Share

Pria asing

Author: Aini Sabrina
last update Last Updated: 2025-12-23 11:53:56

Caroline menelan ludahnya kelu. Tenggorokannya terasa kering, jantungnya berdetak cepat dari seharusnya.

"Siapa kau?"

"Apa William tidak memberitahumu? Seharusnya, dia memberitahumu siapa aku sebelum pria itu tiada," sahutnya, yang membuat Caroline spontan menatapnya tajam.

"A-apa maksudmu? Apa kau sedang menyumpahi Ayahku mati?"

Pria itu tak langsung menjawab. Langkahnya mendekat, sepatu pantofelnya berhenti tepat di sofa samping ranjang rumah sakit Caroline.

"Mungkin, kabar yang akan kuberitahukan ini bisa menyakitimu. Namun, aku tetap harus memberitahukan jika kedua orang tuamu mengalami kecelakaan dan dinyatakan tewas di tempat."

Caroline membeku.

Dunia di sekelilingnya seakan berhenti berputar. Suara, warna, dan udara mendadak lenyap, terganti dengan kehampaan yang menyesakkan.

Ia mungkin masih sanggup menghadapi orang-orang yang telah menghancurkan hidupnya. Namun, kehilangan kedua orang tua sekaligus? Itu adalah pukulan telak yang tak mampu ia lawan.

Tanpa mereka, untuk apa ia hidup?

Untuk apa kakinya berpijak pada dunia yang bahkan telah merenggut dua orang yang paling ia cintai?

Caroline menunduk. Dadanya sesak, seolah dihimpat beban yang tak kasat mata. Tangannya mencengkeram seprai rumah sakit hingga buku-buku jarinya memutih. Tak ada air mata yang jatuh.  Bukan karena Caroline kuat, melainkan rasa sakit itu begitu besar.

"Tidak mungkin," lirihnya. "Ayah dan ibuku tidak mungkin meninggalkanku sendirian."

Pria itu hanya diam, membiarkan Caroline meratapi kemalangan bertubi-tubi yang tengah  menimpanya.

"Kalau begitu, untuk apa aku hidup?" bisiknya parau, "aku hidup sendirian sekarang."

Terdengar helaan napas berat dari pria asing itu dari tempat duduknya, sebelum ia mendekat ke ranjang Caroline. Pria asing itu perlahan menunduk, mensejajarkan pandangannya pada Caroline yang balas menatap dengan raut frustrasinya.

"Siapa yang mengatakan kau sendiri, hm?" tanya pria itu. "Masih ada aku."

Caroline terpaku. Sorot matanya terpaku pada pria asing di hadapannya. Siapa pria ini? Dan mengapa pria ini ingin berada di dekat wanita cacat yang hidupnya bahkan telah hancur lebur seperti dirinya?

"Kau?" Caroline terkekeh getir. "Kenapa kau ingin menemaniku? Aku bahkan tidak mengenalmu."

Caroline menggeleng pelan. "Aku harus menganggapmu apa? Seorang pahlawan?"

Bibir pria itu melengkung samar. Bukan tersenyum, lebih seperti ejekan.

"Tidak," jawabnya singkat. "Aku bukan pahlawan."

Jawaban pria itu entah kenapa terasa jauh lebih berat dari yang Caroline bayangkan, membuat jantungnya berdegup tak karuan.

"Lalu ... siapa kau sebenarnya?" tanya Caroline lirih.

Pria itu tak segera menjawab. Ia menegakkan tubuhnya, tapi sorot matanya tak lepas memandangi Caroline seolah sedang menimbang sesuatu yamg tak kasat mata. Ada jeda yang membuat ruangan itu terasa mencekam.

"Anggap saja aku sedang berhutang nyawa padamu," ucapnya akhirnya.

"Berhutang nyawa? Apa maksudnya?" tanya Caroline, semakin dibuat bingung.

"Seandainya saja kau mati hari ini," lanjut pria itu datar, "maka akan ada sesuatu yang ikut terkubur denganmu."

Mendengar itu, Caroline tertawa getir. Tangannya mencengkeram seprai lebih erat lagi. Kalimat pria itu sama sekali tak terdengar seperti ungkapan belas kasih, tapi memanfaatkan.

"Jadi, begitu," lirih Caroline, "kau menyelamatkanku bukan karena benar-benar kasihan?"

Pria itu menatap Caroline dingin. "Belas kasih tidak pernah menyelamatkan siapa pun, Nona."

Caroline tak menggubris. Ia menengadahkan kepalanya untuk menatap pria yang ucapannya penuh teka-teki itu.

"Kalau begitu, apa yang kau inginkan dariku sebenarnya?" tanyanya penasaran.

Caroline merasa hidupnya tak memiliki makna lagi, bahkan hidupnya seolah menjadi permainan dari berbagai pihak. Satu diantaranya menginginkan kematiannya, sedangkan di sisi lain ada seseorang yang menginginkan kehidupannya untuk kepentingan sendiri.

Pria itu menunduk sekali lagi. Tangannya terulur maraih dagu Caroline.

"Kau," jawabnya singkat.

Napas Caroline tercekat. "Aku?"

"Mulai dari hari ini," lanjut pria itu, "kau tetap harus hidup. Bukan untuk dirimu sendiri, melainkan untuk tujuanku juga."

"Aku benar-benar tidak mengerti maksudmu," sahut Caroline lemah. "Aku tidak memiliki apa-apa lagi sekarang. Bahkan, tubuh yang kumiliki ini pun tak berguna."

Pria itu menggeleng pelan. "Itu hanya berdasarkan pemikiranmu sendiri."

Caroline menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Bagaimana jika aku menolak keinginanmu?"

Pria itu tidak marah, justru tersenyum. Senyum yang membuat suasana semakin tidak nyaman saja.

"Kalau begitu," ucapnya tenang, "aku tidak lagi punya alasan untuk mempertahankan hidupmu. Benar begitu, kan?"

Caroline menghela napas panjang. Kata-kata tajam itu menancap di benaknya. Caroline tahu, pria di hadapannya itu membicarakan fakta.

Perlahan, bahu Caroline merosot, seolah beban dunia kini menekannya sepenuhnya.

"Baiklah," bisiknya lirih. "Jika hidupku memang bukan lagi milikku, maka katakan apa yang harus kulakukan agar ada alasan untukmu mempertahankan hidup wanita sepertiku."

Pria itu menatap jam di pergelangan tangannya, sebelum akhirnya berbicara. "Untuk sekarang, kau hanya perlu bertahan hidup."

Pria itu berbalik menuju pintu, lalu berhenti sejenak tanpa menoleh.

"Sebab, kematian orang tuamu bukanlah kecelakaan biasa."

Mata Caroline membelalak. "Apa maksudmu? Jadi, ada yang sengaja melenyapkan kedua orang tuaku. Siapa?"

Namun, pria itu sudah membuka pintu. "Kita akan membahasnya lagi nanti jika kondisimu sudah jauh lebih baik," jawabnya singkat. "Beristirahatlah, Nona Caroline Arbein."

Pria itu baru ingin menutup pintu saat Caroline sigap menghentikan.

"Tunggu! Kau masih belum memperkenalkan diri. Setidaknya, kau bisa pergi setelah beritahukan namamu."

"Nicholas Cassius."

Pintu tertutup perlahan, meninggalkan Caroline yang mungkin tengah berpikir keras tentang siapa sebenarnya pria itu. Nama itu pun asing bagi Caroline, tapi pria itu bersikap seperti telah mengenal lama dirinya serta keluarganya.

Dalam keheningan yang menyesakkan itu, sekelebat memori kembali berputar di kepala Caroline. Kali ini, memori tentang keluarga bahagianya.

"Tidak seharusnya kalian meninggalkanku sendiri," lirih Caroline. "Ayah, siapa Nicholas itu?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dekapan Tuan Penguasa   Menjadi incaran.

    Suara langkah kaki terdengar di lorong mansion ketika Nicholas baru keluar dari dalam ruang kerjanya. Wajahnya datar, seolah keputusan telah diambil bahkan ketika ia belum membuka pintu kamar Caroline. "Siapkan mobil," perintahnya singkat pada pria yang mengekor di belakangnya. "Serta hubungi rumah sakit." Demon Castel. Salah satu ajudan setianya mengangguk tanpa banyak tanya. "Untuk pemeriksaan lanjutan, Tuan?" "Pengawasan," balas Nicholas, dingin. "Kau akan mengawal wanita itu untuk memastikan tidak ada yang berani mengganggunya." "Baik, Tuan." Beberapa menit kemudian, pintu kamar Caroline diketuk pelan. Caroline menoleh dengan raut waspada saat melihat pria asing memasuki kamarnya. "Siapa, kau?" tanyanya, "bagaimana kau bisa masuk ke sini?" "Saya salah satu ajudan kepercayaan, Tuan Nicholas," ucap pria itu sopan. "Anda akan dibawa ke rumah sakit langsung dengan saya yang akan menjaga." "Apa?" Caroline mengernyit. "Aku tidak ...," "Kau tidak sedang diberi pilihan

  • Dekapan Tuan Penguasa   Ambisi seorang Paman

    Di kediaman Adrian, kemarahan pria paruh baya itu pecah tanpa peringatan. Napasnya memburu, sorot matanya tajam memandangi Monica yang berdiri menunduk di hadapannya dengan tubuh gemetar menahan takut. Adrian Arbein. Tak ada yang tak mengenal pria ini serta ambisinya untuk menguasai seluruh aset kekayaan adik kandungnya sendiri, William Arbein. Apa pun akan Adrian lakukan, bahkan jika itu berarti menyingkirkan adiknya untuk selamanya. Baginya, darah bukanlah penghalang. "Ayah benar-benar kecewa dengan kegagalanmu ini, Monica!" hardiknya tajam. "Kau tak bisa Ayah andalkan sama sekali." Mendengar itu, Monica menggeleng pelan, matanya berkaca-kaca. "A-aku tidak tahu kalau ternyata dia masih hidup," sahut Monica, suaranya bergetar. "Aku sudah memastikan jika Caroline benar-benar jatuh. Wanita itu pasti sudah tewas, Ayah." Adrian menghempaskan tubuhnya ke sofa dengan kasar. Keheningan mencekam terasa menyelimuti ruangan, seolah aura gelap menguasai seluruh mansion. Bahkan,

  • Dekapan Tuan Penguasa   Percobaan bunuh diri

    "Nona, sudah tiba wakktunya makan malam." Salah seorang perawat memasuki ruang rawat Caroline. Begitu mendapati pasien yang menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut, perawat itu menggeleng pelan sambil tersenyum. "Apakah Anda kedinginan, Nona? Saya bisa membantu mengecilkan volume AC jika perlu." Perawat itu meraih remote dan mulai mengatur suhu ruangan, tanpa menyadari bahwa tidak ada siapa pun di ranjang tersebut. Setelah selesai mengatur suhu ruangan, perawat itu melangkah mendekati ranjang Caroline, berniat untuk membangunkannya. Namun, begitu tangannya menurunkan selimut, ia terperanjat. Ranjang itu kosong tanpa adanya Caroline. "Pasiend kamar 03 hilang!" suara perawat itu bergetar. "Tolong ... tolong bantu aku mencari pasien!" Mendengar teriakan tersebut, beberapa perawat lain sigap mendekat. "Apa maksudmu hilang?" Wajah perawat itu memucat, tubuhnya bergetar. "Pasien tidak berada di ruangannya," suaranya tercekat. "Dan beliau berada di bawah perlindungan langsung Tuan

  • Dekapan Tuan Penguasa   Pria asing

    Caroline menelan ludahnya kelu. Tenggorokannya terasa kering, jantungnya berdetak cepat dari seharusnya. "Siapa kau?" "Apa William tidak memberitahumu? Seharusnya, dia memberitahumu siapa aku sebelum pria itu tiada," sahutnya, yang membuat Caroline spontan menatapnya tajam. "A-apa maksudmu? Apa kau sedang menyumpahi Ayahku mati?" Pria itu tak langsung menjawab. Langkahnya mendekat, sepatu pantofelnya berhenti tepat di sofa samping ranjang rumah sakit Caroline. "Mungkin, kabar yang akan kuberitahukan ini bisa menyakitimu. Namun, aku tetap harus memberitahukan jika kedua orang tuamu mengalami kecelakaan dan dinyatakan tewas di tempat."Caroline membeku. Dunia di sekelilingnya seakan berhenti berputar. Suara, warna, dan udara mendadak lenyap, terganti dengan kehampaan yang menyesakkan. Ia mungkin masih sanggup menghadapi orang-orang yang telah menghancurkan hidupnya. Namun, kehilangan kedua orang tua sekaligus? Itu adalah pukulan telak yang tak mampu ia lawan. Tanpa mereka, untuk

  • Dekapan Tuan Penguasa   Kehilangan segalanya

    Ini kali pertamanya Caroline memperbolehkan untuk tirai kamarnya dibuka. Sebelum itu, ia bahkan selalu melarang siapa pun untuk membukanya. Sejak kecelakaan beberapa tahun silam itu terjadi, ditambah vonis dokter yang mengatakan besar kemungkinan ia akan lumpuh untuk selamanya, Caroline merasa sangat putus asa. “Nona muda begitu terpuruk, kasihan sekali, ya,” bisik salah satu pelayan yang tengah membereskan kamar Caroline. “Kudengar juga, Tuan Chris, selaku tunangan nona justru berselingkuh. Itulah yang membuat nona kita bisa jadi seperti sekarang ini.” “Aku sangat prihatin sekali.” Caroline tersenyum pahit mendengar bisikan kedua pelayan dari kursi rodanya. Namun, meski begitu, ia memilih untuk mengabaikannya, karena apa yang kedua orang itu bahas memang benar. Chris Galeon, semua orang tahu jika pria itu adalah tunangan Caroline Arbein. Pertunangan mereka sempat disiarkan oleh media, tapi untuk kasus perselingkuhan Chris sendiri, Caroline memilih untuk menutup aib

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status