"Dad," sapa Xavier begitu dia sampai di ruang tamu. Dia menoleh ke sana ke mari, mencari keberadaan ibunya. "Di mana Mom?" tanya Xavier.
"Mommy sedang ada di rumah. Raylin baru saja pulang." jawab Jacob.
Xavier mengangguk-anggukan kepalanya. Dia duduk di depan ayahnya, menunggu hal apa yang akan disampaikan oleh ayahnya.
"Jujur pada Dad, Xavier. Apa kau berurusan dengan Constantin?" tanya Jacob menatap anaknya dengan tajam.
"Dia mengusik wilayahku lebih dulu, Dad," jawab Xavier dengan santai.
"Apa kematian James ada hubungannya dengan ini?" tanya Jacob kembali.
Xavier tak menjawab, tapi dari sorot mata yang dilihat oleh Jacob, dia yakin jika tebakannya memang benar. Hal ini membuat Jacob menghela nafas pelan, tubuhnya langsung menyandar ke sofa.
"Seharusnya kau hanya perlu meneruskan usaha Daddy, kenapa kau harus berurusan dengan barang terkutuk seperti itu? Daddy yakin, jika mommy tahu hal ini dia akan marah padamu." Jacob memberi putranya itu pengertian.
"Sudahlah, Dad. Kau tak perlu ikut campur, yang terpenting aku tak memakai barang itu. Aku hanya mengikuti pasar, karena di sini masih awam dengan barang itu." Lagi-lagi Xavier menjawabnya dengan santai.
Jacob yang sudah tahu watak putranya itu akhirnya menyerah untuk menasihati. Dia berdiri, merapikan jasnya lalu menatap ke arah Xavier.
"Berhati-hatilah, Constantin bukan sembarang lawan. Kau harus mengantisipasi setiap langkah yang kau ambil."
Xavier mengangguk mendengarkan ucapan ayahnya, dia ikut berdiri, mengantarkan ayahnya sampai di depan pintu.
"Pulanglah ke rumah, adikmu sangat merindukanmu." Jacob menoleh ke arah Xavier sebelum dia masuk ke dalam mobil.
Lagi-lagi Xavier hanya mengangguk, dia segera masuk ke dalam dan bertemu salah satu anak buahnya. Anak buahnya itu mengabarkan jika Alexander sudah siuman. Hal itu membuat Xavier dengan segera berjalan ke rumah belakang, di mana para anak buahnya tinggal di sana.
Ketika Xavier masuk ke dalam, ternyata sudah ada Noah di sana. Noah duduk di sebelah Alexander. Melihat bosnya itu datang, Noah segera berdiri menyambutnya.
"Kau sudah baikan, Alex?" tanya Xavier yang langsung duduk di tempat Noah tadi.
"Saya merasa baikan, Tuan." jawab Alexander.
Xavier mengangguk, dia melipat kedua tangannya di dada. Meskipun salah satu lengannya masih sakit, tapi dia mengabaikannya. "Bisa kau ceritakan padaku, apa yang terjadi padamu semalam?" tanya Xavier.
Alexander tampak mengingat-ingat sebelum dia berkata, "Saya dan James menemukan pintu di sebelah pohon rimbun yang ada di sebelah mansion. Kita hampir masuk ketika mendengar suara tembakan." Alexander tampak menghela nafas pelan. "Saya memutuskan untuk tetap masuk ke dalam, dan tak tahu jika James berbalik pergi. Ketika saya menoleh, saya sudah tak menemukan James." Alexander menjelaskan semua yang dialaminya.
Xavier dan Noah senantiasa mendengarkan, di antara mereka, entah mengapa Noah merasa jika Alexander menyembunyikan sesuatu dengan mereka.
"Saya ceroboh tak memikirkan situasi, dengan bodohnya saya berteriak memanggil James. Alhasil saya ketahuan dan mulai dikejar oleh para penjaga. Saya berlari terus masuk ke hutan, tapi naas ternyata jumlah mereka sangat banyak. Saya yang kehabisan amunisi membuat saya tak bisa berkutik ketika para penjaga itu memukuli saya, dan setelah itu saya tak ingat apapun karena saya pingsan," ucap Alexander lagi.
"Apa kau tahu yang terjadi pada James?" tanya Noah menatap tajam pada Alexander.
Sedangkan Alexander hanya menggeleng lemah, dia menatap Noah sebentar sebelum kembali menundukkan kepalanya.
"Dia mati." Noah mengucapkan hal itu dengan sekali tarikan nafas. Dadanya bergerumuh menahan amarah setiap mengingat jika James mati di tangan musuh.
Alexander mendongak dengan wajah kaget yang dibuatnya. Mulutnya terbuka ingin mengatakan sesuatu, tapi dengan cepat Xavier menyela.
"Istirahatlah, jika sudah sembuh kau harus kembali bekerja."
Alexander mengangguk, dia membiarkan Xavier dan Noah pergi dari sana. Setelah pintu tertutup, senyum yang sedari tadi dia tahan keluar juga. Rasa senang di hatinya mendera jika mengingat bagaimana semalam dia membunuh James dengan tangannya sendiri.
Alexander meraba bagian bawah ketiaknya yang terlihat menonjol, itu adalah alat penyadap yang ditanamkan di tubuhnya. Dengan alat ini, dia bisa memberitahukan semua keadaannya pada seseorang, tanpa harus repot menggunakan handphonenya. Dalam hatinya, dia tersenyum puas. Membayangkan bagaimana Xavier akan kalah di tangan musuh.
**
Sinokmput
Lampu yang remang dengan musik yang begitu keras menyambutnya ketika dia masuk ke dalam. Xavier mengedarkan pandangannya mencari sosok yang dikenalnya. Tiba-tiba Noah mendekat dan membisikkan sesuatu padanya, tangan Noah terulur menunjuk tempat paling pojok ruangan bar ini.Xavier mengangguk, dia berjalan melewati lautan manusia yang sedang asyik berjoget. Banyak tatapan liar dari para wanita penghibur, tapi Xavier mengabaikan mereka.Salah satu wanita tiba-tiba menghadang jalannya, berpose menggoda sambil mengelus sensual dada Xavier. "Tuan, aku bisa menemanimu malam ini."Tapi Xavier hanya terkekeh, dia mencekal tangan wanita itu lalu mendorongnya. Xavier terlihat acuh meskipun wanita tadi nampak mengumpat padanya."Kau bersenang-senang?" tanya Xavier ketika sampai di
Hari masih pagi, tapi suara berisik itu benar-benar mengganggu tidur Xavier. Dengan malas dia terpaksa membuka matanya, bangun dan berjalan ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya.Ketika dia membuka pintunya, suara teriakan nyaring langsung memenuhi indra pendengarannya. Seorang wanita cantik dengan mata coklat, bergaya sangat anggun itu langsung memeluknya. Xavier hanya bisa pasrah ketika adiknya itu mulai bermanja-manja padanya."Kau benar mengganggu tidurku, Raylin." keluh Xavier."Oh, ayolah. Sudah 6 bulan kita tak bertemu, tapi kau tetap saja menyebalkan. Aku menunggumu di depan pintu sejak tadi," ucap Raylin merajuk."Kau bisa langsung masuk ke kamar, kenapa harus di depan pintu?" tanya Xavier dengan alis berkerut.Seda
"Kenapa kalian diam saja, cepat tolong," teriak Raylin pada penjaga di depan pintu. Sedangkan para penjaga itu tampak kebingungan. Dia tak mungkin menolong wanita itu karena dia tawanan dari tuan mereka. Tapi melihat keseriusan Raylin yang marah, akhirnya dengan terpaksa mereka menolong wanita itu. Raylin berjalan dengan langkah cepat, diikuti seorang penjaga yang menggendong tubuh Bianca. Raylin menyuruh penjaga itu masuk ke kamar tamu, dan meletakkan tubuh Bianca di ranjang. Setelahnya Raylin memanggil dokter untuk datang ke sini. Sedangkan salah satu penjaga yang ada di depan gudang tadi langsung menemui Xavier untuk memberikan laporan. Tentu saja hal ini membuat Xavier sangat marah, dia langsung pergi meninggalkan teman-temannya di ruang kerja untuk menyusul adiknya itu.
"Kakak," ucap Raylin tercekat. Suasana menjadi tegang, di belakang Xavier, Noah dan Scoot baru saja datang. Xavier masih menatap adiknya tanpa berkedip, seolah matanya itu mampu menguliti adiknya. "Hai, Xavier, apa kabar?" William memecah suasana, dia menampilkan senyuman di bibirnya. Dia yang tak mengetahui permasalahannya tak mengerti dengan situasi yang terjadi di depannya. "Aku baik, kau boleh pulang, William." Xavier bahkan tak menatap ke arah William. Noah yang ada di belakang mencoba memberi isyarat pada William. Membuat William akhirnya pamit pada mereka dan beranjak pergi dari sana. "Jangan gegabah, Xavier. Dia adikmu," ucap Scoot memperingati. Tapi Xavier seolah ta
"Apa dia mencoba kabur?" tanya Scoot melihat seorang wanita di depannya. "Sepertinya iya," gumam Noah menimpali. Xavier masih diam menatap tajam Bianca. Melihat bekas darah yang menetes di lantai, Xavier yakin jika wanita itu mencabut paksa selang infusnya. Xavier mendekati Bianca, kakinya menendang tubuh Bianca. Tapi wanita itu sama sekali tak meresponnya. "Dia tak mungkin bangun, bodoh. Dia pingsan." Scoot mencemooh Xavier, dia langsung bergerak menggendong tubuh Bianca dan membawanya kembali ke kamar tamu. Xavier yang melihat itu mendengus, padahal dia ingin menyeret saja wanita itu. Benar-benar merepotkan. Akhirnya dia berjalan mengikuti Scoot, sedangkan Noah memanggil Tia untuk membersihkan lantai yang terkena
Setelah memastikan tak ada yang melihatnya, Raylin segera mengunci kamar tamu. Dia berbalik, dan betapa terkejutnya dia melihat Bianca yang tergolek lemas di lantai.Raylin segera menghampiri Bianca, mencoba mengguncang tubuh Bianca. "Kau tak apa?" tanya Raylin pelan.Mata Bianca berkedip, dia hanya bisa mengangguk pada Raylin. Dirinya benar- benar sangat lemas. Raylin yang melihat itu membantu Bianca untuk berbaring di ranjang. Meski tampak kesusahan, tapi akhirnya dia berhasil juga."Apa yang sebenarnya kakak lakukan padamu?" gumam Raylin dengan nafas terengah setelah mengangkat Bianca.Melihat luka Bianca yang kembali berdarah, Raylin berinisiatif untuk mengobatinya. Untung saja tadi William meninggalkan beberapa peralatan P3K di kamar ini.
"Raylin, kemarilah," pinta Scoot antusias ketika melihat adik temannya itu keluar dari pintu samping.Mendengar itu, Xavier menoleh. Xavier melihat adiknya itu mengerucutkan bibir sambil menatap kesal pada Scoot. Bukannya duduk di samping Scoot, Raylin malah duduk di samping Noah."Menyingkir, Noah. Aku ingin duduk di samping wanitaku," kata Scoot mengusir Noah.Tapi Noah mengabaikan Scoot, dia kembali sibuk dengan teleponnya. Scoot yang melihat ini menjadi kesal dan Raylin hanya bisa terkekeh dengan tingkah mereka.Kemudian, Raylin menoleh untuk menatap kakaknya. Dia sedikit gugup menyadari kesalahannya. "Ada apa, Kak?""Dari mana saja kau? Mommy menelpon, dia tak bisa menghubungi dirimu." Xavier menatap Raylin seksama.
"Adikmu meminta...""Mommy sedikit bosan, di sana terlalu dingin membuat aktivitas menjadi tak nyaman." Maria meringis setelah memotong ucapan suaminya, dia menatap suaminya dengan kode kedipan mata. Dia sudah berjanji, ini akan menjadi rahasia tentang dirinya dan Raylin.Melihat itu, Jacob hanya menghela nafas malas. Dia berjalan mendekat ke arah Noah dan Scoot, ikut duduk bersama lelaki muda di sana.Xavier yang masih ada di depan Maria hanya ber-oh ria. "Apa udaranya begitu dingin? Aku jadi ingin bermain sky di sana." Xavier melepas halus dekapan Maria pada Raylin, setelah itu dia memeluk ibunya dan membawanya masuk ke dalam.Raylin yang melihat ini menjadi cemberut, dia ingin segera menyusul ibunya. Tapi tugasnya seakan berteriak memanggil namanya untuk segera disele