LOGINRafael tidak pernah menyangka hari itu ia akan datang ke kampus tempat Nayla kuliah. Bukan untuk urusan pribadi, tentu saja—ia tidak tahu Nayla ada di sini. Ia datang karena undangan rapat mengenai kerja sama program magang antara perusahaannya dan fakultas bisnis. Agenda singkat, formal, dan biasanya membosankan. Ia bahkan berencana pulang segera setelah pidato sambutan.
Namun langkahnya terhenti bahkan sebelum ia sempat mencapai lobi gedung fakultas. Di lorong depan administrasi, kerumunan kecil terbentuk. Tidak besar, hanya tiga atau empat mahasiswa yang berdiri sambil berbisik. Rafael tidak tertarik, sampai seseorang menyebut nama. “…kasihan banget Nayla…” Langkahnya langsung berhenti. Ia menoleh—mencoba memastikan telinganya tidak salah dengar. Lalu ia melihatnya. Nayla. Gadis itu berdiri terpaku di tengah lorong, memeluk map cokelat seperti memeluk sisa-sisa hidupnya yang hampir jatuh. Wajahnya pucat, bibirnya gemetar, dan sorot matanya kosong seperti seseorang yang baru saja dipatahkan. Rafael merasakan sesuatu menyeret dadanya turun. Bukan kasihan—lebih dari itu. Sesuatu yang tidak pernah ia rasakan ketika melihat orang asing dalam kesulitan. Nayla bukan sekadar siapapun. Ia mengamati dari kejauhan. Tepat saat itu, Nayla melangkah keluar dari ruang administrasi dengan tubuh yang hampir ambruk. Rafael melihat semuanya dengan jelas: bagaimana gadis itu berusaha tetap tegak, bagaimana tangannya gemetar memegang map, bagaimana ia mengedip cepat, mencoba menahan air mata. Lalu ia melihat apa yang membuat darahnya panas. Staf administrasi di dalam ruangan itu tertawa kecil sambil mengibaskan tangannya, seolah Nayla hanyalah gangguan kecil. Beberapa mahasiswa ikut menatap dengan rasa iba bercampur gosip. Rafael mengepalkan tangan. Tidak sopan. Tidak profesional. Tidak manusiawi. Ia tidak tahu apa yang terjadi di dalam, tapi cukup melihat wajah Nayla untuk mengerti bahwa sesuatu yang buruk sudah menimpanya. Nayla mulai berjalan—pelan, goyah, seperti orang yang setiap langkahnya menahan beban yang terlalu berat. Rafael maju satu langkah hendak menghampiri, tapi ia berhenti. Ia tidak tahu harus berkata apa. Tidak ingin terlihat seperti pria asing yang tiba-tiba ikut campur. Tapi ketika Nayla berhenti di depan mesin fotokopi, tubuhnya limbung, Rafael langsung bergerak. Namun ia terlambat setengah detik. Nayla ambruk. Gadis itu jatuh perlahan, bukan terhempas. Seperti boneka kain yang kehabisan tenaga. Rafael berlari, tapi seorang mahasiswi yang berada lebih dekat sigap memegang bahu Nayla. Tidak cukup untuk menahan sepenuhnya—tapi cukup mencegah ia terbanting. “Nay? Kamu nggak apa-apa?” suara mahasiswi itu panik. Rafael berhenti dua meter dari mereka. Jantungnya berdetak tidak karuan. Napasnya seperti tertahan. Ia ingin menyingkirkan semua orang dari sekitar, ingin memeriksa Nayla sendiri. Tapi ia tidak punya hak untuk itu. Ia hanya bisa melihat. Mahasiswi itu memanggil seorang teman laki-laki. Bersama-sama, mereka membawa Nayla ke bangku taman di dekat gedung administrasi. Rafael mengikuti dari jauh, menjaga jarak, tapi tidak bisa mengalihkan pandangannya. Ia melihat bagaimana Nayla mencoba bangun, bagaimana ia meminta maaf padahal tidak salah, bagaimana ia memaksa tersenyum untuk menenangkan orang yang menolongnya. Lalu mahasiswa itu pergi. Dan Nayla… runtuh. Rafael menyaksikan bagaimana bahu itu terguncang, bagaimana tangan Nayla menutupi wajah, bagaimana ia menangis tanpa suara—tangisan paling sunyi dan paling menyakitkan yang pernah dilihat Rafael dalam hidupnya. Di titik itu, Rafael tidak bisa lagi berdiri diam. Ia melangkah maju. Tidak cepat. Tidak lambat. Berhenti lima langkah dari bangku tempat Nayla menangis. Ia ingin bicara, tapi suara macet di tenggorokan. Ia meraih ponselnya, bingung, ingin meminta tolong siapa pun—dokter kampus, satpam, dosen. Tapi akhirnya yang ia lakukan hanyalah berdiri di sana—diam, namun waspada. Menjaga dari kejauhan. Ketika sekelompok mahasiswa lewat sambil tertawa, Rafael memperhatikan betapa Nayla buru-buru menghapus air mata, menunduk dalam-dalam, seolah malu terlihat rapuh. Ia menunduk begitu rendah sampai bahunya yang kecil bergetar. Ada sesuatu dalam gerakan itu yang menusuk Rafael lebih keras daripada yang ia antisipasi. Ia ingin menghampiri. Ingin duduk di sampingnya dan bilang: Kamu tidak harus menanggung semuanya sendirian. Namun akal sehatnya menahan. Nayla mungkin akan ketakutan jika pria tak dikenal tiba-tiba mendekatinya di saat seperti ini. Jadi ia menunggu. Ketika ponsel Nayla bergetar, Rafael memperhatikan tubuhnya menegang. Gadis itu menatap layar lama sekali sebelum akhirnya mengangkat. Rafael mendengar suaranya—pelan, serak, dan patah. “Halo… dengan siapa ya?” Satu detik kemudian, Rafael tahu ia tidak bisa diam lebih lama. Bukan karena ia ingin menjadi pahlawan. Tapi karena suara Nayla terdengar seperti seseorang yang sedang duduk tepat di tepi jurang. Ia menghubungi Pak Harun beberapa menit sebelumnya—berpura-pura butuh kontak mahasiswa magang. Nyatanya, ia hanya ingin memastikan Nayla aman setelah melihatnya berjalan seperti bayangan. Ketika Nayla tidak menjawab teleponnya, Rafael sempat panik. Jadi saat Nayla akhirnya mengangkat, ia hanya bisa mengucapkan satu kata: “Nayla?” Hening. Rafael merasakan jantungnya memukul dadanya sendiri. “Iya. Ini siapa?” “Rafael.” Ia bisa mendengar perubahan napas Nayla—kaget, bingung, takut, tapi juga… ada sedikit rasa lega? Rafael tidak tahu pasti. “Aku tanya ke Pak Harun,” katanya jujur ketika Nayla bertanya bagaimana ia mendapatkan nomor itu. “Kalau kamu perlu bantuan hubungi aku. Kapan saja,” ucap Rafael. Dan itu bukan basa-basi. Itu janji. Setelah telepon berakhir, Rafael masih berdiri di sana, memperhatikan Nayla berdiri perlahan sambil menghapus air mata terakhir yang tersisa di sudut matanya. Ia mengikuti dari kejauhan saat gadis itu berjalan keluar dari area kampus, langkahnya gemetar tapi tetap maju. Tidak ada yang melihat betapa keras Nayla berusaha untuk tidak runtuh lagi. Rafael mengikuti langkah Nayla dengan jarak aman, memastikan ia tidak terlihat mencurigakan. Setiap beberapa meter, Nayla berhenti sebentar—mengatur napas, mengusap hidung, atau sekadar menatap lantai seolah menenangkan diri. Rafael melihat semuanya. Dan entah kenapa, setiap jeda langkah itu membuat dadanya ikut mengencang. Ketika Nayla menyeberang menuju halte kecil dekat gerbang kampus, Rafael memperlambat langkah. Ia tidak boleh terlalu dekat. Kalau Nayla merasa diikuti, itu hanya akan memperburuk keadaan. Jadi ia memilih berhenti di samping gedung perpustakaan, pura-pura melihat ponsel sambil sesekali mengintip arah halte. Nayla duduk di bangku paling ujung, menunduk, meremas map cokelat itu seperti pegangan terakhir yang ia punya. Dari kejauhan, Rafael bisa melihat betapa kecilnya tubuh itu di tengah hiruk pikuk mahasiswa lain. Seperti seseorang yang berusaha menghilang, tapi justru terlihat paling sendirian. Bus datang beberapa menit kemudian. Nayla berdiri terlalu cepat, hampir kehilangan keseimbangan. Rafael sempat maju satu langkah—refleks—kemudian menahan diri lagi. Nayla naik, memilih kursi dekat jendela. Sesaat sebelum bus melaju, ia menatap keluar. Rafael tidak yakin apakah Nayla melihatnya. Yang ia tahu, mata itu terlihat merah dan lelah. Tapi ada sedikit tekad di sana—seperti seseorang yang memaksa dirinya tetap hidup meskipun dunia sedang tidak ramah. Bus bergerak. Rafael mengikuti dengan tatapan berat, sampai kendaraan itu hilang di tikungan. Untuk beberapa saat ia berdiri sendirian di depan kampus, merasakan sesuatu yang tak ia mengerti memenuhi dadanya. Nayla telah pergi—tapi bayangan gadis itu, duduk dengan map yang hampir kusut dalam genggamannya, masih ada di kepalanya.Pagi itu, Jakarta belum benar-benar bangun.Langit masih berwarna biru keabu-abuan, dan suara kendaraan hanya samar-samar dari kejauhan. Di dalam apartemen kecil itu, aroma lembut kopi dan roti panggang memenuhi udara—aroma yang seharusnya tidak ada di ruangan sekecil ini.Nayla menatap meja dapur yang sederhana. Dua cangkir kopi; satu hitam tanpa gula, satu lagi dengan sedikit susu. Ia bahkan tidak sadar tadi membuat dua cangkir sampai melihat hasilnya.Kebiasaan.Karena Rafael suka kopi yang pahit.Nayla menggigit bibir. Dadanya kembali sesak, tapi kali ini bukan karena takut. Lebih seperti… bingung dengan dirinya sendiri.Ia menunduk, merapikan rambut yang berantakan. Semalaman ia hampir tidak tidur. Bukan karena menyesal—justru sebaliknya. Itulah masalahnya.Ia berjalan perlahan ke arah kamar, dan pemandangan yang ia temui membuat langkahnya berhenti di ambang pintu.Rafael masih tertidur.Di ranjangnya.Di apartemennya.Lelaki itu berbaring dengan posisi setengah menyamping, satu
Langit sore Jakarta masih menyisakan warna kelabu ketika Nayla tiba di apartemen. Hujan yang turun sejak siang meninggalkan aroma tanah basah yang menempel di udara. Tangannya dingin karena memegang payung, tapi anehnya… dadanya justru terasa panas.Ia menutup pintu perlahan, seolah takut mengganggu keheningan yang memenuhi ruangan. Apartemen itu terlalu rapi, terlalu sunyi, terlalu… mahal untuk seorang gadis biasa seperti dirinya.Mungkin itu sebabnya setiap langkah di dalam unit ini terasa seperti menginjak garis batas:garis antara siapa dirinya sebenarnya dan siapa dirinya bagi Rafael.Nayla berganti pakaian, lalu duduk di sofa tanpa menyalakan TV. Pikirannya enggan diam sejak tadi. Seharian ia mencoba mengalihkan perhatian ke tugas kuliah, tapi setiap jeda, setiap napas, bayangan Rafael terus menuntut ruang.Cara Rafael menatapnya kemarin.Cara lelaki itu menghampirinya tanpa banyak bicara.Cara Rafael seolah… membutuhkan kehadirannya.Dan itulah yang membuat semuanya kacau.Nayl
Malam itu hujan turun tipis di Singapura. Lampu kota memantul di kaca apartemen Larissa, membentuk pola berkilau yang biasanya justru menenangkan. Tapi malam ini, ketenangan itu seperti tidak mampu menyentuh dirinya.Larissa duduk di tepi ranjang, masih mengenakan blouse kerja yang belum sempat dilepas. Rambutnya yang rapi sejak pagi mulai berantakan. Di pangkuannya, ponsel menyala dengan layar pesan yang sama untuk kesekian kali.Rafael: “Rapat malam. Pulang terlambat.”Kalimat itu sederhana. Biasa. Tidak mencurigakan kalau yang menulis adalah pria lain. Tapi Rafael… Rafael bukan tipe yang menjelaskan hal-hal yang tidak perlu.Jika ia sibuk, ia hanya akan membalas dengan: “Sibuk. Nanti.”Tapi belakangan… jawabannya berubah. Lebih sering. Lebih panjang. Lebih… manusia.Larissa menatap layar itu lama, seperti berusaha membaca sesuatu di antara huruf. Ada perasaan aneh yang ia tidak suka. Bukan cemburu—Larissa bukan tipe yang mudah dirusak perasaan seperti itu. Lebih seperti… firasat.F
Pagi itu, alarm Nayla tidak sempat berdering.Ia terbangun karena suara ketukan pelan di pintu. Mata Nayla terbuka hanya separuh, masih berusaha memahami apakah ia benar-benar mendengar sesuatu atau itu hanya suara dari mimpinya.Ketukan kedua datang. Jelas. Teratur.Nayla bangun cepat, sedikit panik. Ia mengecek jam di ponsel.07.45.Ia membeku sejenak. Waktu itu langsung membuat otaknya menyala.Rafael.Dengan langkah tergesa, ia berjalan ke pintu sambil merapikan rambut yang masih berantakan. Begitu pintu dibuka, Rafael berdiri di sana—rapi, wangi, dan terlihat seolah sudah siap rapat besar.Sementara Nayla… masih dengan wajah baru bangun dan kaos longgar.Rafael mengerjap sekali, memperhatikan penampilannya dari kepala sampai ujung kaki. “Kamu baru bangun.”Kalimat itu bukan pertanyaan.Nayla refleks menutup mulutnya dengan tangan,menahan malu. “Maaf… saya—saya ketiduran.”Rafael masuk tanpa menunggu persilakan, menaruh dua kantong kertas di meja makan. Aroma makanan langsung meme
Alarm ponsel Nayla bergetar pelan pukul enam pagi. Ia membuka mata dengan berat, seperti kelopak matanya menolak berdamai dengan realitas. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih dari kejutan dua hari terakhir—akad mendadak, perpindahan tempat tinggal, dan kedatangan Rafael yang entah kenapa terus mengganggu pikirannya.Ia berbaring sebentar, menatap langit-langit kamar apartemen yang masih terasa asing. Tidak ada suara ibu memanggilnya. Tidak ada bau masakan dari dapur. Hanya hening yang terlalu rapi, terlalu bersih… terlalu jauh dari hidupnya sebelumnya.Tapi kuliah menunggu.Dan dunia tidak berhenti hanya karena hatinya sedang karam.Nayla memaksa diri bangun, mandi, lalu mengenakan seragam kampus yang sudah ia setrika semalam. Ia memilih pakaian yang sederhana saja—blus putih dan celana hitam. Rambutnya ia cepol rapi. Dari luar, mungkin ia terlihat sama seperti Nayla yang semua orang kenal.Tapi dari dalam… banyak yang berubah.Setelah sarapan sedikit—lebih tepatnya menelan beberapa sendo
Siang itu berlalu dengan perlahan, seperti jam terpaksa menyeret kakinya melewati waktu. Setelah Rafael pergi, apartemen terasa lebih hening daripada pagi tadi—hening yang aneh, karena masih ada jejak kehadirannya di udara. Entah itu aroma parfum yang samar tertinggal di sofa, atau suara pintu yang tadi ditutup pelan dan masih terngiang sampai sekarang.Nayla duduk lama di meja makan, memandangi cangkir teh yang sejak pagi belum disentuh. Rasanya seperti benda asing di depannya; ia tidak benar-benar haus, tidak juga lapar. Hanya… bingung.Ucapan Rafael tadi berputar-putar di kepalanya.> “Aku tidak ingin kamu merasa sendirian.”Kalimat itu tidak seharusnya berarti apa-apa. Tidak dari pria seperti Rafael. Tidak setelah akad siri yang tanpa romansa. Tapi entah kenapa, kata-kata itu justru paling sulit diabaikan.Menjelang sore, ponselnya berbunyi.Satu pesan masuk. Dari Rafael.> Sudah makan?Nayla memandangi layar itu lama. Pertanyaan itu sederhana. Bahkan terkesan dingin kalau orang l







