LOGIN
Nama Nayla Prameswari dipanggil melalui pengeras suara kampus, tapi di telinganya terdengar seperti pengumuman hukuman. Suara itu menggema di lorong, menusuk lamunannya yang belum benar-benar pulih dari lembur malam tadi. Ia berdiri di tengah kerumunan mahasiswa lain yang lalu-lalang, memeluk tas selempang murahan yang talinya mulai mengelupas.
Hari itu harusnya berjalan biasa saja—kelas, kerja, tidur sebentar, ulangi lagi. Tetapi nada suara bagian administrasi tadi membawa firasat buruk yang membuat perutnya menegang sejak pagi. Ia menarik napas dalam, lalu melangkah menuju gedung akademik. Setiap langkah terasa berat tapi juga tidak bisa ditunda. Ia sudah tahu apa yang akan dibicarakan, tapi tetap saja hatinya tidak siap. Ruang akademik selalu dingin, tapi hari ini dinginnya seperti masuk ke tulang. Meja resepsionis panjang berdiri di tengah ruangan, dengan deretan map warna-warni yang menumpuk tinggi. Di belakang meja itu, seorang staf perempuan berblazer biru sudah menunggunya. Wajahnya datar, profesional, tapi mata itu memandang Nayla seakan ia baru membawa masalah. “Nayla Prameswari?” tanyanya tanpa senyum. “Iya, Bu.” Suara Nayla keluar terlalu pelan. Staf itu membuka map merah, mengeluarkan selembar kertas putih, dan meletakkannya di atas meja tanpa banyak bicara. “Ini hasil evaluasi beasiswa kamu.” Hanya itu. Tidak ada kalimat pengantar. Tidak ada jeda. Tidak ada kesempatan untuk mempersiapkan diri. Nayla menatap kertas itu. Tangan kirinya bergerak pelan, meraih dengan hati-hati. Begitu matanya menangkap tulisan paling atas, dadanya langsung mengencang. PEMBERITAHUAN PENCABUTAN BEASISWA — EFEKTIF HARI INI Huruf-hurufnya tidak bergerak, tapi terasa seolah bergoyang karena jantung Nayla berdetak terlalu kencang. Ia membaca ulang, berharap ada salah ketik, tapi tulisan itu tetap sama. “IPK kamu turun,” jelas staf itu dengan nada formal, seolah sedang membaca pengumuman cuaca. “Absen kamu juga banyak. Jadi beasiswanya otomatis dicabut.” Nayla menelan ludah yang terasa kering. “Tapi Bu, saya… saya kerja part-time. Kadang shift saya bentrok, tapi nilai saya—” “Kampus tidak mempertimbangkan urusan pekerjaan,” potong staf itu tanpa menatap wajahnya. “Jika mendaftar beasiswa, kamu harus mengikuti standar.” Nayla terdiam. Ia tahu itu. Ia tahu aturan. Tapi mengetahui dan menghadapi kenyataannya adalah dua hal berbeda. “Mulai semester ini kamu harus membayar penuh. Dan ada tunggakan semester lalu yang belum lunas.” Staf itu menunjuk baris bawah. “Silakan dicek.” Nayla menurunkan pandangan. Angka itu seperti tamparan. Rp18.700.000 Tidak mungkin. Itu… tidak mungkin. Tangannya refleks menggenggam kertas lebih kuat. “Kalau tidak sanggup bayar, kamu punya waktu tujuh hari.” Suara staf itu kembali terdengar datar. “Kalau lewat dari itu, status mahasiswamu dinonaktifkan sementara.” Hening jatuh di antara mereka. Nayla ingin menanyakan banyak hal—apakah ada cara lain, apakah bisa dicicil, apakah ia bisa berusaha memperbaiki nilai di semester berikutnya—tapi kata-kata itu menabrak tenggorokannya. Akhirnya ia hanya berkata pelan, “Baik, Bu. Terima kasih.” Ia keluar sebelum suaranya pecah. Lorong kampus yang biasanya ramai hari ini terasa seperti gema kosong. Semua orang terlihat sibuk, tertawa, mengeluh soal tugas, atau membahas acara akhir pekan. Tidak ada yang melihat Nayla berjalan sambil menunduk, memegang map merah seperti memegang surat kematian. Ia menuju taman kecil di samping gedung, tempat di mana biasanya ia duduk untuk menenangkan diri antara kelas dan kerja. Bangku kayu itu dingin tetapi jauh lebih ramah daripada ruangan akademik. Nayla menatap surat beasiswa itu lagi. Setiap kata seperti menekan dadanya. “Kenapa harus sekarang…” bisiknya, tanpa sadar. Beasiswa adalah satu-satunya alasan ia bisa bertahan. Ia tinggal di kos sederhana—kamar sempit berukuran tiga kali tiga meter yang cukup untuk kasur tipis, meja kecil, dan rak plastik. Uang kerja part-time di kafe hanya cukup untuk makan dan bayar kos. Tidak lebih. Tanpa beasiswa, semuanya runtuh. Ia menengadah sebentar, menahan air mata yang mulai panas. Ia tidak boleh menangis di kampus. Tidak di tempat terbuka. Tidak ketika semua orang masih bisa melihatnya. Tapi tubuhnya terasa lelah. Sangat lelah. Lembur tadi malam menghabiskan tenaganya. Sarapan tadi hanya roti sisa dari kafe. Ia menutup mata, memijat pelipis. Pandangan tiba-tiba berkunang. “Nggak sekarang…” Nayla berbisik, memegangi bangku. Dunia terasa goyah. Nafasnya pendek. Ia berdiri, ingin kembali ke kos. Tapi kakinya tidak kuat. Lututnya bergetar. Dan sebelum tubuhnya benar-benar jatuh, seseorang menangkap pergelangan tangannya. “Hey, pelan-pelan.” Suara itu dalam, tegas, tapi tidak kasar. Nayla mengangkat kepala pelan. Matanya buram, tapi ia bisa melihat seorang pria berdiri di hadapannya—kemeja putih rapi, jam tangan mahal, wajah yang terlalu sempurna untuk tempat sesederhana taman kampus. Rafael Aditya Santoso. Ia pernah melihat pria itu beberapa kali di berita kampus—salah satu donatur terbesar universitas, pengusaha muda yang sering diundang untuk seminar. Tapi ia tidak pernah membayangkan pria ini berdiri sejauh setengah meter darinya, memegang lengannya agar ia tidak jatuh. “Kamu kelihatan mau pingsan,” ujar Rafael, suaranya tenang. Nayla buru-buru menarik tangannya, meski tubuhnya masih limbung. “Maaf, Pak. Saya cuma… sedikit pusing.” “Duduk dulu.” Rafael menggeser posisinya sedikit, memberi ruang. Nayla duduk lagi, menunduk. Malu. Lelah. Dan terjebak di tengah-tengah semuanya. Rafael mengambil air mineral dari asistennya yang berdiri tak jauh, lalu meletakkannya di bangku. “Minum.” “Terima kasih.” Nayla menerimanya dengan tangan gemetar. Rafael memperhatikan sebentar. Tidak menghakimi. Tidak memberi komentar. Hanya memperhatikan. “Kamu tadi habis dari akademik?” tanyanya singkat. Nayla mengangguk. “Iya.” “Masalah serius?” Nayla ingin menghindari topik itu, tapi suaranya sudah terlalu jujur hari ini. “Beasiswa saya dicabut,” ucapnya datar. “Mulai hari ini.” Rafael tidak menjawab. Hening sejenak. Tapi hening yang tidak menekan—justru membuatnya sedikit bisa bernapas. Nayla berdiri setelah tenaganya agak kembali. “Saya harus pergi, Pak.Dan terimakasih” Rafael ikut berdiri. “Kamu yakin kuat jalan?” Nayla mengangguk cepat. “Iya.” Namun saat ia berbalik, sebuah kertas terjatuh tanpa ia sadari. Rafael mengambilnya lebih cepat daripada reaksi Nayla. Map merah beasiswa. Rafael membaca nama di bagian atas. “Nayla?” Ia mengucapkannya halus, seolah nama itu tidak asing baginya. Nayla menoleh. “Iya?” Rafael menyerahkan map itu. “Hati-hati. Jangan jatuh lagi.” Nayla menerimanya. “Terima kasih.” Ia berjalan pergi dengan langkah perlahan, tidak menoleh lagi. Rafael mengawasinya sampai menghilang dari tikungan gedung. Ia tidak tahu apa yang membuatnya memperhatikan gadis itu lebih lama daripada seharusnya.Pagi itu, Jakarta belum benar-benar bangun.Langit masih berwarna biru keabu-abuan, dan suara kendaraan hanya samar-samar dari kejauhan. Di dalam apartemen kecil itu, aroma lembut kopi dan roti panggang memenuhi udara—aroma yang seharusnya tidak ada di ruangan sekecil ini.Nayla menatap meja dapur yang sederhana. Dua cangkir kopi; satu hitam tanpa gula, satu lagi dengan sedikit susu. Ia bahkan tidak sadar tadi membuat dua cangkir sampai melihat hasilnya.Kebiasaan.Karena Rafael suka kopi yang pahit.Nayla menggigit bibir. Dadanya kembali sesak, tapi kali ini bukan karena takut. Lebih seperti… bingung dengan dirinya sendiri.Ia menunduk, merapikan rambut yang berantakan. Semalaman ia hampir tidak tidur. Bukan karena menyesal—justru sebaliknya. Itulah masalahnya.Ia berjalan perlahan ke arah kamar, dan pemandangan yang ia temui membuat langkahnya berhenti di ambang pintu.Rafael masih tertidur.Di ranjangnya.Di apartemennya.Lelaki itu berbaring dengan posisi setengah menyamping, satu
Langit sore Jakarta masih menyisakan warna kelabu ketika Nayla tiba di apartemen. Hujan yang turun sejak siang meninggalkan aroma tanah basah yang menempel di udara. Tangannya dingin karena memegang payung, tapi anehnya… dadanya justru terasa panas.Ia menutup pintu perlahan, seolah takut mengganggu keheningan yang memenuhi ruangan. Apartemen itu terlalu rapi, terlalu sunyi, terlalu… mahal untuk seorang gadis biasa seperti dirinya.Mungkin itu sebabnya setiap langkah di dalam unit ini terasa seperti menginjak garis batas:garis antara siapa dirinya sebenarnya dan siapa dirinya bagi Rafael.Nayla berganti pakaian, lalu duduk di sofa tanpa menyalakan TV. Pikirannya enggan diam sejak tadi. Seharian ia mencoba mengalihkan perhatian ke tugas kuliah, tapi setiap jeda, setiap napas, bayangan Rafael terus menuntut ruang.Cara Rafael menatapnya kemarin.Cara lelaki itu menghampirinya tanpa banyak bicara.Cara Rafael seolah… membutuhkan kehadirannya.Dan itulah yang membuat semuanya kacau.Nayl
Malam itu hujan turun tipis di Singapura. Lampu kota memantul di kaca apartemen Larissa, membentuk pola berkilau yang biasanya justru menenangkan. Tapi malam ini, ketenangan itu seperti tidak mampu menyentuh dirinya.Larissa duduk di tepi ranjang, masih mengenakan blouse kerja yang belum sempat dilepas. Rambutnya yang rapi sejak pagi mulai berantakan. Di pangkuannya, ponsel menyala dengan layar pesan yang sama untuk kesekian kali.Rafael: “Rapat malam. Pulang terlambat.”Kalimat itu sederhana. Biasa. Tidak mencurigakan kalau yang menulis adalah pria lain. Tapi Rafael… Rafael bukan tipe yang menjelaskan hal-hal yang tidak perlu.Jika ia sibuk, ia hanya akan membalas dengan: “Sibuk. Nanti.”Tapi belakangan… jawabannya berubah. Lebih sering. Lebih panjang. Lebih… manusia.Larissa menatap layar itu lama, seperti berusaha membaca sesuatu di antara huruf. Ada perasaan aneh yang ia tidak suka. Bukan cemburu—Larissa bukan tipe yang mudah dirusak perasaan seperti itu. Lebih seperti… firasat.F
Pagi itu, alarm Nayla tidak sempat berdering.Ia terbangun karena suara ketukan pelan di pintu. Mata Nayla terbuka hanya separuh, masih berusaha memahami apakah ia benar-benar mendengar sesuatu atau itu hanya suara dari mimpinya.Ketukan kedua datang. Jelas. Teratur.Nayla bangun cepat, sedikit panik. Ia mengecek jam di ponsel.07.45.Ia membeku sejenak. Waktu itu langsung membuat otaknya menyala.Rafael.Dengan langkah tergesa, ia berjalan ke pintu sambil merapikan rambut yang masih berantakan. Begitu pintu dibuka, Rafael berdiri di sana—rapi, wangi, dan terlihat seolah sudah siap rapat besar.Sementara Nayla… masih dengan wajah baru bangun dan kaos longgar.Rafael mengerjap sekali, memperhatikan penampilannya dari kepala sampai ujung kaki. “Kamu baru bangun.”Kalimat itu bukan pertanyaan.Nayla refleks menutup mulutnya dengan tangan,menahan malu. “Maaf… saya—saya ketiduran.”Rafael masuk tanpa menunggu persilakan, menaruh dua kantong kertas di meja makan. Aroma makanan langsung meme
Alarm ponsel Nayla bergetar pelan pukul enam pagi. Ia membuka mata dengan berat, seperti kelopak matanya menolak berdamai dengan realitas. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih dari kejutan dua hari terakhir—akad mendadak, perpindahan tempat tinggal, dan kedatangan Rafael yang entah kenapa terus mengganggu pikirannya.Ia berbaring sebentar, menatap langit-langit kamar apartemen yang masih terasa asing. Tidak ada suara ibu memanggilnya. Tidak ada bau masakan dari dapur. Hanya hening yang terlalu rapi, terlalu bersih… terlalu jauh dari hidupnya sebelumnya.Tapi kuliah menunggu.Dan dunia tidak berhenti hanya karena hatinya sedang karam.Nayla memaksa diri bangun, mandi, lalu mengenakan seragam kampus yang sudah ia setrika semalam. Ia memilih pakaian yang sederhana saja—blus putih dan celana hitam. Rambutnya ia cepol rapi. Dari luar, mungkin ia terlihat sama seperti Nayla yang semua orang kenal.Tapi dari dalam… banyak yang berubah.Setelah sarapan sedikit—lebih tepatnya menelan beberapa sendo
Siang itu berlalu dengan perlahan, seperti jam terpaksa menyeret kakinya melewati waktu. Setelah Rafael pergi, apartemen terasa lebih hening daripada pagi tadi—hening yang aneh, karena masih ada jejak kehadirannya di udara. Entah itu aroma parfum yang samar tertinggal di sofa, atau suara pintu yang tadi ditutup pelan dan masih terngiang sampai sekarang.Nayla duduk lama di meja makan, memandangi cangkir teh yang sejak pagi belum disentuh. Rasanya seperti benda asing di depannya; ia tidak benar-benar haus, tidak juga lapar. Hanya… bingung.Ucapan Rafael tadi berputar-putar di kepalanya.> “Aku tidak ingin kamu merasa sendirian.”Kalimat itu tidak seharusnya berarti apa-apa. Tidak dari pria seperti Rafael. Tidak setelah akad siri yang tanpa romansa. Tapi entah kenapa, kata-kata itu justru paling sulit diabaikan.Menjelang sore, ponselnya berbunyi.Satu pesan masuk. Dari Rafael.> Sudah makan?Nayla memandangi layar itu lama. Pertanyaan itu sederhana. Bahkan terkesan dingin kalau orang l






![Penyesalan Tuan CEO [Mantan Kekasihku]](https://acfs1.goodnovel.com/dist/src/assets/images/book/43949cad-default_cover.png)
