"Tidak! Anakku masih hidup. Dia tidak mungkin mati!" raung seorang perempuan dengan histeris.
Entah sudah berapa lama Bima Bayukana terjebak di keheningan tak berujung, karena raungan tidak terima takdir tersebut dia merasa seperti tersentak dari tidur panjang. Telinganya sampai terasa ditusuk jarum karena tidak pernah menerima suara untuk waktu yang lama. "Kamu pasti salah Nenek Gayatri. Tolong periksa lagi. Aku yakin anak kami pasti masih hidup!" seorang laki-laki terdengar menambahkan, nada penolakan tidak kalah besar dari suara perempuan itu. Selain pendengaran, indra Bima Bayukana yang lain sama sekali tidak berfungsi. Matanya terkunci rapat dan berat untuk dibuka. Dengan keadaan ini tentu dia tidak dapat memastikan siapa yang ada di sekelilingnya. 'Bukankah aku sudah benar-benar mati? Lalu siapa orang-orang ini? Apa ada seseorang yang berhasil menyelamatkanku?' pikir Bima Bayukana kebingungan. Dia sungguh ingin segera mengetahui kebenaran, tapi percobaan untuk membuka mata acap kali gagal. Hingga entah usaha yang ke berapa, dia akhirnya berhasil dan dapat melihat samar siluet perempuan tua. "Bayi kalian cacat dan tubuhnya sangat lemah. Aku sudah memastikan berkali-kali kalau napasnya sudah tidak ada," ucap perempuan tua tersebut setelah menggeleng masam. "Tidak mungkin! Anak kami tidak mungkin mati. Aku tahu itu Nenek Gayatri," sanggah lelaki yang berbicara dengannya, masih tidak terima. "Sini biar aku langsung yang memastikan!" Seorang lelaki tampan tiba-tiba menyerobot tempat ke sisi nenek tua itu. Bima Bayukana hanya bisa balas menatapnya. Baik nenek bernama Gayatri tersebut atau pria di depannya sekarang, tidak satupun yang dapat dia kenali. "Anak kita masih hidup sayang! Matanya bergerak dan dia sedang menatapku!" teriak pria itu gembira saat melihat langsung keadaan Bima Bayukana. "Jangan bicara omong kosong Narendra. Jelas-jelas tadi ...." Perkataan nenek Gayatri memudar saat pandangannya juga tertuju pada Bima Bayukana. Bayi yang tadinya dia kira tidak dapat bertahan hidup kini tengah menatap mereka. "Mana mungkin bis—" "Nenek Gayatri, sepertinya matamu bermasalah karena umur. Anakku jelas masih hidup!" "Aku tahu aku sudah cukup tua, tapi aku masih memiliki mata yang bagus." Nenek Gayatri masih kebingungan. Dia telah memastikan dengan sangat teliti, anak dari sepasang suami istri yang dia bantu kelahirannya sama sekali tidak bersuara. Tidak ada tangis khas bayi ketika bayi tersebut pertama kali mengenal dunia. Mana mungkin tiba-tiba hidup kembali hingga bisa menatap mereka seperti sekarang. "Aku sudah bilang anak kami tidak mungkin mati. Sayang, aku tidak berbohong dan kau bisa memastikannya sendiri, dia sama tampannya seperti diriku," ucap lelaki itu antusias, tangannya dengan hati-hati meraup Bima Bayukana yang masih belum dapat mencerna situasi. "Tunggu! Kenapa kau bisa menggendongku dengan sangat mudah?" Begitulah yang kiranya ingin diucapkan Bima Bayukana saat tubuhnya terangkat. Namun, suara yang keluar dari mulutnya berbeda dari apa yang ingin dia ucapkan, persis seperti bayi yang masih tak dapat mengolah kata! Bima Bayukana lantas berbicara sekali lagi, tapi mulutnya tetap tidak dapat merealisasikan apa yang ada di pikirannya dengan benar. Bahkan setelah melakukannya berulang kali, hasilnya tetap sama. "Sayang, dia benar-benar sehat," imbuh lelaki itu tambah gembira mendengar celotehan dari Bima Bayukana. Bima Bayukana tidak berhenti kebingungan bahkan setelah dirinya dibaringkan di sisi ranjang bersama seorang wanita cantik. Wajah wanita itu penuh peluh seolah baru selamat dari kematian. Di sisi lain, ada kegembiraan yang terpancar di wajah teduh itu saat menatapnya. "Ini mama, Nak," ucap Arundari memperkenalkan diri. Seulas senyum merekah saat perempuan itu menyelipkan telunjuknya di antara telapak tangan Bima Bayukana. Bima Bayukana tidak mengerti kenapa genggamannya tidak jauh lebih besar dari telunjuk wanita cantik itu. Saat dia ingin menggerakkan tangan satunya untuk membandingkan, rasanya ada yang janggal dan tubuhnya tidak bisa bangkit. Bukan karena dia terluka atau apa, tapi tubuhnya memang tidak mampu untuk itu. "Tidak masalah dia hanya memiliki satu tangan. Dia tetap anak kita, aku sangat senang dia terlahir," gumam Arundari membuat Bima Bayukana tersadar tangannya yang lain tidak ada. "Tentu saja, aku pun merasa sangat senang. Dia tetap akan menjadi anak kesayangan kita apa pun kekurangannya," jawab lelaki di sisi mereka dengan penuh syukur. Nenek Gayatri melangkah ke sisi Narendra. Bagaimanapun memikirkannya, dia merasa hidup bayi tersebut tidaklah memungkinkan. Namun, kenyataan berkata berlawanan, bayi di depan mereka sekarang memang benar-benar hidup. "Aku tidak mengerti apa yang terjadi. Sepertinya ini adalah keajaiban untuk kalian," ucap nenek Gayatri turut bersuara. Dari segala pembicaraan tiga orang di sekelilingnya, Bima Bayukana akhirnya sadar kalau dia terperangkap di tubuh seorang bayi. Tidak, bukan terperangkap, lebih tepatnya dia terlahir kembali. Semua masih sulit dicerna. Apalagi sebelum tertidur pajang hal terakhir yang dia ingat adalah seekor buaya putih raksasa telah menelannya. Ke belakang lagi, dia dikhianati Wulandari dan Raja Langit setelah jasa besarnya dalam penyatuan Lautan Dunia. "Apa aku bertahan selama 400 tahun sehingga mendapatkan kesempatan kembali pada jasad yang baru?" pikir Bima Bayukana selagi orang-orang di sekitarnya terus mengucapkan puji syukur. Setelah jasad rusak, jiwa atau sukma cenderung terlepas serta terlempar ke luar. Sukma yang tidak memiliki jasad akan diserang dan dihancurkan oleh ketiadaan, tanpa ampun. konsep Ini sama seperti konsep jasad yang terurai oleh alam setelah kematian. Adapun kenapa Bima Bayukana sampai berpikir dia telah melewati 400 tahun untuk terlahir kembali di jasad yang berbeda, itu karena dia pernah mendengar legenda tersebut dari seseorang. Dikatakan, selama seseorang dapat melewati tanggat waktu 400 tahun setelah kematian, dia akan terlahir kembali sebagai manusia. Dia sama sekali tidak menduga itu akan bekerja. "Tapi aku tidak mengerti sebenarnya buaya putih yang aku lihat itu? Kenapa aku masih dapat kembali hidup bahkan setelah ditelannya?" Bima Bayukana tidak berhenti kebingungan atas hal-hal yang terjadi. Setelah kepalanya sakit sendiri karena tidak juga menemukan alasan yang masuk akal, dia tidak mau repot memikirkannya lagi. Yang terpenting sekarang dia telah kembali hidup dan mendapat kesempatan membalas dendam. Sesaat Bima Bayukana ingin kembali fokus dengan apa yang ada di sekitar, dia langsung mengarahkan pandangan ke arah lain. Begitulah setelah badannya digeser-geser oleh lelaki yang tadi sempat menggendongnya, dia terus menghindar untuk menatap sesuatu. "Ini mama, ayo minum, Nak. Kamu perlu asi untuk tumbuh dan segera besar," desak perempuan yang terbaring di samping Bima Bayukana mencondongkan tubuhnya mendekat. Sebagai bayi yang memiliki kesadaran orang dewasa, apalagi setelah menjalani kehidupan ribuan tahun, Bima Bayukana tentu terus menghindar ketika disodorkan sesuatu yang seharusnya tidak dia lihat. Bahkan dia sampai memejamkan mata ketika didesak berkali-kali. "Apa dia tidak ingin asiku?" Perempuan itu tampak sedih melihat reaksi penolakan dari Bima Bayukana. "Sayang, anak kita sepertinya belum lapar," hibur lelaki yang setia berada di sebelahnya. Nenek tua yang pertama kali Bima Bayukana lihat entah sejak kapan pergi, mungkin sewaktu dia sibuk dengan pikirannya sendiri. "Baiklah, kau mungkin benar, mungkin dia belum lapar," ucap perempuan itu mencoba meyakinkan diri. Usai tidak lagi didesak, Bima Bayukana kini dapat dengan leluasa melihat sekeliling gubuk reyot yang mereka tinggali. Sebagai Jendral Dewa Tertinggi yang ada di penglihatannya selama ini adalah kemewahan. Pemandangan seperti sekarang jarang dia lihat sewaktu di Alam Dewa. Namun, entah kenapa dia lebih senang dengan suasananya. Ini mengingatkannya kembali pada masa kecilnya sebelum menjadi Jendral Dewa Tertinggi. Semakin ingatannya berjalan ke depan perasaan Bima Bayukana juga semakin berubah. Mula-mula hatinya dipenuhi kehangatan, tapi lama-lama dia menjadi geram dan sangat marah. Apalagi setelah mengingat kembali pengkhianatan Raja Langit dan Wulandari terhadapnya. "Bagus sekali. Bagus sekali," pikir Bima Bayukana sambil tersenyum puas. "Tunggulah sampai aku datang membalasmu, Raja Langit!""Aku akan menjelaskannya sambil istirahat," putus Arkadewi dan berhenti berjalan. "Aku tidak masalah melakukan perjalanan sejauh apapun, tapi ingat sejak tadi kita berlari dan berjalan tanpa henti." Kondisi tubuh wanita dan lelaki jauh berbeda. Bahkan tubuh sesama lelaki tidak bisa dibandingkan dengan Bima Bayukana yang telah menjalani latihan ekstrem. Keluhan yang datang dari gadis itu merupakan hal yang wajar. Bima Bayukana menghela napas. "Baiklah, kita istirahat. Jelaskan kepadaku hal-hal yang tidak aku ketahui padaku." Dia mengikuti Arkadewi yang duduk lebih dahulu di sisi lorong. Tanpa melepaskan deteksi sukma ia menunggu gadis itu berbicara. "Kau tahu? Ada seorang putri dengan kecantikan tiada tara di kerajaan Kastara?" mulai Arkadewi. "Tidak," jawab Bima Bayukana jujur. Alam fana terbagi menjadi tiga wilayah kekuasaan dan Kerajaan Kastara salah satunya. Bima Bayukana tidak mengetahui keadaan politik atau bagian-bagian yang menurutnya tidak penting. Apalagi sampai me
"Kau berhutang penjelasan tentang memilihku sebagai tunangan," imbuh Bima Bayukana melangkah ke samping Arkadewi lalu dengan dingin menatap Abinaya Bayukana. "Karena kau sudah tahu aku, kurasa aku tidak lagi perlu menyembunyikan kebencianku terhadapmu." "Memang seperti itu seharusnya." Abinaya Bayukana menyeringai. "Gadis di belakangmu pasti telah menjelaskan bagaimana orang tuamu terbunuh karena ayahku. Bagaimana mungkin kita masih bisa bersikap selayaknya sepupu?" Gelap langsung menelan sebagian ekspresi Bima Bayukana. Dengan ringannya pemuda itu mengakui bahwa ia anak dari dalang yang menyebabkan keluarga serta desanya dibantai. Sekarang Bima Bayukana bisa menarik jelas orang seperti apa sepupunya tersebut. "Nanti, aku sendiri yang akan mengambil kehidupan kalian," tegas Bima Bayukana dengan dingin, matanya berkilat penuh dendam. "Seni Tubuh! Langkah Gelombang Cahaya!" Bima Bayukana segera mengais pinggang Arkadewi dan bergerak cepat melarikan diri ke dalam istana Kerajaan L
Bima Bayukana mengabaikan kebingungan Arkadewi akan tindakannya. Sesuai yang dia duga, semua binatang mundur dan berhenti menyerang. Seolah takut dia akan melukai gadis itu."Sejak awal aku sudah merasa aneh," gumamnya berbicara pada diri sendiri.Setelah memulihkan diri di dalam gua selama beberapa hari, tidak terjadi serangan sama sekali. Bahkan halangan seperti gelombang binatang tidak menghadang mereka saat melanjutkan perjalanan ke gunung cincin. Rasanya itu mustahil mengingat saat melewati celah dua gunung mereka harus melawan kawanan lebah, Beruang Madu Api dan Macan Dahan, serta Ular Langit Malam."Jika aku tidak salah. Kedatangan para pendekar ke gunung ini tidak diharapkan oleh pemilik Fenomena Ghaib. Tapi melihat gadis ini, tampaknya dia berubah pikiran. Apa sebenarnya tujuannya?"Bima Bayukana tercenung dalam pikiran yang rumit. Arkadewi yang sejak tadi menunggu penjelasan menjadi kesal. Bima Bayukana tidak juga menurunkan pedang yang terhunus ke lehernya."Hei! Aku tanya
Sebab sulitnya untuk merekonstruksi alam sukma ke dunia nyata, Fenomena Gaib memakan banyak tenaga dalam. Penggunanya hampir mustahil menerapkan kemampuan ini dalam jangka waktu yang lama. Bagi Bima Bayukana yang belum memiliki cara untuk melawan, hal tersebut merupakan celah satu-satunya yang memungkinkan ia keluar dari situasi sekarang. Dia dan Arkadewi harus bertahan setidaknya sampai Fenomena Ghaib berakhir. "Kau harus bertarung untuk dirimu sendiri." Merasakan banyaknya binatang di sekelilingnya, Bima Bayukana merapatkan punggung pada Arkadewi. "Baikkah, jangan khawatirkan bagianku," jawab gadis itu. Seperti makhluk haus darah, ratusan bintang segera menyerbu mereka brutal. Arkadewi mengeratkan cengkeraman pada pedangnya dan apik mempertontonkan tekniknya—memotong setiap binatang yang datang menyerang hingga mereka tak lagi dapat bangkit. Di sisi lain, demi menyimpan energi untuk pertarungan yang mungkin masih panjang, Bima Bayukana bertahan tanpa sedikitpun memaksimalka
Arkadewi masih sangat kesal. Namun, sekarang dia dan Bima Bayukana terjebak dalam keadaan genting, tidak ada kesempatan baginya untuk bersikap berlawanan. Ia terpaksa mengenyampingkan perasaannya dan menjaga pegangan terhadap pemuda itu agar tidak terpisah di dalam kabut yang menebal. "Kita harus keluar dari sini," imbuh pemuda itu. Padahal tadi berada di barisan yang sama, tapi semua orang telah menghilangkan dan menyatu dengan kabut. Persepsi sukma yang dilepas memang menangkap keberadaan di sekitar, akan tetapi, Bima Bayukana tetap kesulitan mendekat pada yang lain karena hampir semua posisi tercerai berai. Perubahan struktur tempat mulai dirasakan Bima Bayukana. Ketika dia menyeret Arkadewi untuk melarikan diri, sebuah dinding tiba-tiba tercipta di depan mereka—menutup akses pergi dari kawasan kaki bukit gunung Cincin. "Apa ini ilusi?" tanya Arkadewi menyentuh tembok di depannya dengan serius. "Dinding ini nyata. Apa artinya mekanisme kerajaan lawas membuatnya tiba-tiba mun
Penglihatan Bima Bayukana memuat semua orang sesaat kelopak matanya terangkat penuh. Sosok penting seperti Bratadikara, Saktika Senjani, serta Saguna Bayukana menyambutnya dengan tatapan kagum—bercampur keingintahuan besar. "Efek samping Akar Jantung Bumi selalu membunuh pengonsumsinya. Selama ini tidak ada yang pernah berhasil selamat, bahkan pendekar tingkat Khodam Sejati sepertiku," ungkap Bratadikara masih dengan perasan sulit percaya. Ia membawa Akar Jantung Bumi sebagai rencana terakhir seandainya dirinya berada di kondisi hidup dan mati. Dalam kondisi tersebut, walaupun semua pendekar berakhir dengan kematian setelah menggunakan Akar jantung Bumi sebagai obat, resiko mengonsumsinya tidak lagi menjadi hal yang perlu ditakutkan. "Bagaimana kau bisa melakukan hal-hal menakjubkan?" tambah Saktika Senjani menatap serius pemuda itu. "Seandainya tidak membunuh tiga Ular Langit Malam, pertarungan sebelumnya pasti akan lebih banyak memakan waktu dan korban. Padahal kau berumur tid