"Please ... bantu aku, Star!"
Sejak tadi temannya ini terus menerus memohon meminta bantuan kepadanya. Starla sudah pasti akan membantu seandainya bukan sesuatu yang mustahil yang diminta oleh wanita itu. Tempat itu adalah tempat yang terlarang bagi Starla dan ia sudah berjanji kepada diri sendiri bahwa dia tidak akan menginjakkan kakinya di tempat tersebut. Dan memang benar, di usianya sekarang, dua puluh lima tahun ia memang tidak pernah menginjakkan kaki di tempat tersebut. Arlan dahulu begitu menjaganya dan mengharamkan tempat itu untuknya, dan sampai sekarang ia tentu saja masih mengingat larangan kakaknya itu. Oleh karena itu, sampai kapan pun dia tidak bisa melakukan permintaan Ariana. "Aku tidak bisa, Ari. Maaf, ya!" ucap Starla sambil melanjutkan pekerjaannya. Ariana masih keukeuh membujuk Starla untuk membantunya. Wanita itu adalah teman satu-satunya dan hanya wanita itu yang dapat membantunya. "Aku mohon, Star. Kalau aku absen malam ini, gaji aku akan ditahan dan kamu tahu apa yang akan terjadi, aku tidak bisa membayar operasi ibuku." Starla menoleh ke arah temannya yang bernama Ariana itu, seorang wanita yang satu-satunya mau berteman dengannya di tempat kerjanya. Seorang wanita berkacamata tebal, dengan dandanan yang lebih ke perempuan cupu. Tetapi tidak ada yang tahu dibalik dandanannya itu, dia akan berubah menjadi wanita menggoda jika malam tiba, semua itu karena tuntutan pekerjaan. Ariana pernah bercerita kalau ibunya punya penyakit jantung yang harus secepatnya di operasi, oleh karena itu Ariana bekerja banting tulang untuk mencari biaya untuk operasi ibunya. setahu Starla, Ariana itu juga bekerja saat malam setelah pulang dari kantor. Tetapi dia sama sekali tidak tahu pekerjaan apa yang digelutinya dan baru ketahuan sekarang. "Di sana ada temanku yang bakal menjagamu. Kamu hanya sebagai waitress di sana, menggantikan aku untuk malam ini saja. Ibuku meminta untuk menemaninya malam ini, dan aku tidak bisa lagi berbohong untuk menolaknya." Starla dibuat tidak bisa berkata-kata lagi. Dia dilema. Satu sisi dia kasihan dengan Ariana, apalagi wanita itu memohon-mohon padanya. Tetapi di satu sisi Starla tidak terbiasa ke tempat itu. Dia ketakutan. Demi Tuhan! Pekerjaan yang dimaksud oleh Ariana adalah waitress di club malam terkenal di kota ini. Seandainya hanya menjadi waitress biasa di cafe atau pun restoran, di kalimat pertama Ariana meminta dia akan langsung mengiyakan. Tetapi ini club. Tempat yang tidak pernah Starla datangi dan tidak akan pernah dia datangi. "Tetapi ini club, Ari. Tempat yang tidak bisa aku datangi. Kau minta sama yang lain saja, ya!" lirih Starla dengan perasaan tidak enak telah menolak permintaan Ariana. Ariana menunduk murung. "Ya sudah kalau kau tidak bisa. Sepertinya aku harus merelakan bulan ini ibuku tidak di operasi. Mungkin nanti bulan depan aku masih bisa kerja mati-matian untuk mendapatkan uang operasi untuk ibuku." Mata yang telah mengeluarkan air mata itu seketika membuat Starla merasa bersalah. "Ari, jangan menangis!" "Bagaimana aku tidak menangis, Star. Aku tidak bisa membayangkan ibuku akan terus-terusan terbujur kesakitan di atas ranjang rumah sakit. Ibuku sangat ingin sembuh, tetapi aku belum bisa mengabulkannya." Starla semakin dibuat kebingungan. Bagaimana mungkin dia akan setega itu menolak permintaan seseorang yang begitu baik padanya selama ini. Satu-satunya orang yang mau mengajaknya berbicara, di saat yang lain menghindarinya entah karena apa. Lagian kata wanita itu hanya menjadi waitress biasa, hanya menghidangkan beberapa minuman pada tamu dan selesai. Kata Ariana juga, dia punya teman di sana yang akan menjaganya. Starla hanya harus meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Starla menghela napas dengan berat. "Baiklah, Ari. Aku akan membantumu, tetapi hanya untuk malam ini saja. Ke depannya aku harap kau tidak memintaku untuk menginjakkan kaki lagi di tempat itu." Ariana tersenyum semringah. "Tentu ... tentu saja, Star. Sekali lagi terima kasih. Kau memang adalah sahabat terbaikku." Starla hanya bisa tersenyum tipis dan membalas pelukan kebahagiaan yang dilakukan oleh Ariana. Ketakutan tentu saja masih menghantuinya. Semoga pilihannya ini tidak salah. Semua pasti akan baik-baik saja, yakinnya di dalam hati. **** Skylar Aleandro Wolves, pria tiga puluh dua tahun itu tengah duduk di atas kursi kebesarannya, seraya memandangi selembar foto yang berisikan wajah gadis cantik dengan pria yang sangat dikenalnya. Rahangnya mengeras, giginya bergemeletuk, matanya memerah ketika tatapannya jatuh pada wajah sang pria di foto itu. Sedetik kemudian, iris birunya beralih ke arah pintu ruangan pribadinya yang baru saja terbuka. "Dia sudah berhasil, Sir," ucap seorang pria padanya. Salah satu sudut bibirnya tertarik, membentuk senyuman licik ketika sang empu mendengar kabar yang sangat baik itu. Sebentar lagi .... "Siapkan mobil! Aku harus menjemputnya dan bermain-main sebentar dengannya." Skylar berdiri dan berderap meninggalkan ruangan itu, diikuti oleh seseorang yang baru saja memberitahu kabar baik tersebut. Dia menuruni anak tangga satu persatu dan berjalan menuju mobilnya. Ini adalah sesuatu yang dia tunggu-tunggu setelah sekian lama dan Skylar akan memastikan kalau orang itu akan hancur di tangannya. "Perintahkan beberapa orang untuk ikut bersamaku!" **** Suasana yang hingar bingar membuat Starla mengernyitkan matanya. Inilah yang tidak disukai dari tempat ini, karena dia tidak suka suasana ramai dan menyesakkan seperti ini. Dia merindukan kamarnya, kamar tenang yang damai, tempat biasanya ia duduk dan membaca sambil mendengarkan musik sayup-sayup. Tetapi musik yang sangat keras ini hampir melampaui batas toleransinya, ingin rasanya dia pergi dari tempat ini, tetapi dia tidak bisa. Ini demi Ariana dan kesembuhan ibunya. Ibu dari temannya itu butuh operasi secepatnya, oleh karena itu Starla mencoba membantunya dengan cara ini. Biarkan saja Ariana quality time malam ini bersama ibunya, dan Starla di sini bekerja keras untuk memberikan bantuan. Starla terus mencoba menarik turun rok hitam pendeknya yang mulai terasa tidak nyaman, dengan belahan dada yang begitu rendah dan rok yang begitu pendek. Starla seperti dipaksa menyamar menjadi orang yang tidak dikenalnya. Starla kini menjelma menjadi orang berbeda dengan dandanan seperti ini. Oh Tuhan! Semoga tidak ada yang mengenalinya di tempat ini. Baik itu kenalannya ataupun kenalan dari mendiang kakaknya. Starla mengernyitkan matanya lagi. "Aku benar-benar berpenampilan seperti perempuan murahan," desahnya. Suara berisik dari arah pintu masuk mengalihkan perhatian Starla, matanya mendapati seorang laki-laki yang tidak terlihat jelas wajahnya, namun kedatangannya begitu heboh dikelilingi beberapa bodyguard berbadan kekar. Sepertinya dia orang yang berpengaruh di club ini, terlihat beberapa orang sangat senang menyambut kedatangannya. Starla tentu saja ikut penasaran dengan rupa orang terkenal itu. Dengan rasa penasaran yang besar, Starla menjinjitkan kakinya itu dan berusaha melihat dengan jelas wajah pria yang terlihat tidak jelas karena dikerumuni banyak orang. Dan ... Oh Tuhan! Pria itu ... pria itu adalah orang yang sangat dikenalnya. Kenapa dunia sesempit ini? kenapa Starla dengan kebetulannya harus melihat pria itu lagi? Dia adalah Skylar Aleandro Wolves orang yang telah membunuh Arlan—kakaknya. Kakak laki-laki Gabriella—sahabatnya.Jika Skylar pernah berkata, tak ada satu pun hal lain yang diinginkannya selain kesengsaraan dan kematian seorang Starla, maka hari ini, tepat setelah dia menyaksikan sendiri jemari pucat itu bergerak bersamaan dengan sepasang kelopak mata yang perlahan terbuka, Skylar menyadari bahwa dia tak pernah bersungguh-sungguh menginginkan hal itu terjadi. Pria itu menginginkan kehidupan Starla. Ia ingin wanita itu menemaninya untuk hidup bersama.Tak heran jika selama dua minggu terakhir. Sederet doa tak pernah luput dari ucapannya setiap kali dia mengajak wanita itu untuk berkomunikasi, meskipun rasa putus asa itu berkali-kali mengguncang keteguhannya untuk tetap menunggu ketika dokter sering kali berkata bahwa kecil kemungkinan untuk wanita itu kembali hidup.Ya, dia tentu menyadari kenyataan tersebut jauh dari hari-hari sebelumnya. Starla kehilangan banyak darah akibat dua buah peluru yang mengikis organ penting dalam tubuhnya. Wajar jika Skylar selalu menunggu dalam perasaan luar biasa kh
Hampir semua orang yang mengenal Skylar tahu dan pernah berkata bahwa pria itu termasuk tipikal pria yang memiliki semangat kerja yang kuat. Skylar pekerja keras yang hanya mementingkan kesibukannya sebagai atasan di sebuah perusahaan. Dan hal itu tentu sudah berada jauh di luar kepala Xander. Ya, sebagai seorang sahabat, yang bahkan pernah menganggapnya layaknya saudara, Xander tentu tahu, Skylar bukanlah atasan gegabah yang menyia-nyiakan pertemuan penting—bahkan ini sangat penting yang membuatnya turut serta hadir, jika tidak terjadi sesuatu yang mampu memaksa pria itu beralih dari urusan bisnisnya.Sejak awal pertemuan berlangsung, Xander membiarkan pikirannya menerka-nerka apa yang telah terjadi, berusaha menemukan jawaban apa pun agar dapat menenangkan hatinya yang sejak tadi menjeritkan nama Starla tanpa henti. Namun, jawaban yang ia dapatkan justru membuat keresahan yang dirasakannya kian menyulut. Dan segala pikiran buruk yang sempat mengisi kepalanya kini benar-benar terjadi
"Biarkan aku bersamanya."Tepat setelah titah itu mengalir, sang wanita itu akhirnya beranjak pergi. Meninggalkan Skylar yang bergelung bersama eratnya cekaman situasi yang kini membelenggu paru-parunya, nyaris membuatnya tak mampu menghela udara dengan baik.Tatapan pria itu terus tertuju pada sosok wanita yang terbaring tak berdaya di atas ranjang pasien. Rentetan suara alat medis yang dicernanya berhasil membuatnya berubah kaku di tengah-tengah dinginnya ruangan. Namun, Skylar berusaha bersikap tenang meskipun ia sendiri tak kuasa menampik segala jeritan protes akan ketakutan serta kekhawatiran di dalam hatinya. Pria itu lantas mendekat dan melakukan hal yang sama di setiap kali ia datang, menyingkirkan bunga buket yang telah layu dari atas nakas, lalu menggantinya dengan yang baru sebelum memilih duduk di kursi yang tersedia di sisi ranjang pasien."Sudah lama menunggu?" tanya Skylar dengan nada suara yang lirih, sembari berusaha menguatkan diri ketika iris matanya melirik bedside
Embusan napas berat itu terdengar, menyatu bersama pekatnya udara setelah Skylar menghelanya sedalam mungkin. Tetesan air hujan serta lumatan embun tampak saling bergelayut, merebak pada kaca jendela di hadapannya, berupaya mengusik pandangannya yang terus menatap pusat kota yang padat akan kendaraan di bawah sana, sedang pikirannya terus bernostalgia bersama ribuan penyesalan yang ia rasakan.Skylar mengingat jelas bagaimana kebengisan itu bermula, tepat setelah dunia berlaku begitu kejam mengguncang kehidupan adik satu-satunya, yang secara bersamaan cukup membuatnya merasa kehilangan akal, berikut dengan hati nuraninya. Semuanya hilang begitu saja dan hanya menyisakan kebencian serta rasa dendam yang mendalam. Menguar cepat dan merasuki jiwanya tanpa aba-aba, yang kemudian menimbulkan reaksi balasan terhadap siapa pun yang telah merusak kebahagiaan adiknya.Demi apa pun, Skylar bersumpah bahwa ia tidak pernah ingin menyakiti Starla tanpa alasan. Sungguh, tak sedikit pun niat yang te
Skylar membuka pintu ruangan dengan begitu pelan. Pandangannya tak pernah beralih meninggalkan punggung milik wanita yang tengah duduk di kursi roda yang menghadap jendela besar di depannya—ketika ia melangkah ringan sebelum memosisikan diri dan duduk merangkung di hadapan wanita itu."Gaby."Skylar bergumam pelan setelah menggenggam erat jemari sang adik dan langsung mendapat tanggapan dari sang empunya. Manik kelam Gabriella tergenang oleh air mata kini bergerak perlahan dan memutuskan untuk membalas tatapan kepedihan milik Skylar.Setelah beberapa minggu menjalani terapi dan metode penyembuhan lain dengan rutin, wanita itu sudah mulai memperlihatkan sedikit kemajuan. Ia tak pernah memberontak lagi ketika Skylar datang berkunjung. Ia juga sudah mulai mampu mencerna perkataan orang lain. Gabriella bahkan sudah mulai mengenal orang-orang yang berada di sekitarnya. Akan tetapi dia masih belum mampu mengeluarkan beberapa kalimat selain menyebutkan nama-nama orang yang ada di pikirannya
Siapa yang harus Skylar salahkan dalam hal ini? Apakah karena sosok wanita yang telah berhasil meluluhlantakkan hatinya akhir-akhir ini? Arlan yang dia pikir telah merusak kebahagiaan adiknya dengan ganas? Atau bahkan Gabriella yang memang sejak awal telah menyembunyikan sesuatu darinya?Tiga pertanyaan itu kerap kali berputar di otak Skylar sejak kejadian tragis seminggu yang lalu. Dan bagaikan lecutan cambuk yang mengenai punggungnya ketika ia tersadar bahwa dirinya sendirilah yang menjadi pusat dari semua kesalahan yang ada. Hatinya menjerit perih. Pria itu sadar, kecerobohannya tak hanya berdampak buruk bagi dirinya sendiri, tetapi juga pada orang lain yang bahkan tidak mengetahui apa pun di balik semua masalah yang terjadi.Apakah sejak awal pernikahan, Skylar pernah memikirkan perasaan Starla? Mungkin tidak, dia hanya memikirkan bagaimana cara menghancurkan wanita itu secara fisik maupun mental. Membuat wanita itu tidak lagi mengenali arti kehidupan serta tidak mengingat lagi ba