Share

4. Musuh dalam Selimut

"Dad," sapa Xavier begitu dia sampai di ruang tamu. Dia menoleh ke sana ke mari, mencari keberadaan ibunya. "Di mana Mom?" tanya Xavier.

"Mommy sedang ada di rumah. Raylin baru saja pulang." jawab Jacob.

Xavier mengangguk-anggukan kepalanya. Dia duduk di depan ayahnya, menunggu hal apa yang akan disampaikan oleh ayahnya.

"Jujur pada Dad, Xavier. Apa kau berurusan dengan Constantin?" tanya Jacob menatap anaknya dengan tajam.

"Dia mengusik wilayahku lebih dulu, Dad," jawab Xavier dengan santai.

"Apa kematian James ada hubungannya dengan ini?" tanya Jacob kembali.

Xavier tak menjawab, tapi dari sorot mata yang dilihat oleh Jacob, dia yakin jika tebakannya memang benar. Hal ini membuat Jacob menghela nafas pelan, tubuhnya langsung menyandar ke sofa.

"Seharusnya kau hanya perlu meneruskan usaha Daddy, kenapa kau harus berurusan dengan barang terkutuk seperti itu? Daddy yakin, jika mommy tahu hal ini dia akan marah padamu." Jacob memberi putranya itu pengertian.

"Sudahlah, Dad. Kau tak perlu ikut campur, yang terpenting aku tak memakai barang itu. Aku hanya mengikuti pasar, karena di sini masih awam dengan barang itu." Lagi-lagi Xavier menjawabnya dengan santai.

Jacob yang sudah tahu watak putranya itu akhirnya menyerah untuk menasihati. Dia berdiri, merapikan jasnya lalu menatap ke arah Xavier.

"Berhati-hatilah, Constantin bukan sembarang lawan. Kau harus mengantisipasi setiap langkah yang kau ambil."

Xavier mengangguk mendengarkan ucapan ayahnya, dia ikut berdiri, mengantarkan ayahnya sampai di depan pintu.

"Pulanglah ke rumah, adikmu sangat merindukanmu." Jacob menoleh ke arah Xavier sebelum dia masuk ke dalam mobil.

Lagi-lagi Xavier hanya mengangguk, dia segera masuk ke dalam dan bertemu salah satu anak buahnya. Anak buahnya itu mengabarkan jika Alexander sudah siuman. Hal itu membuat Xavier dengan segera berjalan ke rumah belakang, di mana para anak buahnya tinggal di sana.

Ketika Xavier masuk ke dalam, ternyata sudah ada Noah di sana. Noah duduk di sebelah Alexander. Melihat bosnya itu datang, Noah segera berdiri menyambutnya.

"Kau sudah baikan, Alex?" tanya Xavier yang langsung duduk di tempat Noah tadi.

"Saya merasa baikan, Tuan." jawab Alexander.

Xavier mengangguk, dia melipat kedua tangannya di dada. Meskipun salah satu lengannya masih sakit, tapi dia mengabaikannya. "Bisa kau ceritakan padaku, apa yang terjadi padamu semalam?" tanya Xavier.

Alexander tampak mengingat-ingat sebelum dia berkata, "Saya dan James menemukan pintu di sebelah pohon rimbun yang ada di sebelah mansion. Kita hampir masuk ketika mendengar suara tembakan." Alexander tampak menghela nafas pelan. "Saya memutuskan untuk tetap masuk ke dalam, dan tak tahu jika James berbalik pergi. Ketika saya menoleh, saya sudah tak menemukan James." Alexander menjelaskan semua yang dialaminya.

Xavier dan Noah senantiasa mendengarkan, di antara mereka, entah mengapa Noah merasa jika Alexander menyembunyikan sesuatu dengan mereka.

"Saya ceroboh tak memikirkan situasi, dengan bodohnya saya berteriak memanggil James. Alhasil saya ketahuan dan mulai dikejar oleh para penjaga. Saya berlari terus masuk ke hutan, tapi naas ternyata jumlah mereka sangat banyak. Saya yang kehabisan amunisi membuat saya tak bisa berkutik ketika para penjaga itu memukuli saya, dan setelah itu saya tak ingat apapun karena saya pingsan," ucap Alexander lagi.

"Apa kau tahu yang terjadi pada James?" tanya Noah menatap tajam pada Alexander.

Sedangkan Alexander hanya menggeleng lemah, dia menatap Noah sebentar sebelum kembali menundukkan kepalanya.

"Dia mati." Noah mengucapkan hal itu dengan sekali tarikan nafas. Dadanya bergerumuh menahan amarah setiap mengingat jika James mati di tangan musuh.

Alexander mendongak dengan wajah kaget yang dibuatnya. Mulutnya terbuka ingin mengatakan sesuatu, tapi dengan cepat Xavier menyela.

"Istirahatlah, jika sudah sembuh kau harus kembali bekerja."

Alexander mengangguk, dia membiarkan Xavier dan Noah pergi dari sana. Setelah pintu tertutup, senyum yang sedari tadi dia tahan keluar juga. Rasa senang di hatinya mendera jika mengingat bagaimana semalam dia membunuh James dengan tangannya sendiri.

Alexander meraba bagian bawah ketiaknya yang terlihat menonjol, itu adalah alat penyadap yang ditanamkan di tubuhnya. Dengan alat ini, dia bisa memberitahukan semua keadaannya pada seseorang, tanpa harus repot menggunakan handphonenya. Dalam hatinya, dia tersenyum puas. Membayangkan bagaimana Xavier akan kalah di tangan musuh.

**

Sinokmput

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status