Beranda / Romansa / Dendam, Cinta, dan Gairah / 4. Musuh dalam Selimut

Share

4. Musuh dalam Selimut

Penulis: Sinokmput
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-13 00:01:17

"Dad," sapa Xavier begitu dia sampai di ruang tamu. Dia menoleh ke sana ke mari, mencari keberadaan ibunya. "Di mana Mom?" tanya Xavier.

"Mommy sedang ada di rumah. Raylin baru saja pulang." jawab Jacob.

Xavier mengangguk-anggukan kepalanya. Dia duduk di depan ayahnya, menunggu hal apa yang akan disampaikan oleh ayahnya.

"Jujur pada Dad, Xavier. Apa kau berurusan dengan Constantin?" tanya Jacob menatap anaknya dengan tajam.

"Dia mengusik wilayahku lebih dulu, Dad," jawab Xavier dengan santai.

"Apa kematian James ada hubungannya dengan ini?" tanya Jacob kembali.

Xavier tak menjawab, tapi dari sorot mata yang dilihat oleh Jacob, dia yakin jika tebakannya memang benar. Hal ini membuat Jacob menghela nafas pelan, tubuhnya langsung menyandar ke sofa.

"Seharusnya kau hanya perlu meneruskan usaha Daddy, kenapa kau harus berurusan dengan barang terkutuk seperti itu? Daddy yakin, jika mommy tahu hal ini dia akan marah padamu." Jacob memberi putranya itu pengertian.

"Sudahlah, Dad. Kau tak perlu ikut campur, yang terpenting aku tak memakai barang itu. Aku hanya mengikuti pasar, karena di sini masih awam dengan barang itu." Lagi-lagi Xavier menjawabnya dengan santai.

Jacob yang sudah tahu watak putranya itu akhirnya menyerah untuk menasihati. Dia berdiri, merapikan jasnya lalu menatap ke arah Xavier.

"Berhati-hatilah, Constantin bukan sembarang lawan. Kau harus mengantisipasi setiap langkah yang kau ambil."

Xavier mengangguk mendengarkan ucapan ayahnya, dia ikut berdiri, mengantarkan ayahnya sampai di depan pintu.

"Pulanglah ke rumah, adikmu sangat merindukanmu." Jacob menoleh ke arah Xavier sebelum dia masuk ke dalam mobil.

Lagi-lagi Xavier hanya mengangguk, dia segera masuk ke dalam dan bertemu salah satu anak buahnya. Anak buahnya itu mengabarkan jika Alexander sudah siuman. Hal itu membuat Xavier dengan segera berjalan ke rumah belakang, di mana para anak buahnya tinggal di sana.

Ketika Xavier masuk ke dalam, ternyata sudah ada Noah di sana. Noah duduk di sebelah Alexander. Melihat bosnya itu datang, Noah segera berdiri menyambutnya.

"Kau sudah baikan, Alex?" tanya Xavier yang langsung duduk di tempat Noah tadi.

"Saya merasa baikan, Tuan." jawab Alexander.

Xavier mengangguk, dia melipat kedua tangannya di dada. Meskipun salah satu lengannya masih sakit, tapi dia mengabaikannya. "Bisa kau ceritakan padaku, apa yang terjadi padamu semalam?" tanya Xavier.

Alexander tampak mengingat-ingat sebelum dia berkata, "Saya dan James menemukan pintu di sebelah pohon rimbun yang ada di sebelah mansion. Kita hampir masuk ketika mendengar suara tembakan." Alexander tampak menghela nafas pelan. "Saya memutuskan untuk tetap masuk ke dalam, dan tak tahu jika James berbalik pergi. Ketika saya menoleh, saya sudah tak menemukan James." Alexander menjelaskan semua yang dialaminya.

Xavier dan Noah senantiasa mendengarkan, di antara mereka, entah mengapa Noah merasa jika Alexander menyembunyikan sesuatu dengan mereka.

"Saya ceroboh tak memikirkan situasi, dengan bodohnya saya berteriak memanggil James. Alhasil saya ketahuan dan mulai dikejar oleh para penjaga. Saya berlari terus masuk ke hutan, tapi naas ternyata jumlah mereka sangat banyak. Saya yang kehabisan amunisi membuat saya tak bisa berkutik ketika para penjaga itu memukuli saya, dan setelah itu saya tak ingat apapun karena saya pingsan," ucap Alexander lagi.

"Apa kau tahu yang terjadi pada James?" tanya Noah menatap tajam pada Alexander.

Sedangkan Alexander hanya menggeleng lemah, dia menatap Noah sebentar sebelum kembali menundukkan kepalanya.

"Dia mati." Noah mengucapkan hal itu dengan sekali tarikan nafas. Dadanya bergerumuh menahan amarah setiap mengingat jika James mati di tangan musuh.

Alexander mendongak dengan wajah kaget yang dibuatnya. Mulutnya terbuka ingin mengatakan sesuatu, tapi dengan cepat Xavier menyela.

"Istirahatlah, jika sudah sembuh kau harus kembali bekerja."

Alexander mengangguk, dia membiarkan Xavier dan Noah pergi dari sana. Setelah pintu tertutup, senyum yang sedari tadi dia tahan keluar juga. Rasa senang di hatinya mendera jika mengingat bagaimana semalam dia membunuh James dengan tangannya sendiri.

Alexander meraba bagian bawah ketiaknya yang terlihat menonjol, itu adalah alat penyadap yang ditanamkan di tubuhnya. Dengan alat ini, dia bisa memberitahukan semua keadaannya pada seseorang, tanpa harus repot menggunakan handphonenya. Dalam hatinya, dia tersenyum puas. Membayangkan bagaimana Xavier akan kalah di tangan musuh.

**

Sinokmput

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dendam, Cinta, dan Gairah   40. Penyerangan

    "Xavier," panggil Bianca sekali lagi, karena lelaki itu tak merespon. Dia yang awalnya rebahan di sofa, kini beranjak untuk mendekati Xavier. "Hey, ada apa?" tanya Bianca sekali lagi dengan raut wajah yang cemas, apalagi saat melihat Xavier terlihat begitu serius. Embusan napas kasar terdengar dari bibir Xavier. Dia yang tadinya sedang mengancingkan baju kemejanya, mulai terhenti. Dia berbalik untuk menatap Bianca, sedangkan tubuhnya menyandar pada lemari. "Ada masalah dengan pengiriman barang-barangku, Bianca. Seseorang telah mencurinya," jawab Xavier terkesan lemas. "Barang apa?" tanya Bianca dengan dahi berkerut dalam. Seulas senyum tipis terukir di bibir Xavier. Dia mengacak-acak rambut Bianca dengan sedikit kasar. "Kau tak akan paham, sekalipun aku menjelaskan."Lelaki itu kembali merapikan pakaiannya, setelah siap, dia menatap Bianca dengan lekat. Kedua tangannya menangkup pipi Bianca, tatapannya begitu lembut pada wanita itu. "Jangan khawatir, semuanya pasti akan baik-baik

  • Dendam, Cinta, dan Gairah   39. Menghabiskan Waktu Bersama

    "Maafkan aku, Bianca, tapi aku tidak bisa meneruskan ini," lirih Xavier masih dengan napas terengah begitu ciumannya terlepas. Dia memejamkan mata, sambil menyatukan keningnya di kening Bianca. Lelaki itu masih berada di atas tubuh Bianca, dengan tangan sedikit menopang agar tak menindih wanita itu. Bianca mengangguk pelan, dia ikut memejamkan mata, seolah meresap kehangatan napas Xavier yang menerpa wajahnya. Tangannya masih melingkar apik di leher Xavier, dengan kaki yang sudah terbuka. "Maafkan aku," ucap Xavier sekali lagi. Dia mengecup kening Bianca lalu bangun dengan perlahan. Penampilan mereka benar-benar sudah berantakan saat ini. Xavier yang bertelanjang dada dengan pakaian yang sudah tercecer di lantai, dengan Bianca yang kancing blousenya sudah terlepas sebagian. Rambut wanita itu bahkan terlihat acak-acakan saat mencoba untuk bangun. "Apa semua ini salah bagimu, Xavier? Apa kali ini kau akan bilang kau kalap lagi?" tanya Bianca dengan tatapan

  • Dendam, Cinta, dan Gairah   38. Benih-benih Cinta

    "Xavier," ucap Bianca lirih begitu ciuman mereka terlepas. Napasnya tampak kepayahan, akibat Xavier tak membiarkannya bernapas sedikit pun. Matanya juga tampak sendu dengan jantung yang berdegup kencang. Tangan Bianca masih mencengkram bahu Xavier dengan keras. Xavier tak menjawab, lelaki itu malah membawa Bianca berenang ke tepian. Tapi bukannya mengajak wanita itu naik, Xavier malah menggendong Bianca dalam air. Dia membiarkan kaki wanita itu melingkar pada pinggulnya, dengan tangan yang memeluk lehernya erat. Mata Xavier menatap wajah Bianca tanpa berkedip, kedua tangannya bahkan sudah menangkup pipi wanita itu. Lagi-lagi, tanpa aba-aba, dia kembali mencium bibir Bianca. Kali ini ciuman itu terkesan sedikit liar, keduanya saling membalas dengan rakus. Melumat bahkan menggigit kecil bibir satu sama lain. Berpindah posisi kepala saling miring dari kiri ke kanan. Langit seolah mendukung, sore yang beranjak malam menampilkan senja yang begitu indah. Angin bertiup lembut mengiringi

  • Dendam, Cinta, dan Gairah   37. Jarak yang Begitu Dekat

    "Grace, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Xavier dengan dahi berkerut dalam saat menatap sang kekasih. "Siapa dia?" tanya Xavier lagi, melirik sadis lelaki yang ada di samping Grace. Grace terkekeh, saat melihat tatapan cemburu dari Xavier. Dia menggenggam tangan lelaki itu dengan lembut. "Dia David, klien baruku. Kami baru saja membicarakan bisnis di sini," kata Grace. Tiba-tiba saja dia berjinjit untuk lebih mendekat ke arah Xavier, dengan nada yang berbisik, dia mulai berkata, "Kau tahu, dia menawariku menjadi model iklan sebuah produk dari perusahaannya, dan harganya benar-benar fantastis." "Grace." Xavier sedikit menggeram setelah mendengar ucapan Grace, dia menatap tajam kekasihnya. Dengan nada yang angkuh, dia mulai berkata, "Aku bahkan bisa memberikanmu semuanya, kenapa kau masih saja menerima pekerjaan seperti ini? Bukankah kau hilang akan libur panjang untuk menemaniku?" Mata Grace melotot, dia langsung menarik tangan Xavier untuk sedikit menjauh dari David dan juga

  • Dendam, Cinta, dan Gairah   36. Restoran

    "Bianca…." "Bi…." Xavier memanggil-manggil nama wanita yang sekarang menjadi asistennya tersebut, dia juga mengguncang kecil baju Bianca untuk membangunkan wanita itu. Tatapan Xavier begitu lekat, saat memandangi wajah pulas Bianca yang tertidur. Hal ini tentu saja membuat Bianca terusik, dia melenguh sebentar, mencoba mengganti posisi kepalanya ke samping untuk kembali tidur. Tapi ketika dia merasakan sentuhan pada bahunya, tiba-tiba saja dia merasa terkejut. Wanita itu bangun dengan wajah yang kaget, apalagi saat melihat Xavier ada di depannya. Alis Xavier terangkat sebelah melihat hal itu, dia tidak tahan untuk tersenyum karena tingkah Bianca terlihat menggemaskan. Apalagi dengan mata bulat sempurna Bianca yang melotot dengan tubuh yang menegang. "Kau tidak apa-apa?" tanya Xavier yang masih duduk di meja, menatap Bianca lekat. "Xavier…." Bianca sendiri tampak salah tingkah, wanita itu menjadi gugup lalu berpura-pura sibu

  • Dendam, Cinta, dan Gairah   35. Satu Ruangan

    "Bianca, kau sudah siap?" Wanita yang baru saja merapikan rambutnya itu segera menoleh ketika mendengar namanya dipanggil. Dia dengan cepat berdiri, berjalan menuju pintu dan membukanya. Bisa Bianca lihat, Noah tengah berdiri di depan kamarnya dengan wajah terlihat datar tanpa emosi. "Hai, Noah," sapa Bianca, meskipun begitu dia tetap memberikan senyum manisnya pada lelaki itu. . "Apa kau sudah siap? Xavier memintaku mengajakmu ke kantor sekarang," kata Noah to the point, mengungkapkan alasannya menghampiri Bianca di pagi hari. "Ah, ya, bisakah kau tunggu sebentar, aku akan mengambil tasku," kata Bianca. Dia bahkan tak menunggu respon Noah dan kembali masuk begitu saja. Kakinya yang masih pincang saat dibawa berjalan, membuatnya tampak kesusahan. Bahkan beberapa kali dia meloncat dengan satu kaki, agar langkahnya tak terlalu lambat. Bianca kembali ke meja riasnya, memoles lipstik di bibirnya dengan tergesa, lalu mengambil tas yang te

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status