahat di klinik, bahkan ia menyuruh Satrio untuk meninggalkannya saja karena merasa berangsur pulih. Akan tetapi, Satrio menolak, begitu juga Dinda tak beranjak, selalu membuntuti Satrio. Aira duduk di meja depan dokter, setelah badannya bugar kembali. Kabar mengejutkan didapatkannya. “Hamil?” Tangan Aira bergetar hebat, di saat ia ingin bangkit malah mendapat cobaan yang lain. Dokter tidak memberinya obat apa-apa hanya vitamin agar badannya tidak lemas dan menyuruhnya minum ramuan jahe madu saat perutnya mual. Aira melangkah keluar dari ruang dokter, ia tidak mendapati Satrio dan Dinda di ruang tunggu, Aira merasa lega lantas secepatnya meninggalkan klinik lewat pintu samping. Aira menghindari pertemuan dengan Satrio. Sesampainya di rumah, Aira tidak tenang, ia berjalan-jalan kesana kemari memikirkan solusi untuk kehamilan yang tidak diinginkannya itu. “Aku tidak bisa tinggal di sini. Kalau begini terus, aku dan Satrio akan selalu terhubung,” ujarnya pelan. Aira teringat janji Satrio yang akan membantunya di kala susah, tetapi mengingat ada Dinda sebagai tunangan Satrio, Aira sulit menolak kalau ia tidak senang mendapat kabar sedemikian. Aira bergegas merapikan pakaian ke dalam koper besar miliknya. Hanya itu yang dibawanya keluar dari rumah yang telah sah menjadi milik Satrio. Malah pikirannya menduga kalau rumah yang ditempati sekarang akan diberikan untuk tunangan Satrio. Sudah barang tentu, Aira harus tahu diri. Begitu Aira membuka pintu depan, ia terperanjat telah berdiri di sana Satrio Tarasumitro dengan ekspresi dingin. Masih sempat-sempatnya Aira melongok keluar seperti mencari seseorang. “Mau ke mana?” Satrio menanyakannya dengan penekanan seakan-akan tindakan Aira salah. “Keluar dari sini.” Aira tak kalah beku menjawabnya, sekalipun kini detak jantungnya tak bersahabat. “Dokter bilang kamu hamil.” Aira tak mampu menyahut, kalimatnya seperti tertelan di tenggorokan. Hanya saja, dia perlu memberikan kalimat untuk mengakhiri percakapan mereka. “Ya, itu kata dokter. Aku tidak menuntut tanggung jawab, empat milyar itu sudah lebih dari cu –“ Terkejut bukan main Aira, saat Satrio sudah membungkamnya dengan ciuman menuntut."Dara itu adikku," ucap Satrio sewaktu pulang mengantarkan Aira. Pria itu menolak menjelaskan saat di rumah kediaman Tarasumitro lantaran mereka harus bergabung lagi dalam makan malam bersama."Mengapa tidak jujur sedari awal?""Kalau jujur, kamu pasti menolak bantuanku.""Jangan-jangan kamu yang membayar tagihan rumah sakitku," selidik Aira. Satrio fokus memandang jalanan di depan. "Begitulah," jawabnya datar."Aku tadi lihat kamu berduaan dengan Dinda sebelum kita pulang, sepertinya Dinda sesayang itu dengan kamu." Suasana hati Aira tidak cukup bagus sepulang dari kediaman Tarasumitro. Seharusnya ia bisa senang menjadi menantu orang kaya raya di negara tempatnya tinggal, akan tetapi Aira merasa banyak hal tidak dimengertinya. "Kami tumbuh bersama sedari kecil. Dia hanya takut kehilangan kakak laki-laki, tapi aku katakan kalau itu tidak akan terjadi.""Ya, terlihat akrab, sampai berpelukan dan -- dia mencium kamu." Aira tidak menyukai perasaan posesif yang mendadak timbul dalam hat
Suasana dalam kendaraan mewah Satrio hening, Aira sibuk dengan pikirannya sendiri. Malam ini dia diajak Satrio ke kediaman kakeknya. Satrio mengatakan kalau keluarga besarnya ingin bertemu dengan Aira.[Mereka akan menyukaiku, tidak, ya?] suara Aira dalam hatinya. Dia menyadari posisinya sebagai perempuan bercerai, lewat pengalaman orang lain, cukup sulit mendapat tempat di keluarga suami. Namun, Aira bertekad untuk tampil apa adanya agar tidak punya beban. Memasuki kediaman Tarasumitro membuat Aira tercengang, rumah di hadapannya itu bak istana yang megah. Dia tidak menyangka kalau konselor yang rutin dijumpainya berasal dari keluarga kaya raya.“Aku sudah kabarkan soal kehamilan kamu pada keluargaku,” ucap Satrio memecah keheningan. Aira tidak tertarik menanyakan reaksi pendengar, bagi Aira keluarga Tarasumitro pasti saja tidak terjangkau olehnya. Dia ada di sini karena tidak sengaja ketahuan mengandung bayi Satrio.Satrio dan Aira berjalan berdampingan, pria itu membawa Aira k
Aira berusaha melepaskan diri dari Satrio, saat berhasil dia melayangkan tangannya dengan keras ke pipi Satrio. Susah payah Aira menghirup udara bebas, ia melangkah mundur menjauh dari Satrio.Satrio menyentuh pipinya yang mendadak panas, terasa sakit bekas tamparan Aira.“Aku akan bertanggung jawab,” ujar pria itu membuat Aira geram.“Laki-laki begitu mudahnya berucap, kamu tidak jauh beda dari Marsel!” maki Aira dengan mata memerah. “Mengkhianati satu perempuan demi perempuan lain.” Aira merasa direndahkan sebagai perempuan.“Aku bisa mengurus Dinda, kamu tidak perlu kuatir.” Kalimat Satrio bukannya membuat Aira tenang, ia semakin muak terlibat percakapan dengan pria itu.Aira menarik kembali kopernya, memberanikan diri melintasi Satrio menuju pintu keluar. Sebelum berhasil meraih gagang pintu, pria itu dengan sigap memeluk Aira dari belakang membuat Aira kembali meradang.“Lepaskan!”Badan Aira dibalik oleh Satrio, pria itu kembali ingin mencium Aira, dia hanya ingin menenan
Terasa berputar dunia saat Aira membuat proposal usaha yang akan digeluti paska bercerai dari Marselino Wijaya. Sengaja Aira keluar rumah untuk mencapat inpirasi demi masa depannya. Dia berada di sebuah restoran dengan pemandangan alam perbukitan.Tenggorokan Aira terasa panas dan masam, matanya berair sewaktu rasa mual menyerang Aira. Cepat Aira berlari ke toilet meninggalkan barang-barangnya.Di waktu bersamaan, Satrio tengah bersama rekan kerjanya ke restoran yang sama dengan Aira. Pertemuannya telah selesai, ia hendak kembali pulang. Satrio memandang tas yang mirip sekali dengan yang dimiliki oleh Aira.“Terima kasih kedatangannya, kerja sama kita pasti akan besar dan diterima masyarakat,” ucap Satrio pada rekan bisnisnya. Tamu Satrio pamit undur diri, tinggallah Satrio bersama seorang perempuan. Satrio kembali menatap tas yang mirip dengan kepunyaan Aira.“Kak Satrio, aku kembali ke perusahaan bersama kakak, ya?” tanyanya.Satrio tidak menjawab, ia malah duduk di kursi tempa
Setelah sidang pertama, yakni upaya mediasi gagal karena keduanya bersepakat bercerai, maka hakim memutuskan mengabulkan gugatan perceraian yang diajukan Marsel terhadap Aira. Aira pun tidak berniat untuk melakukan upaya hukum banding. Dua pekan kemudian, barulah mereka menerima akta cerai.Secara tidak sengaja mereka bersamaan mengambil akta perceraian. Aira menampilkan paras cerah sewaktu menerima akta cerai. Namun, tidak demikian dengan Marsel. Dia tampak kaku membaca kertas dengan tulisan besar AKTA CERAI. Melihat tak ada reaksi sedih dari Aira, perasaan Marsel seolah-olah membalik.“Sepertinya kamu senang,” sapa Marsel sewaktu mendatangi Aira yang berniat keluar dari kantor tanpa menyapanya.“Seperti yang kamu lihat.” Aira mengangkat kertas akta sembari melebarkan senyumnya menandakan kepuasaan karena mereka berdua telah sah menjadi mantan.Dengan kepala tegak dan dada yang membusung, Aira melewati Marsel. Sebaliknya, Marsel tampak gusar melihat Aira berubah sikap dari sebelu
“Bu, ada kabar baik.” Dara duduk di samping Aira sembari menyodorkan air minum. “Ada yang berniat membeli rumah ibu ini,” ucap Dara girang menunjukkan percakapannya dengan seseorang yang disebut sebagai calon pembeli.Menjelang sore, pria yang dimaksud Dara duduk di teras rumah Aira. Suasana baik di hati Aira meningkat, ia punya harapan pria itu akan membeli rumahnya dengan harga yang layak. “Satrio?” ucap Aira serasa tidak percaya saat sosok itu membalik. Badannya hampir limbung ke belakang, untung saja Dara sigap menopang lengan Aira.“Sore Aira, aku tertarik dengan rumah ini.” Satrio mengulas senyum tipis. Aira bergeming tidak menunjukkan reaksi. “Tiga milyar,” ucap Satrio tegas tanpa basa-basi. Aira memejamkan mata, jantungnya berdetak kencang, kehilangan kata-kata. Memori bersama Satrio yang merupakan konselor psikologis yang seharusnya menangani perkara kesehatan mentalnya menari-nari di pikirannya hingga malam buruk yang menghancurkan Aira dan kepercayaan d







