LOGINNayla tidak langsung menjawab. Ponsel di telinganya terasa berat, seolah benda itu tiba-tiba berubah menjadi batu. Pertanyaan Rafael menggantung di udara, perlahan meresap ke dalam kepalanya, menabrak dinding-dinding rapuh yang tadi berusaha mati-matian ia jaga agar tidak runtuh lagi.
“Kamu… butuh bantuan?” Kalimat itu sederhana. Namun di telinga Nayla, terdengar berbahaya. Terlalu lembut. Terlalu… mengerti. Badegangan yang sudah ia tahan sejak pagi mendadak pecah lagi di dada. Ia menarik napas pelan, mencoba menjaga suaranya tetap stabil meskipun tenggorokannya masih perih karena menangis. “Aku… baik,” jawab Nayla akhirnya. Bohong. Semuanya terasa jauh dari kata baik. Tapi ia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan kepada pria yang hampir tidak ia kenal bahwa hidupnya sedang retak di banyak tempat sekaligus. Di ujung telepon, Rafael terdiam sejenak. Bukan diam yang dingin. Lebih seperti seseorang yang sedang memilih kata dengan hati-hati, takut melukai, tapi juga takut melepaskan seseorang yang tampak di ambang kejatuhan. “Nayla,” ucap Rafael pelan, “Aku lihat kamu tadi—” “Aku cuma pusing,” potong Nayla buru-buru. Suaranya kecil, panik. “Tadi pagi belum sempat makan.” Rafael menghembuskan napas, terdengar samar di speaker. “Kalau kamu tidak keberatan… aku bisa—” “Tidak perlu, Pak,” Nayla kembali memotong. “Aku sudah di perjalanan pulang.” Ia menggigit bibir sendiri keras-keras setelah itu. Ia tahu suaranya terdengar seperti seseorang yang sedang lari dari sesuatu. Mungkin Rafael juga bisa mendengarnya. Lalu, suara Rafael terdengar lagi—lebih lembut, lebih hati-hati. “Aku hanya khawatir.” Kata itu—khawatir—membuat Nayla menutup mata. Tidak ada satu orang pun dalam hidupnya yang mengucapkan kalimat itu padanya dalam beberapa tahun terakhir, bahkan ibunya sendiri. Keluarga yang harusnya melindunginya sudah berjalan dengan dunia masing-masing. Nayla terlalu sibuk bekerja, kuliah, berjuang mempertahankan hidup—hingga tidak ada ruang untuk menerima kekhawatiran dari siapapun. Jadi ketika ada seseorang yang mengatakannya, reaksi pertamanya justru adalah takut. Ia takut kebiasaan yang ia bangun—menanggung semuanya sendirian—akan runtuh begitu saja. “…terima kasih,” jawab Nayla pelan. Nyaris berbisik. “Tapi aku benar-benar bisa urus sendiri.” Hening lagi beberapa detik. “Baik,” suara Rafael akhirnya terdengar, tunduk namun tidak memaksa. “Kalau kamu berubah pikiran, hubungi aku.” Telepon terputus. Nayla menurunkan ponselnya. Ia menatap layar yang gelap beberapa lama, merasa seolah sesuatu di dada bergerak pelan—bukan rasa lega, tapi juga bukan rasa takut. Lebih seperti sesuatu yang belum ia mengerti. Bus berguncang kecil, membuat Nayla bersandar ke jendela. Ia memejamkan mata sebentar, mencoba merapikan isi kepalanya. Namun adegan di kampus tadi terus berputar—tatapan iba mahasiswa, tawa sinis staf administrasi, rasa malu yang memukul dada, dan… wajah Rafael, meski hanya sekilas, ketika ia hampir berlari menghampirinya. Nayla menggenggam map cokelat itu lebih erat. “Semua ini cuma hari buruk,” ia bergumam pelan, lebih kepada dirinya sendiri. “Nanti juga berlalu.” Tapi ketika bus berhenti di depan gang kosnya, Nayla tahu hari itu belum selesai. Di lantai dua kos sederhana itu, lorong kecil sudah sepi. Lampu neon menggantung redup, berkedip-kedip seperti hampir putus. Suara kipas angin tua dari dapur bersama terdengar lirih. Tempat itu selalu terasa sunyi, tapi malam ini kesunyiannya terdengar berbeda—lebih dingin, lebih menekan. Begitu masuk kamar, Nayla melepaskan tasnya dan langsung terduduk di lantai. Bukan dramatis, hanya karena lututnya memang lemas. Napasnya memburu. Emosinya datang lagi, bergulung seperti gelombang yang sejak tadi ia tekan di bawah permukaan. Ia menunduk. Sebelah tangannya menutupi wajah, sebelah lagi meremas ujung jaket. Setelah beberapa menit, ia mendongak. Matanya masih basah, tapi pikiran mulai sedikit jernih. Ia mengeluarkan surat tunggakan dari map, meletakkannya di lantai kamar yang dingin. Angkanya seperti menghina. Angka yang tidak mungkin ia bayar bahkan kalau ia bekerja siang malam selama sebulan penuh. Deadline: tujuh hari. Nayla menarik napas panjang—panjang sekali—hingga dadanya terasa perih. Ia meraih ponsel, membuka kontak, menatap nomor Rafael yang tadi meneleponnya. “Aku bukan tipe orang yang bergantung pada siapa pun,” ia berbisik pada dirinya sendiri. Namun bayangan dirinya yang pingsan, menangis di bangku taman, ditatap iba—semuanya membuat ia bertanya-tanya apakah ia masih sanggup bertahan dengan cara itu. Ponselnya tiba-tiba bergetar. Satu notifikasi masuk. Chat dari Rafael. > Sudah sampai rumah? Jangan lupa makan dulu. Nayla menatap layar itu lama. Pesan pendek, sederhana, tapi terasa lebih hangat dari apa pun yang ia dengar seharian ini. Jemari Nayla gemetar saat ia membalas. > Sudah. Terima kasih, Pak. Balasan datang hampir seketika. > Kalau kepala kamu masih pusing atau butuh sesuatu… bilang saja. Nayla menggigit bibir. Ada sesuatu yang mulai menghangat di dada, tipis, rapuh, tapi nyata. Namun ia menahan diri. Tidak boleh bergantung. Tidak boleh terlihat lemah. Tidak boleh membuat masalahnya menjadi beban orang lain. Jadi ia membalas dengan kalimat yang paling aman: > Saya baik-baik saja. Beberapa menit tidak ada balasan. Nayla mengira percakapan selesai… sampai pesan berikutnya muncul. > Nayla, besok aku masih ada rapat di fakultas. Kalau kamu di kampus… aku ingin kita bicara sebentar. Nayla membeku. Bicara? Tentang apa? Tentang kejadian tadi? Tentang hidupnya yang berantakan? Tentang rasa kasihan yang—entah kenapa—ia takut sekaligus butuhkan? Lalu satu pesan menyusul, hanya tiga kata: > Kamu butuh bantuan? Kata-kata yang tadi ia hindari… kini kembali menghantam. Hening memenuhi kamar kecil itu. Nayla memandang layar ponselnya dengan jantung yang berdegup keras, seolah tubuhnya tahu jawaban yang tidak berani ia ucapkan. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Ia takut. Takut membuka pintu yang mungkin tidak bisa ia tutup lagi. Takut menerima uluran tangan yang bisa membuatnya bergantung. Tetapi—lebih dari itu—ia takut menghadapi semua ini sendirian. Untuk pertama kalinya hari itu, Nayla berbisik lirih, hampir tidak terdengar: “Ya… aku butuh bantuan…” Namun itu hanya keluar di udara kosong, bukan ke ponsel. Tangannya gemetar saat ia mengetik balasan. Belum ia kirimkan, layar ponselnya mati karena timeout. Nayla menarik napas, menyalakannya lagi, menatap kalimat yang masih menggantung di kolom chat. Jarinya bergerak… klik. Pesan terkirim. > Mungkin… iya.Pagi itu, Jakarta belum benar-benar bangun.Langit masih berwarna biru keabu-abuan, dan suara kendaraan hanya samar-samar dari kejauhan. Di dalam apartemen kecil itu, aroma lembut kopi dan roti panggang memenuhi udara—aroma yang seharusnya tidak ada di ruangan sekecil ini.Nayla menatap meja dapur yang sederhana. Dua cangkir kopi; satu hitam tanpa gula, satu lagi dengan sedikit susu. Ia bahkan tidak sadar tadi membuat dua cangkir sampai melihat hasilnya.Kebiasaan.Karena Rafael suka kopi yang pahit.Nayla menggigit bibir. Dadanya kembali sesak, tapi kali ini bukan karena takut. Lebih seperti… bingung dengan dirinya sendiri.Ia menunduk, merapikan rambut yang berantakan. Semalaman ia hampir tidak tidur. Bukan karena menyesal—justru sebaliknya. Itulah masalahnya.Ia berjalan perlahan ke arah kamar, dan pemandangan yang ia temui membuat langkahnya berhenti di ambang pintu.Rafael masih tertidur.Di ranjangnya.Di apartemennya.Lelaki itu berbaring dengan posisi setengah menyamping, satu
Langit sore Jakarta masih menyisakan warna kelabu ketika Nayla tiba di apartemen. Hujan yang turun sejak siang meninggalkan aroma tanah basah yang menempel di udara. Tangannya dingin karena memegang payung, tapi anehnya… dadanya justru terasa panas.Ia menutup pintu perlahan, seolah takut mengganggu keheningan yang memenuhi ruangan. Apartemen itu terlalu rapi, terlalu sunyi, terlalu… mahal untuk seorang gadis biasa seperti dirinya.Mungkin itu sebabnya setiap langkah di dalam unit ini terasa seperti menginjak garis batas:garis antara siapa dirinya sebenarnya dan siapa dirinya bagi Rafael.Nayla berganti pakaian, lalu duduk di sofa tanpa menyalakan TV. Pikirannya enggan diam sejak tadi. Seharian ia mencoba mengalihkan perhatian ke tugas kuliah, tapi setiap jeda, setiap napas, bayangan Rafael terus menuntut ruang.Cara Rafael menatapnya kemarin.Cara lelaki itu menghampirinya tanpa banyak bicara.Cara Rafael seolah… membutuhkan kehadirannya.Dan itulah yang membuat semuanya kacau.Nayl
Malam itu hujan turun tipis di Singapura. Lampu kota memantul di kaca apartemen Larissa, membentuk pola berkilau yang biasanya justru menenangkan. Tapi malam ini, ketenangan itu seperti tidak mampu menyentuh dirinya.Larissa duduk di tepi ranjang, masih mengenakan blouse kerja yang belum sempat dilepas. Rambutnya yang rapi sejak pagi mulai berantakan. Di pangkuannya, ponsel menyala dengan layar pesan yang sama untuk kesekian kali.Rafael: “Rapat malam. Pulang terlambat.”Kalimat itu sederhana. Biasa. Tidak mencurigakan kalau yang menulis adalah pria lain. Tapi Rafael… Rafael bukan tipe yang menjelaskan hal-hal yang tidak perlu.Jika ia sibuk, ia hanya akan membalas dengan: “Sibuk. Nanti.”Tapi belakangan… jawabannya berubah. Lebih sering. Lebih panjang. Lebih… manusia.Larissa menatap layar itu lama, seperti berusaha membaca sesuatu di antara huruf. Ada perasaan aneh yang ia tidak suka. Bukan cemburu—Larissa bukan tipe yang mudah dirusak perasaan seperti itu. Lebih seperti… firasat.F
Pagi itu, alarm Nayla tidak sempat berdering.Ia terbangun karena suara ketukan pelan di pintu. Mata Nayla terbuka hanya separuh, masih berusaha memahami apakah ia benar-benar mendengar sesuatu atau itu hanya suara dari mimpinya.Ketukan kedua datang. Jelas. Teratur.Nayla bangun cepat, sedikit panik. Ia mengecek jam di ponsel.07.45.Ia membeku sejenak. Waktu itu langsung membuat otaknya menyala.Rafael.Dengan langkah tergesa, ia berjalan ke pintu sambil merapikan rambut yang masih berantakan. Begitu pintu dibuka, Rafael berdiri di sana—rapi, wangi, dan terlihat seolah sudah siap rapat besar.Sementara Nayla… masih dengan wajah baru bangun dan kaos longgar.Rafael mengerjap sekali, memperhatikan penampilannya dari kepala sampai ujung kaki. “Kamu baru bangun.”Kalimat itu bukan pertanyaan.Nayla refleks menutup mulutnya dengan tangan,menahan malu. “Maaf… saya—saya ketiduran.”Rafael masuk tanpa menunggu persilakan, menaruh dua kantong kertas di meja makan. Aroma makanan langsung meme
Alarm ponsel Nayla bergetar pelan pukul enam pagi. Ia membuka mata dengan berat, seperti kelopak matanya menolak berdamai dengan realitas. Tubuhnya belum sepenuhnya pulih dari kejutan dua hari terakhir—akad mendadak, perpindahan tempat tinggal, dan kedatangan Rafael yang entah kenapa terus mengganggu pikirannya.Ia berbaring sebentar, menatap langit-langit kamar apartemen yang masih terasa asing. Tidak ada suara ibu memanggilnya. Tidak ada bau masakan dari dapur. Hanya hening yang terlalu rapi, terlalu bersih… terlalu jauh dari hidupnya sebelumnya.Tapi kuliah menunggu.Dan dunia tidak berhenti hanya karena hatinya sedang karam.Nayla memaksa diri bangun, mandi, lalu mengenakan seragam kampus yang sudah ia setrika semalam. Ia memilih pakaian yang sederhana saja—blus putih dan celana hitam. Rambutnya ia cepol rapi. Dari luar, mungkin ia terlihat sama seperti Nayla yang semua orang kenal.Tapi dari dalam… banyak yang berubah.Setelah sarapan sedikit—lebih tepatnya menelan beberapa sendo
Siang itu berlalu dengan perlahan, seperti jam terpaksa menyeret kakinya melewati waktu. Setelah Rafael pergi, apartemen terasa lebih hening daripada pagi tadi—hening yang aneh, karena masih ada jejak kehadirannya di udara. Entah itu aroma parfum yang samar tertinggal di sofa, atau suara pintu yang tadi ditutup pelan dan masih terngiang sampai sekarang.Nayla duduk lama di meja makan, memandangi cangkir teh yang sejak pagi belum disentuh. Rasanya seperti benda asing di depannya; ia tidak benar-benar haus, tidak juga lapar. Hanya… bingung.Ucapan Rafael tadi berputar-putar di kepalanya.> “Aku tidak ingin kamu merasa sendirian.”Kalimat itu tidak seharusnya berarti apa-apa. Tidak dari pria seperti Rafael. Tidak setelah akad siri yang tanpa romansa. Tapi entah kenapa, kata-kata itu justru paling sulit diabaikan.Menjelang sore, ponselnya berbunyi.Satu pesan masuk. Dari Rafael.> Sudah makan?Nayla memandangi layar itu lama. Pertanyaan itu sederhana. Bahkan terkesan dingin kalau orang l







