Home / Urban / Dendam Membara Sang Pewaris! / 9. Hari Pertama Kerja

Share

9. Hari Pertama Kerja

Author: imam Bustomi
last update Last Updated: 2022-08-18 12:29:18

Pagi hari, nampak seorang pria tampan nan gagah berjalan ke arah gedung tinggi pencakar langit. Dia Aldan Pratama Chandra Putra, tetapi di perusahaan dia mengganti namanya menjadi Putra Saputra.

Ketampanannya nyaris sempurna. Dengan tinggi 175 cm dan kulit putih, siapapun yang melihatnya pasti jatuh cinta pada pandangan pertama.

Hari ini adalah hari pertama kerja Aldan di perusahaan cosmo indofood. Sekarang misi balas dendamnya dimulai. Dia berhasil menjadi asisten direktur keuangan di perusahaan cosmo indofood, jabatan yang sama seperti mendiang Papanya. Tentu ini semua berkat orang dalam yang berjasa memasukkan Aldan ke perusahaan, tetapi sebenarnya dia orang yang sangat cerdas dan pantas menduduki jabatan yang dia inginkan.

“Saya harap anda bekerja dengan baik. Satu lagi, anda harus cepat beradaptasi dengan lingkungan perusahaan,” kata Ridwan , direktur keuangan.

“Baik, Pak. Saya sangat senang bisa menjadi bagian perusahaan terbesar yang ada di Indonesia. Saya berjanji akan bekerja dengan sepenuh hati,” respon Aldan dengan wajah berseri-seri.

“Bagus, sekarang mulailah bekerja,” ucap Ridwan, lalu dia pergi ke ruangannya.

Sementara Aldan memperhatikan punggung Ridwan yang semakin menjauh. Perlahan sudut bibirnya terangkat, “Apa kau orang yang kucari? Apa kau orang yang menyuruh pria bersepatu untuk membunuh Papa Mamaku 10 tahun yang lalu? Aku akan mencari tahu kebenarannya.”

“Aku datang, aku kembali untuk balas dendam. Sudah 10 tahun, kini waktunya kalian harus membayarnya ... Aku kembali!” gumam Aldan sembari mengepal tangan kuat-kuat.

Alasan Aldan mencurigai Ridwan karena didasari 10 tahun yang lalu orang itu merupakan saingan Chandra di perusahaan cosmo Indofood. Mereka adalah karyawan teladan di divisi keuangan, dan keduanya merupakan kandidat utama menggantikan direktur keuangan sebelumnya yang pensiun. Hingga akhirnya CEO perusahaan memilih Chandra sebagai direktur keuangan.

Itulah Alasan Aldan masuk ke perusahaan ini agar dia bisa leluasa menyelidiki pembunuh di balik layar, sedangkan Faizal Hamid ditugaskan menjadi kekuatan bayangannya yang mencari informasi tambahan di luar sana.

“Cepat atau lambat aku pasti menemukan kebenarannya. Jika pak Ridwan orangnya, dia harus mati di tanganku.”

Melupakan sejenak balas dendamnya, Aldan mulai bersiap bekerja. Dia masuk ke dalam ruangan kerja, berbagi dengan delapan karyawan lain yang tergabung dalam divisi keuangan.

“Selamat pagi, semuanya,” sapa Aldan bermurah senyum.

“Pagi,” jawab mereka. Ada yang memberikan senyuman ramah, ada juga mengulas senyuman kecut. Mereka cemburu pada Aldan karena baru melamar kerja langsung ditempatkan di posisi asisten direktur keuangan.

“Aku karyawan baru di sini. Perkenalkan namaku Putra Saputra. Panggil saja aku Putra.

“Yaiyalah mau dipanggil siapa lagi? Namanya saja sudah dobel Putra,” sahut seorang pria yang duduk di kursi paling tengah, membuat teman lainnya tertawa.

“Ow ya benar juga,” kata Aldan ikut tertawa. Lalu dia berinisiatif menghampiri mereka satu per satu dan berjabatan tangan agar mengenal lebih dekat.

Ada satu karyawan yang Aldan kenal, tetapi dia pura-pura tidak tahu. “Namaku Putra dari Bandung.”

“Namaku Rangga,” ucapnya dengan pandangan fokus mengamati wajah Aldan.

Namun, Aldan segera melepas jabatan tangannya agar Rangga tidak mengenalinya, “Senang bertemu denganmu. Aku harap kita menjadi rekan kerja yang saling mensuport satu sama lain.”

“Ow ya tentu saja,” kata Rangga. Hatinya merasa kalau dirinya pernah bertemu dengan Putra. Tapi dimana?

“Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Aku merasa gak asing lagi dengan wajahmu,” ungkap Rangga terus terang. 

“Ow ya? Apa mungkin kamu pernah melihatku di jalan?” tanya Aldan tersenyum, meskipun hatinya saat ini sangat bahagia bisa bertemu dengan sahabat semasa kecilnya. 

“Entah, tapi aku merasa pernah bertemu denganmu.”

“Emm diingat-ingat, nanti kita obrolkan lagi pas jam istirahat.”

Rangga mengangguk, “Baiklah, sekarang waktunya fokus bekerja.”

Aldan tersenyum, lalu dia berjalan menuju tempat duduknya yang berada di paling pojok dekat jendela. Diamembuka layar komputer, tetapi bukan melaksanakan tugasnya. Dia berselancar di dunia maya, mencari media sosial milik Verra Kristian, manajer personalia perusahaan tempatnya bekerja.

“Yes ketemu ...” pekik Aldan pelan. “Kau sangat cantik, Verra. Kau mewarisi wajah Papamu.”

Senyum miring terukir di bibir Aldan saat menyusuri beberapa foto dan video yang diposting di media sosial milik Verra, “Emm dia belum punya pacar? Kesempatan bagiku. Aku lebih mudah mendekatinya.”

Aldan membatin, “Maaf Verra, aku mau mendekatimu bukan karena aku mencintaimu. Tapi ...” Aldan menghentikan kalimatnya sekejap dengan mengulas senyuman licik. “Tapi kau adalah target balas dendamku karena kau anak dari pembunuh Papa Mamaku.”

Jauh sebelum Aldan kembali ke Indonesia, dia sudah mencari informasi mengenai satu-satunya petunjuk yakni selak beluk keluarga Hendrawan. Salah satu rencana Aldan adalah mendekati putrinya, Verra Kristian. 

“Verra Kristian, Papamu harus membayar kejahatan yang pernah dia lakukan 10 tahun lalu,” batin Aldan menyeringai tajam. “Hendrawan harus menderita!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   113. Dhea Belum Siap

    Di ruang tengah, Faizal dan Adelia tampak semangat mengerjakan tugasnya masing-masing. Faizal membuat beberapa akun berbagai media sosial untuk memanas-manasi perusahaan media agar meliput berita lama kasus Joshua Suherman yang masa tahanannya kurang dari 1 tahun.Sementara Adelia, dia mencari jenis-jenis kalung liontin di google. Meski matanya memerah efek tidak tdur semalaman, dia tetap semangat mencari sebuah petunjuk.“Faizal bagaimana? Sudah selesai?” tanya Adelia. Lalu dia menyruput kopi untuk memghilangkan rasa kantuk.“Sudah selesai. Tinggal menunggu respon. Semoga cepat trending. Semoga cepat dilihat dan dikomentari banyak netisen, biar seluruh media di Indonesia bakalan berlomba-lomba meliput kasus Joshua Suherman yang trending di medsos,” jawab Faizal sembari tetap bercelancar di dunia maya.“Sip. Kebobrokan hukum di Negara ini harus segera dibongkar.” Adelia mengerjap berulang kali untuk menghilangkan rasa kantuk yang semakin menyerang, dan akhirnya dia menggerakkan kedua

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   112. Bukan Malaikat Penolong

    Verra dan Rangga sudah ada di depan pintu ruangan ceo.“Selamat pagi, bu Dhea.” Verra mengetuk pintu dengan sopan.“masuk,” sahut Dhea dari dalam.Verra dan Rangga masuk ke dalam. Mereka melirik ke arah Aldan yang sudah ada di sana. Seketika mereka bernapas lega melihat asisten manager keuangan itu tampak dalam keadaan sehat.“Duduklah,” kata Dhea.“Baik, Bu.” Verra dan Rangga memilih duduk di samping Aldan.“Ada keperluan apa kalian datang kesini?” tanya Dhea.“Barusan kami melihat pak Lukman dibawa polisi. Beliau katanya ditangkap karena terbukti menyuruh karyawan lainnya untuk mencelakai Putra. Jadi kami kesini untuk memastikan kalau Putra baik-baik saja.” Verra menjawab dengan sesekali menoleh ke arah Aldan yang duduk di sampingnya.Aldan melebarkan senyuman, “Saya baik-baik saja. Tuhan menolong saya dari kecelakaan.” Aldan memposisikan diri sebagai karyawan, bicaranya lebih sopan dan formal.Verra lagi-lagi bernapas lega. Dia benar-benar mengkhawatirkan Aldan. Padahal pria yang d

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   111. Dhea Justru Ketakutan

    Aldan mengulurkan tangan, tetapi langsung ditepis oleh Lukman. “Jangan banyak gaya. Hadapi aku kalau berani!” raung Lukman penuh emosi. “Baiklah.” Aldan malah tersenyum santai. “Bapak tinggal pilih para napi mana yang ingin Bapak ajak berduel di dalam penjara.” Setelah mengatakan itu, Aldan tertawa lepas dengan mata menghina. Bahkan Dhea dan 3 orang polisi juga melemparkan tawa penuh ejekan. Tentu saja Lukman merasa terhina, tetapi keberaniannya justru semakin menciut. Tubuhnya gemetaran dengan detakan jantung yang berbunyi kencang. “Seret Pak Lukman,” titah Dhea menahan tawa. “Baik, Bu.” Ketiga orang polisi mengangguk dan melangkah mendekati Lukman. “Mau apa kalian, hah?!” bentak Lukman ketika 3 orang polisi mulai bekerja sama meringkus dirinya. “Bapak jangan melawan.” Salah satu polisi memasang borgol di tangan Lukman. “Lepaskan saya! Aku tidak bersalah!” teriak Lukman ketika 3 orang polisi mulai menyeretnya ke luar. Namun, tenaganya tak cukup untuk melawan. “Bapak ikut sa

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   110. Deal?

    “Kurang ajar! Beraninya kamu menjebakku!” teriak Lukman menatap Aldan dengan mata melotot. “Kamu tukang fitnah! Pasti kamu bersekongkol dengan Santoso 'kan? Cepat ngaku!”Aldan hanya tersenyum kecut sembari menggelengkan kepala ke arah Lukman yang tengah menatapnya dengan wajah merah padam. “Bangsat! Tukang fitnah!” raung Lukman sembari menunjuk kasar pada Aldan. Lalu dia menoleh ke arah Dhea dengan memasang wajah serius. “Saya harap Ibu tidak percaya dengan fitnahnya. Tidak mungkin saya melakukan perbuatan sekeji itu. Ini pasti jebakan untuk menyingkirkan saya. Putra dan Santoso pasti bersekongkol menjebak saya. Dari awal saya sudah curiga kalau Putra bukan orang baik-baik. Putra selalu berusaha menyingkirkan saya dari perusahaan. Putra punya ambisi untuk menjadi sekretaris di perusahaan cosmo indofood.”“Sudah selesai mengoceh?” sindir Dhea dengan senyuman kecut.Dhea memutar video rekaman itu kembali yang menunjukkan Santoso sedang menghubungi Lukman. Di sana diperdengarkan sang

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   109. Temuilah Akhir Riwayatmu!

    Pagi hari ini, Adelia membuat sarapan roti canai untuk Aldan dan Faizal. Mereka makan bersama-sama di ruang tengah.“Ow ya aku baru nyadar, kemarin kamu kok naik gojek? Kemana motormu?” tanya Adelia sembari menuangkan susu tambahan di roti canai.“Ow motorku rusak. Kemarin ditinggal di kantor,” jawab Aldan berbohong. Lalu dia menguyah roti canai miliknya.Sementara Faizal hanya fokus menyantap makanan di depannya, meskipun dalam benaknya sangat yakin motor Aldan rusak karena ada tangan jahil.“Eh aku berangkat ngantor dulu ya. Tukang gojeknya udah nungguin di depan.” Aldan bangkit dari duduknya sembari jari-jemarinya mengetik pesan di ponsel.“Iya, semangat. Fokus kerjanya. Urusan kalung liontin biar aku dan Faizal yang nyari,” ucap Adelia dengan senyuman kecil.“Aku juga akan mengompori beberapa media buat mengangkat kasus Joshua. Jadi Bos nikmati saja kehidupan di kantor, hehe,” sambung Faizal. Aldan tersenyum pada Faizal dan Adelia, “Thanks, aku bersyukur bisa mengenal kalian berd

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   108. Aldan Melihat Kalung Liontin

    Pada saat Adelia menuruni anak tangga pertama, dia menghentikan langkah ketika melihat di bawah sana kekasihnya sedang tidur pulas.“Nanti aja deh. Kasian aku,” gumamnya sembari memutar badan dan kembali melangkah ke dalam kamarnya.Adelia duduk di tepi ranjang dan mengamati kalung liontin berwarna putih yang ada di genggaman tangan.“Mungkinkah ini alasannya kenapa kalung ini seakan-akan menolak jika setiap kali aku ingin menguploadnya di medsos? Kalung ini ingin aku menjaganya agar gak jatuh ke tangan Hendrawan dan komplotannya, karena kalung ini bisa menjawab teka-teki siapa orang yang telah menyuruh mereka untuk membunuh orang tua Aldan,” ucap Adelia sembari membolak-balikkan benda berharga itu. “Jangan-jangan sebelum terjadinya insiden pembunuhan, pemilik kalung ini datang menemui Mamanya Aldan di rumahnya,” Adelia berhenti sejenak. Tatapannya menerawang jauh, mencoba menebak-nebak kejadian di rumah Aldan 10 tahun silam.“Dia ingin memberikan kalung ini pada Mamanya Aldan sebaga

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   107. Rencana Adelia

    “Itu artinya oknum-oknum aparat penegak hukum main belakang dengan Joshua. Mereka menyuruh Joshua pergi ke luar negeri untuk menghindari hukuman. Dan ketika masa tahanannya sudah jatuh tempo, Joshua akan kembali ke Indonesia dan menampakkan batang hidungnya ke publik. Dengan begitu publik akan percaya kalau selama 12 tahun Joshua ada di balik jeruji besi sesuai dengan masa tahanan. Dan jelas sekali bau bangkai di tubuh kepolisian akan tercium harum.” Adelia melanjutkan penjelasannya dengan mengekspresikan melalui gerakan tangan. Tatapan matanya menunjukkan bahwa dirinya sangat geram dengan permainan hukum yang dimainkan aparat penegak hukum di Negaranya.“Wahh sungguh hebat oknum-oknum di tubuh Pemerintah melakukan acara jual beli hukum,” lanjut Adelia sembari menggeleng-gelengkan kepala. Selain merasa geram, tatapannya juga penuh kekecewaan pada hukum di Negeri ini.“Lalu apa yang kamu dapatkan? Apa kamu punya rencana?” tanya Aldan berpura-pura penasaran. Sebenarnya ini hanya pancin

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   106. Dilema

    Adelia berhenti mengingat masa kecilnya. Saat ini dia lebih memikirkan perasaan Aldan.Adelia ikut merasakan apa yang dirasakan Aldan. Dia yakin kekasihnya mengalami kepedihan hidup dalam bayang-bayang pembunuhan tragis orang tuanya di depan matanya sendiri. Dia paham pria tampan itu tak mudah menjalani hidup yang dibenci kerabat-kerabatnya sendiri akibat korban fitnah, apalagi penjahat-penjahat itu masih berkeliaran menghirup udara bebas.Adelia menggeleng-gelengkan kepala dengan tatapan menerawang jauh, “Ternyata Hendrawan lebih jahat dari apa yang kubayangkan. Dia bukan hanya benalu yang suka mempermainkan hukum, ternyata dia juga seorang pembunuh yang sangat kejam.”“Hendrawan, Wahyu, dan pria bersepatu bukan seorang manusia. Mereka seorang iblis yang menyamar. Dan seorang iblis harus dimusnahkan,” sahut Faizal sembari mengepalkan tangan dengan tatapan penuh amarah.“Biar Tuhan yang menghukumnya,” tanggap Adelia sembari menatap Aldan yang tengah terlihat bersedih dan marah.Adelia

  • Dendam Membara Sang Pewaris!   105. Mimpi Buruk Itu Gambaran Masa Lalunya

    “Aku akan bunuh kalian!” seru Aldan dengan suara meninggi di bawah alam sadarnya. Wajahnya semakin memerah, air mulai ke luar dari matanya. Tangannya juga terkepal sempurna.Adelia yang duduk di sampingnya semakin penasaran dengan mimpi buruk yang dialami kekasihnya. Awalnya dia mengira mimpi kekasihnya hanya sebatas bunga tidur, tetapi melihat reakasi yang ditunjukkan kekasihnya seperti memimpikan kejadian kelam di masa lalu.Di titik ini, Faizal yang tidur di kasur lipat sebelah Aldan, terbangun dan mendapati Adelia yang duduk di samping tubuh sang Bos yang tengah beraksi akibat mimpi buruk.“Putra kenapa?” tanya Adelia pelan pada Faizal.“Gak tau. Mungkin hanya mimpi buruk,” jawab Faizal sembari mengedikkan bahu. Dia berbohong, sebenarnya diirinya tahu kalau Aldan bukan hanya sebatas mimpi buruk.“Putra.” Adelia memanggil dengan lembut sembari mengusap keringat dan air mata Aldan. “Kamu mimpi apa sih.”“Papa! Mama!” Aldan berteriak sembari membuka matanya lebar-lebar. Dia terbangun

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status