Home / Romansa / Demi Kuliah Aku Rela Jadi Istri Simpanan / BAB 2 — Tunggakan Kuliah Menumpuk

Share

BAB 2 — Tunggakan Kuliah Menumpuk

Author: Mommy Sea
last update Last Updated: 2025-11-28 21:58:37

Langit sore tampak kusam ketika Nayla tiba di kosnya. Udara lembap menusuk kulit, dan langkahnya serasa diseret paksa oleh kenyataan yang belum sempat ia cerna sejak meninggalkan kampus. Kamar kos itu—ruang tiga kali tiga meter dengan cat yang mulai mengelupas—biasanya menjadi tempat ia beristirahat dari kerasnya hari. Tapi hari ini, justru terasa seperti saksi bisu yang menunggu ia runtuh.

Begitu pintu tertutup, Nayla melepaskan tasnya dan menjatuhkan diri di lantai. Bukan karena dramatis—ia hanya tidak punya tenaga untuk berdiri lebih lama. Kepala berdenyut, dada sesak, dan matanya panas.

Surat beasiswa yang dicabut tadi masih ada di genggaman. Ia membuka lipatannya perlahan, meski sebenarnya tidak ingin melihat isi kertas itu lagi. Tapi bagian bawah surat itu menarik perhatiannya—tulisan kecil yang menempel seperti berita buruk kedua:

Rincian Tunggakan Semester Lalu Terlampir di Halaman Berikutnya

Jari Nayla gemetar saat membalik kertas kedua.

Dan di sanalah angka itu terpampang jelas.

Total tunggakan: Rp18.700.000

Batas pelunasan: 7 hari kalender

Konsekuensi: Status mahasiswa dinonaktifkan sementara

Napas Nayla tercekat. Angka itu menari-nari di depan matanya, terasa seperti tembok tinggi yang mustahil ia panjat.

Ia tidak tahu harus mulai mengkhawatirkan yang mana dulu—tunggakan yang luar biasa, beasiswa yang hilang, atau risiko dikeluarkan dari kampus. Semuanya datang sekaligus, seperti gelombang besar yang sengaja menenggelamkannya saat ia sedang kehabisan napas.

Dengan tangan gemetar, Nayla mengambil ponselnya. Notifikasi dari aplikasi perbankan muncul:

Saldo Anda: Rp127.000

Jumlah itu bahkan tidak cukup untuk bayar listrik kos bulan depan.

“Ya Allah…” bisiknya, suara pecah tanpa ia sadari.

Ia menutup wajah dengan kedua tangan. Selama ini ia sudah bekerja sekeras mungkin—shift pagi, shift malam, double shift saat akhir pekan. Ia sering makan roti sisa kafe, tidur tiga jam, kadang lupa makan. Dan sekarang… semuanya terasa sia-sia.

Ponselnya tiba-tiba berbunyi. Notifikasi grup kelas. Mereka membahas rencana liburan singkat sebelum semester baru dimulai.

Nayla mematikan layar. Tidak ada yang perlu tahu kondisinya. Tidak ada yang akan mengerti juga. Teman di kampus hanya sebatas teman kelas, bukan orang yang bisa ia ceritakan hal seperti ini.

Ia bangkit pelan, mencari botol air minum yang tinggal setengah. Tenggorokannya kering. Kamar terasa sempit—lebih sempit dari biasanya. Tangannya meremas sprei yang sudah pudar warnanya.

Saat rasa pusing kembali menyerang, ia memutuskan untuk berbaring. Langit-langit kamar terlihat samar karena matanya basah.

“Habis ini apa lagi…?” gumamnya pelan.

Tidak ada jawaban. Hanya bunyi kipas angin tua yang berderit pelan.

Satu jam berlalu.

Nayla duduk kembali, memaksa diri untuk berpikir jernih. Ia mengambil buku kecil di meja—buku catatan keuangannya. Ia membuka halaman yang penuh coretan angka.

Gaji dari kafe:

± Rp1.200.000 per minggu jika ia dapat shift penuh.

Kos: Rp600.000

Listrik + air: sekitar Rp200.000

Transport: Rp150.000–200.000

Makan: semampunya

Bahkankan jika ia bekerja tanpa berhenti sekalipun, mustahil melunasi hampir dua puluh juta dalam seminggu.

Ia memijat pelipis, menahan pusing yang makin kuat.

“Aku harus bicara ke pihak kampus… mungkin bisa dicicil,” katanya pelan.

Tapi kalimat itu sendiri terdengar tidak meyakinkan. Administrasi kampus tidak pernah fleksibel. Ia sudah melihat sendiri bagaimana staf tadi menatapnya seolah ia hanya angka di sistem.

Namun tetap saja—ia harus mencoba.

Ia membuka ponsel, mencari nomor akademik yang tertera di papan informasi kampus. Ia mengetik pesan dengan hati-hati:

Selamat sore, Ibu. Saya ingin bertanya mengenai kemungkinan skema cicilan untuk tunggakan saya—

Lalu berhenti.

Ia menghapus seluruh teks.

Tidak. Menulis pesan seperti itu hanya akan diberikan jawaban template yang dingin dan formal. Lebih baik ia datang langsung besok pagi, meski risikonya adalah ditolak mentah-mentah.

Nayla menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.

Tapi ketenangan hanya bertahan beberapa detik sebelum ketukan terdengar dari luar pintu.

Tok tok tok.

Nayla terlonjak sedikit. Jarang ada yang datang ke kosnya—ia tidak punya teman dekat di sekitar sini. Hanya ibu kos yang kadang datang menagih listrik.

Ia membuka pintu perlahan.

Benar saja. Ibu kos berdiri di sana dengan wajah canggung tapi tetap tegas.

“Nayla, maaf mengganggu. Ini tagihan listrik bulan kemarin belum dibayar, ya?” katanya sambil menyerahkan selembar kertas.

Nayla mengambilnya. Rp215.000.

“Maaf Bu… saya baru gajian Jumat depan. Boleh saya bayar minggu depan?” tanyanya sopan.

Ibu kos mengangguk ragu. “Iya, tapi jangan telat ya. Yang lain juga nunggak, saya yang pusing kalau kebanyakan.”

Nayla tersenyum tipis. “Iya, Bu. Terima kasih.”

Begitu pintu tertutup, senyumnya hilang.

Ia menatap tagihan listrik beberapa detik, lalu meletakkannya di atas meja—di samping surat beasiswa yang dicabut.

Dua kertas itu berdampingan seperti pengingat betapa sempitnya ruang geraknya.

Malam turun. Lampu kos kompleks redup. Dari kamar sebelah terdengar tawa penghuni yang sedang menonton drama. Sebuah ironi ketika hidup Nayla sendiri terasa jauh dari lucu.

Ia duduk di depan kipas angin, memeluk lutut, sambil mengatur napas. Ia tidak boleh menangis lagi. Mata sudah terlalu perih.

Ponselnya tiba-tiba menyala.

Notifikasi dari nomor tidak dikenal.

Selamat malam, Nayla. Ini Rafael. Apakah kamu baik-baik saja?

Jantungnya langsung berdegup kencang. Nayla membeku.

Bagaimana dia bisa punya nomorku?

Itu pertanyaan pertama yang muncul di kepala Nayla, tetapi tidak ia kirimkan. Ia hanya menatap layar, bingung harus merespons atau mengabaikan.

Rafael bukan siapa-siapa dalam hidupnya. Hanya donatur kampus. Hanya pria yang kebetulan melihatnya hampir pingsan. Tidak ada alasan untuknya menghubungi Nayla.

Tapi… kenapa dia menghubungi?

Nayla menatap pesan itu lebih lama dari seharusnya. Lalu ia mengembuskan napas pelan.

Ia menaruh ponsel dan membiarkannya bergetar sendiri.

Ia tidak punya energi untuk membalas. Tidak malam ini.

Pukul 22.30

Nayla masih belum tidur.

Angka 18 juta itu terus menari-nari di kepalanya.

Jika ia tidak membayar dalam tujuh hari…

Ia akan dinonaktifkan.

Jika ia dinonaktifkan…

Ia tidak bisa kerja di kafe lagi karena syaratnya harus mahasiswa aktif.

Jika ia berhenti kerja…

Ia tidak punya uang untuk kos, makan, apa pun.

Hidupnya akan berhenti total.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Demi Kuliah Aku Rela Jadi Istri Simpanan    Bab 20 — Pagi yang Tidak Seharusnya Senyaman Ini

    Pagi itu, Jakarta belum benar-benar bangun.Langit masih berwarna biru keabu-abuan, dan suara kendaraan hanya samar-samar dari kejauhan. Di dalam apartemen kecil itu, aroma lembut kopi dan roti panggang memenuhi udara—aroma yang seharusnya tidak ada di ruangan sekecil ini.Nayla menatap meja dapur yang sederhana. Dua cangkir kopi; satu hitam tanpa gula, satu lagi dengan sedikit susu. Ia bahkan tidak sadar tadi membuat dua cangkir sampai melihat hasilnya.Kebiasaan.Karena Rafael suka kopi yang pahit.Nayla menggigit bibir. Dadanya kembali sesak, tapi kali ini bukan karena takut. Lebih seperti… bingung dengan dirinya sendiri.Ia menunduk, merapikan rambut yang berantakan. Semalaman ia hampir tidak tidur. Bukan karena menyesal—justru sebaliknya. Itulah masalahnya.Ia berjalan perlahan ke arah kamar, dan pemandangan yang ia temui membuat langkahnya berhenti di ambang pintu.Rafael masih tertidur.Di ranjangnya.Di apartemennya.Lelaki itu berbaring dengan posisi setengah menyamping, satu

  • Demi Kuliah Aku Rela Jadi Istri Simpanan    Bab 19 – Rasa Bersalah

    Langit sore Jakarta masih menyisakan warna kelabu ketika Nayla tiba di apartemen. Hujan yang turun sejak siang meninggalkan aroma tanah basah yang menempel di udara. Tangannya dingin karena memegang payung, tapi anehnya… dadanya justru terasa panas.Ia menutup pintu perlahan, seolah takut mengganggu keheningan yang memenuhi ruangan. Apartemen itu terlalu rapi, terlalu sunyi, terlalu… mahal untuk seorang gadis biasa seperti dirinya.Mungkin itu sebabnya setiap langkah di dalam unit ini terasa seperti menginjak garis batas:garis antara siapa dirinya sebenarnya dan siapa dirinya bagi Rafael.Nayla berganti pakaian, lalu duduk di sofa tanpa menyalakan TV. Pikirannya enggan diam sejak tadi. Seharian ia mencoba mengalihkan perhatian ke tugas kuliah, tapi setiap jeda, setiap napas, bayangan Rafael terus menuntut ruang.Cara Rafael menatapnya kemarin.Cara lelaki itu menghampirinya tanpa banyak bicara.Cara Rafael seolah… membutuhkan kehadirannya.Dan itulah yang membuat semuanya kacau.Nayl

  • Demi Kuliah Aku Rela Jadi Istri Simpanan    Bab 18 – Istri yang Mulai Bertanya-tanya

    Malam itu hujan turun tipis di Singapura. Lampu kota memantul di kaca apartemen Larissa, membentuk pola berkilau yang biasanya justru menenangkan. Tapi malam ini, ketenangan itu seperti tidak mampu menyentuh dirinya.Larissa duduk di tepi ranjang, masih mengenakan blouse kerja yang belum sempat dilepas. Rambutnya yang rapi sejak pagi mulai berantakan. Di pangkuannya, ponsel menyala dengan layar pesan yang sama untuk kesekian kali.Rafael: “Rapat malam. Pulang terlambat.”Kalimat itu sederhana. Biasa. Tidak mencurigakan kalau yang menulis adalah pria lain. Tapi Rafael… Rafael bukan tipe yang menjelaskan hal-hal yang tidak perlu.Jika ia sibuk, ia hanya akan membalas dengan: “Sibuk. Nanti.”Tapi belakangan… jawabannya berubah. Lebih sering. Lebih panjang. Lebih… manusia.Larissa menatap layar itu lama, seperti berusaha membaca sesuatu di antara huruf. Ada perasaan aneh yang ia tidak suka. Bukan cemburu—Larissa bukan tipe yang mudah dirusak perasaan seperti itu. Lebih seperti… firasat.F

  • Demi Kuliah Aku Rela Jadi Istri Simpanan    Bab 17 – Kebiasaan Baru yang Tidak Disengaja

    Pagi itu, alarm Nayla tidak sempat berdering.Ia terbangun karena suara ketukan pelan di pintu. Mata Nayla terbuka hanya separuh, masih berusaha memahami apakah ia benar-benar mendengar sesuatu atau itu hanya suara dari mimpinya.Ketukan kedua datang. Jelas. Teratur.Nayla bangun cepat, sedikit panik. Ia mengecek jam di ponsel.07.45.Ia membeku sejenak. Waktu itu langsung membuat otaknya menyala.Rafael.Dengan langkah tergesa, ia berjalan ke pintu sambil merapikan rambut yang masih berantakan. Begitu pintu dibuka, Rafael berdiri di sana—rapi, wangi, dan terlihat seolah sudah siap rapat besar.Sementara Nayla… masih dengan wajah baru bangun dan kaos longgar.Rafael mengerjap sekali, memperhatikan penampilannya dari kepala sampai ujung kaki. “Kamu baru bangun.”Kalimat itu bukan pertanyaan.Nayla refleks menutup mulutnya dengan tangan,menahan malu. “Maaf… saya—saya ketiduran.”Rafael masuk tanpa menunggu persilakan, menaruh dua kantong kertas di meja makan. Aroma makanan langsung meme

  • Demi Kuliah Aku Rela Jadi Istri Simpanan    Bab 16 – Tetap Melangkah Meski Lelah

    Alarm ponsel Nayla bergetar pelan pukul enam pagi. Ia membuka mata dengan berat, seperti kelopak matanya menolak berdamai dengan realitas. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih dari kejutan dua hari terakhir—akad mendadak, perpindahan tempat tinggal, dan kedatangan Rafael yang entah kenapa terus mengganggu pikirannya.Ia berbaring sebentar, menatap langit-langit kamar apartemen yang masih terasa asing. Tidak ada suara ibu memanggilnya. Tidak ada bau masakan dari dapur. Hanya hening yang terlalu rapi, terlalu bersih… terlalu jauh dari hidupnya sebelumnya.Tapi kuliah menunggu.Dan dunia tidak berhenti hanya karena hatinya sedang karam.Nayla memaksa diri bangun, mandi, lalu mengenakan seragam kampus yang sudah ia setrika semalam. Ia memilih pakaian yang sederhana saja—blus putih dan celana hitam. Rambutnya ia cepol rapi. Dari luar, mungkin ia terlihat sama seperti Nayla yang semua orang kenal.Tapi dari dalam… banyak yang berubah.Setelah sarapan sedikit—lebih tepatnya menelan beberapa sendo

  • Demi Kuliah Aku Rela Jadi Istri Simpanan    Bab 15 – Rafael yang Tidak Lagi Sama

    Siang itu berlalu dengan perlahan, seperti jam terpaksa menyeret kakinya melewati waktu. Setelah Rafael pergi, apartemen terasa lebih hening daripada pagi tadi—hening yang aneh, karena masih ada jejak kehadirannya di udara. Entah itu aroma parfum yang samar tertinggal di sofa, atau suara pintu yang tadi ditutup pelan dan masih terngiang sampai sekarang.Nayla duduk lama di meja makan, memandangi cangkir teh yang sejak pagi belum disentuh. Rasanya seperti benda asing di depannya; ia tidak benar-benar haus, tidak juga lapar. Hanya… bingung.Ucapan Rafael tadi berputar-putar di kepalanya.> “Aku tidak ingin kamu merasa sendirian.”Kalimat itu tidak seharusnya berarti apa-apa. Tidak dari pria seperti Rafael. Tidak setelah akad siri yang tanpa romansa. Tapi entah kenapa, kata-kata itu justru paling sulit diabaikan.Menjelang sore, ponselnya berbunyi.Satu pesan masuk. Dari Rafael.> Sudah makan?Nayla memandangi layar itu lama. Pertanyaan itu sederhana. Bahkan terkesan dingin kalau orang l

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status