Home / Romansa / Demi Kuliah Aku Rela Jadi Istri Simpanan / BAB 4 — Penghinaan di Kampus

Share

BAB 4 — Penghinaan di Kampus

Author: Mommy Sea
last update Last Updated: 2025-11-28 21:58:46

Bus berhenti tepat di depan gerbang kampus. Suara pintu otomatis yang terbuka membuat Nayla tersentak pelan. Ia berdiri, merapikan tali tas, lalu turun perlahan ke trotoar. Udara panas Jakarta mulai terasa menusuk, membuat keningnya sedikit berkeringat.

Kampus sudah ramai. Mahasiswa berlalu-lalang, sebagian membawa kopi, sebagian berjalan cepat karena takut terlambat kelas. Semuanya tampak sibuk dengan hidup masing-masing, seolah dunia mereka sudah tertata rapi.

Nayla menarik napas panjang sebelum melangkah masuk.

Ia tahu ke mana harus pergi. Gedung administrasi—bangunan yang selalu membuatnya merasa kecil.

Setiap langkah menuju sana terasa makin berat. Mungkin karena ia tahu, peluang untuk diberi keringanan sangat kecil. Tapi tetap saja ia datang; tidak mencoba lebih menyakitkan daripada ditolak.

Lorong gedung administrasi dipenuhi suara printer, dering telepon, dan langkah pegawai. Di sudut ruangan, beberapa mahasiswa mengantre untuk mengurus KRS. Di sisi lain, ada yang menunggu tanda tangan legalisasi.

Nayla berdiri di antrean “Pembayaran & Keuangan”. Di depan meja itu, seorang staf perempuan dengan kacamata tebal mengetik dengan kecepatan luar biasa, tanpa melihat antrian sama sekali.

Setelah beberapa menit, akhirnya giliran Nayla.

“Selamat pagi, Bu.” Nayla memaksakan senyum sopan.

Staf itu mengangkat kepala, menatap Nayla dari ujung rambut hingga ujung sepatu. “Iya. Ada apa?”

“Saya… ingin tanya tentang kemungkinan keringanan pembayaran. Saya… saya kehilangan beasiswa. Dan—”

Belum selesai, perempuan itu sudah menghela napas panjang, seolah mendengar sesuatu yang sangat melelahkan.

“Nama?”

“Nayla Prameswari, Bu.” Ia menyerahkan map berisi surat evaluasi beasiswa dan bukti tagihan.

Staf itu menerima dengan satu tangan, lalu memeriksa lembaran-lembarannya. Sesekali matanya mengerut, seperti mencari-cari sesuatu yang janggal.

Akhirnya ia menatap Nayla lagi.

“Ini sudah jelas.” Suaranya datar tapi tajam. “Beasiswanya dicabut karena IPK turun. Dan uang kuliahmu menunggak dari semester kemarin. Kamu sudah dikasih waktu cukup panjang.”

Nayla mengangguk kecil. “Saya tahu, Bu. Itu sebabnya saya ingin meminta… keringanan. Mungkin dicicil? Atau perpanjangan waktu?”

Staf itu tertawa kecil. Sinis.

“Cicil? Perpanjangan waktu? Kamu pikir kampus ini apa? Kantor amal?”

Beberapa mahasiswa yang sedang duduk di kursi tunggu mulai menoleh.

“Nggak, Bu… saya cuma, saya pikir ada prosedur tertentu—”

“Dengarkan saya baik-baik.” Staf itu mencondongkan tubuh, suaranya meninggi. “Kalau kamu nggak mampu bayar, ya jangan maksa kuliah. Banyak kok kampus lain yang lebih… sesuai kemampuan.”

Nayla merasa wajahnya panas. “Bu… saya bukan nggak mau bayar, tapi saya… saya sedang berusaha.”

Staf itu berdiri dari kursinya, membuat orang-orang di sekitar langsung melirik.

“Semua mahasiswa juga berusaha! Tapi nggak semuanya merengek minta keringanan seperti ini.”

“Aku… aku tidak merengek,” suara Nayla pecah tanpa ia sadari

“Oh iya? Terus ini apa?” Staf itu mengangkat surat tunggakan sambil tertawa kecil. “Aduh, jangan drama deh. Kampus ini punya standar. Kalau nggak mampu, ya keluar. Simple.”

Hening mendadak menyelimuti ruangan. Beberapa mahasiswa berhenti mengetik di ponsel mereka, memperhatikan.

Nayla bisa merasakan jantungnya menggedor telinga, napasnya mulai tak teratur. Ia mencoba menjelaskan lagi, tapi tenggorokannya tercekat.

Staf itu menatapnya lama—lama sekali—sebelum akhirnya menutup map dengan kasar dan mendorongnya ke meja.

“Saya ulangi untuk terakhir kali,” katanya, jelas dan keras. “Tidak ada keringanan. Tidak ada cicilan. Tidak ada dispensasi. Kalau sampai tujuh hari tidak dibayar, statusmu dinonaktifkan.”

Nayla memegang map itu dengan tangan gemetar.

Orang-orang masih memperhatikan. Seseorang di sudut ruangan berbisik pelan

“Kasihan banget… tapi ya gimana, ini kampus swasta…” Bisikan itu menusuk lebih keras daripada kata-kata staf tadi.

Nayla menelan ludah, mencoba menahan air mata yang sudah mendesak di pelupuk. “Baik, Bu. Terima kasih,” ucapnya pelan, hampir tak terdengar.

Ia memutar badan, langkahnya goyah. Setiap meter yang ia tempuh di lorong itu terasa seperti satu kilometer. Dunia berputar samar-samar. Pandangan mulai kabur.

Lalu suara-suara di sekitarnya perlahan memudar.

Sampai akhirnya ia berhenti tepat di depan mesin fotokopi yang berdiri di luar ruang administrasi. Kedua lututnya tiba-tiba melemas.

“Nay? Eh, Nayla? Kamu nggak apa-apa?”

Suara perempuan itu samar. Salah satu mahasiswi mengenali Nayla, tapi wajahnya tidak jelas.

Nayla mencoba menjawab—namun yang keluar hanya desahan. Tangannya mencari pegangan, tapi tidak menemukan apa pun. Ruangan terasa berputar cepat.

Dan semuanya gelap.

Ketika ia membuka mata, Nayla terbaring di bangku panjang dekat taman kampus. Udara lebih sejuk, mungkin karena ia berada di bawah pohon besar.

Seorang mahasiswa laki-laki berdiri di dekatnya.

“Mbaknya pingsan tadi di depan administrasi. Aku bawa ke sini biar nggak rame,” katanya pelan.

Nayla mencoba bangun sedikit. “Maaf… aku… aku nggak apa-apa.”

“Kamu yakin?” tanya laki-laki itu.

Nayla mengangguk cepat. “Iya. Terima kasih. Aku cuma… capek.”

Ia tidak ingin menjelaskan apa pun. Tidak ingin siapapun tahu apa yang baru saja terjadi.

Laki-laki itu akhirnya pergi setelah memastikan ia baik-baik saja. Begitu ia hilang dari pandangan, Nayla menekuk lutut dan merunduk.

Air mata yang ia tahan sejak tadi akhirnya tumpah Ia menangis tanpa suara, hanya bahunya yang terguncang. Tangannya menutupi wajah, seolah ingin menyembunyikan diri dari dunia.

Mungkin inilah titik terendah dari hidupnya. Beasiswa hilang. Tunggakan menumpuk. Ibu tidak peduli. Kampus mempermalukannya.

Dan tujuh hari terasa seperti hitungan detik.

Nayla menghapus air matanya buru-buru ketika sekelompok mahasiswa lewat sambil bercanda. Ia menunduk lebih dalam, berharap mereka tidak memperhatikannya. Tapi bahkan setelah langkah mereka menjauh, dadanya masih terasa sesak.

Ia mengusap wajah dengan punggung tangan—gerakan cepat, gugup—lalu menarik napas panjang beberapa kali untuk menenangkan diri. Meski begitu, tubuhnya masih terasa ringan seperti kapas, sisa efek pingsan yang belum hilang sepenuhnya.

Seketika ponselnya bergetar di dalam tas. Nayla menatap layar. Nomor tak dikenal.

Untuk sesaat ia ragu. Biasanya ia mengabaikan nomor asing—tiba-tiba ada rasa takut akan berita buruk lain. Tapi entah kenapa kali ini, ibu jarinya bergerak sendiri menekan tombol hijau.

“Halo… dengan siapa ya?” suaranya pelan dan serak.

Tidak ada jawaban selama beberapa detik. Hanya bunyi napas samar dari seberang. “Nayla?” suara laki-laki. Dalam, tenang, dan… familiar.

Nayla mengerutkan kening. “Iya. Ini siapa?”

“Rafael.”

Dadanya langsung berhenti bergerak sejenak, seperti lupa bernapas.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Demi Kuliah Aku Rela Jadi Istri Simpanan    Bab 20 — Pagi yang Tidak Seharusnya Senyaman Ini

    Pagi itu, Jakarta belum benar-benar bangun.Langit masih berwarna biru keabu-abuan, dan suara kendaraan hanya samar-samar dari kejauhan. Di dalam apartemen kecil itu, aroma lembut kopi dan roti panggang memenuhi udara—aroma yang seharusnya tidak ada di ruangan sekecil ini.Nayla menatap meja dapur yang sederhana. Dua cangkir kopi; satu hitam tanpa gula, satu lagi dengan sedikit susu. Ia bahkan tidak sadar tadi membuat dua cangkir sampai melihat hasilnya.Kebiasaan.Karena Rafael suka kopi yang pahit.Nayla menggigit bibir. Dadanya kembali sesak, tapi kali ini bukan karena takut. Lebih seperti… bingung dengan dirinya sendiri.Ia menunduk, merapikan rambut yang berantakan. Semalaman ia hampir tidak tidur. Bukan karena menyesal—justru sebaliknya. Itulah masalahnya.Ia berjalan perlahan ke arah kamar, dan pemandangan yang ia temui membuat langkahnya berhenti di ambang pintu.Rafael masih tertidur.Di ranjangnya.Di apartemennya.Lelaki itu berbaring dengan posisi setengah menyamping, satu

  • Demi Kuliah Aku Rela Jadi Istri Simpanan    Bab 19 – Rasa Bersalah

    Langit sore Jakarta masih menyisakan warna kelabu ketika Nayla tiba di apartemen. Hujan yang turun sejak siang meninggalkan aroma tanah basah yang menempel di udara. Tangannya dingin karena memegang payung, tapi anehnya… dadanya justru terasa panas.Ia menutup pintu perlahan, seolah takut mengganggu keheningan yang memenuhi ruangan. Apartemen itu terlalu rapi, terlalu sunyi, terlalu… mahal untuk seorang gadis biasa seperti dirinya.Mungkin itu sebabnya setiap langkah di dalam unit ini terasa seperti menginjak garis batas:garis antara siapa dirinya sebenarnya dan siapa dirinya bagi Rafael.Nayla berganti pakaian, lalu duduk di sofa tanpa menyalakan TV. Pikirannya enggan diam sejak tadi. Seharian ia mencoba mengalihkan perhatian ke tugas kuliah, tapi setiap jeda, setiap napas, bayangan Rafael terus menuntut ruang.Cara Rafael menatapnya kemarin.Cara lelaki itu menghampirinya tanpa banyak bicara.Cara Rafael seolah… membutuhkan kehadirannya.Dan itulah yang membuat semuanya kacau.Nayl

  • Demi Kuliah Aku Rela Jadi Istri Simpanan    Bab 18 – Istri yang Mulai Bertanya-tanya

    Malam itu hujan turun tipis di Singapura. Lampu kota memantul di kaca apartemen Larissa, membentuk pola berkilau yang biasanya justru menenangkan. Tapi malam ini, ketenangan itu seperti tidak mampu menyentuh dirinya.Larissa duduk di tepi ranjang, masih mengenakan blouse kerja yang belum sempat dilepas. Rambutnya yang rapi sejak pagi mulai berantakan. Di pangkuannya, ponsel menyala dengan layar pesan yang sama untuk kesekian kali.Rafael: “Rapat malam. Pulang terlambat.”Kalimat itu sederhana. Biasa. Tidak mencurigakan kalau yang menulis adalah pria lain. Tapi Rafael… Rafael bukan tipe yang menjelaskan hal-hal yang tidak perlu.Jika ia sibuk, ia hanya akan membalas dengan: “Sibuk. Nanti.”Tapi belakangan… jawabannya berubah. Lebih sering. Lebih panjang. Lebih… manusia.Larissa menatap layar itu lama, seperti berusaha membaca sesuatu di antara huruf. Ada perasaan aneh yang ia tidak suka. Bukan cemburu—Larissa bukan tipe yang mudah dirusak perasaan seperti itu. Lebih seperti… firasat.F

  • Demi Kuliah Aku Rela Jadi Istri Simpanan    Bab 17 – Kebiasaan Baru yang Tidak Disengaja

    Pagi itu, alarm Nayla tidak sempat berdering.Ia terbangun karena suara ketukan pelan di pintu. Mata Nayla terbuka hanya separuh, masih berusaha memahami apakah ia benar-benar mendengar sesuatu atau itu hanya suara dari mimpinya.Ketukan kedua datang. Jelas. Teratur.Nayla bangun cepat, sedikit panik. Ia mengecek jam di ponsel.07.45.Ia membeku sejenak. Waktu itu langsung membuat otaknya menyala.Rafael.Dengan langkah tergesa, ia berjalan ke pintu sambil merapikan rambut yang masih berantakan. Begitu pintu dibuka, Rafael berdiri di sana—rapi, wangi, dan terlihat seolah sudah siap rapat besar.Sementara Nayla… masih dengan wajah baru bangun dan kaos longgar.Rafael mengerjap sekali, memperhatikan penampilannya dari kepala sampai ujung kaki. “Kamu baru bangun.”Kalimat itu bukan pertanyaan.Nayla refleks menutup mulutnya dengan tangan,menahan malu. “Maaf… saya—saya ketiduran.”Rafael masuk tanpa menunggu persilakan, menaruh dua kantong kertas di meja makan. Aroma makanan langsung meme

  • Demi Kuliah Aku Rela Jadi Istri Simpanan    Bab 16 – Tetap Melangkah Meski Lelah

    Alarm ponsel Nayla bergetar pelan pukul enam pagi. Ia membuka mata dengan berat, seperti kelopak matanya menolak berdamai dengan realitas. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih dari kejutan dua hari terakhir—akad mendadak, perpindahan tempat tinggal, dan kedatangan Rafael yang entah kenapa terus mengganggu pikirannya.Ia berbaring sebentar, menatap langit-langit kamar apartemen yang masih terasa asing. Tidak ada suara ibu memanggilnya. Tidak ada bau masakan dari dapur. Hanya hening yang terlalu rapi, terlalu bersih… terlalu jauh dari hidupnya sebelumnya.Tapi kuliah menunggu.Dan dunia tidak berhenti hanya karena hatinya sedang karam.Nayla memaksa diri bangun, mandi, lalu mengenakan seragam kampus yang sudah ia setrika semalam. Ia memilih pakaian yang sederhana saja—blus putih dan celana hitam. Rambutnya ia cepol rapi. Dari luar, mungkin ia terlihat sama seperti Nayla yang semua orang kenal.Tapi dari dalam… banyak yang berubah.Setelah sarapan sedikit—lebih tepatnya menelan beberapa sendo

  • Demi Kuliah Aku Rela Jadi Istri Simpanan    Bab 15 – Rafael yang Tidak Lagi Sama

    Siang itu berlalu dengan perlahan, seperti jam terpaksa menyeret kakinya melewati waktu. Setelah Rafael pergi, apartemen terasa lebih hening daripada pagi tadi—hening yang aneh, karena masih ada jejak kehadirannya di udara. Entah itu aroma parfum yang samar tertinggal di sofa, atau suara pintu yang tadi ditutup pelan dan masih terngiang sampai sekarang.Nayla duduk lama di meja makan, memandangi cangkir teh yang sejak pagi belum disentuh. Rasanya seperti benda asing di depannya; ia tidak benar-benar haus, tidak juga lapar. Hanya… bingung.Ucapan Rafael tadi berputar-putar di kepalanya.> “Aku tidak ingin kamu merasa sendirian.”Kalimat itu tidak seharusnya berarti apa-apa. Tidak dari pria seperti Rafael. Tidak setelah akad siri yang tanpa romansa. Tapi entah kenapa, kata-kata itu justru paling sulit diabaikan.Menjelang sore, ponselnya berbunyi.Satu pesan masuk. Dari Rafael.> Sudah makan?Nayla memandangi layar itu lama. Pertanyaan itu sederhana. Bahkan terkesan dingin kalau orang l

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status