MasukPagi itu, Nayla bangun dengan kepala berat dan tenggorokan kering. Kipas angin yang semalam menyala masih berputar pelan, menghasilkan bunyi berderit yang entah kenapa terdengar lebih nyaring daripada biasanya. Cahaya matahari menembus tirai tipis kamar kosnya, membentuk garis-garis terang yang jatuh di lantai.
Ia mengerjapkan mata beberapa kali. Tidurnya tidak benar-benar tidur—lebih mirip memejamkan mata sambil terus terjaga. Angka tujuh hari itu masih berputar di kepalanya, tak mau pergi. Perlahan ia duduk, mengusap wajah, lalu menarik napas panjang. Tidak ada waktu untuk rebah terlalu lama. Ia harus ke kampus hari ini, entah diterima atau tidak. Menyerah bukan pilihan, meskipun langkah ke depan terasa seperti menapak di tanah yang rapuh. Nayla bangkit menuju wastafel kecil di pojok kamar, mencuci wajah dengan air yang tidak terlalu dingin. Namun rasa segar itu hanya bertahan sepersekian detik. Begitu ia menatap wajahnya di cermin kecil yang mulai kusam, lingkar hitam di bawah matanya tampak semakin jelas. “Pagi baru, masalah sama,” gumamnya lemah. Ia mengambil handuk tipis, menepuk-nepuk wajah, lalu kembali ke meja kecil tempat ia biasa menaruh buku catatan dan peralatan kuliah. Di sana, dua hal yang paling ingin ia lupakan justru menunggu: surat beasiswa yang dicabut, dan tagihan listrik dari ibu kos. Nayla duduk dan merapikan dua kertas itu. Entah kenapa ia merasa perlu menumpuknya rapi, seolah dengan menyusun kertas-kertas itu, hidupnya akan terasa sedikit lebih teratur. Saat merapikannya, tangannya tanpa sengaja menyenggol tumpukan map lama di rak kecil bawah meja. Map itu jatuh, mengeluarkan beberapa kertas dan satu foto yang tergelincir ke lantai. Nayla mematung. Foto itu—foto kecil berisi dirinya saat SMP, mengenakan seragam putih - biru berdiri di antara kedua orang tuanya. Ayah menggenggam bahunya, sementara ibu berdiri di sisi lain dengan senyum tipis yang tampak dipaksakan. Foto itu selalu ia hindari. Bukan karena ia marah, tapi karena setiap melihatnya, ia seperti kembali menjadi anak kecil yang bingung dengan perpecahan yang tak pernah ia mengerti. Ia memungut foto itu pelan, jantungnya berdenyut tak nyaman. Sekali lagi, ia duduk—kali ini lebih perlahan. Seketika pikirannya kembali ke masa beberapa tahun lalu. Flashback — SMP Kelas 2 Hari itu, Ayah pulang lebih larut dari biasanya. Baunya berbeda—bukan aroma minyak mesin dan asap bengkel seperti biasa, melainkan wangi parfum yang tidak pernah ada di rumah. Nayla masih mengerjakan PR Matematika ketika Ayah masuk, wajahnya tegang. Ibu menyusul dari dapur, menyeka tangan dengan celemek. “Ada apa lagi, Mas?” tanya Ibu, suaranya datar, lelah, seperti sudah tahu jawabannya. Ayah menghela napas panjang. “Kita bicara baik-baik saja, ya.” Kata “baik-baik” itu justru membuat Nayla semakin waspada. Ia meletakkan pensil, memperhatikan mereka berdua. “Papa mau pisah,” kata Ayah akhirnya. Singkat, tanpa pengantar, tanpa alasan jelas. Nayla sempat berharap ia salah dengar. Namun ekspresi ibunya yang berubah keras menghapus harapan itu. Ibu tidak menangis. Tidak berteriak. Hanya menatap Ayah dengan sinis. “Akhirnya ngomong juga. Iya, pergi saja. Kamu kan sudah punya yang baru.” Nayla tertegun. Ia tidak tahu harus memihak siapa, padahal saat itu, ia hanya ingin keluarganya tetap utuh. Ayah mencoba mendekatinya, mengusap kepalanya. “Nayla… kamu baik-baik saja, kan? Papa tetap sayang kamu.” Tapi Nayla hanya menunduk. Ia merasa tidak ada kata yang cukup untuk menjahit hatinya saat itu. Dan sejak malam itu, rumah mereka tak lagi sama. *** Ia kembali menatap foto kecil di tangannya sebelum akhirnya menyelipkannya di halaman belakang buku catatan. Ia tidak berniat membuangnya—masa lalu tidak bisa dibuang. Tapi ia tidak ingin terus menatapnya. Nayla berdiri, mengambil tas, memasukkan buku catatan, dompet, dan map berisi surat-surat yang harus ia bawa ke kampus. Sepatu satu-satunya yang mulai usang ia pakai dengan gerakan pelan. Sebelum keluar kamar, ia melihat sekeliling. Kamar kos sederhana itu—cat dinding retak, meja kayu yang mulai miring, kasur tipis—adalah satu-satunya tempat yang ia bayar dengan keringat sendiri sejak SMA. Ia ingat lagi masa-masa SMA, masa ketika ia harus mencari uang bukan untuk jajan, tapi untuk makan. Flashback Singkat — Masa SMA Nayla bekerja paruh waktu di warung bakso milik tetangga, mencuci mangkuk dan mengepel lantai. Upahnya tidak banyak, tapi cukup untuk membeli buku sekolah atau menabung sedikit demi sedikit. Sementara itu, Ibu… sudah sibuk dengan kehidupan barunya. Pernah suatu kali Nayla pulang membawa laporan nilai yang naik drastis. Ia menunjukkan pada ibu sambil sedikit berharap mendapat pelukan atau pujian. Namun Ibu hanya melirik sekilas dan berkata: “Bagus. Tapi kamu sudah besar, mulai bisa urus hidup sendiri lah. Jangan berharap banyak dari Ibu.” Kalimat itu melekat seperti cap panas di dadanya. Sejak itu, ia belajar satu hal: Kalau ia ingin hidupnya berubah, ia harus mengubahnya sendiri. Tidak ada yang akan datang membantu. Tidak ada yang akan tahu betapa keras ia berusaha. *** Ingatan itu menghilang ketika Nayla mengunci pintu kos, lalu melangkah keluar menuju lorong sempit kompleks kos-kosan itu. Beberapa penghuni sudah beraktivitas; ada yang menjemur pakaian, ada yang bersiap berangkat kerja. Udara pagi masih agak sejuk, meski matahari mulai naik. Setidaknya untuk hari ini, ia harus fokus pada satu hal: Bertahan. Bus tiba, remnya berdecit pelan saat berhenti. Nayla naik, duduk di kursi dekat jendela. Kota terasa bising, tapi di dalam dirinya hanya ada satu suara yang menggema: “Semoga ada jalan.”Pagi itu, Jakarta belum benar-benar bangun.Langit masih berwarna biru keabu-abuan, dan suara kendaraan hanya samar-samar dari kejauhan. Di dalam apartemen kecil itu, aroma lembut kopi dan roti panggang memenuhi udara—aroma yang seharusnya tidak ada di ruangan sekecil ini.Nayla menatap meja dapur yang sederhana. Dua cangkir kopi; satu hitam tanpa gula, satu lagi dengan sedikit susu. Ia bahkan tidak sadar tadi membuat dua cangkir sampai melihat hasilnya.Kebiasaan.Karena Rafael suka kopi yang pahit.Nayla menggigit bibir. Dadanya kembali sesak, tapi kali ini bukan karena takut. Lebih seperti… bingung dengan dirinya sendiri.Ia menunduk, merapikan rambut yang berantakan. Semalaman ia hampir tidak tidur. Bukan karena menyesal—justru sebaliknya. Itulah masalahnya.Ia berjalan perlahan ke arah kamar, dan pemandangan yang ia temui membuat langkahnya berhenti di ambang pintu.Rafael masih tertidur.Di ranjangnya.Di apartemennya.Lelaki itu berbaring dengan posisi setengah menyamping, satu
Langit sore Jakarta masih menyisakan warna kelabu ketika Nayla tiba di apartemen. Hujan yang turun sejak siang meninggalkan aroma tanah basah yang menempel di udara. Tangannya dingin karena memegang payung, tapi anehnya… dadanya justru terasa panas.Ia menutup pintu perlahan, seolah takut mengganggu keheningan yang memenuhi ruangan. Apartemen itu terlalu rapi, terlalu sunyi, terlalu… mahal untuk seorang gadis biasa seperti dirinya.Mungkin itu sebabnya setiap langkah di dalam unit ini terasa seperti menginjak garis batas:garis antara siapa dirinya sebenarnya dan siapa dirinya bagi Rafael.Nayla berganti pakaian, lalu duduk di sofa tanpa menyalakan TV. Pikirannya enggan diam sejak tadi. Seharian ia mencoba mengalihkan perhatian ke tugas kuliah, tapi setiap jeda, setiap napas, bayangan Rafael terus menuntut ruang.Cara Rafael menatapnya kemarin.Cara lelaki itu menghampirinya tanpa banyak bicara.Cara Rafael seolah… membutuhkan kehadirannya.Dan itulah yang membuat semuanya kacau.Nayl
Malam itu hujan turun tipis di Singapura. Lampu kota memantul di kaca apartemen Larissa, membentuk pola berkilau yang biasanya justru menenangkan. Tapi malam ini, ketenangan itu seperti tidak mampu menyentuh dirinya.Larissa duduk di tepi ranjang, masih mengenakan blouse kerja yang belum sempat dilepas. Rambutnya yang rapi sejak pagi mulai berantakan. Di pangkuannya, ponsel menyala dengan layar pesan yang sama untuk kesekian kali.Rafael: “Rapat malam. Pulang terlambat.”Kalimat itu sederhana. Biasa. Tidak mencurigakan kalau yang menulis adalah pria lain. Tapi Rafael… Rafael bukan tipe yang menjelaskan hal-hal yang tidak perlu.Jika ia sibuk, ia hanya akan membalas dengan: “Sibuk. Nanti.”Tapi belakangan… jawabannya berubah. Lebih sering. Lebih panjang. Lebih… manusia.Larissa menatap layar itu lama, seperti berusaha membaca sesuatu di antara huruf. Ada perasaan aneh yang ia tidak suka. Bukan cemburu—Larissa bukan tipe yang mudah dirusak perasaan seperti itu. Lebih seperti… firasat.F
Pagi itu, alarm Nayla tidak sempat berdering.Ia terbangun karena suara ketukan pelan di pintu. Mata Nayla terbuka hanya separuh, masih berusaha memahami apakah ia benar-benar mendengar sesuatu atau itu hanya suara dari mimpinya.Ketukan kedua datang. Jelas. Teratur.Nayla bangun cepat, sedikit panik. Ia mengecek jam di ponsel.07.45.Ia membeku sejenak. Waktu itu langsung membuat otaknya menyala.Rafael.Dengan langkah tergesa, ia berjalan ke pintu sambil merapikan rambut yang masih berantakan. Begitu pintu dibuka, Rafael berdiri di sana—rapi, wangi, dan terlihat seolah sudah siap rapat besar.Sementara Nayla… masih dengan wajah baru bangun dan kaos longgar.Rafael mengerjap sekali, memperhatikan penampilannya dari kepala sampai ujung kaki. “Kamu baru bangun.”Kalimat itu bukan pertanyaan.Nayla refleks menutup mulutnya dengan tangan,menahan malu. “Maaf… saya—saya ketiduran.”Rafael masuk tanpa menunggu persilakan, menaruh dua kantong kertas di meja makan. Aroma makanan langsung meme
Alarm ponsel Nayla bergetar pelan pukul enam pagi. Ia membuka mata dengan berat, seperti kelopak matanya menolak berdamai dengan realitas. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih dari kejutan dua hari terakhir—akad mendadak, perpindahan tempat tinggal, dan kedatangan Rafael yang entah kenapa terus mengganggu pikirannya.Ia berbaring sebentar, menatap langit-langit kamar apartemen yang masih terasa asing. Tidak ada suara ibu memanggilnya. Tidak ada bau masakan dari dapur. Hanya hening yang terlalu rapi, terlalu bersih… terlalu jauh dari hidupnya sebelumnya.Tapi kuliah menunggu.Dan dunia tidak berhenti hanya karena hatinya sedang karam.Nayla memaksa diri bangun, mandi, lalu mengenakan seragam kampus yang sudah ia setrika semalam. Ia memilih pakaian yang sederhana saja—blus putih dan celana hitam. Rambutnya ia cepol rapi. Dari luar, mungkin ia terlihat sama seperti Nayla yang semua orang kenal.Tapi dari dalam… banyak yang berubah.Setelah sarapan sedikit—lebih tepatnya menelan beberapa sendo
Siang itu berlalu dengan perlahan, seperti jam terpaksa menyeret kakinya melewati waktu. Setelah Rafael pergi, apartemen terasa lebih hening daripada pagi tadi—hening yang aneh, karena masih ada jejak kehadirannya di udara. Entah itu aroma parfum yang samar tertinggal di sofa, atau suara pintu yang tadi ditutup pelan dan masih terngiang sampai sekarang.Nayla duduk lama di meja makan, memandangi cangkir teh yang sejak pagi belum disentuh. Rasanya seperti benda asing di depannya; ia tidak benar-benar haus, tidak juga lapar. Hanya… bingung.Ucapan Rafael tadi berputar-putar di kepalanya.> “Aku tidak ingin kamu merasa sendirian.”Kalimat itu tidak seharusnya berarti apa-apa. Tidak dari pria seperti Rafael. Tidak setelah akad siri yang tanpa romansa. Tapi entah kenapa, kata-kata itu justru paling sulit diabaikan.Menjelang sore, ponselnya berbunyi.Satu pesan masuk. Dari Rafael.> Sudah makan?Nayla memandangi layar itu lama. Pertanyaan itu sederhana. Bahkan terkesan dingin kalau orang l







