Brak! Abra menggebrak meja membuat air dalam gelas tumpah. Makanan yang disajikan pun tumpah dari tempatnya. Kepala terasa panas, lelaki itu tidak bisa lagi menahan emosi, dengan kasar menyibak isi meja. Saat ini dia sedang berada di tempat makan Istana Utama di ruang pribadi khusus raja.Prang! Bruak! Perkakas dan benda makan berjatuhan ke lantai. "Sial, mengapa mereka mempersulit keadaanku. Ingin sekali aku bunuh mereka semua, setan alas!" umpat Abra menghiraukan status 'Raja' yang tersemat. Beberapa dayang menatap dengan gemetar, takut menjadi sasaran amarah Abra yang. Lelaki itu bangkit dari duduk melotot ke arah pintu yang terbuka. Ki Kastara masuk ke dalam bersama Khandra. Dia mendengkus seraya berkacak pinggang. "Kenapa dia ikut masuk?" tanya Abra menududing Khandra. "Dia anak buahku," kata Ki Kastara. "Cecunguk itu murid Empu Jagat Trengginas, ingat!" bentak Abra. 'Gawat, bagaimana jika mereka mencurigai diriku?' tan
Kayana melompat ke udara dia mendarat di sebuah batang pohon, menelisik ke area sekitar yang tertutup semak belukar. Suara seorang wanita minta tolong nyaring terdengar. Mata pemuda itu membeliak, melihat beberapa bandit merangsek tubuh seorang wanita. lalu mendarat dengan kaki kanan terjulur ke depan menendang salah seorang lelaki yang tengah merangsek tubuh wanita di antara tiga lelaki lainnya. Bugh! Aw! Teriakan memekik dari lelaki bermuka gahar yang ditendang oleh Kayana. Mereka berempat menoleh bersamaan ke arah si biang rusuh. “Setan alas, siapa kau yang mengganggu kesenangan kami?” teriak salah seorang berbadan tambun. “Apa yang kau lakukan pada gadis malang tersebut, heh?” cibir Kayana, dia menoleh sekilas ke arah sang gadis yang hampir telanjang bulat itu. ‘Duh Gusti tubuhnya sangat menggoda sekali,’ bisik Kayana dalam hati terpesona. Dihela napas panjang untuk menghilangkan pikiran kotor yang hinggap, ‘Hentikan pikiran mesummu Kayana,’ umpat pada
Asap hitam tidak kasat mata melewati para penduduk desa yang sedang panik melihat seorang gadis yang berjalan bersama mereka tiba-tiba jatuh. "Denyut nadi sudah tidak terasa, detak jantung juga berhenti. Sepertinya dia pingsan," ujar seorang wanita paruh baya. Asap hitam membumbung tinggi lalu menepi, seolah bersembunyi di dekat semak belukar. Pyash! Kepulan asap menghilang, menjelma menjadi seorang wanita nan cantik. Wanita itu tersenyum menyeringai merasa puas akan apa yang terjadi. "Gadis malang," ungkapnya menyibakkan selendang merah, yah wanita tersebut adalah Nyi Gendeng Sukmo pemilik selendang merah. Seperti angin, sosok wanita ayu itu menghilang tanpa jejak. Dalam waktu singkat wanita tersebut sudah sampai di dekat air terjun. Tubuhnya ambruk tersungkur ke tanah rerumputan. Napas tersengal, tubuh gemetar, tukang rasanya remuk redam. Namun, bukan rasa sakit yang dirasa. Wanita itu malah terbahak, tertawa lantang dengan girang. "Aku
"Andai kau mau menuruti apa yang aku katakan, kau tidak akan merasakan sakit Cah Ayu," ujar Nyi Gendeng Sukmo mengibaskan selendang merah. Suara gamelan kembali terdengar, wanita itu menari mengitari tubuh sang gadis yang sudah tidak bernyawa. Sejurus kemudian jiwa Gendeng Sukmo masuk ke dalam tubuh sang gadis. Dengan tubuh baru, Nyi Gendeng Sukmo membuka mata kemudian bangkit berdiri. Dia tersenyum kemudian melompat ke dekat bukit Alang-alang. Kakinya mulai berpijak melangkah keluar, dia berdecak merasakan tubuhnya yang seperti terikat sesuatu. Ada benang merah pengikat yang mengekang. "Benang jiwa sialan!" pekiknya. "Ah, setidaknya aku bisa keluar menggunakan tubuh ini sementara. Akan kucari waktu yang tepat untuk menjerat Rengganis," keluhnya mengendus. "Raga ini berbau mayat, ini tidak akan bertahan lama, sialan!" umpatnya lagi. "Aku hanya mencium aroma wangi tubuh Rengganis, oh itu tubuh yang sangat sempurna sebagai wadah," ujar Nyi Gendeng Sukmo menyer
Khandra baru saja berkunjung ke tempat persembunyian. Dia terkesima melihat penampilan Rengganis, mengenakan kaos tanpa lengan, dengan celana komprang warna putih yang diikat dengan kuat menggunakan tali. Tangan mulus itu masih nampak putih bersih dalam guyuran sinar rembulan. Api unggun memberi efek menakjubkan, terlihat bak bidadari turun dari kayangan. Entah apa yang membuat Abra memalingkan wajah dan berkhianat dari wanita secantik dia, begitu pikir Khandra bahkan beberapa ksatria lain. "Aku harus lebih kuat Khandra, aku ingin segera menghunuskan pedang ini ke leher Kakang Prabu. Dia sudah mengambil milikku. Membuat rakyatku menderita!" teriak Rengganis. Wanita tersebut mengingat kembali apa yang terjadi pada rakyatnya. Upeti juga pajak tidak masuk akal yang selalu dipungut secara tidak manusiawi. Mbok Berek dan juga Kayana saling pandang, memperhatikan Rengganis juga Khandra hang masih sibuk berlatih pedang di tengah padang, di mana obor dinyalakan di
Khandra mencoba memahami situasi junjungannya. "Saya paham Permaisuri, untuk senjata mungkin lebih baik kita pilih yang cocok dengan Anda, saat ini yang ada hanya pedang. Mari kita berlatih pedang dahulu," kata Khandra. Lelaki gagah tersebut berjalan menuju sebuah meja di ujung gubuk pelatihan. Dia mengambil pedang kayu yang disiapkan anak buahnya untuk berlatih pedang. Ada pula busur panah, ah anak buahnya memang bisa diandalkan. Khandra meletakkan padang Sawer Geni miliknya kemudian meraih dua pedang kayu. Khandra kembali menghampiri Rengganis. "Saya lihat Permaisuri tadi belajar mengatur pernapasan. Gunakan teknik itu juga saat mengayunkan pedang. Agar Permaisuri belajar mengontrol emosi saat bergerak. Teknik pernapasan yang baik juga bisa membantu emosi saat kita bertarung. Jangan mudah terpancing, tetap fokus dan tenang," kata Khandra memberikan pedang kayu tersebut. Rengganis menerimanya, dia mengayunkan pednag tersebut. "Baiklah, aku paham," u
Rengganis membuka mata perlahan, kepala terasa pening. Ah, rupanya hari sudah berganti, wanita itu mengerjap-ngerjapkan mata. Beringsut bangkit dari dipan dengan susah payah. Rengganis menghela napas lalu mengembuskan teratur. Dia meraih meja sebagai pegangan lalu bangkit berdiri. Tangan tetap merayap pada setiap dinding gua, tubuh masih gemetaran kepala juga berkunang-kunang beberapa kali dia hampir ambruk. Rengganis menggigit bibir bawah agar tetap mempertahankan kesadaran. "Hyatt! Hap!" teriakan terdengar nyaring ketika Rengganis berada di ruang tengah. Dia menyipitkan mata, melihat ke luar dari lubang yang ada di gua. Terlihat Khandra menggunakan pedangnya menangkis serangan dari beberapa ksatria. "Mereka sedang berlatih," ujar Rengganis. Blar! Blar! Api keluar dari pedang yang diayunkan oleh Khandra. Beberapa anak buahnya menangkis serangan menggunakan pedang mereka. Kayana terlihat kewalahan menghadapi. Selesai menangkis serangan para kesa
Gending jawa terdengar ketika Rengganis membasuh wajah di sungai. Dia melihat pantulan dirinya dalam riak air yang jernih itu. Ah, wajah sungguh nampak lusuh tidak terawat. Siapa peduli, tidak ada sama sekali. Terpenting adalah tekadnya sepanas api Rengganis menutup mata, seperti terhipnotis. Dalam benak berontak mungkin kah menemui Nyi Gendeng Sukmo adalah jalan terbaik. Hati kecil menolak, apa yang ditawarkan Nyi Gendeng Sukmo pasti ada timbal balik. Bagaimana jika demit itu hanya memanfaatkan dirinya, begitu pikir Rengganis. "Permaisuri," panggil Khandra membuyarkan lamunan. "Ah, iya Khandra," jawab Rengganis. "Hari sudah menjelang sore, mari kita kembali ke persembunyian. Saya dan Kayana harus kembali ke Istana sebelum matahari tenggelam," ungkap Khandra. "Besok kami akan meninjau lokasi perbatasan, takut kerajaan musuh menyusup," terang Khandra. Ada rasa tidak rela mengingat kedua pemuda itu cukup berperan penting dalam sesi latihan. "Kalian semua a