Starla mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Kemarahan terlihat jelas dari wajahnya dan bisa terlihat jelas di bawah keremangan lampu yang berkerlap-kerlip. Emosinya membuncah untuk segera disemburkan kepada pria yang dari kejauhan terlihat tengah berbicara dan sesekali tersenyum menyeringai.
Starla sangat-sangat membenci senyuman yang begitu menjijikkan itu! Sekilas Starla punya pemikiran untuk mengambil langkah-langkah panjang dan menerjang pria itu, tak lupa mengambil satu botol minuman di atas meja, kemudian memukulkan botol itu pada kepala Skylar sampai hancur. Saat itu juga Starla pasti akan tertawa terbahak-bahak menyaksikan bagaimana kepala itu mengeluarkan darah dan ajal akan menjemputnya saat itu juga. Pada saat itu, Starla akan berbahagia karena telah membalaskan dendam atas kematian Arlan. Oh ... seandainya Starla punya keberanian sebesar itu, tetapi buktinya dia hanya bisa berdiam diri di sini tanpa merealisasikan khayalannya itu. Tetapi sebuah alasan yang sangat besar yang membuat Starla tidak melakukan niatannya itu. Mungkin kesempatan ini akan disesalinya suatu saat nanti. Starla tidak bisa berlama-lama di tempat ini, dia tidak ingin sampai dilihat oleh pria itu. Atau mungkin saja dia yang akan mati di tangan pria itu. Baru saja Starla akan melangkah, namun sebuah tarikan di lengannya menghentikan langkahnya. Starla menoleh dengan cepat dengan alis yang berkerut mendapati seorang pria tengah mencengkeram tangannya. "Apa kau temannya Riana?" Starla semakin mengerutkan dahinya dan berusaha menarik tangannya dari cekalan pria itu. "Riana siapa?" tanya Starla tidak tahu-menahu. Pria itu terkekeh. "Maaf ... maaf, maksudku Ariana, di sini dia dikenal dengan nama Riana," ujar pria itu menjelaskan yang kemudian membuat Starla hanya memberikan sebuah anggukan. "Dia memberitahuku kalau tidak bisa masuk malam ini dan katanya ada yang akan menggantikan. Apakah itu kamu? Karena hanya kau yang terlihat begitu berbeda di tempat ini." Starla mengangguk ragu. "I—iya, itu aku," cicitnya. Pria tampan itu kembali mengangguk. "Perkenalkan nama saya Dion, teman Ariana. Kau?" "S—star ... namaku, Starla." "Salam kenal, Starla. Riana sudah berpesan untuk menjagamu dengan baik di sini. Termasuk dari gangguan-gangguan pria hidung belang di tempat ini. Jadi kalau ada apa-apa, langsung beritahu aku. Ya ... walaupun posisiku hanya bartender di sini." Dion kemudian kembali terkekeh. Terlihat sekali pria itu murah senyum. Starla balas tersenyum. "Terima kasih, Dion!" Starla sangat bersyukur karena masih ada orang baik yang tersisa di tempat menakutkan ini. Dan semoga saja, tidak ada yang terjadi padanya, sehingga dia tidak perlu merepotkan pria di hadapannya itu. "Oh iya, Star. Jangan terlalu menampakkan diri di depan pemilik tempat ini." Dion menunjuk Skylar dengan dagunya. "Pria di sana adalah pemilik club ini. Biasanya Riana yang akan melayaninya kalau sedang berkunjung, tetapi karena malam ini dia absen jadi ...." Tawa Dion seketika menggelegar saat mendapati tatapan Starla yang terlihat horor memandangnya. "Tenang saja, Star. Bukan karena Riana tidak ada di sini dan kau yang menjadi penggantinya, tidak mungkin juga kau yang ditunjuk. Bos juga tahu kalau kau hanya pengganti di sini, dan tidak punya keahlian, sedangkan dia itu tidak suka dilayani dengan cara yang buruk. Lagi pula masih banyak wanita-wanita yang lebih mampu untuk memberikan pelayanan yang baik pada bos." Starla seketika bernapas lega saat mendengar penuturan kalimat yang dilontarkan oleh Dion. Baguslah, karena Starla memang tidak ada niatan untuk menampakkan diri di hadapan pria itu. Tidak apa-apa dia bertahan di tempat ini semalaman, asal dia tidak terlihat oleh Skylar. Dan sepertinya itu akan berhasil, mengingat dia hanya pengganti di sini, jadi sudah pasti dia hanya melayani yang lainnya saja dan bukannya bos besar itu, seperti kata Dion. Ya, semoga saja. **** Skylar Aleandro Wolves sangat bersemangat malam ini mengunjungi salah satu klub malamnya. Kesenangannya ini tentu saja dilandasi dengan keberadaan 'kelinci' kesayangannya. Dia akan bermain-main sebentar dengannya, sebelum benar-benar menghancurkannya dan memenjarakannya di dalam neraka. Bawahannya yang diperintahkan untuk mengelola klub malam ini langsung menyambutnya saat kaki Skylar sudah melangkahkan kaki di club malamnya itu. Dengan tergopoh-gopoh pria gendut itu menggiringnya ke kursi VIP terbaik. "Maaf, Sir. Malam ini Riana sedang absen, jadi ...." Pria gendut itu sangat ketakutan mendapati bola mata Skylar yang berkilat marah. "... Jadi Anda bisa memilih yang biasanya menemani Anda." Pria gendut itu menunjuk lima orang wanita yang berjejer dengan tinggi yang sama rata. Mereka mengenakan gaun yang sangat terbuka dan melekat sempurna di tubuh seksi mereka. Wajahnya telah dipoles dengan make up tebal. Terlihat sangat sensual. Mereka sepertinya memang diciptakan sebagai penggoda. Penggoda kaum lelaki yang membutuhkan kenikmatan yang ditawarkan oleh mereka. Skylar mengamati kelimanya, yang telah memamerkan senyum menggoda dan berusaha keras agar salah satu dari mereka bisa terpilih menjadi teman Skylar malam ini. semua dari mereka tentu saja berlomba-lomba mendapatkan perhatian pria itu, karena bukan saja kenikmatan yang akan didapat, tetapi juga materi yang banyak jika Skylar merasa puas dengan service yang diberikan. "Aku tidak suka dengan mereka. Aku sudah bosan dengan perempuan-perempuan seperti ini," ucap Skylar dengan kasar, yang langsung mematahkan semangat-semangat wanita itu karena tidak berhasil terpilih. Pria gendut itu tentu saja ikut kaget karena para wanita-wanita yang telah terbiasa dengan Skylar sudah didandani sedemikian rupa demi memamerkan pesonanya pada Skylar. Tetapi ternyata pria itu malah menolak wanita-wanita pilihannya. Sepertinya hanya Riana yang memang bisa memuaskan pria congkak di hadapannya ini. Sialan wanita murahan itu! Kalau sampai malam ini Skylar marah besar, makan Riana harus siap-siap mengangkat kaki dari club malam ini "Kalau begitu, Anda bisa memilih yang lainnya, Tuan." Skylar tersenyum menyeringai. Mulai menatap sekeliling dengan tak berminat, menatap semua perempuan di sana yang hampir seperti semut yang mengelilinginya, dengan tatapan berharap untuk dipilih. Terlalu murahan, gumamnya dalam hati. Semua manusia di dunia ini memang murahan dan penjilat. Skylar merasa sangat marah besar saat mendapati wanita yang dicarinya tidak ada di sini. Sialan. Tidak mungkin wanita murahan itu membohonginya dan tidak mungkin juga orang kepercayaannya ikut berbohong. Wanita yang menjadi alasannya datang ke tempat ini pastinya hanya sedang bersembunyi. Dan dengan mata jelinya, dia pasti akan mendapatkan 'Kelinci' kesayangannya itu. Namun, pencariannya akhirnya membuahkan hasil. Wanita yang dicarinya memang berada paling belakang, dekat dengan meja bartender, dan sejak tadi hanya menunduk dengan tangan yang saling meremas. Meskipun di bawah keremangan lampu, Skylar bisa mengenali wanita itu. Perempuan yang terlihat salah tempat di klub malam mewah ini. Mengenakan baju luar biasa seksi, tetapi tampak tidak nyaman di dalamnya. Mungkin setelah ini, Skylar akan memberikan hadiah yang besar untuk Ariana karena telah mendandani wanita itu menjadi terlihat sangat cantik, dengan pakaian waitress yang kelewat seksi. Meskipun terlihat jelas kalau wanita itu kurang nyaman dengan segalanya, dengan tempat dan pakaian yang dikenakan. Tanpa sadar seulas senyum jahat muncul di bibirnya. "Aku mau dia!" gumamnya sambil menunjuk perempuan itu. Dan seketika ruangan itu mendadak hening, dengan semua tatapan mata tertuju ke arah obyek yang ditunjuk oleh Skylar.Jika Skylar pernah berkata, tak ada satu pun hal lain yang diinginkannya selain kesengsaraan dan kematian seorang Starla, maka hari ini, tepat setelah dia menyaksikan sendiri jemari pucat itu bergerak bersamaan dengan sepasang kelopak mata yang perlahan terbuka, Skylar menyadari bahwa dia tak pernah bersungguh-sungguh menginginkan hal itu terjadi. Pria itu menginginkan kehidupan Starla. Ia ingin wanita itu menemaninya untuk hidup bersama.Tak heran jika selama dua minggu terakhir. Sederet doa tak pernah luput dari ucapannya setiap kali dia mengajak wanita itu untuk berkomunikasi, meskipun rasa putus asa itu berkali-kali mengguncang keteguhannya untuk tetap menunggu ketika dokter sering kali berkata bahwa kecil kemungkinan untuk wanita itu kembali hidup.Ya, dia tentu menyadari kenyataan tersebut jauh dari hari-hari sebelumnya. Starla kehilangan banyak darah akibat dua buah peluru yang mengikis organ penting dalam tubuhnya. Wajar jika Skylar selalu menunggu dalam perasaan luar biasa kh
Hampir semua orang yang mengenal Skylar tahu dan pernah berkata bahwa pria itu termasuk tipikal pria yang memiliki semangat kerja yang kuat. Skylar pekerja keras yang hanya mementingkan kesibukannya sebagai atasan di sebuah perusahaan. Dan hal itu tentu sudah berada jauh di luar kepala Xander. Ya, sebagai seorang sahabat, yang bahkan pernah menganggapnya layaknya saudara, Xander tentu tahu, Skylar bukanlah atasan gegabah yang menyia-nyiakan pertemuan penting—bahkan ini sangat penting yang membuatnya turut serta hadir, jika tidak terjadi sesuatu yang mampu memaksa pria itu beralih dari urusan bisnisnya.Sejak awal pertemuan berlangsung, Xander membiarkan pikirannya menerka-nerka apa yang telah terjadi, berusaha menemukan jawaban apa pun agar dapat menenangkan hatinya yang sejak tadi menjeritkan nama Starla tanpa henti. Namun, jawaban yang ia dapatkan justru membuat keresahan yang dirasakannya kian menyulut. Dan segala pikiran buruk yang sempat mengisi kepalanya kini benar-benar terjadi
"Biarkan aku bersamanya."Tepat setelah titah itu mengalir, sang wanita itu akhirnya beranjak pergi. Meninggalkan Skylar yang bergelung bersama eratnya cekaman situasi yang kini membelenggu paru-parunya, nyaris membuatnya tak mampu menghela udara dengan baik.Tatapan pria itu terus tertuju pada sosok wanita yang terbaring tak berdaya di atas ranjang pasien. Rentetan suara alat medis yang dicernanya berhasil membuatnya berubah kaku di tengah-tengah dinginnya ruangan. Namun, Skylar berusaha bersikap tenang meskipun ia sendiri tak kuasa menampik segala jeritan protes akan ketakutan serta kekhawatiran di dalam hatinya. Pria itu lantas mendekat dan melakukan hal yang sama di setiap kali ia datang, menyingkirkan bunga buket yang telah layu dari atas nakas, lalu menggantinya dengan yang baru sebelum memilih duduk di kursi yang tersedia di sisi ranjang pasien."Sudah lama menunggu?" tanya Skylar dengan nada suara yang lirih, sembari berusaha menguatkan diri ketika iris matanya melirik bedside
Embusan napas berat itu terdengar, menyatu bersama pekatnya udara setelah Skylar menghelanya sedalam mungkin. Tetesan air hujan serta lumatan embun tampak saling bergelayut, merebak pada kaca jendela di hadapannya, berupaya mengusik pandangannya yang terus menatap pusat kota yang padat akan kendaraan di bawah sana, sedang pikirannya terus bernostalgia bersama ribuan penyesalan yang ia rasakan.Skylar mengingat jelas bagaimana kebengisan itu bermula, tepat setelah dunia berlaku begitu kejam mengguncang kehidupan adik satu-satunya, yang secara bersamaan cukup membuatnya merasa kehilangan akal, berikut dengan hati nuraninya. Semuanya hilang begitu saja dan hanya menyisakan kebencian serta rasa dendam yang mendalam. Menguar cepat dan merasuki jiwanya tanpa aba-aba, yang kemudian menimbulkan reaksi balasan terhadap siapa pun yang telah merusak kebahagiaan adiknya.Demi apa pun, Skylar bersumpah bahwa ia tidak pernah ingin menyakiti Starla tanpa alasan. Sungguh, tak sedikit pun niat yang te
Skylar membuka pintu ruangan dengan begitu pelan. Pandangannya tak pernah beralih meninggalkan punggung milik wanita yang tengah duduk di kursi roda yang menghadap jendela besar di depannya—ketika ia melangkah ringan sebelum memosisikan diri dan duduk merangkung di hadapan wanita itu."Gaby."Skylar bergumam pelan setelah menggenggam erat jemari sang adik dan langsung mendapat tanggapan dari sang empunya. Manik kelam Gabriella tergenang oleh air mata kini bergerak perlahan dan memutuskan untuk membalas tatapan kepedihan milik Skylar.Setelah beberapa minggu menjalani terapi dan metode penyembuhan lain dengan rutin, wanita itu sudah mulai memperlihatkan sedikit kemajuan. Ia tak pernah memberontak lagi ketika Skylar datang berkunjung. Ia juga sudah mulai mampu mencerna perkataan orang lain. Gabriella bahkan sudah mulai mengenal orang-orang yang berada di sekitarnya. Akan tetapi dia masih belum mampu mengeluarkan beberapa kalimat selain menyebutkan nama-nama orang yang ada di pikirannya
Siapa yang harus Skylar salahkan dalam hal ini? Apakah karena sosok wanita yang telah berhasil meluluhlantakkan hatinya akhir-akhir ini? Arlan yang dia pikir telah merusak kebahagiaan adiknya dengan ganas? Atau bahkan Gabriella yang memang sejak awal telah menyembunyikan sesuatu darinya?Tiga pertanyaan itu kerap kali berputar di otak Skylar sejak kejadian tragis seminggu yang lalu. Dan bagaikan lecutan cambuk yang mengenai punggungnya ketika ia tersadar bahwa dirinya sendirilah yang menjadi pusat dari semua kesalahan yang ada. Hatinya menjerit perih. Pria itu sadar, kecerobohannya tak hanya berdampak buruk bagi dirinya sendiri, tetapi juga pada orang lain yang bahkan tidak mengetahui apa pun di balik semua masalah yang terjadi.Apakah sejak awal pernikahan, Skylar pernah memikirkan perasaan Starla? Mungkin tidak, dia hanya memikirkan bagaimana cara menghancurkan wanita itu secara fisik maupun mental. Membuat wanita itu tidak lagi mengenali arti kehidupan serta tidak mengingat lagi ba